Diwana meraih tangan Kandi dengan paksa, membuat perempuan itu mau tak mau berbalik juga. Bagaimanapun caranya, lelaki itu tak akan kehilangan kekasihnya untuk kedua kali.
“Kak,”
“Hm? Ada apa? Jangan takut, dan jangan pergi,”
“Kak, Kak Diwana nggak jijik sama aku?”
Kedua mata mereka bertemu, Diwana menatap kedua manik legam kekasihnya bergantian, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Apa?”
“Kak Diwana kenapa nggak marah sama aku yang punya masa lalu menjijikkan kaya gitu? Kak Diwana kenapa diam aja selama ini? Kak Diwana sebaik apa sampai mau menerimaku yang ca-”
“Nilakandi!” Suara Diwana agak meninggi, ia ingin menghentikan kalimat Kandi yang sedang merendahkan dirinya sendiri.
“Dengar baik-baik, siapa bilang aku nggak marah? Aku marah besar, Kandi,”
“Tapi... bukan sama kamu.”
“Aku marah, benci, dan bahkan mengutuk siapapun itu yang sudah jahat sama kamu di masa lalu. Aku berani bersu
Dear readers, hope you like this chapter. I'm gonna update frequently this month. Thankyou. With tons of love, ~Kalasenjana
Diwana mengawali paginya dengan menyibukkan diri di dapur. Ia hendak membuatkan sarapan spesial untuk Nilakandi yang masih terlelap meskipun jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Meja dapurnya sedikit berantakan, tanda ia tengah bergelut dengan kegiatan memasakknya. Diwana menyiapkan sarapan dengan beberapa menu simple. Butter waffle instan yang praktis dan tak memakan waktu lama, salad buah fresh lengkap dengan krim yoghurt, serta satu gelas susu cokelat hangat. Diwana meletakkan semuanya di nampan dan membawanya ke kamar. Sebenarnya, menyiapkan sarapan di tempat tidur untuk kekasihnya adalah wishlist nomor dua dari tujuh hal yang ingin Diwana lakukan bersama Nilakandi. Ia letakkan nampan itu di atas meja standing portable yang ia geser ke dekat kasur lalu duduk di tepi ranjang, memandangi sejenak wajah cantik Nilakandi yang masih terlelap sebelum akhirnya menepuk lembut pundaknya. “Nilakandi,” bisik Diwana. “Hmm,” jawabnya sambil menggelia
“Wih, ini nih Si Bucin yang habis cetak rekor bolos tiga hari?” goda Jovyan saat Diwana masuk ke ruangan Tama di jam makan siang kantor.Jovyan mungkin adalah satu-satunya sekretaris yang paling santai di dunia. Bagaimana tidak, CEO perusahaannya adalah sahabatnya sendiri. Ruangan bosnya pun sudah seperti markas tempat mereka bertiga berkumpul saat luang.“Keren juga lo, Diw. Dari berantem, jatuh sakit, baikan, rekonsiliasi, semuanya cuma dalam waktu satu minggu,” tambah Jovyan yang kini sudah bertepuk tangan penuh drama.Diwana mendudukkan dirinya di sofa, lalu menyeruput teh hangat yang sebelumnya ia buat di kitchen corner kantor.“Kayanya benar, Jo. Aku bucin parah. Sekarang pengen langsung nikahin Nilakandi aja rasanya,” enteng Diwana.Kalimat itu sukses membuat Jovyan tersedak air mineral hingga membasahi lantai. Ia kembali menatap Diwana dengan gelengan kepala tatapan ngeri karena tak habis pikir.&l
“Hah? Aku mmm... takut, Kak,” ucap Nilakandi usai mendengar ajakan Diwana.Besok adalah hari Sabtu, dan Diwana berniat mengajak Nilakandi untuk mengunjungi keluarganya di luar kota, wish listnya yang keenam.“Takut apa, Kandi? Bundaku pasti senang lihat kamu, mau, ya?” bujuk Diwana yang sedetik kemudian meraih tangan Nilakandi dan mengusapnya pelan.“Tapi...”“Nggak harus besok deh, minggu depan bisa, minggu depannya lagi juga bisa. Besok mau realisasi to-do list kamu juga boleh,” imbuh Diwana tanpa sadar.“To-do list? KAK DIWANA TAHU?” panik Nilakandi yang spontan melepas genggaman tangan kekasihnya.“Ih, sini tangannya,” protes Diwana sembari meraih paksa tangan Nilakandi dan menciumnya kemudian.Mereka kini tengah bersantai di kasur sambil bercengkerama ringan sebelum tidur. Diwana tak lagi tidur di sofa, karena... buat apa?“Jangan marah, aku ngga
