Pernahkah merasa bahwa masalah kita yang paling berat?
Aku pernah.
Ngerasa banget kalau masalahku adalah ujian terberat yang pernah dialami manusia. Aku pernah menikah dengan seseorang yang salah.
Ya. Aku ini janda.
Aku pernah menikah dengan seorang wakil rakyat. Awalnya aku menaruh harapan besar pada pernikahan itu. Aku pikir dengan menjadi istri seorang wakil rakyat, aku bisa semakin menebar manfaat untuk orang banyak. Tapi ternyata justru di situ awal kehancuranku.
Pernikahanku hanya bertahan tiga bulan hingga resmi cerai. Aku pikir mantan suamiku itu adalah orang baik, orang yang paham agama, dan orang yang amanah tapi sifat ambisius nya menutup mata hatinya.
Selama dua bulan menikah belum pernah aku mendapat perlakuan baik. Kekerasan verbal hampir setiap hari aku dapat, semua yang aku lakukan selalu salah di matanya.
Walaupun belum pernah dia melakukan kekerasan fisik yang parah tapi percayalah kata-kata kasar itu lebih membekas di hati dari pada kekerasan fisik. Luka di hati susah hilang.
Perceraianku terbilang tidak mudah karena mantan suamiku itu lebih memilih menyelamatkan pamornya di hadapan masyarakat daripada menjaga harga diriku. Dia memfitnahku, dia bilang aku menuntut banyak materi sehingga takut menjerumuskannya ke lembah korupsi, akhirnya lebih memilih bercerai. Padahal selama menikah belum pernah aku memakai uangnya.
Alasanya menggelikan ya? Tapi anehnya masyarakat yang sudah terlanjur cinta sama dia percaya begitu saja dan tidak segan untuk menghujatku.
Waktu itu aku hancur, memikirkan nasib pernikahanku ditambah hujatan dari masyarakat dan satu lagi yang akhirnya benar-benar membuat aku ingin mati saja, aku kehilangan umi tercintaku. Beliau meninggal karena ikut memikirkan nasibku. Dokter bilang umi meninggal karena penyakit jantung nya, tapi aku yakin awal mulanya karena beliau stres memikirkan nasib anak perempuan satu-satunya.
Aku menarik diri dari duniaku dan Butuh waktu lama aku sembuh dari kehancuran itu hingga akhirnya aku bisa bangkit dan memulai hidup baru yang lebih baik dan memperbaiki mindset ku tentang pernikahan.
Singkat cerita aku kembali menemukan harapan sebuah hubungan. Ada seseorang yang terlihat tulus datang kepadaku menawarkan sebuah komitmen dan masa depan. Sebut saja namanya Reyshaka.
Iya Reyshaka yang itu, yang jadi dokter baru di klinik depan panti. Dokter yang berhasil mengambil hati Eca hanya dalam sekali jumpa. Beberapa bulan aku menghindarinya agar bisa menyembuhkan hati tapi siapa sangka malah tetanggaan seperti ini.
Berawal dari kita yang doyan guyonan hingga berubah nyaman, sampai akhirnya dia menyatakan dirinya siap menikahiku. Aku sudah jelaskan sedetil-detilnya tentang semua nasib buruk yang aku alami, dan dia tetap menerimaku.
Aku terlanjur percaya dan berharap tapi ternyata semuanya hanya sebuah lelucon. Dia cuma bercanda kawan! Dia tidak benar-benar datang menemui abah untuk melamarku. Makanya kenapa aku enggan sekali berinteraksi dengannya saat ini.
Nyesek ya? Aku jadi korban ghosting
ternyata.Pertahanan diriku semakin terbentuk sejak aku sadar hidupku hanya dibuat mainan oleh orang lain. Rasanya dadaku bertambah sesak, aku menganggap masalahku adalah masalah terberat. Tidak ada orang lain yang bernasib buruk melebihi nasibku ini. Gagal menikah dan dipermainkan oleh seorang Reyshaka.
Tapi ternyata aku salah, aku hanya kurang bersyukur. Ketika berdiam diri di rumah memang masalahku ini sangat berat tetapi ketika sudah melangkah keluar, ternyata masih banyak orang lain yang masalahnya lebih berat.
Kata abah, mainku kurang jauh. Abah terus memberiku semangat untuk tidak berlarut dalam masalah, abah kasih banyak nasehat sehingga aku sadar satu hal.
