"Nana? kenapa akhir-akhir ini susah banget dihubungi? Kamu dimana? Kamu.. kenapa?" tanya Nilakandi bertubi-tubi saat untuk pertama kalinya dalam beberapa hari akhirnya Nana mengangkat teleponnya.
"Maaf, Kai. Aku sering menyibukkan diri akhir-akhir ini. Ada masalah apa?" tanya Nana yang sadar ada yang berbeda dari suara Nilakandi.
"Nggak papa. Kapan kesini? Aku kangen, Na,"
"Aku juga... Aku tahu kamu, Kai. Ada apa? Ada masalah sama Kak Diwana, ya?" tebak Nana yang disambut keheningan dari seberang telepon.
"Jadi bener ya. Kenapa? Bukannya harusnya kalian lagi seneng-senengnya karena ternyata perasaan kamu nggak bertepuk sebelah tangan?" tanya Nana to the point.
"Kamu tahu darimana kalau aku sama Kak Diwana-"
"Kebetulan tahu aja kok. Maaf ya, Kai. Aku nggak sengaja dengar percakapan kalian malam itu," potong Nana segera. Entah kenapa, rasanya ia masih tak ingin mendengar kisah cinta dari perempuan yang ia sukai.
"Maaf, harusnya aku ceri
Lima hari berlalu sudah, namun belum ada tanda-tanda kembalinya Nilakandi pada Diwana. Yang ada justru kondisi Diwana yang terlihat semakin memburuk.Hari itu ia bahkan membolos kerja karena demam tingginya. Beruntung, weekend sudah menyambut, jadi beban pekerjaan tak begitu mengusik Diwana.Terbangun dari tidur tak nyenyaknya, yang ada di pikiran Diwana hanya satu, yaitu secepat mungkin mengirimkan pesan rindunya untuk Nilakandi seperti kemarin-kemarin.“Nilakandi... aku belum pernah mencintai, kamu yang ajarkan. Aku juga belum pernah kehilangan, kamu juga yang ajarkan. Sekarang, aku harus belajar menahan rindu. Sesak rasanya, Nilakandi... Cepat kembali, kamu rumahku, aku mau pulang. Hari ini aku demam lagi, juga rindu kamu lagi.”Begitulah Diwana menulis bait kerinduannya. Kalau Jovyan membaca tulisan itu, dijamin itu akan menjadi bahan ejekan Diwana untuk dua tahun ke depan saking bucinnya.Diwana terkekeh pelan usai mengiri
Diwana duduk bersandar bantal di kasur mengamati satu persatu kegiatan Nilakandi dengan mata berkaca-kaca. Perempuan itu tengah memeras handuk hangat yang hendak ia gunakan untuk mengompres Diwana. Diraihnya kancing baju lelaki itu, berniat melucuti kemejanya, yang langsung mendapat tatapan terkejut dari sang empunya. "Mau dikompres nggak?" tanya Kandi sedikit ketus. Kini Diwana hanya bisa menurut, meskipun ia merasa sangat amat canggung saat kekasihnya itu membuka satu persatu kancing kemeja tidurnya. "Dibuka perempuan lain aja boleh, sama aku kok kaget?" sindir Nilakandi dengan bergumam, hampir tak terdengar. "Kandi... maaf," Hening, tak ada jawaban. Perempuan itu hanya melanjutkan kegiatannya. Ia menyeka dada, leher, hingga dahi lelaki itu dengan telaten. Semua ilmu itu ia dapatkan dari Nana yang selama ini selalu merawatnya. Katanya, cara terbaik menurunkan panas adalah dengan mengompres dahi dan menyeka tubuh dengan air ha
Deru ambulance terdengar di pintu masuk IGD rumah sakit, membuat dua orang perawat berlari cepat kearahnya.Beruntung, IGD tak sedang ramai, hanya ada dua pasien lain yang sudah tertangani dan tidak begitu membutuhkan penanganan khusus."Vital sign?" tanya Dokter IGD yang baru saja tiba sambil mengecek pupil pasien."Heart rate 150, respiratory 27, blood pressure 190/80, suhu tubuh normal, Dok," sahut perawat usai memeriksa vital sign pasien darurat itu."Bawa pasien ke bilik satu, segera lakukan tindakan, aku akan memanggil Dokter Tano," perintah sang Dokter yang nampaknya sudah hafal dengan identitas si pasien."Baik, Dok,"Sang perawat dengan sigap memindahkan pasien itu ke bilik dengan tirai warna merah berlabel 'level satu'.Tergeletak di kasur itu, lelaki kurus yang masih mengenakan seragam sekolah SMP-nya. Seragam itu nampak masih baru, tapi lusuh di beberapa bagian entah karena apa.Bibir anak itu membiru, buku-buku tan