Diwana dan Nilakandi tengah menyiapkan makan malam di meja makan. Sebenarnya Diwana yang menyiapkan semuanya, Nilakandi hanya menyiapkan piring dan mengupas beberapa buah, masih dengan perasaan canggung. Mereka membeli satu ekor ayam madu utuh di perjalanan, titipan Aiden. Diwana hanya menyiapkan telur rebus dan salad sayur sebagai pelengkap. Beberapa saat kemudian, Aiden datang dan menginterupsi keduanya. “Oh, hai. Kenapa lama banget keluar kamarnya?” sapa Nilakandi. Aiden melirik ke arah kakaknya sebentar sebelum mendekatkan dirinya ke telinga Nilakandi dan berbisik pelan. “Andini ngambek, Kak. Hari ini harusnya kita ngedate, tapi aku lupa dan malah tidur seharian. Aku abis diomelin tiga puluh menit ditelepon,” bisiknya. “Kenapa harus pelan-pelan?” tanya Nilakandi ikut berbisik di telinga Aiden. Anak itu menunjuk Diwana dengan dagunya, lalu berbicara tanpa suara dengan menggerakkan bibirnya. Tangan kanannya bergerak di depan leher me
Di hari yang berawan itu, seorang gadis cantik dengan gaun ulang tahun indahnya tengah menunggu seseorang dengan berdebar. Ia menata kue ulang tahunnya sendiri di meja kecil ruang tengah, lengkap dengan empat kursi yang mengelilinya. Ia bahkan memompa sendiri balon warna-warni yang menghiasi seisi ruangan.Nilakandi sedang berada di galeri seni kecil miliknya, hadiah ulang tahun dari sang ayah. Ayah, Ibu, dan sahabatnya-Luna-akan merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas disana, sesuai wishlist yang sebelumnya ia buat.Bersamaan dengan balon terakhir yang Nilakandi ikat, ponselnya berdering, menampakkan nama “ayah terhebat” di layarnya.“Nilakandi, ayah dan ibu mampir ke rumah Luna dulu, ya? Dia mau berangkat sama kita,” suara sang ayah.“Hm? Tadi bilangnya mau diantar Kak Ten kok, yah,” jawab Nilakandi.“Tadi Luna barusan telepon ayah, katanya mau berangkat sama-sama. Nggak papa, toh nggak jauh rumahnya.
“Hah? Nggak berguna? Bagaimana bisa bukti sekuat itu bisa ditolak?” tanya Tama kesal di hadapan pengacara nomor satunya, Andrew. “Tak ada bukti yang mengarah langsung bahwa dia adalah pelakunya, Pak,” jawab Andrew yang menggeleng pelan. Ia kemudian menjabarkan satu persatu berkas yang ada di meja itu. Berkas-berkas itu adalah semua bukti yang dikumpulkan oleh Nana tentang kejahatan Ten selama ini. Baik rekaman CCTV, hasil visum luka dan memar Nilakandi, hingga bukti rekaman suara Ten saat merudung Nilakandi yang pernah ia sembunyikan di rumah. “Empat potongan CCTV ini hanya memperlihatkan dia yang masuk ke gedung, bukan bertemu Nilakandi, tentu sangat mudah mengelaknya. Sedangkan satu potongan CCTV yang terakhir ini memang memperlihatkannya masuk ke kamar Nilakandi, tapi tak ada hasil visum untuk kejadian di tanggal itu, jadi mudah saja bagi mereka untuk mengelak bahwa tak terjadi kekerasan di sana,” terang sang pengacara. “Hasil visumnya memang hanya
Diwana duduk santai di kursi empuk ruangan itu, menunggu dokter Tano yang tengah mengunjungi pasiennya. Ia melihat-lihat ke sekeliling, semuanya terasa familiar baginya karena enam tahun sudah ia rutin mengunjungi ruangan itu.“Hei, datang lebih awal ya,” sapa dokter Tano begitu masuk ke ruangan.Ia memeluk Diwana yang dengan sopan berdiri menyambutnya, lalu mempersilakannya duduk kembali.Pemeriksaan yang dijalani Diwana cukup sederhana. Selain pemeriksaan fisik, dokter Tano juga melakukan konseling singkat yang membahas tentang keluhan-keluhan yang mungkin Diwana rasakan selama empat bulan dari kontrol terakhirnya.“Seperti biasa, kamu selalu jaga diri kamu dengan baik. Nggak ada masalah apapun, jantung kamu sama sehatnya dengan jantungku sekarang. Ah, mungkin justru lebih sehat jantungmu karena aku sudah semakin tua,” kelakar dokter Tano.“Emm, dok. Sebetulnya, aku mau tanya sesuatu,” ucap Diwana dengan bahasa
Seorang perempuan berpakaian serba hitam terlihat mondar-mandir di luar gedung apartemen. Perempuan itu bahkan mengenakan masker hitam, kacamata, dan topi untuk menutupi wajahnya. Ia kemudian masuk dan naik ke lantai sembilan, atau lebih tepatnya ke apartemen nomor 903, tempat Diwana dan Nilakandi tinggal.Perempuan mencurigakan itu meletakkan sebuah kotak di depan pintu, ia membunyikan bel satu kali dan langsung berlari menuju lift untuk kembali turun.“Siapa?” teriak Nilakandi dari layar interkom.Awalnya ia pikir itu adalah Diwana, karena lelaki itu belum ada dua puluh menit meninggalkan rumah untuk pergi bekerja. Tapi karena tak ada jawaban, Nilakandi segera membuka pintu. Untuk sesaat ia lupa bahwa keberadaan Ten masih selalu mengancamnya.Namun begitu ia melihat benda di depan pintu, senyum lebar justru terukir di wajahnya. Ia mengambil benda yang ternyata adalah sekotak kado berwarna kuning dan berpita merah hati.“Kenapa n