Aku merapikan mejaku, menata buku-buku agar lebih rapi dan enak dipandang mata. Beberapa teman guru masih terlihat sibuk di meja mereka, mungkin masih harus mengoreksi tugas siswa. Untung saja tugasku sudah selesai jadi aku bisa sedikit bersantai sembari menunggu waktu pulang."Mau pesan makan siang nggak, Bu Shanum?"Aku mendongak dan mendapati Arga yang sudah tersenyum lebar di depan mejaku. "Nggak kayaknya, Pak. Saya langsung mau pulang. Terimakasih tawarannya."Sekali lagi aku melirik arloji yang melilit di tangan kiriku, masih ada 15 menit sebelum jam pulang dan aku merasa menit-menit itu berjalan sangat lama. Kenapa lama? Karena saat ini Arga duduk di kursi yang ada di depan mejaku. Aku kira setelah menolak tawaran makannya tadi dia langsung akan pergi tapi malah dia juga memutuskan untuk tidak jadi makan dan menunggu jam pulang di sini."Ini bagus nggak, Bu?"Aku sedikit memajukan tubuhku untuk melihat sesuatu di dalam ponselnya Arga. Di sana ada gambar sebuah pemandangan tebin
'Untuk mendapatkan sesuatu yang kau ingingkan, kau harus sabar dengan sesuatu yang kau benci.'Begitu satu nasehat dari Imam Ghazali yang pernah aku baca secara tidak sengaja di sebuah akun media sosial.Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan harus sabar dengan segala proses yang ada dibaliknya, dan proses itu tidak selalu menyenangkan. Buah zaitun harus diperas sekuat-kuatnya agar menghasilkan minyak yang bermanfaat, benih harus dipendam dalam ruang tanah sempit dan gelap sebelum akhirnya dia tumbuh menjadi tanaman yang bermaanfaat. Begitu juga dengan proses kita menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat.Aku sebenarnya cuma mau curhat kalau lagi melawan rasa malas untuk bangun di tengah malam ini. Di luar sedang hujan deras dengan petir yang sesekali menyambar. Bisa dibayangkan bagaimana nikmatnya bergelung di bawah selimut pas keadaan begini.Tapi ada sesuatu hal yang akhirnya mendorongku untuk meninggalkan selimut biruku untuk menuju kamar mandi bersentuhan dengan air yang
SHANUM"KANG ABAS!"Bukan namaku yang dipanggil, tapi suara keras itu berhasil membuyarkan konsentrasiku yang sedang setoran sama abah."Ayo ulangi ayat terakhir!" titah abah dengan nada setengah menegur.Aku memejamkan mata dan mencoba membayangkan ayat-ayat setoran pagi ini. Santri baru itu benar-benar harus ditakzir, berani-beraninya mengacaukan konsentrasiku.Alhamdulillah setelah sempat tersendat, aku berhasil menyelesaikan seperempt juz. Abah tidak komentar apapun hanya berpesan aku jangan sampai melalaikan murojaah, beliau langsung berdiri meninggalkan aku.Pagi ini lumayan cerah, tambah cerah lagi karena di dapur sudah ada dua iparku yang cantik-cantik sedang berkutat dengan bahan dapur agar menjadi makanan enak."Yah, gasnya habis." keluh Fadila ketika tiba-tiba api kompornya mati. "Minta tolong panggilin Mas Haris dong!" imbuhnya lagi saat mengarah padaku."Biar aku saja, Dil."Karena tadi aku lihat Mas Haris dan Mas Nadim sedang sama-sama sibuk, aku putuskan untuk mengganti
REYSHAKASelesai jaga pagi hari ini, tiba-tiba aku merasakan ada yang nggak beres dengan tubuhku. Sekujur badan terasa gatal merah dan panas, sakit tenggorokan juga agak nyeri di persendian sampai aku harus kembali terduduk ketika bersiap pulang. Sebenarnya gatal-gatal sudah sejak semalam, tapi kali ini semakin parah.Sebelum pulang seperti biasa opera jaga dulu dengan Mala dan yang lain.Masih sambil garuk-garuk, aku berpamitan namun Mala terdiam seperti ada yang ingin dia sampaikan tapi tertahan."Ada masalah?"Bukannya menjawab tapi Mala malah semakin gelisah. Aku melirik jam tangan, sebenarnya aku ada janji dengan Eca sore ini tapi sepertinya Mala juga butuh bicara. Eca juga jam segini masih tidur siang."Aku boleh tanya sesuatu, Rey?"Aku kembali duduk di kursi, "Nggak ada aturannya harus minta izin dulu, Mal! Sok atuh!"Mala tertawa sekilas, lalu tatapannya gelisah ke sembarang arah."Sejujurnya, udah lama aku ngerasa gelisah seperti ini, Rey, sejak masih kuliah mungkin. Aku uda
REYSHAKATidak pernah masuk dalam rencana sebelumnya kalau malam ini aku harus tiduran di klinik. Mending kalau hanya tiduran biasa, ini ditambah selang infus juga oksigen.Tadi sore dari panti rencana mampir ke klinik dulu untuk minta obat gatal, dan rencana itu gagal karena tiba-tiba saja setelah sholat ashar tadi sensasi gatal dan panas semakin menjadi, bonus sesak nafas juga, sampai aku harus dipapah Pak Basuki ke klinik. Karena saking sesak napasnya, sepanjang jalan aku terus membaca kalimat tahlil, siapa tau malaikat izroil sudah mengintaiku."Gimana Rey, udah mendingan?" Mala melepas snelli nya lalu duduk di kursi yang ada di sampingku."Alhamdulillah udah! Makasih.""Syok anafilaktik kamu, terakhir makan apa? Atau punya riwayat alergi cuaca?"Aku sudah menduga, alergiku kambuh. Sejak semalam merasa gatal, pikiranku langsung tertuju pada momen sarapan indah di rumah Shanum. Kemarin abah langsung mengambilkan nasi ditambah lauk yang sebenarnya selama ini aku hindari. Telur puyuh
REYSHAKA"kenapa kamu senyum-senyum, Rey? Menang undian?"Pandanganku dari hp teralih ke Mala yang sudah berdiri di depan meja kerjaku. "Lebih dari undian, sih!" jawabku tanpa menghilangkan senyum cerah, bersih dan bersinar.Mala tak lagi mengindahkan, dia menaruh satu kotak makanan di depanku. Aku meletakkan hp lalu mengambil kotak makanan itu."Ini dirimu yang masak, Mal?" tanyaku ketika membuka kotak makanan itu dan mendapati isinya lumayan menggugah selera."Beneran dirimu yang masak? Buatku ini?" Aku memastikan Mala tidak salah alamat, dan dia mengangguk. Alhamdulillah, rejeki anak kos.Sementara aku makan, Mala duduk terdiam mengamatiku. Sebenarnya ini makanan enak rasanya, mungkin efek aku habis sakit juga jadi terasa lebih enak, tapi aku harus merelakan untuk menutup kotak makan ini dulu dan menanyakan keadaan Mala, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat."Kenapa?"Mala menarik nafasnya, kemudian berdiri di samping jendela untuk mengamati kendaraan yang berlalu la
SHANUM"Jadi Om Master pernah naik helikopter?""Pernah Ca, waktu itu Om kerja di daerah yang sulit di jangkau, terus ada orang yang harus segera di periksa. Akhirnya Om diajak naik helikopter sama om-om TNI.""Seru banget, Eca juga pengin jadi dokter lapangan kayak Om.""Harus lebih hebat dong!" jawab Mas Rey.Aku menata buku-buku cerita yang berserakan sambil mencuri dengar Eca dan Mas Rey yang sedang bercerita. Terlihat sekali ekspresi bahagia dari Mas Rey ketika menceritakan pengalamannya."Kalau sering jadi relawan itu banyak manfaatnya, Ca! Kamu bisa membantu orang lain, bisa tau banyak tempat, bisa tau banyak bahasa daerah, bisa banyak teman juga." terang Mas Rey lagi.Eca terlihat sama antusias nya dengan Mas Rey. Melihatnya aku jadi ingat permintaan Rangga kemarin, apa aku tega membiarkan Mas Rey kehilangan pekerjaannya? Tapi aku juga nggak mau terus-terusan berinteraksi dengan Rangga.Dari hasil stalking ku, keluarga Mas Rey ada yang punya klinik, Om Nazril papanya Mas Rey j
