Ponsel Diwana berbunyi, ia pun terbangun di pelukan Nilakandi dari tidur paling nyenyaknya seumur hidup. Segera diraihnya ponsel di atas nakas yang memperlihatkan nama Tama di layarnya.
"Halo? Iya, Ta?" Diwana mengawali.
"Diw, bad things happened. I'm sorry, musuh kamu benar-benar lolos, dia keluar sel pagi tadi jam empat," ucap Tama terdengar penuh penyesalan.
Namun Diwana tak terkejut, seakan ia sudah menduga hal itu sebelumnya. Seketika semua cerita Nana tentang Ten kembali terngiang. Ia tak boleh lupa, bahwa Ten bukanlah
"Iya, nggak papa. Aku udah tahu bakal kaya gini. Kamu gimana?" lanjut Diwa yang justru khawatir pada sahabatnya itu.
"I'm okay, tapi jelas-jelas semalam aku udah isi semua berkas-berkas saksi. Lawyer aku sudah turun tangan, tapi bisa-bisanya bajingan itu lolos. Benar kata teman Nilakandi itu, Diw."
"Udah, pelan-pelan aja. Kita ini orang asing yang baru saja terlibat di masalah runyam mereka. Aku akan jelasin besok
Suasana divisi keuangan tengah riuh oleh cuitan semua karyawan yang asik menggunjing di cubicle masing-masing. Jeanne yang baru datang dari cafe pun terlihat keheranan menatap teman-temannya. "Ada apa, sih?" tanyanya kemudian. Evan yang sadar akan kehadiran Jeanne langsung menarik perempuan itu untuk duduk di meja kerjanya. "Jangan kaget, ya." Evan memberi peringatan. "Cih, lebay amat sih. Iya, ada apa?" protes Jeanne yang mulai kesal. "Pak Diwa bawa perempuan ke kantor, sekarang mereka ada di ruangan," bisik Evan di telinga Jeanne. "Ah, partner bisnis mungkin? Atau rekan kerja dari luar kota gitu?" elak Jeanne tak mau berburuk sangka. "Eits bentar dulu, mana ada tamu luar kota kesini pakai hoodie? Gandengan tangan pula sama Pak Diwana." Mata Jeanne langsung melotot tak percaya. Padahal baru Minggu lalu ia mengutarakan rasa sukanya pada bosnya itu. Tak cukup hanya dengan penolakan, kenyataan bahwa kini lelaki it
Diwana merapikan berkas-berkasnya di meja, tak sabar untuk segera kembali ke ruangannya menemui Nilakandi. Meeting pagi itu berjalan dengan lancar, meskipun pekerjaan rumahnya nampaknya akan semakin menumpuk. Saat semua peserta rapat sudah meninggalkan aula menyisakan trio Tama, Jovyan, dan Diwana, Tama pun memulai pembicaraan mengenai Nilakandi. "Diw, kita ngumpul bentar. Ada yang harus aku sampaikan," mulainya. "Ih, jangan serius-serius dong. Gue takut kalau kaya gini, vibesnya serem," protes Jovyan. "Okay, aku juga. Tapi jangan lebih dari tiga puluh menit ya, aku kan dit-" Kalimat Diwana langsung dipotong Jovyan dengan nada mengejek. "Ditunggu si pacar baru ya, iya bos... iya, siap," goda Jovyan. Belum lengkap rasanya hari-hari Jovyan kalau belum menistakan sahabat polosnya yang sudah tak polos lagi itu. "Oke, sekarang kamu dulu. Ada informasi apa aja dari teman Nilakandi?" tanya Tama. "Nilakandi itu sebatang kara, ayahnya s
Oh Pecandu, rupanya matahari menyambutmu dengan senyumnya, Desir angin itu akhirnya mendekatkanmu pada bahagia, Ah tunggu, bahagiakah? petakakah? Sang waktu menunggumu bercerita, datanglah. Puisi misteri menggema di laut menguning lagi. Ya, Diwana lagi-lagi terjebak di dalam mimpi versi keduanya itu. Tapi entah kenapa, kali ini ia merasa sangat lelah sekali meskipun hanya untuk sekadar berpikir. Ia pun mendudukkan dirinya di pinggir pantai, menatap ke arah sosok yang ia panggil Si Diwana Dua yang juga duduk tersedu sepuluh kaki dari tempatnya. Diwana diam saja, tak mau berbuat apa-apa. Lelah ia memusingkan mimpi konyol yang menghantuinya itu. Namun, tiba-tiba suara gemerincing lonceng pun terdengar, semakin lama semakin kencang. Bersamaan dengan rasa hangat tiba-tiba yang ia rasakan di dahi dan pipinya. Dilihatnya Si Diwana Dua yang perlahan berubah menjadi kepulan asap dan akhirnya l
Pagi itu, Diwana pergi ke kantor dengan berberat hati. Pasalnya, Nilakandi menolak ajakan untuk ikut menemaninya kerja seperti dua hari lalu.Ada sesuatu yang aneh dengan perempuan itu, tapi Diwana tak bisa menyimpulkan apa-apa. Hanya seperti... ekspresi kesedihan yang cukup jelas tergambar di wajah Nilakandi saat ia mengajaknya pergi."Pokoknya jangan bukakan pintu untuk siapapun, lihat dulu dari interkom, kalau orang asing langsung telepon Pak Dermawan," ucap Diwana mengawali ceramahnya sambil mengenakan kaos kaki."Jangan ke bawah sendirian, oke? Nanti aku mampir belanja untuk kita, jadi kamu jangan ke minimarket dulu.""Kalau butuh apapun, pesan antar aja. Aku takut kalau kamu harus keluar.""Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku, ya? Aku akan langsung pulang."Ceramah panjang lebarnya melebihi pidato capres cawapres yang akan mencalonkan diri. Tapi semua itu semata-mata demi keselamatan Nilakandi juga, karena selagi Ten masih berkelia
Aiden dan Nilakandi kini sedang berbincang di dalam taxi menuju kantor Diwana. Kandi mengingkari janjinya untuk tidak meninggalkan apartemen, karena yang ia tahu, ponsel Diwana itu sama pentingnya dengan berkas-berkas kantor."Kenapa Kakak nggak nyuruh aku aja?" tanya Aiden."Mmm... sebenarnya Kak Diwana sakit, dia udah dua hari demam. Aku sekalian mau lihat kondisinya aja, Aiden. Tapi... Kakak nggak berani keluar sendiri, makannya ngajak kamu," jawab Kandi sambil menatap ke arah bekas luka di tangannya yang terekspos.Aiden pun menyadari hal itu, membuatnya berdehem dan mencoba mengalihkan pembicaraan."Aku sebenarnya mau nagih hutang Kak Diwa, Kak Nilakandi. Dia janji beliin aku kado sidang skripsi, eh belum ada hilalnya sampai sekarang," curhat Aiden sambil mencebikkan bibirnya."Maaf ya, Kak Diwana kemarin-kemarin agak sibuk gara-gara Kakak,""Eh, enggak maksud gitu, ih Kak Nilakandi ini suka bikin lawan bicaranya bingung deh," Protes Ai
Siang yang mendung itu semakin melengkapi patah hati Nilakandi. Tangisnya tertahan karena ia tengah berada di mobil Tama-sahabat kekasihnya-yang entah akan melaju kemana. Kandi ingin sekali bersuara, sekadar bertanya pada lelaki disampingnya untuk mengantarnya pulang, tapi semua kalimatnya hanya bisa tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menggigiti bibir dan memainkan kuku-kuku jari. Disapunya sisa-sisa air mata di pipi, sembari bertekad untuk tak menangisi kejadian itu lagi. Tapi melihat gelagat itu, Tama justru menghidupkan musik dan menyetelnya dengan volume agak kencang sembari berkata, "Nggak papa, nangis aja." Pertahanan Kandi sontak runtuh mendengarnya, ia pun menangis sejadi-jadinya. Tama mengulurkan satu kotak tisu yang langsung diraih Nilakandi. Ia kini mempercepat lajunya, seakan sudah memutuskan kemana ia akan membawa Nilakandi pergi. --- Mobil itu berhenti di sebuah jalan setapak berpasir hitam. Di depan sana, sekitar lim
"Nana? kenapa akhir-akhir ini susah banget dihubungi? Kamu dimana? Kamu.. kenapa?" tanya Nilakandi bertubi-tubi saat untuk pertama kalinya dalam beberapa hari akhirnya Nana mengangkat teleponnya."Maaf, Kai. Aku sering menyibukkan diri akhir-akhir ini. Ada masalah apa?" tanya Nana yang sadar ada yang berbeda dari suara Nilakandi."Nggak papa. Kapan kesini? Aku kangen, Na,""Aku juga... Aku tahu kamu, Kai. Ada apa? Ada masalah sama Kak Diwana, ya?" tebak Nana yang disambut keheningan dari seberang telepon."Jadi bener ya. Kenapa? Bukannya harusnya kalian lagi seneng-senengnya karena ternyata perasaan kamu nggak bertepuk sebelah tangan?" tanya Nana to the point."Kamu tahu darimana kalau aku sama Kak Diwana-""Kebetulan tahu aja kok. Maaf ya, Kai. Aku nggak sengaja dengar percakapan kalian malam itu," potong Nana segera. Entah kenapa, rasanya ia masih tak ingin mendengar kisah cinta dari perempuan yang ia sukai."Maaf, harusnya aku ceri
Lima hari berlalu sudah, namun belum ada tanda-tanda kembalinya Nilakandi pada Diwana. Yang ada justru kondisi Diwana yang terlihat semakin memburuk.Hari itu ia bahkan membolos kerja karena demam tingginya. Beruntung, weekend sudah menyambut, jadi beban pekerjaan tak begitu mengusik Diwana.Terbangun dari tidur tak nyenyaknya, yang ada di pikiran Diwana hanya satu, yaitu secepat mungkin mengirimkan pesan rindunya untuk Nilakandi seperti kemarin-kemarin.“Nilakandi... aku belum pernah mencintai, kamu yang ajarkan. Aku juga belum pernah kehilangan, kamu juga yang ajarkan. Sekarang, aku harus belajar menahan rindu. Sesak rasanya, Nilakandi... Cepat kembali, kamu rumahku, aku mau pulang. Hari ini aku demam lagi, juga rindu kamu lagi.”Begitulah Diwana menulis bait kerinduannya. Kalau Jovyan membaca tulisan itu, dijamin itu akan menjadi bahan ejekan Diwana untuk dua tahun ke depan saking bucinnya.Diwana terkekeh pelan usai mengiri