Permisi, Mbak ada paket untuk, Mbak!" ucap Mas kurir, sembari menyerahkan sebuah paket berukuran persegi.
"Pa-paket?" tanyaku heran. "Rasanya saya tidak pernah memesan barang!" Tanganku terulur menerima paket yang diberikan Mas kurir.
"Saya hanya mengantarkan sesuai alamat pesanan, Mbak," balasnya sambil tersrnyum. "Silahkan tanda tangan di sini, Mbak," sambungnya lagi sambil memberikan sebuah surat tanda terima paket.
Aku pun menanda tangani kertas yang disodorkan Mas kurir tersebut. Setelahnya Mas kurir pun pamit. Karena rasa penasaran aku segera membuka paketnya.
'Hallo, Mbak apa kabarmu? Aku ingin mengembalikan jam tangan Mas Arya, kemarin malam ketinggalan di kamarku, setelah kami memadu kasih'
Seketika rasanya darah di kepalaku mendidih, membaca pesan ja*ang itu. Bre*gsek beraninya dia mengirim ini untukku. Aku meremas kertasnya lalu melemparnya dengan kuat.
Kedebug!
"Aww ...," pekikku.
Tanganku menghantam pintu kamar, seketika aku pun terbangun. Entah sudah berapa lama aku menangis hingga akhirnya tanpa sadar tertidur di lantai depan pintu kamar, kulihat tanganku sedikit memar dan perih. aku melirik jam yang terpasang di dinding pukul menunjukkan 22.30 WIB. Ternyata tadi cuma mimpi.
Aku memandangi sekeliling, suasana tampak sepi dan sunyi, tak ada lagi Mas Arya yang biasanya tidur di ranjang tempat kami melepas segala kepenatan. Air mataku kembali menetes, kenapa merindu ba*ingan romantis itu, sesesak ini. Sepertinya Mas Arya benar-benar sudah pergi, begitupun dengan Mbak Elma. Aku berusaha bangkit dan menekan handle pintu. Rasa haus menuntun langkahku menuju dapur.
Kulihat meja makan sudah terlihat rapi, mungkin Bi Jana yang telah membereskannya. Aku meraih teko yang terletak di atas meja, lalu menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya perlahan. Lalu, menghempaskan bokongku di atas kursi.
Merenungi pristiwa yang tengah menerpa hidupku. Tuhan, rasanya begitu berat. Aku memijit pelipis, kepalaku terasa berdenyut, memikirkan beban rumah tangga yang baru saja kulayarkan, kini tengah diterpa gelombang dan badai.
***
Aku terbangun saat jam beker berdering nyaring di atas nakas samping kanan tempat aku tertidur. Kupandangi tempat biasa Mas Arya tidur hanya ada bantal dan guling. Aku tak tau kemana perginya Mas Arya setelah kuusir tadi malam, ah sudahlah buat apa aku mempedulikan seseorang yang telah mematahkan hatiku.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi, membersihkan diri dan menggosok gigi. Setelahnya seperti biasa aku melaksanakan dua rakaat.
Bi Jana tengah berjibaku di dapur, perempuan 59 tahun itu, sudah lama mengabdi pada keluarga kami, setelah Papa meninggal Bi Janalah yang setia merawatku. Sementara Mama sejak aku berumur 7 tahun ia memilih pergi dengan laki-laki lain. Mengingat itu membuatku sesak. Sejak itu pula aku tak tau kemana rimbanya.
"Pagi, Bi," sapaku.
"Eh, Non Aini ngagetin, Bibi aja," protes Bi Jana sambil mengelus dada. "Non!" seru Bi Jana, wajahnya terlihat ragu.
"Iya, Bi ada apa?" tanyaku balik.
"Anu, Non semalam Den Arya pamit pergi bawa koper gede, katanya mau pamit sama Non. Tapi, Nonnya udah tidur, dan Den Arya juga bilang titip Non. Wajahnya terlihat sedih. Memangnya Den Arya mau pergi jauh, Non?" tanya Bi Jana serius, wajahnya juga terlihat sedih.