Semua orang punya masalahnya masing-masing, hanya saja berbeda cara menyikapinya. Aku malu dengan orang-orang yang bisa menyimpan rapat masalahnya, hanya pada Tuhan mereka mengadu, dihadapan manusia lain terlihat tidak bermasalah padahal kalau saja mereka mau mengungkapkan, sudah pasti masalah mereka sama beratnya dengan kita.
Bertemu dengan banyak orang membuat aku bisa belajar banyak dalam hal menghadapi masalah. Jika kamu sedang merasa paling terpuruk, aku sarankan untuk membuka pintu selebar-lebarnya, melangkah lah keluar, dan tengoklah kanan kiri. Banyak yang nasibnya lebih buruk dari kita. InsyaAllah dengan begitu kita akan merasa bersyukur dan kuat menghadapi masalah hidup.
"back to earth!" seseorang berucap sambil menjentikkan jarinya di depan mataku. "Bidadari hobinya melamun ya?" tanyanya lagi.
"Woiya jelas! Bidadari mau ngapain lagi kalau nggak melamun? hidupnya udah enak." Aku menoleh kanan kiri, kenapa bisa Reyshaka ada di sini sedangkan anak-anak panti masih asyik bekerja bakti membersihkan lingkungan, meskipun lebih terlihat sedang bermain sih. Aku sendiri sedang istirahat, capek banget habis membuang sampah.
"Masih ada hal lain lho! Nyuci selendang, menyelamatkan anak tiri, menemani dewa!"
Haishh, baunya mau modus si om-om ini!
"Jangan modusin istri orang ya, Om!" ucapku lalu berdiri.
Aku memilih meninggalkan dia yang tertawa dengan renyahnya, jujur aku masih terlalu bingung gimana caranya menghindar darinya karena pertemuan yang mendadak ini. Bisa aku bayangkan akan sering berinteraksi dengannya gara-gara Eca yang sudah kecantol banget sama om-om ini. Sudah bagus selama ini jauh, dia di Semarang dan aku di sini-Jombang, tapi kenapa harus pindah kerja ke sini sih?
Sebelum masuk dan bergabung dengan Mbak Rina, aku sempat melirik dokter itu, dia sudah membaur dengan anak-anak dan sudah pasti Eca ada disampingnya.
"Kok ada orang asing di sini Pakde?" tanyaku pada pria berkumis tipis yang bernama Basuki, dia adalah suami dari Bude Aini.
Pakde Bas menurunkan sedikit kacamatanya dan melihat seseorang yang aku maksud.
"Dokter Rey?" tanya pakde memastikan dan aku mengangguk.
"Dia dokter klinik depan, Nduk! Kemarin Pakde ngobrol-ngobrol sama dia. Anaknya baik, tulus mau bantu anak-anak panti, malahan dia menawarkan bantuan untuk kita,"
"Bantuan apa, Pakde?"
"Jadi dr. Rey menawarkan kerja sama pemeriksaan untuk anak-anak. nanti setiap bulan anak-anak panti akan di cek perkembangan kesehatan nya terutama masalah gizi, terus setiap minggu akan diisi kegiatan, intinya Nak Rey mau ngajak anak-anak bermain sambil belajar hidup bersih dan sehat. Dan itu dia tawarkan gratis untuk anak-anak panti. Dengan senang hati Pakde terima dong! Alhamdulillah banget, rejekinya anak-anak!"
Duh Gusti, malah tambah lagi jalan interaksinya dengan Mas Rey!
Radar bidadari ku ini berubah menjadi radar suudzon kalau untuk seorang Reyshaka. Semoga saja tidak benar apa yang aku pikirkan. Mulai sekarang aku harus mengendalikan diri sendiri agar tidak terlalu jauh memikirkan dia. Terserah dia mau melakukan apa, dia bilang kan mau bantu anak-anak panti, ya silahkan. Tiap minggu aku bisa absen datang kesini agar tidak harus bertemu dengannya.
Dari ruangan pakde aku bergeser menemui pengurus panti yang lain, mereka sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk semua warga panti. Tapi kali ini ada yang aneh.
"Makan siangnya pesan ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Rina yang sedang menuang minuman ke dalam gelas-gelas.
"Alhamdulillah, dapat rejeki dari Mas dokter. Tadi bilang katanya kita nggak perlu masak, sebentar lagi ada makanan. Nah ini udah datang. Lumayan, libur masak." jawabnya dengan senang.
Masyaallah...
Si Om aktif banget ya amalannya!
Kepalaku semakin berdenyut saja, masa iya aku harus mundur dari panti ini untuk menghindarinya?
Aku ikut membantu menyiapkan makan siang, membawa nasi kotak pesanan Mas Rey ke ruang makan, di sini tempat makannya hanya sebuah ruang tanpa meja dan kursi karena biasanya warga panti lebih suka sambil lesehan.
Sebelum selesai, aku mengintip isi nasi kotak untuk makan siang dan isinya adalah ayam panggang, kesukaan Eca banget.
Kenapa bisa pas ya? Makin cinta deh itu Si Eca, atau jangan-jangan Eca yang minta? Kalau iya, anak itu beneran harus di ospek ulang.
"Eca!" panggilku. Kebetulan sekali dia lewat, Eca menghampiriku dengan riangnya.
"Eca udah cuci tangan?"
"Udah Bunda! Ini cuci tangannya yang bener itu ada 6 langkah, nggak kayak Bunda yang ngajarin cuma tiga langkah!"
Anak itu langsung mempraktekan 6 langkah cuci tangan yang benar, wajahnya terlihat bersemangat sekali.
"Nah gitu. Di ingat ya Bunda! Jangan kayak bunda, biasanya cuma dibasahi terus sabun terus bilas. Kata Om Dokter itu belum benar, kuman-kumannya masih nempel. Eca disuruh kasih tau Bunda, biar tangannya bersih. Kata Om dokter masa bidadari tangannya ada kumannya!"
Eh kenapa jadi aku yang kena?
"Bidadari nggak masalah kali Ca! Kan bidadari punya kekuatan membunuh kuman!"
"Tadi Eca juga bilang gitu, tapi kata Om dokter kekuatan bundadari nggak ampuh, cuma tiga langkah, lebih ampuh punya dia, yang 6 langkah!"
Apa lagi ini, Ya Allah? Kenapa dalilnya Eca jadi berubah semua? Kenapa jadi kata om dokter semua yang dia percaya?
Aku menarik Eca untuk duduk di sampingku, malah jadi lupa mau menanyakan perihal nasi kotak gara-gara si kuman.
"Eca tau hari ini makan siangnya apa?"
"Tau. Tadi kan Eca yang milih!"
Aku menarik nafas, mencoba mengisi kesabaran lagi. Bukannya gimana-gimana, aku hanya nggak mau Eca atau anak panti yang lain punya mental minta-minta ke orang.
"Lain kali Eca nggak boleh minta kayak gitu ya! Harus terima apapun kalau ada orang yang mau kasih shodaqoh, semuanya disyukuri, walaupun itu bukan makanan yang Eca suka."
Eca menggelengkan kepala sembari memegang kedua pipiku. "Eca nggak minta, Bundaaaa! Eca juga selalu seneng mau apapun itu, kan Eca doyan semua makanan." jawabnya.
"Kok itu tadi kamu yang milih makananya?"
"Om Dokter kan tanya Bundadari suka makan apa, Ya terus Eca milih itu makanan, Bunda sama Eca sering makan ayam panggang kan?"
Aduh pusing..
Eca berlari keluar dan aku hanya bisa pasrah, tapi ngomong-ngomong kenapa Om Dokter itu tambah aneh banget sikapnya.
Ya sudahlah, bukan apa-apa itu! Dia itu suka guyonan, nggak usah berlebihan kamu Shanum!
"Takutnya Bidadari nggak suka makanan bumi, jadi aku tanya Eca dulu!"
Aku langsung bergeser karena kaget tiba-tiba Mas Rey ada di sini dan tidak berselang lama kemudian anak-anak berlarian masuk rumah untuk segera melahap makan siang mereka.
"Bidadari nggak butuh makanan! Butuhnya selendang biar bisa terbang jauh!" balasku dan segera pergi dari hadapannya.
Duh aku ngomong apa sih? Nggak jelas banget.
Daripada pusing mikirin om-om itu aku memilih membantu Mbak Rina menyiapkan minuman untuk anak-anak. Aku malah dibuat heran dengan anak-anak yang berbaris rapi di depan wastafel, mereka antre untuk mencuci tangan. Sungguh suatu pemandangan yang mencengangkan. Selama ini mana pernah bisa tertib begitu, pasti pada dorong-dorongan berebut untuk jadi yang pertama.
Dan ternyata penyebabnya adalah Eca dan om dokternya. Mereka berdua berdiri di samping wastafel untuk menilai ketepatan langkah cuci tangan.
"Lucu ya itu Nak Rey, bisa bikin anak-anak tertib," ujar Bude Aini sambil tertawa di sampingku. "Kata Eca yang tertib dan bener cuci tangannya dapat hadiah dari Rey." lanjut bude.
Yakin deh, kepalaku semakin berdenyut rasanya..
Selama proses makan siang pun aku hanya bisa diam melihat perhatian anak-anak yang 100% diambil alih oleh dokter itu. Efeknya memang jadi tertib dan anak-anak lebih ceria lagi dari biasanya, kalau biasanya cerianya campur rusuh.
Kalau gini namanya kecerianmu adalah deritaku..
Ya sudah, biar aku saja yang mengalah. Kebahagiaan anak-anak panti ini lebih penting.
Akhirnya aku beringsut ke dapur, makan sendiri di sini. Entahlah apa yang terjadi, pengin marah, pengin kesal tapi apa alasannya? Rasanya dadaku benar-benar sesak.
Hari minggu ini benar-benar menjadi harinya Mas Rey, dari pagi hingga sore ini dia mengajak anak-anak bermain sambil belajar, dan tentu saja Eca yang paling bersemangat. Melihat mereka tertawa riang sudah cukup bagiku, biar aku yang mengalah membiarkan Mas Rey tetap berkeliaran di sini, biar aku yang mengurangi kedatangan ke sini.
Di saat anak-anak sedang ngaji bersama ustad Mujib, pakde dan Mas Rey ngobrol santai di teras. Aku membantu membereskan dapur setelah itu pamit pulang karena Mas Haris sudah menjemput.
"Shanum pulang dulu ya, Pakde!" pamitku dan langsung mengangguk ke Mas Rey yang duduk di samping pakde.
Mas Haris terlihat turun dari mobil untuk mencium tangan pakde dan menyapa Mas Rey sebentar, mereka pernah berkenalan.
"Baru pulang kerja, Ris?" tanya pakde.
"Iya Pakde, terus kesini jemput nona manis ini!" jawab Mas Haris seraya menepuk puncak kepalaku.
"Ya sudah, hati-hati pulangnya! Sore begini biasa jalann ramai!"
Kemudian Mas Haris pamit dan aku menggandeng tangannya hingga sampai mobil. Aku melirik Mas Rey yang hanya tersenyum tipis seraya menikmati kopinya.
"Yang tadi Si Itu kan?" tanya Mas Haris saat mobil kita sudah meninggalkan halaman panti dan aku hanya tertawa mendengar pertanyaan lucunya.
"Iya Si itu, yang waktu itu. udah nggak usah di bahas lagi!" jawabku cepat.
Mas Haris tersenyum sekilas lalu kembali menepuk puncak kepalaku, menyalurkan kasih sayangnya.
Reyshaka Point Of ViewAda yang belum kenal sama saya? Kenalan dulu!Namaku Reyshaka, biasa dipanggil Rey, atau kalau lagi pada gemes sama aku mereka panggil Reyshableng. Eh tapi ada juga yang manggil sayang, contohnya ibu-ibu tetangga kos.Aku ini salah pemuda generasi bangsa yang saat ini tengah berjuang untuk diri sendiri dulu agar menjadi orang baru nanti untuk negaraku. Kata papa kalau belum sukses itu belum bisa disebut 'orang', jadilah saat ini aku ini makhluk setengah dewa.Aku hanya salah satu budak yang beruntung bisa mendapat gelar dokter, rumah asliku di Semarang tapi sekarrang aku sedang menyusuri takdir mengabdi di Jombang kalau biasa Jombang terkenal dengan sebutan Kota Santri, kalau bagiku Jombang adalah Kota Perjuangan. Sebenarnya aku juga berat mau kerja di sini, karena di sini ada seorang Shanum yang pernah aku langitkan namanya, tapi katanya dia sudah menikah dengan orang lain. Tapi karena aku cinta pada pekerjaan ini makanya aku sampingkan perasaanku. Oh iya Kat
Ada sebuah pepatah yang berbunyi,Baik mata di rantau orang, jangan sampai berbuat salah.Saat berada di perantauan, harus selalu bisa menjaga sikap dan perilaku dengan baik.Ya meskipun bukan hanya di perantauan saja, di manapun berapa juga harus selalu menjaga sikap, bahkan di rumah sendiri pun juga tetap harus menjaga sikap.Apalagi jika sedang di perantauan, jangan pernah berbuat salah karena tidak akan pernah tau kita sedang berhadapan dengan siapa.Seperti aku saat ini...Siang ini aku ikut dr. Bams menghadiri rapat di salah satu lembaga daerah. Selama bergabung dengan lembaga tanggap bencana Peduli Saudara baru kali ini aku ikut rapat yang mana sebenarnya aku sendiri bingung tugasku di sini ngapain.Aku hanya dokter umum biasa, masuk kerja juga baru genap satu bulan. Bisa-bisanya dr. Bambang Setiawan alias dr. Bams sang kepala klinik mengajakku hasir rapat yang cukup penting ini.Kenapa aku bilang penting, karena berdasarkan insting manusia setengah dewaku, yang hadir rapat ini
Aiza Shanum KeshwariLebih suka senja atau pelangi?Aku bertanya bukan untuk membandingkan, karena pernah aku bilang semua terlihat indah di mata yang tepat, aku hanya ingin tau alasannya.Kalau aku lebih suka dengan senja. Alasannya simpel aja, mungkin sudah banyak yang bilang seperti ini. Senja itu walaupun hanya punya satu atau dua warna yang cenderung gelap tapi senja itu setia, walaupun hanya datang sebentar tapi senja selalu menepati janji untuk datang lagi di esok hari.Sedangkan pelangi, dia memang indah punya banyak warna tapi kesetiaannya masih di bawah senja, dia hanya datang setelah hujan badai, itupun tidak pasti."Sampai kapan sih mau main kucing-kucingan?" pertanyaan Mas Haris mengusik lamunanku."Siapa yang main kucing-kucingan, Mas?" elakku.Mas Haris menghela nafasnya, dia melirik arloji dan tanpa persetujuanku dia membelokkan mobil ke sebuah restoran kesukaan abah."Mampir sebentar, abah pesan sate kambing tadi!" ujarnya.Aku membiarkan dia turun sendiri karena aku
0823365104xx[Kamu lagi di mana?]Keningku kembali berkerut mendapati pesan masuk dari nomor yang belum aku simpan. Kalau ingatanku tidak salah, ini adalah nomornya Master. Kemarin pesannya sudah aku hapus dan nomornya tidak aku simpan.Balas nggak ya?Aku tunggu sampai dua menit, kalau dia tidak telepon berarti tidak ada yang penting dan itu hanya pesan iseng saja dari dia.Dua menit bahkan tiga menit sudah berlalu dan tidak ada telepon atau pesan darinya lagi, berarti tidak ada sesuatu yang penting. Maka aku memilih mengabaikan pesan itu dan kembali fokus pada es krimku yang mulai meleleh sambil menunggu jemputan dari Mas Haris.Banyak yang bilang menunggu itu membosankan. Setuju sih. Apalagi yang ditunggu tidak ada kejelasannya. Tapi sebenarnya ada satu hal yang aku tak pernah bosan menunggunya. Rasanya masih ingin punya banyak waktu dan kesempatan agar saat itu tidak segera datang.Menunggu apa itu? Menunggu malaikat izrail..Hehe.. Agak seram ya? Tapi mau menghindar dengan cara a
ReyshakaDokter boleh sakit nggak? Ya boleh banget, dokter juga manusia.Sebenarnya aku cuma mau bilang kalau lagi sakit, eh enggak sakit sih cuma lagi nggak sehat aja. Mungkin efek kangen sama mama jadi suhu tubuhnya agak naik, badannya lemes, tulang-tulang terasa nyeri.Aku sudah minta tolong di injeksineurotropikoleh Doni agar meringankan keluhan nyeri di sekujur tubuh. Sebenarnya injeksi vitamin B komplek itu biasa diberikan pada simbah-simbah yang sering mengeluh nyeri."Kamu pulang aja Rey! Biar aku yang gantiin." ujar Mala ketika dia melihat aku masih tiduran di UGD."Nggak apa-apa Mal, tiduran sebentar insy
Yang patah tumbuh, yang hilang bergantiYang hancur lebur akan terobatiYang sia-sia akan jadi makna..Entah sudah berapa kali aku replay lagu berjudul 'Yang patah tumbuh, yang hilang berganti' dari salah satu band indie bernama Banda Neira.Suka sekali dengan liriknya, seolah bisa menjadi mantra ampuh bagi siapa saja yang sedang rapuh dan jatuh karena kehilangan. Bukan hanya soal hubungan, tapi lirik itu juga bisa bermakna dalam untuk setiap hal di kehidupan.Setuju ya, kalau semua hal bisa kita jadikan pelajaran?Yang patah tumbuh, yang hilang berganti,Hati yang sedih akan segera pulih. Harapan, semangat dan doa yang patah pasti akan tumbuh kembali karena yang pergi dan hilang, akan terganti.Terganti itu tidak harus sama, pernah kehilangan uang tidak selalu diganti dengan uang, bisa jadi Allah ganti dengan kesehatan dan kebahagiaan yang tak terkira, sama halnya dengan kehilangan seseorang tidak harus selalu digantikan orang baru, tapi bisa juga digantikan oleh rasa ikhlas dan sem
