'Kesetian seseorang tidak diukur berapa besar rasa perhatiannya padamu. Tetapi, bagaimana cara ia menjaga hati saat jauh darimu'
*
Mataku mengerjap saat jam beker berdering nyaring di atas nakas, antara sadar dan tidak tanganku menggapai-gapai jam beker, dan berniat mematikannya. Setelahnya, aku kembali tertidur. Lagi-lagi jam beker terus berdering, mataku memicing menatap jam beker dalam genggamanku, pukul menunjukkan 04.40 WIB, aku segera bangun. Kulihat Mas Arya masih tertidur pulas, dengan dengkuran halus khasnya. Mengingat semalam aku tertidur, saat dalam perjalanan pulang, aku tersenyum geli pasti Mas Arya kepayahan menggendongku dari dalam mobil sampai ke kamar.
Aku menuruni ranjang, melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan menggosok gigi. Setelahnya aku membangunkan Mas Arya untuk melaksanakan dua rakaat, setidaknya begini-begini aku masih ingat Tuhan, bagaimanapun akulah yang membutuhkan Sang Pencipta. Tetapi, Mas Arya masih bergeming. Akhirnya aku memilih untuk melaksanakan salat sendiri.
Usai salat aku melipat mukena dan meletakkannya di atas nakas, dan kembali membangunkan Mas Arya. Aku mengguncang tubuhnya pelan.
"Mas, bangun sudah subuh!" ucapku mendekat kearah kupingnya.
Mas Arya menggeliat dan menarik tubuh sintalku dalam dekapannya, aku berontak minta untuk dilepaskan.
"Ayo, Mas bangun sudah subuh!"
Dengan ogah-ogahan akhirnya Mas Arya memilih bangkit, ketimbang berdebat denganku. Aku terkekeh, melihat tingkahnya yang menggemaskan.
Setelah Mas Arya masuk ke dalam kamar mandi, aku menekan handle pintu, melangkah ke luar menuruni anak tangga. Tujuanku adalah dapur tentunya, menyiapkan sarapan untuk aku dan Mas Arya, sekalian membuat bekal untuknya. Meskipun ada Bi Jana, sebagai istri aku pun ingin membuatkan sarapan untuk suami tersayang.
Pagi ini aku akan memasak nasi goreng udang kesukaanku dan Mas Arya. Tidak lupa bekal untuknya makan siang. Setelah selesai aku menatanya di atas meja, dua piring nasi goreng udang, dan dua gelas teh panas.
Tidak lama Mas Arya pun turun, ia sudah terlihat rapi dengan kameja biru langit dan jas hitamnya. Rambutnya disisir ke belakang, Mas Arya terlihat begitu tampan, dengan kharismatik yang ia miliki. Hati ini selalu jatuh cinta saat melihatnya, apa lagi dengan perhatian yang selalu ia berikan.
"Pagi, Sayang," sapanya sambil mengecup kedua pipiku. Aku tersenyum bahagia, meski belum memiliki seorang anak tak menyurutkan rasa kasihnya, begitulah yang selalu kurasakan.
"Em, wanginya." Mas Arya mengenduskan hidungnya. Aku tertawa kecil.
"Aku sangat lapar, Honey," ucapnya sambil menghempaskan pantatnya di kursi berseberangan denganku. Lalu, Mas Arya mengakat sendok dan garpu yang sudah tertata di atas piring.
Mas Arya menyendokan nasi goreng ke dalam mulutnya. "Wow, ini enak banget, Honey," pujinya. "Kamu harus cobain, Aaaa ...." Mulut Mas Arya ikut terbuka. Aku terkekeh lalu ikut membuka mulut dan menyambut makanan yang disodorkannya.
Mas Arya melirik jam di pergelangannya. Lalu cepat-cepat menghabiskan makanannya.
"Pelan-pelan, Mas!" ucapku melihat Mas Arya begitu terburu-buru.
Mas Arya pun tersenyum, dan meneguk teh di samping piringnya. Setelahnya ia pun pamit untuk pergi ke kantor. Seperti biasa aku mengantarkannya sampai pintu depan, menyambut tangannya lalu ia akan mengecup keningku.
"Hati-hati, Mas," ucapku sembari melambaikan tangan. Mas Arya mengacungkan jempolnya sebagai tanda oke.
Setelah mobil Mas Arya keluar dari garasi aku kembali masuk ke dalam, membereskan sisa makanan yang masih berserakan di atas meja, dan menaruhnya di wastafel.
Astaga! Bekal untuk Mas Arya ketinggalan, aku berlari menuju ke depan sambil membawa bekal untuk Mas Arya, sebuah kekonyolan mobil Mas Arya pasti sudah menjauh.
Aku mengendikkan bahu, mau bagaimana lagi aku akan mengantarkannya ke kantor Mas Arya. Sebelumnya aku segera membereskan cucian piring bekas tadi kami makan. Lalu, berjalan ke lantai atas, menuju kamar. Aku mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Tak lupa sweeter abu-abu yang kugantung di balik pintu.
Aku segera mengeluarkan mobil dari garasi menuju kantor dimana Mas Arya bekerja. Setelah sampai, aku memarkirkan mobil, security yang jaga pos depan tunduk hormat.
"Mau ketemu Bapak, Bu?" tanyanya ramah. Aku hanya mengangguk kecil lalu tersenyum.
Aku tersenyum bahagia, Mas Arya pasti senang dan kaget melihat kedatanganku, membawakan bekalnya yang tertinggal. Saat di depan pintu ruangan Mas Arya tubuhku bergetar, pemandangan yang membuat tubuhku terasa lemas tersugu begitu nyata, Pintu yang sedikit terbuka membuat mata ini langsung bisa melihatnya.
Seorang perempuan tengah memeluk tubuh Mas Arya, setelahnya Mas Arya dengan lembut mengecup dahi perempuan itu dengan mesra. Apa ini? Aku menepuk kedua pipiku, rasanya sakit dan ini bukan mimpi. Tak lama kemudian Mas Arya sibuk mengangkat telpon dan menuju pintu luar aku segera menepi ke dinding, menyembunyikan wajahku dibalik topi sweeter yang ku kenakan.
Aku segera memasang masker yang sengaja kulepas dan memasangkan topi sweeter ke kepalaku, lalu masuk ke dalam ruangan Mas Arya.
Tanpa ba-bi-bu aku menarik rambut perempuan itu dengan kuat, ia menjerit kesakitan.
"Dasar ja*ang," pekikku.
"Auuu ... Siapa kamu? Dasar orang gi*a lepaskan!" teriaknya histeris.
"Jauhi, Arya kalau kau masih ingin hidup," ancamku. Kemudian aku menyentak rambutnya dengan kuat, hingga membuatnya hampir terjatuh ke lantai wajahnya terlihat pias, dan ketakutan.
"Dasar orang gi*a." Tangannya terangkat bersiap ingin menamparku, dengan sigap aku menangkisnya dan kembali menyentakkannya.
Aku kembali mendekat, mengelus-ngelus rambutnya dan tersenyum jahat. "Jangan pernah dekati Arya lagi!" Ancamku tegas, ia kembali gemetar ketakutan. Dalam hati aku tertawa puas.
bekal yang tadinya kubawa untuk Mas Arya segera ku ambil lagi, aku tak sudi memberi bekal yang sudah ku buat dengan ketulusan pada lelaki pengkhianat itu. lalu aku pun segera pergi meninggalkan ruangan Mas Arya.
Bre*gsek beraninya lelaki tak tau diri itu bermain gila di belakangku, dan ja*ang itu beraninya menggoda Mas Arya. Mereka sudah menyulut api, lihat saja kalian akan menanggung apa yang kalian perbuat, hukum tabur tuai akan membuat kalian menyesal.
Bersambung ...