Aku hanya tersenyum dan menanggapi sekenanya, aku belum siap menceritakan semuanya sama Bi Jana. Takut perempuan yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri itu syok.
"Oh iya, Bi, aku mau ke supermarket, Bibi minta di beliin apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Gak, Non Bibi gak butuh apa-apa," jawabnya, sambil tersenyum, sementara tangannya dengan cekatan mengerjakan pekerjaan rumah.
"Yakin?" tanyaku, sambil memotong roti sand*ich di atas piring.
"Yakin, Non."
"Ya sudah, aku pergi dulu ya, Bi," pamitku.
"Iya. Hati-hati, Non," balasnya dengan rasa khawatir, laksana khawatirnya seorang ibu pada anaknya. Tetapi, Mama yang telah melahirkanku, pernahkan dia mengkhawatirkanku? Ah entahlah.
Aku mengeluarkan mobil dari garasi menuju supermarket kota, sambil jalan-jalan merefreshing pikiran.
Aku memilih-milih beberapa snack untuk cemilan, aku menggeleng kuat, aku harus diet tidak boleh banyak ngemil. Eh, tapi dikit gak apa-apakan? Akhirnya aku memasukkan beberapa snack saja ke dalam keranjang belanjaan tak lupa aku juga membelikan Bi Jana peralatan untuk Mandi. Saat sedang sibuk memilih beberapa roti, datang seorang perempuan modis ala perempuan kota metropolitan. Ia melepas kacamata hitamnya.
"Pantas saja, si Arya memilih perempuan yang lebih fresh, ternyata istrinya tidak bisa menyenangkan hati suami," ucapnya sambil berdiri di sampingku.
Aku melirik samping kiri, kanan, depan dan belakang tak ada orang itu artinya perempuan ini sedang berbicara denganku.
"Oh, iya lebih baik kamu pergi jauh dari kehidupan Arya, Arya berhak mendapatkan yang lebih," lanjutnya lagi.
Aku menghela napas, perempuan ini benar-benar tak tau malu, ingin rasanya kujambak lagi rambutnya seperti kemarin.
"Arya, bilang dia sangat mencintaiku. Kami saling mencintai," lanjutnya lagi, sambil memain-mainkan kacamata yang dipegangnya.
Oh astaga perempuan ini membuatku semakin emosi. Aku mendekat, mengguncang kepalanya, barangkali otaknya ketinggalan. Seketika membuatnya menjerit.
"Awww ... Dasar perempuan gi*a," ucapnya sambil tangannya melepaskan tanganku, setelah lepas ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dan menjauh. aku tertawa puas.
"Pergilah kau pencuri!" pekikku.
Matanya melotot menatap tak suka padaku. "Kau ...," ucapnya, telunjuknya mengarah padaku.
"Apa? dasar pencuri suami orang." aku melempar roti yang tadi ku pegang ke arahnya, membuatnya semakin geram. Dengan menghentakkan kaki akhirnya ia pergi meninggalkanku.
Oh shit!
Pagi-pagi perempuan itu sudah mengejutkan dan membuat bad mood, lihat saja aku tidak akan membuat kalian bersenang-senang dengan aku menyerah untuk merelakan Mas Arya pergi. Tidak akan!
Bersambung ...
Sesampainya di rumah, hatiku rasanya masih menyisahkan emosi sehabis bertemu perempuan itu, dengan perasaan jengkel aku memasukkan barang-barang yang tadi kubeli ke dalam kulkas. Snack, mie instan dan lainnya, tak lupa aku juga membeli sayur-mayur, daging dan juga ikan segar. Sebuah notif masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan dari Mas Arya. Aku sengaja tidak membukanya, apa lagi untuk membalasnya. Aku melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam kulkas.Selesai!Aku mengambil ponsel yang tadi kutaruh di atas kulkas. Lalu, menghubungi Hani sahabatku.[Han, lagi apa? Kalau gak sibuk pulang kerja mampir ya! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan] aku mengirim pesan pada Hani, tak lama kemudian pesanku di balas.[Oke, Bos] balasnya. Aku terkekeh, dasar si Hani. Kemudian pesan kembali masuk.[Jaga kesehatan ya!] pesan dari Mas Arya yang kesekian kalinya. Membuatku muak, percuma perhatian, tetapi ternyata tukang se*ingkuh.Aku membanting ponsel ke atas kasur dengan gusar. Lalu, berlalu p
Selesai makan aku dan Hani berencana pergi nge-gym sehabis Zuhur nanti. Ini pertama kalinya aku pergi nge-gym lagi, setelah menikah. Dulu, sebelum menikah, aku sering nge-gym dan mendatangi pusat kebugaran, menjaga pola makan dan penampilan. Setelah menikah Mas Arya selalu memanjakanku, memberikan segala yang kusuka, dan kuinginkan. Selain itu juga, keahliannya di bidang memasak, juga salah satu faktor tumbuh kembangnya lemak dalam tubuhku, sementara untuk berolah raga aku sudah jarang, bahkan hampir tak pernah."Ai, kamu sudah siap?" tanya Hani, saat keluar dari kamar mandi."Udah nih, ayo berangkat!" ucapku.Karena libur aku sengaja meminta Hani untuk menginap di sini, dan tentunya sudah izin sama orang tuanya. Aku mengeluarkan mobil dari garasi, memanaskan mesinnya sebentar, lalu keluar dari gerbang menuju jalan raya.Selama perjalanan Hani tak henti-hentinya bernyanyi, menirukan penyanyi aslinya, headset yang terpasang di telinganya membuatnya sesuka hati menumpahkan suara cempr
Sejak memutuskan untuk diet aku selalu rajin melakukan olah raga, mulai dari Jogging, crunch, cardio, plank, jumping jacks dan olah raga lainnya, yang bisa di lakukan di rumah. Biasanya sebelum berangkat kerja aku selalu menyempatkan diri untuk lari ditempat sebanyak 23 kali sama seperti usiaku. Sudah minggu ketiga aku melakukan diet, dan usahaku tidak tidak sia-sia, berat badanku benar-benar berkurang sebanyak 16 kg. Aku begitu merasa senang. Pagi ini, selesai salat subuh aku melangkah keluar kamar, menuruni anak tangga dan menuju dapur. Sebelum berolah raga, aku terlebih dulu membuat sarapan sehat untuk diet. Omelet sayur dan sandwich alpukat. Tak lupa satu gelas susu. "Lagi masak apa, Non?" Tiba-tiba suara Bi Jana mengagetkanku yang tengah asyik membuat omelet sayur. "Bibi! Ngagetin aja." seruku dengan jantung seakan mau copot. "Maaf, Non!" ucap Bi Jana merasa tak enak. "Emang, Non lagi masak apa? Kayaknya senang banget, Nonnya?" tanya Bi Jana lagi. "Ini, Bi aku lagi masak om