Nilakandi tersenyum lebar usai membaca pesan dari ponselnya yang entah bertuliskan apa. Hal itu pun menarik atensi Nana yang sedang mengepak tas ranselnya."Terus aja, pagi-pagi udah senyum-senyum dari tadi kaya orang gila. Awas kalau dia bikin kamu nangis lagi, aku nggak akan maafkan,""Nana..."Perempuan itu tiba-tiba memeluk Nana dari belakang sebelum lelaki itu sempat membalikkan badan."Terimakasih... untuk semuanya," gumam Kandi."Aku nggak melakukan apa-apa, Kai,"Nilakandi menggelang di punggung Nana, “Banyak, Na... yang kamu lakukan terlampau banyak untuk aku.”Nana lalu berbalik, mengusap kepala Kandi dengan lembut.“Jangan sedih lagi, aku nggak suka.”Nilakandi hanya tersenyum menanggapinya, dan memeluk lelaki itu dengan erat.“Aku pergi, ya? Jaga dirimu baik-baik. Selalu ingat kalau Kak Ten masih ada di luar sana. Dan meskipun aku kesal mau bilang begini, tapi selalu dekat
Diwana meraih tangan Kandi dengan paksa, membuat perempuan itu mau tak mau berbalik juga. Bagaimanapun caranya, lelaki itu tak akan kehilangan kekasihnya untuk kedua kali. “Kak,” “Hm? Ada apa? Jangan takut, dan jangan pergi,” “Kak, Kak Diwana nggak jijik sama aku?” Kedua mata mereka bertemu, Diwana menatap kedua manik legam kekasihnya bergantian, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa?” “Kak Diwana kenapa nggak marah sama aku yang punya masa lalu menjijikkan kaya gitu? Kak Diwana kenapa diam aja selama ini? Kak Diwana sebaik apa sampai mau menerimaku yang ca-” “Nilakandi!” Suara Diwana agak meninggi, ia ingin menghentikan kalimat Kandi yang sedang merendahkan dirinya sendiri. “Dengar baik-baik, siapa bilang aku nggak marah? Aku marah besar, Kandi,” “Tapi... bukan sama kamu.” “Aku marah, benci, dan bahkan mengutuk siapapun itu yang sudah jahat sama kamu di masa lalu. Aku berani bersu
Diwana mengawali paginya dengan menyibukkan diri di dapur. Ia hendak membuatkan sarapan spesial untuk Nilakandi yang masih terlelap meskipun jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Meja dapurnya sedikit berantakan, tanda ia tengah bergelut dengan kegiatan memasakknya. Diwana menyiapkan sarapan dengan beberapa menu simple. Butter waffle instan yang praktis dan tak memakan waktu lama, salad buah fresh lengkap dengan krim yoghurt, serta satu gelas susu cokelat hangat. Diwana meletakkan semuanya di nampan dan membawanya ke kamar. Sebenarnya, menyiapkan sarapan di tempat tidur untuk kekasihnya adalah wishlist nomor dua dari tujuh hal yang ingin Diwana lakukan bersama Nilakandi. Ia letakkan nampan itu di atas meja standing portable yang ia geser ke dekat kasur lalu duduk di tepi ranjang, memandangi sejenak wajah cantik Nilakandi yang masih terlelap sebelum akhirnya menepuk lembut pundaknya. “Nilakandi,” bisik Diwana. “Hmm,” jawabnya sambil menggelia
“Wih, ini nih Si Bucin yang habis cetak rekor bolos tiga hari?” goda Jovyan saat Diwana masuk ke ruangan Tama di jam makan siang kantor.Jovyan mungkin adalah satu-satunya sekretaris yang paling santai di dunia. Bagaimana tidak, CEO perusahaannya adalah sahabatnya sendiri. Ruangan bosnya pun sudah seperti markas tempat mereka bertiga berkumpul saat luang.“Keren juga lo, Diw. Dari berantem, jatuh sakit, baikan, rekonsiliasi, semuanya cuma dalam waktu satu minggu,” tambah Jovyan yang kini sudah bertepuk tangan penuh drama.Diwana mendudukkan dirinya di sofa, lalu menyeruput teh hangat yang sebelumnya ia buat di kitchen corner kantor.“Kayanya benar, Jo. Aku bucin parah. Sekarang pengen langsung nikahin Nilakandi aja rasanya,” enteng Diwana.Kalimat itu sukses membuat Jovyan tersedak air mineral hingga membasahi lantai. Ia kembali menatap Diwana dengan gelengan kepala tatapan ngeri karena tak habis pikir.&l
“Hah? Aku mmm... takut, Kak,” ucap Nilakandi usai mendengar ajakan Diwana.Besok adalah hari Sabtu, dan Diwana berniat mengajak Nilakandi untuk mengunjungi keluarganya di luar kota, wish listnya yang keenam.“Takut apa, Kandi? Bundaku pasti senang lihat kamu, mau, ya?” bujuk Diwana yang sedetik kemudian meraih tangan Nilakandi dan mengusapnya pelan.“Tapi...”“Nggak harus besok deh, minggu depan bisa, minggu depannya lagi juga bisa. Besok mau realisasi to-do list kamu juga boleh,” imbuh Diwana tanpa sadar.“To-do list? KAK DIWANA TAHU?” panik Nilakandi yang spontan melepas genggaman tangan kekasihnya.“Ih, sini tangannya,” protes Diwana sembari meraih paksa tangan Nilakandi dan menciumnya kemudian.Mereka kini tengah bersantai di kasur sambil bercengkerama ringan sebelum tidur. Diwana tak lagi tidur di sofa, karena... buat apa?“Jangan marah, aku ngga
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd