Oh Pecandu, rupanya matahari menyambutmu dengan senyumnya,
Desir angin itu akhirnya mendekatkanmu pada bahagia,
Ah tunggu, bahagiakah? petakakah?
Sang waktu menunggumu bercerita, datanglah.
Puisi misteri menggema di laut menguning lagi. Ya, Diwana lagi-lagi terjebak di dalam mimpi versi keduanya itu.
Tapi entah kenapa, kali ini ia merasa sangat lelah sekali meskipun hanya untuk sekadar berpikir. Ia pun mendudukkan dirinya di pinggir pantai, menatap ke arah sosok yang ia panggil Si Diwana Dua yang juga duduk tersedu sepuluh kaki dari tempatnya.
Diwana diam saja, tak mau berbuat apa-apa. Lelah ia memusingkan mimpi konyol yang menghantuinya itu.
Namun, tiba-tiba suara gemerincing lonceng pun terdengar, semakin lama semakin kencang. Bersamaan dengan rasa hangat tiba-tiba yang ia rasakan di dahi dan pipinya.
Dilihatnya Si Diwana Dua yang perlahan berubah menjadi kepulan asap dan akhirnya l
Terimakasih sudah membaca^^ ~Kalasenjana
Pagi itu, Diwana pergi ke kantor dengan berberat hati. Pasalnya, Nilakandi menolak ajakan untuk ikut menemaninya kerja seperti dua hari lalu.Ada sesuatu yang aneh dengan perempuan itu, tapi Diwana tak bisa menyimpulkan apa-apa. Hanya seperti... ekspresi kesedihan yang cukup jelas tergambar di wajah Nilakandi saat ia mengajaknya pergi."Pokoknya jangan bukakan pintu untuk siapapun, lihat dulu dari interkom, kalau orang asing langsung telepon Pak Dermawan," ucap Diwana mengawali ceramahnya sambil mengenakan kaos kaki."Jangan ke bawah sendirian, oke? Nanti aku mampir belanja untuk kita, jadi kamu jangan ke minimarket dulu.""Kalau butuh apapun, pesan antar aja. Aku takut kalau kamu harus keluar.""Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku, ya? Aku akan langsung pulang."Ceramah panjang lebarnya melebihi pidato capres cawapres yang akan mencalonkan diri. Tapi semua itu semata-mata demi keselamatan Nilakandi juga, karena selagi Ten masih berkelia
Aiden dan Nilakandi kini sedang berbincang di dalam taxi menuju kantor Diwana. Kandi mengingkari janjinya untuk tidak meninggalkan apartemen, karena yang ia tahu, ponsel Diwana itu sama pentingnya dengan berkas-berkas kantor."Kenapa Kakak nggak nyuruh aku aja?" tanya Aiden."Mmm... sebenarnya Kak Diwana sakit, dia udah dua hari demam. Aku sekalian mau lihat kondisinya aja, Aiden. Tapi... Kakak nggak berani keluar sendiri, makannya ngajak kamu," jawab Kandi sambil menatap ke arah bekas luka di tangannya yang terekspos.Aiden pun menyadari hal itu, membuatnya berdehem dan mencoba mengalihkan pembicaraan."Aku sebenarnya mau nagih hutang Kak Diwa, Kak Nilakandi. Dia janji beliin aku kado sidang skripsi, eh belum ada hilalnya sampai sekarang," curhat Aiden sambil mencebikkan bibirnya."Maaf ya, Kak Diwana kemarin-kemarin agak sibuk gara-gara Kakak,""Eh, enggak maksud gitu, ih Kak Nilakandi ini suka bikin lawan bicaranya bingung deh," Protes Ai
Siang yang mendung itu semakin melengkapi patah hati Nilakandi. Tangisnya tertahan karena ia tengah berada di mobil Tama-sahabat kekasihnya-yang entah akan melaju kemana. Kandi ingin sekali bersuara, sekadar bertanya pada lelaki disampingnya untuk mengantarnya pulang, tapi semua kalimatnya hanya bisa tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menggigiti bibir dan memainkan kuku-kuku jari. Disapunya sisa-sisa air mata di pipi, sembari bertekad untuk tak menangisi kejadian itu lagi. Tapi melihat gelagat itu, Tama justru menghidupkan musik dan menyetelnya dengan volume agak kencang sembari berkata, "Nggak papa, nangis aja." Pertahanan Kandi sontak runtuh mendengarnya, ia pun menangis sejadi-jadinya. Tama mengulurkan satu kotak tisu yang langsung diraih Nilakandi. Ia kini mempercepat lajunya, seakan sudah memutuskan kemana ia akan membawa Nilakandi pergi. --- Mobil itu berhenti di sebuah jalan setapak berpasir hitam. Di depan sana, sekitar lim