SHANUMTok.. Tok.. TokAku terkejut dengan bunyi ketukan kaca dari luar mobil, karena sibuk mendengarkan ceramah Mas Haris, aku sampai tidak sadar ada orang yang mendekat."Jangan pacaran di sini Mas! Menghalangi jalan!"Mas Haris membuka kaca mobil dan meminta maaf pada seorang lelaki yang merasa terhalang jalannya oleh mobil kita."Maaf ya Pak, saya pindahkan mobil sebentar. Lagian ini bukan pacar saya Pak. Ogah banget punya pacar dia. Haram!"Astaghfirullah, sempat-sempatnya ini Si Haris!Bukan hanya itu, suara klakson mobil yang di belakang juga bunyi terus seakan menggambarkan ketidaksabaran pengemudinya. Ya memang kita salah sih, berhenti di sembarang tempat."Cepetan Mas! Itu istri saya sudah tidak sabar!" ucap lelaki tadi dengan wajah takutnya."Iya Pak! Iya, Maaf!" jawab Mas Haris seraya memindahkan mobilnya dan pilihannya hanya maju, nggak mungkin mundur karena di belakang sudah ada mobil orang yang protes tadi.Lima menit berlalu dan ketika mobil bapak tadi sudah bisa lewat
"Mengasuh anak itu tugas orangtua.Bukan ibu saja atau ayah saja.Bikinnya berdua urusnya bersama.Karena anak juga butuh figur ayahnya," Mas Rey langsung membuka sebelah matanya begitu mendengar nyanyian yang sengaja aku keraskan. Cengiran lebar muncul di wajahnya sejurus dengan matanya yang terbuka sempurna. Masih sambil cengar-cengir dia membuka selimut dan mulai mendekatiku yang sedang menimang bayi perempuanku. Bayi cantik ini sejak jam satu tadi tidak mau tidur dan sekarang sudah menjelang shubuh. Mas Rey mengambil alih anaknya kemudian aku langsung tak sabar untuk rebahan, rasanya pinggangku udah pindah tempat. Lebai sih ya? Sebenarnya aku nggak kesel kok sama Mas Rey, cuma pengin ngerjain dia aja kebetulan udah mau masuk waktu shubuh jadi biar dia bangun. Sekalian gantiin gendong sebentar juga sih. Memang capek dan pegel banget ngurus dua bayi sekaligus tapi aku sangat menikmati. Terlebih lagi ketika harus pindah ke rumah sendiri dan bayi cantik itu punya kebiasaan bangun
SHANUM "Penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan?""Apa Mas?" tanyaku lagi karena Mas Rey tak juga menjawab, dia malah sibuk menata baju-baju bayi."Mas?"Mas Rey menghela napasnya kemudian berdiri menghampiriku. Langsung saja dia mengambil ponsel yang sejak tadi menemaniku membunuh waktu.Tanpa bersuara Mas Rey menunjuk jam dinding di ruangan VIP ini. Aku hanya bisa tersenyum semanis mungkin agar dia tidak marah karena sampai jam satu malam ini aku belum juga bisa tidur."Tidurlah!" titahnya dengan nada final ditambah ekspresi serius yang membuat aku tak berani mendebatnya lagi. Mas Rey tidak pernah bersikap seperti ini, kecuali kalau memang dia sedang tidak ingin dibantah.Aku menarik selimut berwarna biru berlogo rumah sakit ini hingga sebatas leher, mencoba memejamkan mata. Namun, bukan kantuk yang aku dapat, malah matanya pegel. Aku kembali membuka mata dan mendapati Mas Rey yang masih duduk sambil menatapku. Akhirnya dia tersenyum kemudian melepas sandalnya dan i