POV Shanum"Udah nangisnya?"Aku hanya bisa menggeleng untuk menjawab pertanyaan abah karena masih sesenggukan, begitu susahnya menyudahi rasa penyesalan ini. Abah mendekati untuk mengusap punggungku. Ujung mukena ku sudah sangat basah karena air mata. Setiap habis ngaji sama abah pasti aku tidak bisa menahan tangis."Apa yang kamu rasakan?""Shanum takut, Bah! Dosa Shanum begitu besar sama Allah."Abah tersenyum untuk menenangkan, semenjak tidak ada umi aku lebih bisa dekat dengan abah."Rahmat Allah lebih besar, Nduk! Yang penting kamu terus berusaha memperbaiki semuanya. Salah itu adalah bentuk dari sifat manusia, dan menjadi lebih baik itu adalah sikap. Kamu tahu kenapa bintang itu bercahaya?""Karena berada di kegelapan malam." jawabku masih sambil terisak."Ya itu ibaratnya. Bintang bercahaya karena berada di tengah kegelapan. Seperti halnya bintang, manusia juga akan bercahaya jika dia bersabar di tengah banyaknya cobaan."Aku semakin menunduk lagi. Kali ini aku merasa bersalah
Aku merapikan mejaku, menata buku-buku agar lebih rapi dan enak dipandang mata. Beberapa teman guru masih terlihat sibuk di meja mereka, mungkin masih harus mengoreksi tugas siswa. Untung saja tugasku sudah selesai jadi aku bisa sedikit bersantai sembari menunggu waktu pulang."Mau pesan makan siang nggak, Bu Shanum?"Aku mendongak dan mendapati Arga yang sudah tersenyum lebar di depan mejaku. "Nggak kayaknya, Pak. Saya langsung mau pulang. Terimakasih tawarannya."Sekali lagi aku melirik arloji yang melilit di tangan kiriku, masih ada 15 menit sebelum jam pulang dan aku merasa menit-menit itu berjalan sangat lama. Kenapa lama? Karena saat ini Arga duduk di kursi yang ada di depan mejaku. Aku kira setelah menolak tawaran makannya tadi dia langsung akan pergi tapi malah dia juga memutuskan untuk tidak jadi makan dan menunggu jam pulang di sini."Ini bagus nggak, Bu?"Aku sedikit memajukan tubuhku untuk melihat sesuatu di dalam ponselnya Arga. Di sana ada gambar sebuah pemandangan tebin
"Mengasuh anak itu tugas orangtua.Bukan ibu saja atau ayah saja.Bikinnya berdua urusnya bersama.Karena anak juga butuh figur ayahnya," Mas Rey langsung membuka sebelah matanya begitu mendengar nyanyian yang sengaja aku keraskan. Cengiran lebar muncul di wajahnya sejurus dengan matanya yang terbuka sempurna. Masih sambil cengar-cengir dia membuka selimut dan mulai mendekatiku yang sedang menimang bayi perempuanku. Bayi cantik ini sejak jam satu tadi tidak mau tidur dan sekarang sudah menjelang shubuh. Mas Rey mengambil alih anaknya kemudian aku langsung tak sabar untuk rebahan, rasanya pinggangku udah pindah tempat. Lebai sih ya? Sebenarnya aku nggak kesel kok sama Mas Rey, cuma pengin ngerjain dia aja kebetulan udah mau masuk waktu shubuh jadi biar dia bangun. Sekalian gantiin gendong sebentar juga sih. Memang capek dan pegel banget ngurus dua bayi sekaligus tapi aku sangat menikmati. Terlebih lagi ketika harus pindah ke rumah sendiri dan bayi cantik itu punya kebiasaan bangun
SHANUM "Penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan?""Apa Mas?" tanyaku lagi karena Mas Rey tak juga menjawab, dia malah sibuk menata baju-baju bayi."Mas?"Mas Rey menghela napasnya kemudian berdiri menghampiriku. Langsung saja dia mengambil ponsel yang sejak tadi menemaniku membunuh waktu.Tanpa bersuara Mas Rey menunjuk jam dinding di ruangan VIP ini. Aku hanya bisa tersenyum semanis mungkin agar dia tidak marah karena sampai jam satu malam ini aku belum juga bisa tidur."Tidurlah!" titahnya dengan nada final ditambah ekspresi serius yang membuat aku tak berani mendebatnya lagi. Mas Rey tidak pernah bersikap seperti ini, kecuali kalau memang dia sedang tidak ingin dibantah.Aku menarik selimut berwarna biru berlogo rumah sakit ini hingga sebatas leher, mencoba memejamkan mata. Namun, bukan kantuk yang aku dapat, malah matanya pegel. Aku kembali membuka mata dan mendapati Mas Rey yang masih duduk sambil menatapku. Akhirnya dia tersenyum kemudian melepas sandalnya dan i
SHANUM Rasanya merinding banget sore ini, antara haru, bersyukur, sedih, dan segala macam emosi lainnya. Terharu karena kali ini aku menyambut hari raya dengan penuh cinta dan berkah, bersyukur karena aku mempunyai keluarga baru yang penuh dengan kasih sayang, dan sedih karena lebaran tahun ini aku harus jauh dari abah dan tidak bisa berziarah ke umi. Sehabis sholat ashar aku berjalan beriringan dengan Azkia dan Mbak Alea menuju pemakaman keluarga Bani Ahmad, bukan hanya kami bertiga tapi semua keluarga yang ada di Semarang kini menuju kesana, untuk mengirim doa pada leluhur. Kecuali Si Master Jenggala yang harus kembali ke habitatnya. Astaghfirullah.. Entah berapa kali aku harus menyabarkan diri karena kesel sama Mas Rey. Bisa-bisanya dia mengambil pekerjaan ke luar kota. Mau melarang kok kayaknya Mas Rey seneng banget dapat ajakan baksos dari temannya, Tapi dibiarkan berangkat kok rasanya jadi seperti ini, seharusnya bisa menikmati malam takbiran dengan hikmat, kini malah jauh. E
REYSHAKA"Nah itu setelah sujud, sebelum berdiri rakaat kedua kita duduk dulu baca tasbih 10 kali, baru berdiri lagi kan?" Mama menjeda ceritanya karena tidak kuat menahan tawa, sampai keluar air mata."Bisa-bisanya dua bidadari nya Rey ini tidur, nggak ikut berdiri rakaat kedua terus bangunanya pas udah dengar imam ngucap salam, baru mereka ikut salam," lanjut mama masih dengan tawanya, malah kini seluruh manusia yang duduk di meja makan ini ikut terpingkal.Kecuali Eca dan Shanum, mereka berdua sama-sama manutup wajah dengan jilbab karena malu. Mama baru saja menceritakan kejadian menggelikan saat tengah malam tadi kita berjamaah sholat tasbih. Jarang-jarang aku melihat mama bisa tertawa sekeras ini."Jadi mereka berdua cuma ikut satu rakaat terus salam, Ma?" tanya ArshaMama masih berusaha menghentikan tawanya, membuat Eca semakin mendusel ke lenganku, begitu juga Shanum, dia sudah ndusel ke mama karena malu. "Iya, mereka cuma ikut satu rakaat, habis itu pede banget langsung ikut s
SHANUMAlhamdulillah..Kalimat syukur yang ingin rasanya aku ucapkan di setiap hembusan napas ini. Karena hingga detik ini, Allah sudah mengganti semua kesedihanku yang lalu dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.Alhamdulillah setelah beberapa hari yang lalu aku kembali harus absen menjalani puasa karena kondisi yang melemah, hari ini aku bisa kembali ikut melaksanakan kewajiban umat islam itu.Rasanya puasa kali ini semakin lengkap karena kehadiran Eca. Aku nggak pernah menyangka Mas Rey akan memberikan kejutan yang begitu indah dengan resmi mengadopsi Eca sebagai anak kami. Udahlah aku bingung gimana caranya berterimkasih padanya, emang beneran shableng. Dalam segala hal. Bahkan untuk hal peka dan kebaikannya pun bisa di sebut sableng karena saking luar biasanya.Hari ini alhamdulillah keadaanku sudah berangsur normal, jadi aku bisa ikut menghadiri acara buka bersama di pesantren Al Khadijah, tempatnya Bunda Syifa.Acara sore ini dihadiri hampir seluruh kelua