"Nana? kenapa akhir-akhir ini susah banget dihubungi? Kamu dimana? Kamu.. kenapa?" tanya Nilakandi bertubi-tubi saat untuk pertama kalinya dalam beberapa hari akhirnya Nana mengangkat teleponnya."Maaf, Kai. Aku sering menyibukkan diri akhir-akhir ini. Ada masalah apa?" tanya Nana yang sadar ada yang berbeda dari suara Nilakandi."Nggak papa. Kapan kesini? Aku kangen, Na,""Aku juga... Aku tahu kamu, Kai. Ada apa? Ada masalah sama Kak Diwana, ya?" tebak Nana yang disambut keheningan dari seberang telepon."Jadi bener ya. Kenapa? Bukannya harusnya kalian lagi seneng-senengnya karena ternyata perasaan kamu nggak bertepuk sebelah tangan?" tanya Nana to the point."Kamu tahu darimana kalau aku sama Kak Diwana-""Kebetulan tahu aja kok. Maaf ya, Kai. Aku nggak sengaja dengar percakapan kalian malam itu," potong Nana segera. Entah kenapa, rasanya ia masih tak ingin mendengar kisah cinta dari perempuan yang ia sukai."Maaf, harusnya aku ceri
Lima hari berlalu sudah, namun belum ada tanda-tanda kembalinya Nilakandi pada Diwana. Yang ada justru kondisi Diwana yang terlihat semakin memburuk.Hari itu ia bahkan membolos kerja karena demam tingginya. Beruntung, weekend sudah menyambut, jadi beban pekerjaan tak begitu mengusik Diwana.Terbangun dari tidur tak nyenyaknya, yang ada di pikiran Diwana hanya satu, yaitu secepat mungkin mengirimkan pesan rindunya untuk Nilakandi seperti kemarin-kemarin.“Nilakandi... aku belum pernah mencintai, kamu yang ajarkan. Aku juga belum pernah kehilangan, kamu juga yang ajarkan. Sekarang, aku harus belajar menahan rindu. Sesak rasanya, Nilakandi... Cepat kembali, kamu rumahku, aku mau pulang. Hari ini aku demam lagi, juga rindu kamu lagi.”Begitulah Diwana menulis bait kerinduannya. Kalau Jovyan membaca tulisan itu, dijamin itu akan menjadi bahan ejekan Diwana untuk dua tahun ke depan saking bucinnya.Diwana terkekeh pelan usai mengiri
Diwana duduk bersandar bantal di kasur mengamati satu persatu kegiatan Nilakandi dengan mata berkaca-kaca. Perempuan itu tengah memeras handuk hangat yang hendak ia gunakan untuk mengompres Diwana. Diraihnya kancing baju lelaki itu, berniat melucuti kemejanya, yang langsung mendapat tatapan terkejut dari sang empunya. "Mau dikompres nggak?" tanya Kandi sedikit ketus. Kini Diwana hanya bisa menurut, meskipun ia merasa sangat amat canggung saat kekasihnya itu membuka satu persatu kancing kemeja tidurnya. "Dibuka perempuan lain aja boleh, sama aku kok kaget?" sindir Nilakandi dengan bergumam, hampir tak terdengar. "Kandi... maaf," Hening, tak ada jawaban. Perempuan itu hanya melanjutkan kegiatannya. Ia menyeka dada, leher, hingga dahi lelaki itu dengan telaten. Semua ilmu itu ia dapatkan dari Nana yang selama ini selalu merawatnya. Katanya, cara terbaik menurunkan panas adalah dengan mengompres dahi dan menyeka tubuh dengan air ha
Deru ambulance terdengar di pintu masuk IGD rumah sakit, membuat dua orang perawat berlari cepat kearahnya.Beruntung, IGD tak sedang ramai, hanya ada dua pasien lain yang sudah tertangani dan tidak begitu membutuhkan penanganan khusus."Vital sign?" tanya Dokter IGD yang baru saja tiba sambil mengecek pupil pasien."Heart rate 150, respiratory 27, blood pressure 190/80, suhu tubuh normal, Dok," sahut perawat usai memeriksa vital sign pasien darurat itu."Bawa pasien ke bilik satu, segera lakukan tindakan, aku akan memanggil Dokter Tano," perintah sang Dokter yang nampaknya sudah hafal dengan identitas si pasien."Baik, Dok,"Sang perawat dengan sigap memindahkan pasien itu ke bilik dengan tirai warna merah berlabel 'level satu'.Tergeletak di kasur itu, lelaki kurus yang masih mengenakan seragam sekolah SMP-nya. Seragam itu nampak masih baru, tapi lusuh di beberapa bagian entah karena apa.Bibir anak itu membiru, buku-buku tan
Nilakandi tersenyum lebar usai membaca pesan dari ponselnya yang entah bertuliskan apa. Hal itu pun menarik atensi Nana yang sedang mengepak tas ranselnya."Terus aja, pagi-pagi udah senyum-senyum dari tadi kaya orang gila. Awas kalau dia bikin kamu nangis lagi, aku nggak akan maafkan,""Nana..."Perempuan itu tiba-tiba memeluk Nana dari belakang sebelum lelaki itu sempat membalikkan badan."Terimakasih... untuk semuanya," gumam Kandi."Aku nggak melakukan apa-apa, Kai,"Nilakandi menggelang di punggung Nana, “Banyak, Na... yang kamu lakukan terlampau banyak untuk aku.”Nana lalu berbalik, mengusap kepala Kandi dengan lembut.“Jangan sedih lagi, aku nggak suka.”Nilakandi hanya tersenyum menanggapinya, dan memeluk lelaki itu dengan erat.“Aku pergi, ya? Jaga dirimu baik-baik. Selalu ingat kalau Kak Ten masih ada di luar sana. Dan meskipun aku kesal mau bilang begini, tapi selalu dekat