Suasana divisi keuangan tengah riuh oleh cuitan semua karyawan yang asik menggunjing di cubicle masing-masing.
Jeanne yang baru datang dari cafe pun terlihat keheranan menatap teman-temannya.
"Ada apa, sih?" tanyanya kemudian.
Evan yang sadar akan kehadiran Jeanne langsung menarik perempuan itu untuk duduk di meja kerjanya.
"Jangan kaget, ya." Evan memberi peringatan.
"Cih, lebay amat sih. Iya, ada apa?" protes Jeanne yang mulai kesal.
"Pak Diwa bawa perempuan ke kantor, sekarang mereka ada di ruangan," bisik Evan di telinga Jeanne.
"Ah, partner bisnis mungkin? Atau rekan kerja dari luar kota gitu?" elak Jeanne tak mau berburuk sangka.
"Eits bentar dulu, mana ada tamu luar kota kesini pakai hoodie? Gandengan tangan pula sama Pak Diwana."
Mata Jeanne langsung melotot tak percaya. Padahal baru Minggu lalu ia mengutarakan rasa sukanya pada bosnya itu. Tak cukup hanya dengan penolakan, kenyataan bahwa kini lelaki it
Diwana merapikan berkas-berkasnya di meja, tak sabar untuk segera kembali ke ruangannya menemui Nilakandi. Meeting pagi itu berjalan dengan lancar, meskipun pekerjaan rumahnya nampaknya akan semakin menumpuk. Saat semua peserta rapat sudah meninggalkan aula menyisakan trio Tama, Jovyan, dan Diwana, Tama pun memulai pembicaraan mengenai Nilakandi. "Diw, kita ngumpul bentar. Ada yang harus aku sampaikan," mulainya. "Ih, jangan serius-serius dong. Gue takut kalau kaya gini, vibesnya serem," protes Jovyan. "Okay, aku juga. Tapi jangan lebih dari tiga puluh menit ya, aku kan dit-" Kalimat Diwana langsung dipotong Jovyan dengan nada mengejek. "Ditunggu si pacar baru ya, iya bos... iya, siap," goda Jovyan. Belum lengkap rasanya hari-hari Jovyan kalau belum menistakan sahabat polosnya yang sudah tak polos lagi itu. "Oke, sekarang kamu dulu. Ada informasi apa aja dari teman Nilakandi?" tanya Tama. "Nilakandi itu sebatang kara, ayahnya s
Oh Pecandu, rupanya matahari menyambutmu dengan senyumnya, Desir angin itu akhirnya mendekatkanmu pada bahagia, Ah tunggu, bahagiakah? petakakah? Sang waktu menunggumu bercerita, datanglah. Puisi misteri menggema di laut menguning lagi. Ya, Diwana lagi-lagi terjebak di dalam mimpi versi keduanya itu. Tapi entah kenapa, kali ini ia merasa sangat lelah sekali meskipun hanya untuk sekadar berpikir. Ia pun mendudukkan dirinya di pinggir pantai, menatap ke arah sosok yang ia panggil Si Diwana Dua yang juga duduk tersedu sepuluh kaki dari tempatnya. Diwana diam saja, tak mau berbuat apa-apa. Lelah ia memusingkan mimpi konyol yang menghantuinya itu. Namun, tiba-tiba suara gemerincing lonceng pun terdengar, semakin lama semakin kencang. Bersamaan dengan rasa hangat tiba-tiba yang ia rasakan di dahi dan pipinya. Dilihatnya Si Diwana Dua yang perlahan berubah menjadi kepulan asap dan akhirnya l
Pagi itu, Diwana pergi ke kantor dengan berberat hati. Pasalnya, Nilakandi menolak ajakan untuk ikut menemaninya kerja seperti dua hari lalu.Ada sesuatu yang aneh dengan perempuan itu, tapi Diwana tak bisa menyimpulkan apa-apa. Hanya seperti... ekspresi kesedihan yang cukup jelas tergambar di wajah Nilakandi saat ia mengajaknya pergi."Pokoknya jangan bukakan pintu untuk siapapun, lihat dulu dari interkom, kalau orang asing langsung telepon Pak Dermawan," ucap Diwana mengawali ceramahnya sambil mengenakan kaos kaki."Jangan ke bawah sendirian, oke? Nanti aku mampir belanja untuk kita, jadi kamu jangan ke minimarket dulu.""Kalau butuh apapun, pesan antar aja. Aku takut kalau kamu harus keluar.""Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku, ya? Aku akan langsung pulang."Ceramah panjang lebarnya melebihi pidato capres cawapres yang akan mencalonkan diri. Tapi semua itu semata-mata demi keselamatan Nilakandi juga, karena selagi Ten masih berkelia
Aiden dan Nilakandi kini sedang berbincang di dalam taxi menuju kantor Diwana. Kandi mengingkari janjinya untuk tidak meninggalkan apartemen, karena yang ia tahu, ponsel Diwana itu sama pentingnya dengan berkas-berkas kantor."Kenapa Kakak nggak nyuruh aku aja?" tanya Aiden."Mmm... sebenarnya Kak Diwana sakit, dia udah dua hari demam. Aku sekalian mau lihat kondisinya aja, Aiden. Tapi... Kakak nggak berani keluar sendiri, makannya ngajak kamu," jawab Kandi sambil menatap ke arah bekas luka di tangannya yang terekspos.Aiden pun menyadari hal itu, membuatnya berdehem dan mencoba mengalihkan pembicaraan."Aku sebenarnya mau nagih hutang Kak Diwa, Kak Nilakandi. Dia janji beliin aku kado sidang skripsi, eh belum ada hilalnya sampai sekarang," curhat Aiden sambil mencebikkan bibirnya."Maaf ya, Kak Diwana kemarin-kemarin agak sibuk gara-gara Kakak,""Eh, enggak maksud gitu, ih Kak Nilakandi ini suka bikin lawan bicaranya bingung deh," Protes Ai