REYSHAKA"Jangan pakai body wash yang aroma itu!""Jangan pakai pomade kalau di rumah!""Jangan makan nasi goreng kalau mau pulang ketemu aku!""Jangan pakai parfum kalau mau peluk aku!"Nikmatnya punya istri yang lagi ngidam. Alhamdulillah.. Aku bangga!Permintaan-permintaannya yang kadang konyol membuat aku jadi serba salah, mau begini salah, mau begitu juga nggak bener. Aku menjauh dia nangis minta dipeluk, giliran udah dipeluk, ngomel-ngomel karena nggak suka aroma parfum ku, padahal ini parfum udah sejak lama aku nggak pernah ganti merk, sejak sebelum menikah malah. Baru sekarang dia protes.Atau kalau tiba-tiba aku lupa mandi pakai sabun yang udah dari jaman jahiliyah tersedia di kamar mandi, dia akan ngomel nggak berhenti. Nggak nyalahin juga sih karena ketika dia mencium aroma itu langsung muntah.Akhirnya aku Singkirkan semua, dan ajak dia ke supermarket, aku suruh dia milih aroma sabun yang dia mau, hasilnya? HAHA... Beli satu karton body wash yang katanya aromanya enak. Fe
REYSHAKAHari ini aku jaga siang dan baru sampai di rumah sekitar pukul 10. Sebelum sampai rumah, aku mampir dulu untuk membeli buah, sayur, susu, vitamin, pokoknya sekiranya uangku yang ada di dompet masih cukup, aku pakai buat beli makanan sehat untuk Shanum. Mama sampai geleng-geleng kepala melihat aku pulang dengan tangan kanan kiri membawa belanjaan."Ya Allah, Rey! Ini kalau busuk gimana?" tegur Mama Ketika aku sibuk menata belanjaan di kulkas."Kalau sampai gampang busuk, aku protes ke pabrik kulkasnya, Ma. Iklannya aja bikin makanan awet kok,"Mama menghela napasnya, mungkin dalam hatinya nyebut gini kali ya, 'Ya Allah anakku ganteng amat!'"Mama tau kamu mau Shanum makan sehat terus, tapi kasihan lho kalau kamu giniin! Orang hamil itu nggak bisa makan setiap yang disajikan, ada kalanya pengin yang lain. Jangan dipaksa!"Tiba-tiba dari arah luar, Arsha yang baru pulang dari tarawih keliling langsung nyelonong ngambil buah pir yang udah aku tata rapi."Tenang, Ma! Ada Arsha yan
REYSHAKAEntah berapa kali aku melihat Shanum merubah posisi, sejak tadi keluar dari rumah dia terlihat tak tenang dan gelisah. Tepat disaat lampu kuning bergeser naik ke warna merah, aku menginjak rem agar selamat dari kejaran Om Pol. Intinya lagi lampu merah jadi harus berhenti."Kenapa sih? Laper?" tanyaku.Shanum langsung mengerucutkan bibirnya, pengin banget dicium.Astaghfirullah, puasa Rey! Tahan!"Deg-degan Mas!""Ya Alhamdulillah kan kalau masih deg-degan!"Lagi-lagi dia protes kali ini mengerang frustasi sambil memukul lenganku berkali-kali. "Aku takut mau ikut simaan, duetnya sama senior-senior yang masyaallah lanyahnya!"Persis seperti dugaanku, Shanum resah daritadi karena memikirkan simaan keluarga yang hari ini akan dilaksanakan di rumah Simbah, pesantren pusat.Selepas shubuh tadi aku mengantarnya menuju tempat acara, sedangkan mama akan menyusul nanti agak siangan.Keresahan Shanum tidak hanya pagi ini saja, sejak semalam dia sudah sibuk banget murojaah, sampai sepert
SHANUM"Besok kita tarawih ke tempat Kak Alea yuk! Udah lama nggak main kesana! Kangen juga!"Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.Mas Rey merubah posisinya jadi miring menghadapku. Sambil bersedekap dia diam menatapku."Kenapa?""Cemburu nggak?" tanyanya balik."Hmm? Gimana?"Bukannya menjawab, dia malah mencibirkan bibirnya, sambil komat-kamit nggak jelas."Cemburu nggak kalau dengar suaminya semangat menceritakan wanita lain?"Detik itu juga aku paham, Mas Rey sedang memancingku. "Cemburu lah, masa enggak!" jawabku.Jujur kok, memang ada rasa nggak nyaman.Mas Rey makin tersenyum lebar, kini dia sudah menghapus jarak diantara kita, mendekapku erat dan mengecup keningku."Ngomong dong! Jangan cuma sibuk dengan pikiran sendiri, kalau pikiran kamu benar ya nggak masalah, tapi kalau sampai nggak benar kan repot. Jadi salah paham.""Jadi sengaja nih?"Dia mengangguk, "Soalnya kamu langsung diem aja sehabis kita belanja tadi, padahal pas belanja kayak reporter bola, aku mi