SHANUM Rasanya merinding banget sore ini, antara haru, bersyukur, sedih, dan segala macam emosi lainnya. Terharu karena kali ini aku menyambut hari raya dengan penuh cinta dan berkah, bersyukur karena aku mempunyai keluarga baru yang penuh dengan kasih sayang, dan sedih karena lebaran tahun ini aku harus jauh dari abah dan tidak bisa berziarah ke umi. Sehabis sholat ashar aku berjalan beriringan dengan Azkia dan Mbak Alea menuju pemakaman keluarga Bani Ahmad, bukan hanya kami bertiga tapi semua keluarga yang ada di Semarang kini menuju kesana, untuk mengirim doa pada leluhur. Kecuali Si Master Jenggala yang harus kembali ke habitatnya. Astaghfirullah.. Entah berapa kali aku harus menyabarkan diri karena kesel sama Mas Rey. Bisa-bisanya dia mengambil pekerjaan ke luar kota. Mau melarang kok kayaknya Mas Rey seneng banget dapat ajakan baksos dari temannya, Tapi dibiarkan berangkat kok rasanya jadi seperti ini, seharusnya bisa menikmati malam takbiran dengan hikmat, kini malah jauh. E
REYSHAKA"Nah itu setelah sujud, sebelum berdiri rakaat kedua kita duduk dulu baca tasbih 10 kali, baru berdiri lagi kan?" Mama menjeda ceritanya karena tidak kuat menahan tawa, sampai keluar air mata."Bisa-bisanya dua bidadari nya Rey ini tidur, nggak ikut berdiri rakaat kedua terus bangunanya pas udah dengar imam ngucap salam, baru mereka ikut salam," lanjut mama masih dengan tawanya, malah kini seluruh manusia yang duduk di meja makan ini ikut terpingkal.Kecuali Eca dan Shanum, mereka berdua sama-sama manutup wajah dengan jilbab karena malu. Mama baru saja menceritakan kejadian menggelikan saat tengah malam tadi kita berjamaah sholat tasbih. Jarang-jarang aku melihat mama bisa tertawa sekeras ini."Jadi mereka berdua cuma ikut satu rakaat terus salam, Ma?" tanya ArshaMama masih berusaha menghentikan tawanya, membuat Eca semakin mendusel ke lenganku, begitu juga Shanum, dia sudah ndusel ke mama karena malu. "Iya, mereka cuma ikut satu rakaat, habis itu pede banget langsung ikut s
SHANUMAlhamdulillah..Kalimat syukur yang ingin rasanya aku ucapkan di setiap hembusan napas ini. Karena hingga detik ini, Allah sudah mengganti semua kesedihanku yang lalu dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.Alhamdulillah setelah beberapa hari yang lalu aku kembali harus absen menjalani puasa karena kondisi yang melemah, hari ini aku bisa kembali ikut melaksanakan kewajiban umat islam itu.Rasanya puasa kali ini semakin lengkap karena kehadiran Eca. Aku nggak pernah menyangka Mas Rey akan memberikan kejutan yang begitu indah dengan resmi mengadopsi Eca sebagai anak kami. Udahlah aku bingung gimana caranya berterimkasih padanya, emang beneran shableng. Dalam segala hal. Bahkan untuk hal peka dan kebaikannya pun bisa di sebut sableng karena saking luar biasanya.Hari ini alhamdulillah keadaanku sudah berangsur normal, jadi aku bisa ikut menghadiri acara buka bersama di pesantren Al Khadijah, tempatnya Bunda Syifa.Acara sore ini dihadiri hampir seluruh kelua
REYSHAKA"Jangan pakai body wash yang aroma itu!""Jangan pakai pomade kalau di rumah!""Jangan makan nasi goreng kalau mau pulang ketemu aku!""Jangan pakai parfum kalau mau peluk aku!"Nikmatnya punya istri yang lagi ngidam. Alhamdulillah.. Aku bangga!Permintaan-permintaannya yang kadang konyol membuat aku jadi serba salah, mau begini salah, mau begitu juga nggak bener. Aku menjauh dia nangis minta dipeluk, giliran udah dipeluk, ngomel-ngomel karena nggak suka aroma parfum ku, padahal ini parfum udah sejak lama aku nggak pernah ganti merk, sejak sebelum menikah malah. Baru sekarang dia protes.Atau kalau tiba-tiba aku lupa mandi pakai sabun yang udah dari jaman jahiliyah tersedia di kamar mandi, dia akan ngomel nggak berhenti. Nggak nyalahin juga sih karena ketika dia mencium aroma itu langsung muntah.Akhirnya aku Singkirkan semua, dan ajak dia ke supermarket, aku suruh dia milih aroma sabun yang dia mau, hasilnya? HAHA... Beli satu karton body wash yang katanya aromanya enak. Fe