Aku tengah mengupas buah naga di balkon kamar, sembari menikmati sunset sore. Mas Arya menghampiriku. Memeluk tubuhku dari belakang, lalu mencium pipiku seperti yang sering ia lakukan sehabis pulang kerja. Aku bergeming tidak menanggapi seperti biasanya, mengingat bagaimana ia telah membagi pelukan dan ciuman itu pada wanita lain. Setelahnya Mas Arya duduk di samping kiriku."Sayang, apa tadi pagi kamu ke kantor?" Tangannya mengambil potongan buah yang telah ku potong di atas piring. "Sepertinya Mas melihat mobilmu di parkiran," tanyanya lagi memecah kesunyian.Aku masih diam sembari terus mengupas buah naga kedua, tanpa sengaja tanganku teriris, darah segar keluar dari bagian luka di tanganku."Hei, Honey tanganmu terluka!" Menyadari itu Mas Arya dengan sigap meraih tanganku dan memasukkannya ke dalam mulutnya agar darahnya berhenti mengalir.Lelaki ini, kenapa begitu pintar bersandiwara? Aku segera menarik tanganku."Ini tidak seberapa sakit dari luka yang kamu buat," ucapku santai.
Permisi, Mbak ada paket untuk, Mbak!" ucap Mas kurir, sembari menyerahkan sebuah paket berukuran persegi."Pa-paket?" tanyaku heran. "Rasanya saya tidak pernah memesan barang!" Tanganku terulur menerima paket yang diberikan Mas kurir."Saya hanya mengantarkan sesuai alamat pesanan, Mbak," balasnya sambil tersrnyum. "Silahkan tanda tangan di sini, Mbak," sambungnya lagi sambil memberikan sebuah surat tanda terima paket.Aku pun menanda tangani kertas yang disodorkan Mas kurir tersebut. Setelahnya Mas kurir pun pamit. Karena rasa penasaran aku segera membuka paketnya.'Hallo, Mbak apa kabarmu? Aku ingin mengembalikan jam tangan Mas Arya, kemarin malam ketinggalan di kamarku, setelah kami memadu kasih'Seketika rasanya darah di kepalaku mendidih, membaca pesan ja*ang itu. Bre*gsek beraninya dia mengirim ini untukku. Aku meremas kertasnya lalu melemparnya dengan kuat.Kedebug!"Aww ...," pekikku.Tanganku menghantam pintu kamar, seketika aku pun terbangun. Entah sudah berapa lama aku me
Sesampainya di rumah, hatiku rasanya masih menyisahkan emosi sehabis bertemu perempuan itu, dengan perasaan jengkel aku memasukkan barang-barang yang tadi kubeli ke dalam kulkas. Snack, mie instan dan lainnya, tak lupa aku juga membeli sayur-mayur, daging dan juga ikan segar. Sebuah notif masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan dari Mas Arya. Aku sengaja tidak membukanya, apa lagi untuk membalasnya. Aku melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam kulkas.Selesai!Aku mengambil ponsel yang tadi kutaruh di atas kulkas. Lalu, menghubungi Hani sahabatku.[Han, lagi apa? Kalau gak sibuk pulang kerja mampir ya! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan] aku mengirim pesan pada Hani, tak lama kemudian pesanku di balas.[Oke, Bos] balasnya. Aku terkekeh, dasar si Hani. Kemudian pesan kembali masuk.[Jaga kesehatan ya!] pesan dari Mas Arya yang kesekian kalinya. Membuatku muak, percuma perhatian, tetapi ternyata tukang se*ingkuh.Aku membanting ponsel ke atas kasur dengan gusar. Lalu, berlalu p
Selesai makan aku dan Hani berencana pergi nge-gym sehabis Zuhur nanti. Ini pertama kalinya aku pergi nge-gym lagi, setelah menikah. Dulu, sebelum menikah, aku sering nge-gym dan mendatangi pusat kebugaran, menjaga pola makan dan penampilan. Setelah menikah Mas Arya selalu memanjakanku, memberikan segala yang kusuka, dan kuinginkan. Selain itu juga, keahliannya di bidang memasak, juga salah satu faktor tumbuh kembangnya lemak dalam tubuhku, sementara untuk berolah raga aku sudah jarang, bahkan hampir tak pernah."Ai, kamu sudah siap?" tanya Hani, saat keluar dari kamar mandi."Udah nih, ayo berangkat!" ucapku.Karena libur aku sengaja meminta Hani untuk menginap di sini, dan tentunya sudah izin sama orang tuanya. Aku mengeluarkan mobil dari garasi, memanaskan mesinnya sebentar, lalu keluar dari gerbang menuju jalan raya.Selama perjalanan Hani tak henti-hentinya bernyanyi, menirukan penyanyi aslinya, headset yang terpasang di telinganya membuatnya sesuka hati menumpahkan suara cempr
Sejak memutuskan untuk diet aku selalu rajin melakukan olah raga, mulai dari Jogging, crunch, cardio, plank, jumping jacks dan olah raga lainnya, yang bisa di lakukan di rumah. Biasanya sebelum berangkat kerja aku selalu menyempatkan diri untuk lari ditempat sebanyak 23 kali sama seperti usiaku. Sudah minggu ketiga aku melakukan diet, dan usahaku tidak tidak sia-sia, berat badanku benar-benar berkurang sebanyak 16 kg. Aku begitu merasa senang. Pagi ini, selesai salat subuh aku melangkah keluar kamar, menuruni anak tangga dan menuju dapur. Sebelum berolah raga, aku terlebih dulu membuat sarapan sehat untuk diet. Omelet sayur dan sandwich alpukat. Tak lupa satu gelas susu. "Lagi masak apa, Non?" Tiba-tiba suara Bi Jana mengagetkanku yang tengah asyik membuat omelet sayur. "Bibi! Ngagetin aja." seruku dengan jantung seakan mau copot. "Maaf, Non!" ucap Bi Jana merasa tak enak. "Emang, Non lagi masak apa? Kayaknya senang banget, Nonnya?" tanya Bi Jana lagi. "Ini, Bi aku lagi masak om
Aku terbangun dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing. Belum sepenuhnya sadar aku mengerjap perlahan, mengamati sekeliling sembari merapikan kepingan ingatan sebelum aku tertidur disini. Lalu, mencoba menggerakkan tangan dan bangun."Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku menoleh, ternyata Mas Arya, sejak kapan dia ada disini? ia tersenyun seraya beranjak dari kursinya, dan langsung membantuku bangun, dengan memegangi tanganku.Rasanya tetap terasa sama, hangat. Tetapi mengingat luka yang ditorehkannya membuatku langsung menarik tanganku.Bersamaan itu, Bi Jana pun datang sambil membawa nampan berisi satu gelas teh hangat di atasnya, terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Bi, aku kenapa?" tanyaku, setelah Bi Jana menaruh tehnya di atas nakas."Alhamdulillah syukurlah, Non sudah sadar. Tadi, Non pingsan di garasi, Bibi panik dan segera menelpon Den Arya." Bi Jana menjelaskan. "Untung, Den Arya segera datang," lanjutnya."Pi-pingsan, Bi?" Aku mengulang kalimat yang sama."Iya
Hari ini aku masih belum masuk kerja, setelah pingsan kemarin. Tubuhku masih terasa lemas, urusan Butik sudah kuserahkan pada Abel asistenku. Sementara pagi-pagi sekali, Mas Arya sudah berangkat kerja. Aku tidak menghiraukannya, terserah dia mau sarapan atau tidak, bukan urusanku. Semalam dia pun tidur di atas sofa.Saat bangun, mataku menangkap sesuatu di depan cermin, secarik kertas dengan tulisan 'Selamat pagi, perempuan cantik. Sehat selalu ya! I Love U' huh, Mas Arya selalu saja romantis, dasar bucin. Dia pikir aku akan luluh? Hatiku sudah kebal dengan rayuan receh seperti ini, sejak tahu ia telah membaginya dengan wanita lain, rasanya mulai terasa hambar.Aku beranjak dari atas tempat tidur, perlahan menuruni ranjang, setelah salat subuh aku tidur lagi, bangun-bangun sudah jam 07. Aku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri dan menggosok gigi."Bi, tolong buatin susu ya!" ucapku pada Bi Jana saat aku telah duduk di kursi meja makan."Baik, Non!" Sembari menunggu tanganku be
"Mbak Elma, tadi ke sini?" Mas Arya bertanya sambil melepas dasinya."Ya begitulah," jawabku acuh tak acuh dengan posisi berbaring di atas sofa, sembari memainkan ponsel."Apa, Mbak Elma ada menggangumu lagi?" Mas Arya masih bertanya, kini ia menghentikan aktivitasnya dan menatapku."Tidak, dia cuma ingin pinjam uang, dan aku tidak memberinya," ucapku santai, toh aku bukan lagi Aini yang dulu yang selalu nurut dengan keluarga Mas Arya. Mbak Elma pun ternyata tau prihal pernikahan Mas Arya dengan perempuan itu. Bahkan dia sendirilah yang terang-terangan memberitahuku.Sejak ia mengatakan bahwa Mas Arya sudah menikah lagi, sejak itu pula aku menganggapnya orang asing."Mas, minta maaf!" Suara Mas Arya terdengar menyesal. Ah, menyesalpun percuma nasi sudah menjadi bubur."Buat apa?" tanyaku, sambil terus memainkan ponsel. Biasanya saat Mas Arya pulang kerja aku selalu menyambutnya dengan hangat, membantunya melepas sepatu, dasi bahkan baju kemeja yang dikenakannya. Tetapi, itu dulu saat
Akhirnya kami terpaksa pergi dari rumah yang sudah lama kuimpikan menjadi Nyonya di dalamnya. Tentunya aku tak kan kehabisan akal sudah kepalang basah biar sekalian nyebur saja.Bagaimanapun caranya Mas Arya harus kembali ke rumah itu dan meminta maaf. Aku tidak mau kalau mas Arya dan Aini sampai bercerai dan aku tidak dapat apa-apa. Aku harus memperjuangkan hak anak ini, apapun caranya ia tidak boleh hidup dalam kemiskinan.Saat kami tiba di mobil, Mas Arya begitu terlihat marah dan malah ingin menceraikanku, enak saja habis manis sepah di buang setidaknya ia pernah mencicipi madu manisku, meski anak yang dalam kandungan ini bukan anaknya.Setelah kuberi tahu kalau aku lagi hamil, wajahnya seketika berubah. Ada binar bahagia dari kedua matanya. Ia benar-benar terlihat senang. Saat itulah aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan membujuknya agar kembali ke rumah Aini."Baiklah," ucap Mas Arya akhirnya melemah, dan kami kembali ke apartemen sumpek itu, sungguh menyebalkan. Tenang,
Aku bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper berukuran besar. Hari ini aku akan pindah dan tinggal di rumah Mas Arya. Dia pasti senang melihat kedatanganku, aku tersenyum membayangkan wajah bahagia Mas Arya, sembari terus memasukkan pakaian ke dalam koper. Tetapi, bagaimana dengan Aini, ah itu bukan masalah besar, untuk itu biar kuurus nanti.Kenapa juga kuharus memikirkan perempuan itu, bukankah dia juga hidup menumpang dengan Mas Arya? Jadi, mana bisa dia bisa menghalangiku.Semua pakaian telah tersusun rapi dalam koper, aku segera menutupnya dan memesan taksi online. Aku sengaja tidak minta di jemput MasArya karena ini kejutan untuknya.Aku sudah berada di depan rumah besar milik Mas Arya dengan perasaan senang, aku tidak sabar bertemu Mas Arya.Dengan langkah tergesa aku segera menuju pintu utama, menekan bel pintu beberapa kali barulah keluar perempuan tua dan gendut dari dalam."Lama amat sih," ketusku saat daun pintu mewah itu terbuka lebar hingga menampakkan isi di dalamnya.