Aku terbangun dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing. Belum sepenuhnya sadar aku mengerjap perlahan, mengamati sekeliling sembari merapikan kepingan ingatan sebelum aku tertidur disini. Lalu, mencoba menggerakkan tangan dan bangun."Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku menoleh, ternyata Mas Arya, sejak kapan dia ada disini? ia tersenyun seraya beranjak dari kursinya, dan langsung membantuku bangun, dengan memegangi tanganku.Rasanya tetap terasa sama, hangat. Tetapi mengingat luka yang ditorehkannya membuatku langsung menarik tanganku.Bersamaan itu, Bi Jana pun datang sambil membawa nampan berisi satu gelas teh hangat di atasnya, terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Bi, aku kenapa?" tanyaku, setelah Bi Jana menaruh tehnya di atas nakas."Alhamdulillah syukurlah, Non sudah sadar. Tadi, Non pingsan di garasi, Bibi panik dan segera menelpon Den Arya." Bi Jana menjelaskan. "Untung, Den Arya segera datang," lanjutnya."Pi-pingsan, Bi?" Aku mengulang kalimat yang sama."Iya
Hari ini aku masih belum masuk kerja, setelah pingsan kemarin. Tubuhku masih terasa lemas, urusan Butik sudah kuserahkan pada Abel asistenku. Sementara pagi-pagi sekali, Mas Arya sudah berangkat kerja. Aku tidak menghiraukannya, terserah dia mau sarapan atau tidak, bukan urusanku. Semalam dia pun tidur di atas sofa.Saat bangun, mataku menangkap sesuatu di depan cermin, secarik kertas dengan tulisan 'Selamat pagi, perempuan cantik. Sehat selalu ya! I Love U' huh, Mas Arya selalu saja romantis, dasar bucin. Dia pikir aku akan luluh? Hatiku sudah kebal dengan rayuan receh seperti ini, sejak tahu ia telah membaginya dengan wanita lain, rasanya mulai terasa hambar.Aku beranjak dari atas tempat tidur, perlahan menuruni ranjang, setelah salat subuh aku tidur lagi, bangun-bangun sudah jam 07. Aku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri dan menggosok gigi."Bi, tolong buatin susu ya!" ucapku pada Bi Jana saat aku telah duduk di kursi meja makan."Baik, Non!" Sembari menunggu tanganku be
"Mbak Elma, tadi ke sini?" Mas Arya bertanya sambil melepas dasinya."Ya begitulah," jawabku acuh tak acuh dengan posisi berbaring di atas sofa, sembari memainkan ponsel."Apa, Mbak Elma ada menggangumu lagi?" Mas Arya masih bertanya, kini ia menghentikan aktivitasnya dan menatapku."Tidak, dia cuma ingin pinjam uang, dan aku tidak memberinya," ucapku santai, toh aku bukan lagi Aini yang dulu yang selalu nurut dengan keluarga Mas Arya. Mbak Elma pun ternyata tau prihal pernikahan Mas Arya dengan perempuan itu. Bahkan dia sendirilah yang terang-terangan memberitahuku.Sejak ia mengatakan bahwa Mas Arya sudah menikah lagi, sejak itu pula aku menganggapnya orang asing."Mas, minta maaf!" Suara Mas Arya terdengar menyesal. Ah, menyesalpun percuma nasi sudah menjadi bubur."Buat apa?" tanyaku, sambil terus memainkan ponsel. Biasanya saat Mas Arya pulang kerja aku selalu menyambutnya dengan hangat, membantunya melepas sepatu, dasi bahkan baju kemeja yang dikenakannya. Tetapi, itu dulu saat
Tiba di rumah, suasana nampak sepi dan lenggang. Sepertinya Mas Arya belum pulang. Aku segera menuju lantai atas, ingin segera melepas lelah dan penat dengan berendam di bathup. Saat membukakan pintu betapa terkejutnya aku, melihat pemandangan yang membuat emosiku seketika mendidih.Kulihat Anita dengan santainya sedang bersandar di kepala ranjang , sambil memakai baju tidurku. Menyadari kedatanganku, ia segera bangkit dan menghampiriku sambil melipatkan tangan di dada, dan tersenyum sinis. Pamandangan yang sangat wow bukan?"Mulai sekarang kamar ini, Butik jadi milikku, dan kamu harus angkat kaki dari rumah ini!" Telunjuknya mengarah ke wajahku, ia berucap begitu percaya diri, tanpa rasa malu.Ha, rasanya aku ingin tertawa melihat tingkahnya yang sudah seperti seorang bos, dan apa katanya aku harus angkat kaki dari rumah ini? Benar-benar lelucon."Atas dasar apa kamu menyuruhku pergi?" tanyaku santai.Anita tertawa seolah pertanyaanku terdengar lucu. "Jelas saja. Karena mulai sekara
Setelah Mas Arya dan Anita pergi aku terduduk lemas di atas sofa. Termenung memikirkan hal yang baru saja terjadi, kenapa Mas Arya begitu tega. Padahal jika dia benar-benar memikirkanku dia bisa meninggalkan perempuan itu. Tapi, nyatanya dia malah memilih perempuan itu.Apa kurangku selama ini, bahkan aku tak pernah menuntut untuk dinafkahi secara materi. Aku pun tak pernah menanyakan perihal keuangan kantor yang saat ini sepenuhnya kuserahkan padanya. Kenapa, Mas Arya tetap ingin bertahan dengan perempuan itu, jika benar ia merasa pernikahannya adalah sebuah keterpaksaan? Sebuah tanya memenuhi kepala, Pikiranku meracau tak karu-karuan, dan membuat pening."Non, Bibi minta maaf ya!" Bi Jana datang, pelan ia berjalanmenghampiriku, dengan wajah takut-takut, dan tak enak.Aku tersenyum, berusaha mengurai sesuasana yang terasa tegang. lalu, menggenggam tanga Bi Jana. "Gak apa-apa, Bi. Ini bukan salah, Bibi." ucapku berusaha untuk tegar, agar terlihat baik-baik saja."Tapi, gara-gara, Bib
Akhirnya kami terpaksa pergi dari rumah yang sudah lama kuimpikan menjadi Nyonya di dalamnya. Tentunya aku tak kan kehabisan akal sudah kepalang basah biar sekalian nyebur saja.Bagaimanapun caranya Mas Arya harus kembali ke rumah itu dan meminta maaf. Aku tidak mau kalau mas Arya dan Aini sampai bercerai dan aku tidak dapat apa-apa. Aku harus memperjuangkan hak anak ini, apapun caranya ia tidak boleh hidup dalam kemiskinan.Saat kami tiba di mobil, Mas Arya begitu terlihat marah dan malah ingin menceraikanku, enak saja habis manis sepah di buang setidaknya ia pernah mencicipi madu manisku, meski anak yang dalam kandungan ini bukan anaknya.Setelah kuberi tahu kalau aku lagi hamil, wajahnya seketika berubah. Ada binar bahagia dari kedua matanya. Ia benar-benar terlihat senang. Saat itulah aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan membujuknya agar kembali ke rumah Aini."Baiklah," ucap Mas Arya akhirnya melemah, dan kami kembali ke apartemen sumpek itu, sungguh menyebalkan. Tenang,
Aku bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper berukuran besar. Hari ini aku akan pindah dan tinggal di rumah Mas Arya. Dia pasti senang melihat kedatanganku, aku tersenyum membayangkan wajah bahagia Mas Arya, sembari terus memasukkan pakaian ke dalam koper. Tetapi, bagaimana dengan Aini, ah itu bukan masalah besar, untuk itu biar kuurus nanti.Kenapa juga kuharus memikirkan perempuan itu, bukankah dia juga hidup menumpang dengan Mas Arya? Jadi, mana bisa dia bisa menghalangiku.Semua pakaian telah tersusun rapi dalam koper, aku segera menutupnya dan memesan taksi online. Aku sengaja tidak minta di jemput MasArya karena ini kejutan untuknya.Aku sudah berada di depan rumah besar milik Mas Arya dengan perasaan senang, aku tidak sabar bertemu Mas Arya.Dengan langkah tergesa aku segera menuju pintu utama, menekan bel pintu beberapa kali barulah keluar perempuan tua dan gendut dari dalam."Lama amat sih," ketusku saat daun pintu mewah itu terbuka lebar hingga menampakkan isi di dalamnya.
Sebal banget rasanya melihat Mas Arya datang ke acara pertunangan teman sekantor bersama istrinya yang gendut itu. Sudah pasti aku tidak akan bisa bersamanya, padahal aku sudah dandan habis-habisan agar Mas Arya tak berpaling dariku.Lelaki yang sudah susah payah kudapatkan, dengan cara menjebaknya. Siapa yang tidak menyukai laki-laki tampan, mapan, baik, lagi perhatian. Ya dia Arya lelaki yang kukenal sebagai atasanku itu memang terlihat menawan, perempuan mana yang tidak menginginkan bisa hidup mendampinginya. Berbagai rayuan sudah kulakukan, tetapi tidak mempan. Hem ... Tipe lelaki setia, pikirku. Aku hampir kehabisan akal agar Arya bisa tertarik denganku, hingga muncul ide gila untuk menjebaknya. Sebelumnya aku sudah mempunyai pacar namanya Doni, lelaki pengangguran dan pemabuk kerjaan hanya menghabiskan uang. Kalau soal tampan memang tidak kalah sama Arya tetapi tampan saja tidak cukup.Hingga tiba saat aku melancarkan aksiku untuk menjebak Arya, dengan pura-pura minta dibenari
Belum hilang rasa keterkejutan dari wajah Mas Arya, atas kebohongan Anita selama ini, aku sudah memberinya sebuah kejutan baru dengan memberinya surat. Aku meletakkannya di atas meja persegi ruang tamu saat Mas Arya tengah duduk termenung."Apa ini, Ai?" tanya Mas Arya ia mendongakan wajahnya menatap lurus ke mataku."Baca saja, Mas," ucapku pelan.Tangan Mas Arya mulai membuka lembaran surat tersebut dengan pelan, setelahnya matanya mulai berkaca-kaca."Baiklah, kalau itu maumu!" balas Mas Arya pelan. Saat ini tidak ada lagi penolakan darinya, mungkin ia menyadari betapa terlukanya hatiku atas tindakan bodohnya.Ia pun bangkit, perlahan menaiki tangga menuju lantai atas, entah apa yang akan dilakukannya. Tidak lama kemudian, ia turun dengan membawa koper."Jaga dirimu baik-baik, Ai!" pelan Mas Arya berucap. Rasanya hatiku, terenyuh. Ah tidak! Aku tidak boleh luluh."Tentu, aku akan menjaga diriku dengan baik," tegasku, aku memalingkan wajah tak berani menatapnya. Jika benar apa yang
Rasanya capek juga setelah menangis berjam-jam. Akhirnya aku memutuskan pulang, dan beristirahat. Merebahakan diri di atas kasur, perlahan mata pun mulai terpejam.Aku terbangun saat ponselku berdering, aku meraba-raba mencari keberadaan benda pipih itu, setelah dapat ku geser tombol warna hijau tersebut, lalu telpon pun terhubung."Iya, hallo," jawabku masih menahan kantuk."Ai, bisa bertemu sekarang? ada hal penting yang ingin kukasih tau, dan tidak bisa dibicarakan lewat telpon," tegas Hardi di ujung ponsel.Aku yang sejak tadi masih dengan posisi berbaring, seketika bangkit, mengubah posisi menjadi duduk."Dimana?" tanyaku, rasa kantuk pun menjadi hilang mendengar berita dari Hardi sepertinya ini benar-benar penting."Di tempat biasa," balasnya singkat."Oke, aku ke sana sekarang." Kami pun mengakhiri topik pembicaraan, dan aku pun segera mencuci muka, dan memoles bedak tipis, lalu segera pergi menemui Hardi."Maaf! Lama nunggunya," ucapku setelah sampai. Lalu,"Its oke," jawabny
Aku termenung teringat pristiwa di rumah sakit kemarin, betapa terkejutnya saat mengetahui kalau ternyata Mama Wati adalah Mama Sila. Itu artinya, Anita?Ah! memikirkan itu membuat kepala terasa pening. Aku harus bertemu Mama Sila, iya harus! Aku menyambar tas yang tergeletak di atas kasur, dan ponsel di atas nakas. Lalu melangkah keluar menuruni anak tangga dengan langkah tergesa.Perlahan mobil yang kukendarai mulai menjauh dari pekarangan rumah, meninggalkan istana tempat tinggal selama ini. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera sampai, dan bertemu Mama Sila mendengar penjelasan langsung dari bibirnya.Setelah menempuh perjalannya sekitar 20 menit, akhirnya aku tiba, setelah memarkirkan mobil pada sisi jalan, aku pun lekas turun, dan melangkah menuju pintu utama. sejenak aku terdiam berdiri di depan pintu rumah Mama. Tanganku bersiap untuk mengetuk pintu, sembari menghela napas beberapa kali, menetralisirkan kecanggungan yang tengah menguasai hati. Saat tangan sudah terangkat d
Perlahan aku mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar, tempat ini sangat asing, dan hanya diisi barang-barang bekas. Aku menggerakkan tubuh, bagian punggung begitu terasa nyeri, akibat pukulan keras tadi. Baru sadar kedua tangan dan kaki terikat sementara mulut tertutup sebuah selotip.Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri yang kini tengah duduk di atas kursi dalam keadaan terikat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dari arah pintu, seringainya begitu mengerikan ia melangkah mendekat."Rupanya kau sudah sadar," ucapnya, lalu membuka selotif yang menutup bagian mulutku dengan kasar membuat bibirku terasa begitu perih."Siapa kau? Lepaskan aku? Kenapa kau menyekapku?" Cercaku dengan berbagai pertanyaan.Ia tersenyum miring. "Siapa aku itu tidak penting, ah iya kenapa aku menyekapmu karena kau terlalu banyak tau, Nona," ucapnya lembut tapi penuh arti."Katakan apa maumu?" tanyaku penuh emosi.Ia kembali tersenyum, "Mauku, kau duduk manis saja di sini." Lelak
Setelah pulang dari bertemu Hardi aku melenggang masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Arya sedang makan dengan disuapi Anita. Aku menghela napas, sepertinya Mas Arya sungguhan sakit sampai makan pun harus dibantu oleh gundiknya.Melihat kedatanganku Anita menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan tatapan sinis."Dari mana saja kamu, Mbak? Mas Arya lagi sakit malah keluyuran." Anita melayangkan pertanyaan dengan nada tidak suka."Bukan urusanmu, dan mengenai Mas Arya bukankah sudah ada kamu yang mengurus," ketusku sambil melipatkan tangan di dada. Huh! Enak saja aku harus mengurus Mas Arya, sementara dia mau enaknya saja.Anita terlihat gusar, dan ingin mendebatku lagi. Tetapi, segera ditahan oleh Mas Arya. Mas Arya pun beranjak dari duduknya dan menghampiriku, kini tatapan matanya begitu sendu, tidak lagi bengis seperti kemarin. Oh Mas Aryaku sungguh menyedihkannya dirimu, melihatmu aku jadi kasian."Ai, soal kemarin, M-mas minta m-maaf," pelan Mas Arya berucap, wajahnya kini sunggu
Pagi-pagi sekali Anita sudah ribut karena mendapati Mas Arya pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan, sepertinya Mas Arya mabuk. Aku yang lagi duduk santai di teras depan pura-pura tidak melihat, dan terus sibuk membaca koran, melihat berita yang di muat hari ini.Mas Arya berjalan sempoyongan, aroma alkohol mengusik indra penciumanku. Tiba di depan pintu, tubuh Mas Arya terjatuh dan tak sadarkan diri, Anita pun kaget."Mbak, tolongin, Mas Arya!" teriaknya gelagapan, seperti melihat orang yang mati saja."Ya tinggal diangkat, Nit," ucapku santai, pandangan mataku tetap fokus pada koran yang kupegang. "Jangan mau enaknya saja! Giliran Mas Arya kayak gitu gak mau ngurusnya," cicitku yang masih tetap fokus membolak-balik koran yang kupegang.Aku tidak peduli ekpresi apa yang akan ditunjukkannya, dan aku juga tidak peduli Mas Arya mau pingsan ataupun mati sekalian. Hatiku begitu sakit menerima perlakuan kasarnya kemarin sore. Lelaki lemah lembut dan penuh perhatian itu kini sudah ber