REYSHAKAHari ini aku jaga siang dan baru sampai di rumah sekitar pukul 10. Sebelum sampai rumah, aku mampir dulu untuk membeli buah, sayur, susu, vitamin, pokoknya sekiranya uangku yang ada di dompet masih cukup, aku pakai buat beli makanan sehat untuk Shanum. Mama sampai geleng-geleng kepala melihat aku pulang dengan tangan kanan kiri membawa belanjaan."Ya Allah, Rey! Ini kalau busuk gimana?" tegur Mama Ketika aku sibuk menata belanjaan di kulkas."Kalau sampai gampang busuk, aku protes ke pabrik kulkasnya, Ma. Iklannya aja bikin makanan awet kok,"Mama menghela napasnya, mungkin dalam hatinya nyebut gini kali ya, 'Ya Allah anakku ganteng amat!'"Mama tau kamu mau Shanum makan sehat terus, tapi kasihan lho kalau kamu giniin! Orang hamil itu nggak bisa makan setiap yang disajikan, ada kalanya pengin yang lain. Jangan dipaksa!"Tiba-tiba dari arah luar, Arsha yang baru pulang dari tarawih keliling langsung nyelonong ngambil buah pir yang udah aku tata rapi."Tenang, Ma! Ada Arsha yan
REYSHAKAEntah berapa kali aku melihat Shanum merubah posisi, sejak tadi keluar dari rumah dia terlihat tak tenang dan gelisah. Tepat disaat lampu kuning bergeser naik ke warna merah, aku menginjak rem agar selamat dari kejaran Om Pol. Intinya lagi lampu merah jadi harus berhenti."Kenapa sih? Laper?" tanyaku.Shanum langsung mengerucutkan bibirnya, pengin banget dicium.Astaghfirullah, puasa Rey! Tahan!"Deg-degan Mas!""Ya Alhamdulillah kan kalau masih deg-degan!"Lagi-lagi dia protes kali ini mengerang frustasi sambil memukul lenganku berkali-kali. "Aku takut mau ikut simaan, duetnya sama senior-senior yang masyaallah lanyahnya!"Persis seperti dugaanku, Shanum resah daritadi karena memikirkan simaan keluarga yang hari ini akan dilaksanakan di rumah Simbah, pesantren pusat.Selepas shubuh tadi aku mengantarnya menuju tempat acara, sedangkan mama akan menyusul nanti agak siangan.Keresahan Shanum tidak hanya pagi ini saja, sejak semalam dia sudah sibuk banget murojaah, sampai sepert
SHANUM"Besok kita tarawih ke tempat Kak Alea yuk! Udah lama nggak main kesana! Kangen juga!"Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.Mas Rey merubah posisinya jadi miring menghadapku. Sambil bersedekap dia diam menatapku."Kenapa?""Cemburu nggak?" tanyanya balik."Hmm? Gimana?"Bukannya menjawab, dia malah mencibirkan bibirnya, sambil komat-kamit nggak jelas."Cemburu nggak kalau dengar suaminya semangat menceritakan wanita lain?"Detik itu juga aku paham, Mas Rey sedang memancingku. "Cemburu lah, masa enggak!" jawabku.Jujur kok, memang ada rasa nggak nyaman.Mas Rey makin tersenyum lebar, kini dia sudah menghapus jarak diantara kita, mendekapku erat dan mengecup keningku."Ngomong dong! Jangan cuma sibuk dengan pikiran sendiri, kalau pikiran kamu benar ya nggak masalah, tapi kalau sampai nggak benar kan repot. Jadi salah paham.""Jadi sengaja nih?"Dia mengangguk, "Soalnya kamu langsung diem aja sehabis kita belanja tadi, padahal pas belanja kayak reporter bola, aku mi