Sebal banget rasanya melihat Mas Arya datang ke acara pertunangan teman sekantor bersama istrinya yang gendut itu. Sudah pasti aku tidak akan bisa bersamanya, padahal aku sudah dandan habis-habisan agar Mas Arya tak berpaling dariku.Lelaki yang sudah susah payah kudapatkan, dengan cara menjebaknya. Siapa yang tidak menyukai laki-laki tampan, mapan, baik, lagi perhatian. Ya dia Arya lelaki yang kukenal sebagai atasanku itu memang terlihat menawan, perempuan mana yang tidak menginginkan bisa hidup mendampinginya. Berbagai rayuan sudah kulakukan, tetapi tidak mempan. Hem ... Tipe lelaki setia, pikirku. Aku hampir kehabisan akal agar Arya bisa tertarik denganku, hingga muncul ide gila untuk menjebaknya. Sebelumnya aku sudah mempunyai pacar namanya Doni, lelaki pengangguran dan pemabuk kerjaan hanya menghabiskan uang. Kalau soal tampan memang tidak kalah sama Arya tetapi tampan saja tidak cukup.Hingga tiba saat aku melancarkan aksiku untuk menjebak Arya, dengan pura-pura minta dibenari
Belum hilang rasa keterkejutan dari wajah Mas Arya, atas kebohongan Anita selama ini, aku sudah memberinya sebuah kejutan baru dengan memberinya surat. Aku meletakkannya di atas meja persegi ruang tamu saat Mas Arya tengah duduk termenung."Apa ini, Ai?" tanya Mas Arya ia mendongakan wajahnya menatap lurus ke mataku."Baca saja, Mas," ucapku pelan.Tangan Mas Arya mulai membuka lembaran surat tersebut dengan pelan, setelahnya matanya mulai berkaca-kaca."Baiklah, kalau itu maumu!" balas Mas Arya pelan. Saat ini tidak ada lagi penolakan darinya, mungkin ia menyadari betapa terlukanya hatiku atas tindakan bodohnya.Ia pun bangkit, perlahan menaiki tangga menuju lantai atas, entah apa yang akan dilakukannya. Tidak lama kemudian, ia turun dengan membawa koper."Jaga dirimu baik-baik, Ai!" pelan Mas Arya berucap. Rasanya hatiku, terenyuh. Ah tidak! Aku tidak boleh luluh."Tentu, aku akan menjaga diriku dengan baik," tegasku, aku memalingkan wajah tak berani menatapnya. Jika benar apa yang
Rasanya capek juga setelah menangis berjam-jam. Akhirnya aku memutuskan pulang, dan beristirahat. Merebahakan diri di atas kasur, perlahan mata pun mulai terpejam.Aku terbangun saat ponselku berdering, aku meraba-raba mencari keberadaan benda pipih itu, setelah dapat ku geser tombol warna hijau tersebut, lalu telpon pun terhubung."Iya, hallo," jawabku masih menahan kantuk."Ai, bisa bertemu sekarang? ada hal penting yang ingin kukasih tau, dan tidak bisa dibicarakan lewat telpon," tegas Hardi di ujung ponsel.Aku yang sejak tadi masih dengan posisi berbaring, seketika bangkit, mengubah posisi menjadi duduk."Dimana?" tanyaku, rasa kantuk pun menjadi hilang mendengar berita dari Hardi sepertinya ini benar-benar penting."Di tempat biasa," balasnya singkat."Oke, aku ke sana sekarang." Kami pun mengakhiri topik pembicaraan, dan aku pun segera mencuci muka, dan memoles bedak tipis, lalu segera pergi menemui Hardi."Maaf! Lama nunggunya," ucapku setelah sampai. Lalu,"Its oke," jawabny
Aku termenung teringat pristiwa di rumah sakit kemarin, betapa terkejutnya saat mengetahui kalau ternyata Mama Wati adalah Mama Sila. Itu artinya, Anita?Ah! memikirkan itu membuat kepala terasa pening. Aku harus bertemu Mama Sila, iya harus! Aku menyambar tas yang tergeletak di atas kasur, dan ponsel di atas nakas. Lalu melangkah keluar menuruni anak tangga dengan langkah tergesa.Perlahan mobil yang kukendarai mulai menjauh dari pekarangan rumah, meninggalkan istana tempat tinggal selama ini. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera sampai, dan bertemu Mama Sila mendengar penjelasan langsung dari bibirnya.Setelah menempuh perjalannya sekitar 20 menit, akhirnya aku tiba, setelah memarkirkan mobil pada sisi jalan, aku pun lekas turun, dan melangkah menuju pintu utama. sejenak aku terdiam berdiri di depan pintu rumah Mama. Tanganku bersiap untuk mengetuk pintu, sembari menghela napas beberapa kali, menetralisirkan kecanggungan yang tengah menguasai hati. Saat tangan sudah terangkat d
Perlahan aku mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar, tempat ini sangat asing, dan hanya diisi barang-barang bekas. Aku menggerakkan tubuh, bagian punggung begitu terasa nyeri, akibat pukulan keras tadi. Baru sadar kedua tangan dan kaki terikat sementara mulut tertutup sebuah selotip.Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri yang kini tengah duduk di atas kursi dalam keadaan terikat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dari arah pintu, seringainya begitu mengerikan ia melangkah mendekat."Rupanya kau sudah sadar," ucapnya, lalu membuka selotif yang menutup bagian mulutku dengan kasar membuat bibirku terasa begitu perih."Siapa kau? Lepaskan aku? Kenapa kau menyekapku?" Cercaku dengan berbagai pertanyaan.Ia tersenyum miring. "Siapa aku itu tidak penting, ah iya kenapa aku menyekapmu karena kau terlalu banyak tau, Nona," ucapnya lembut tapi penuh arti."Katakan apa maumu?" tanyaku penuh emosi.Ia kembali tersenyum, "Mauku, kau duduk manis saja di sini." Lelak
Setelah pulang dari bertemu Hardi aku melenggang masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Arya sedang makan dengan disuapi Anita. Aku menghela napas, sepertinya Mas Arya sungguhan sakit sampai makan pun harus dibantu oleh gundiknya.Melihat kedatanganku Anita menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan tatapan sinis."Dari mana saja kamu, Mbak? Mas Arya lagi sakit malah keluyuran." Anita melayangkan pertanyaan dengan nada tidak suka."Bukan urusanmu, dan mengenai Mas Arya bukankah sudah ada kamu yang mengurus," ketusku sambil melipatkan tangan di dada. Huh! Enak saja aku harus mengurus Mas Arya, sementara dia mau enaknya saja.Anita terlihat gusar, dan ingin mendebatku lagi. Tetapi, segera ditahan oleh Mas Arya. Mas Arya pun beranjak dari duduknya dan menghampiriku, kini tatapan matanya begitu sendu, tidak lagi bengis seperti kemarin. Oh Mas Aryaku sungguh menyedihkannya dirimu, melihatmu aku jadi kasian."Ai, soal kemarin, M-mas minta m-maaf," pelan Mas Arya berucap, wajahnya kini sunggu
Pagi-pagi sekali Anita sudah ribut karena mendapati Mas Arya pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan, sepertinya Mas Arya mabuk. Aku yang lagi duduk santai di teras depan pura-pura tidak melihat, dan terus sibuk membaca koran, melihat berita yang di muat hari ini.Mas Arya berjalan sempoyongan, aroma alkohol mengusik indra penciumanku. Tiba di depan pintu, tubuh Mas Arya terjatuh dan tak sadarkan diri, Anita pun kaget."Mbak, tolongin, Mas Arya!" teriaknya gelagapan, seperti melihat orang yang mati saja."Ya tinggal diangkat, Nit," ucapku santai, pandangan mataku tetap fokus pada koran yang kupegang. "Jangan mau enaknya saja! Giliran Mas Arya kayak gitu gak mau ngurusnya," cicitku yang masih tetap fokus membolak-balik koran yang kupegang.Aku tidak peduli ekpresi apa yang akan ditunjukkannya, dan aku juga tidak peduli Mas Arya mau pingsan ataupun mati sekalian. Hatiku begitu sakit menerima perlakuan kasarnya kemarin sore. Lelaki lemah lembut dan penuh perhatian itu kini sudah ber