Siang yang mendung itu semakin melengkapi patah hati Nilakandi. Tangisnya tertahan karena ia tengah berada di mobil Tama-sahabat kekasihnya-yang entah akan melaju kemana. Kandi ingin sekali bersuara, sekadar bertanya pada lelaki disampingnya untuk mengantarnya pulang, tapi semua kalimatnya hanya bisa tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menggigiti bibir dan memainkan kuku-kuku jari. Disapunya sisa-sisa air mata di pipi, sembari bertekad untuk tak menangisi kejadian itu lagi. Tapi melihat gelagat itu, Tama justru menghidupkan musik dan menyetelnya dengan volume agak kencang sembari berkata, "Nggak papa, nangis aja." Pertahanan Kandi sontak runtuh mendengarnya, ia pun menangis sejadi-jadinya. Tama mengulurkan satu kotak tisu yang langsung diraih Nilakandi. Ia kini mempercepat lajunya, seakan sudah memutuskan kemana ia akan membawa Nilakandi pergi. --- Mobil itu berhenti di sebuah jalan setapak berpasir hitam. Di depan sana, sekitar lim
"Nana? kenapa akhir-akhir ini susah banget dihubungi? Kamu dimana? Kamu.. kenapa?" tanya Nilakandi bertubi-tubi saat untuk pertama kalinya dalam beberapa hari akhirnya Nana mengangkat teleponnya."Maaf, Kai. Aku sering menyibukkan diri akhir-akhir ini. Ada masalah apa?" tanya Nana yang sadar ada yang berbeda dari suara Nilakandi."Nggak papa. Kapan kesini? Aku kangen, Na,""Aku juga... Aku tahu kamu, Kai. Ada apa? Ada masalah sama Kak Diwana, ya?" tebak Nana yang disambut keheningan dari seberang telepon."Jadi bener ya. Kenapa? Bukannya harusnya kalian lagi seneng-senengnya karena ternyata perasaan kamu nggak bertepuk sebelah tangan?" tanya Nana to the point."Kamu tahu darimana kalau aku sama Kak Diwana-""Kebetulan tahu aja kok. Maaf ya, Kai. Aku nggak sengaja dengar percakapan kalian malam itu," potong Nana segera. Entah kenapa, rasanya ia masih tak ingin mendengar kisah cinta dari perempuan yang ia sukai."Maaf, harusnya aku ceri
Lima hari berlalu sudah, namun belum ada tanda-tanda kembalinya Nilakandi pada Diwana. Yang ada justru kondisi Diwana yang terlihat semakin memburuk.Hari itu ia bahkan membolos kerja karena demam tingginya. Beruntung, weekend sudah menyambut, jadi beban pekerjaan tak begitu mengusik Diwana.Terbangun dari tidur tak nyenyaknya, yang ada di pikiran Diwana hanya satu, yaitu secepat mungkin mengirimkan pesan rindunya untuk Nilakandi seperti kemarin-kemarin.“Nilakandi... aku belum pernah mencintai, kamu yang ajarkan. Aku juga belum pernah kehilangan, kamu juga yang ajarkan. Sekarang, aku harus belajar menahan rindu. Sesak rasanya, Nilakandi... Cepat kembali, kamu rumahku, aku mau pulang. Hari ini aku demam lagi, juga rindu kamu lagi.”Begitulah Diwana menulis bait kerinduannya. Kalau Jovyan membaca tulisan itu, dijamin itu akan menjadi bahan ejekan Diwana untuk dua tahun ke depan saking bucinnya.Diwana terkekeh pelan usai mengiri
Diwana duduk bersandar bantal di kasur mengamati satu persatu kegiatan Nilakandi dengan mata berkaca-kaca. Perempuan itu tengah memeras handuk hangat yang hendak ia gunakan untuk mengompres Diwana. Diraihnya kancing baju lelaki itu, berniat melucuti kemejanya, yang langsung mendapat tatapan terkejut dari sang empunya. "Mau dikompres nggak?" tanya Kandi sedikit ketus. Kini Diwana hanya bisa menurut, meskipun ia merasa sangat amat canggung saat kekasihnya itu membuka satu persatu kancing kemeja tidurnya. "Dibuka perempuan lain aja boleh, sama aku kok kaget?" sindir Nilakandi dengan bergumam, hampir tak terdengar. "Kandi... maaf," Hening, tak ada jawaban. Perempuan itu hanya melanjutkan kegiatannya. Ia menyeka dada, leher, hingga dahi lelaki itu dengan telaten. Semua ilmu itu ia dapatkan dari Nana yang selama ini selalu merawatnya. Katanya, cara terbaik menurunkan panas adalah dengan mengompres dahi dan menyeka tubuh dengan air ha
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd