Grandpa Edward memberikan kesempatan kepada Kaivan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hari ini.
Semua mendengar kronologis yang disampaikan Kaivan termasuk Zhafira.“Maaf Fir, aku menjaga perasaan kamu makanya aku enggak bilang kalau hari ini aku bertemu Imelda tapi aku pastikan sama kamu ... enggak terjadi sesuatu sama aku dan dia di kamar itu.”Banyak kesungguhan sekaligus permohonan agar Zhafira mempercayainya dalam sorot mata Kaivan.Zhafira memutuskan tatapan dengan Kaivan, beralih menunduk menatap kedua tangan yang ia simpan di atas paha.Tentu saja Zhafira tidak terima dengan alasan Kaivan.Jadi, untuk menjaga perasaannya maka Kaivan memilih berbohong?Andaikan saja Kaivan langsung pulang ketika mengetahui kliennya tidak bisa datang maka semua ini tidak perlu terjadi.Zhafira tidak bodoh, Kaivan memilih melanjutkan bermain karena agar bisa bersama Imelda.“B“Kai,” panggil ayah Narendra dari luar sambil menggedor pintu kamar Kaivan. Cukup lama hingga buku jari ayah Narendra kebas, barulah Kaivan membuka pintu. Lingkaran hitam tercetak di wajahnya yang kusut. “Mandi cepetan! Kita dateng ke acara tunangan Alvares.” Kaivan mengusap wajahnya mengusir kantuk yang mendera karena ia baru bisa tidur satu jam lalu. “Kai enggak ikut, Yah ... Kai mau cari Fira agak siangan nanti.” “Ini acara keluarga Kai, penting! Jangan karena Alvares anak angkat om Kenzi—kamu jadi menyepelekan.” “Enggak, Yah ... tapi istri Kai minggat, Kai harus nyari Fira!” Kaivan berseru setengah kesal. “Kemarin kamu tinggal-tinggalin Fira buat bareng Imelda ... sekarang Fira pergi malah kamu cariin, aneh kamu tuh, Kai. Pokoknya Ayah sama Bunda tunggu di bawah, sejam lagi kita berangkat!” Narendra memberikan ultimatum tidak menerima bantahan. Pria itu segera
Kaki Kaivan melangkah gontay menyusuri lorong untuk tiba di ruangannya. Beberapa karyawan telah pulang karena memang sudah menunjukan jam pulang kerja tapi Kaivan baru saja tiba di kantor. Seharian ini ia menyusuri jalanan Ibu Kota mencari Zhafira. Kaivan juga pergi ke kossan Zhafira yang dulu tapi kata pak Nono-si security katanya Zhafira tidak pernah datang lagi setelah menikah. Bella dan Nova tidak bisa diharapkan, Kaivan sampai harus menekan malunya menghubungi kembali Nova dan mendapat keketusan Bella tapi tidak ada berita baik tentang Zhafira. Kaivan melewati meja Gerry tanpa kata, tatapannya kosong dengan raut nelangsa lebih nelangsa dari sewaktu kalah tender. “Firanya ketemu, Kai?” tanya Gerry menunjukan perhatiannya seraya mengikuti Kaivan ke ruangan pria itu. Tapi melihat ekspresi Kaivan yang tidak bersemangat, sudah dipastikan Kaivan belum menemukan istrinya. Kaivan hanya mengg
Zhafira memandang ke depan, hamparan hijau memanjakan matanya. Bukan hanya hijau sawah maupun rerumputan namun tanaman sayuran yang merupakan mata pencaharian tetangga kakeknya di villa ini pun menyegarkan mata Zhafira. Belum lagi udaranya yang sejuk dan bersih benar-benar tempat yang layak untuk healing. “Pagi Non ...,” sapa seorang pria dan wanita paruh baya yang hendak pergi ke kebun. Mereka adalah salah satu tetangga kakek Kallandra. “Pagi Pak ... Bu,” balas Zhafira ramah disertai senyum. Villa kakek Kallandra adalah satu-satunya rumah yang paling mewah dan luas di daerah ini. Beliau tidak membuat villa yang berlokasi di pinggir jalan tapi lebih masuk ke dalam pedesaan agar feel villanya lebih terasa, begitu kata beliau. Dan memang benar, Zhafira akui suasana di sini sangat jauh dari perkotaan. Zhafira jadi merasa berada di dunia berbeda. Ia betah tinggal di si
“Tuan Kallandra Gunadhya, suatu kehormatan saya mendapat kunjungan dari anda.” Xander menyambut kakek Kallandra di loby gedung kantornya. Ia begitu tersanjung ketika sekertarisnya memberitau rencana kunjungan pria tersukses di Negara tempat dirinya membangun perusahaan. Kallandra tertawa pelan sambil berjabat tangan dengan Xander. Salah satu anak muda yang ia akui memiliki kemampuan hebat dalam bisnis. “Mari ke ruangan saya, Tuan.” Xander memperlakukan kakek Kallandra dengan rendah hati karena baginya—Kallandra adalah senior dalam bidang bisnis dan ada banyak ilmu yang bisa ia dapat dari beliau. Tanpa berbasa-basi—setibanya di ruangan Xander—setelah pria itu mempersilahkannya duduk—Kallandra langsung mengutarakan tujuan kedatangannya ke sini. Sekertaris Kallandra juga memberikan sebuah proposal yang kemudian dibaca dengan seksama oleh Xander hingga beberapa menit lamanya dan dengan sabar Kallandra me
Pagi ini Zhafira akan mempresentasikan secara langsung mengenai keseluruhan ide atau keinginannya yang telah disetujui Kallandra dalam membangun resort. Tidak ada ketegangan sama sekali meski ini yang pertama baginya. Kallandra menyewa ruang rapat di salah satu hotel agar rapat tersebut berjalan lancar dengan perlengkapan penunjang yang disediakan pihak hotel. “Kamu semangat sekali, Fir.” “Bekerjasama dengan Karl Louis itu impian Fira, Kek … apalagi bisa berguna bagi Kakek, Fira senang banget.” Mereka tiba di sana lebih dulu sehingga Zhafira bisa menyiapkan segala sesuatunya dibantu sekretaris Kallandra. “Jangan salah, kamu itu Kakek gaji loh … dan desain bangunan kamu akan Kakek beli ….” “Enggak usah, Kek … Fira ikhlas kok membantu Kakek.” “Kakek tahu, Fir … tapi Business is business … maha karya kamu juga kerja keras kamu patut dih
“Fir, makan malam dulu.”Nenek Shareena masuk ke ruang kerja Zhafira, sedari sore—sepulang dari proyek—Zhafira mengerjakan banyak hal untuk proyeknya.“Nenek sama kakek makan duluan saja, Fira selesaikan dulu kerjaan Fira.” Nenek Shareena tersenyum kemudian mengusap kepala Zhafira lembut. “Nenek senang lihat kamu semangat seperti sekarang …,” celetuk sang nenek yang kemudian duduk di depan Zhafira. “Pekerjaan ini menyita waktu dan pikiran Fira, Nek … jadi Fira enggak ada waktu mikirin rasa sakit yang mas Kai buat … Fira mau pasrah aja, Nek! Kalau memang Mas Kai memang jodoh yang terbaik buat, Fira … Tuhan pasti akan menyadarkan Mas Kai dan membawa Mas Kai kembali sama Fira.”Nenek Shareena mengangguk setuju. “Kamu memang perempuan kuat dan tabah ya, Fir.” “Fira udah terbiasa diam menerima apapun yang terjadi sama Fira, Nek ….” Raut wajah Zhafira menyendu. “Fir, hidup kamu milik k
Zhafira berlari menyusuri lorong rumah sakit yang lengang karena jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Tadi ketika kakek Kallandra mendapat telepon dari granpa Edward yang memberi tahu mengenai kondisi Kaivan—kebetulan Zhafira sedang bersama beliau dan mendengar semua yang dikatakan grandpa Edward. Saat itu juga Zhafira memohon ijin Kallandra untuk pergi ke Jakarta untuk menemui suaminya. Kakek Kallandra tidak bisa menolak, ia pun khawatir dengan kondisi Kaivan dan mereka akhirnya berangkat ke Jakarta. Zhafira baru mendapat kabar jika penyebab dari musibah yang dialami Kaivan adalah karena ingin menolong Imelda dari Marco. Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap pergi melihat kondisi Kaivan secara langsung. “Fira,” panggil Xander ketika langkah Zhafira tiba di depan pintu ruang ICU. Zhafira menoleh. “Pak Xander ….” Langkah Zhafira mendekati Xander, berdiri tepat di depannya.
“Kaivan memutuskan hubungan apapun denganku demi menjaga perasaanmu.”“Kaivan meminta aku menjauhinya.” Semua kalimat yang diucapkan Imelda berseliweran di benak Zhafira membuatnya tidak fokus. Hari ini Zhafira lebih sering melamun dalam mengawasi proyek pembangunan resort. “Ada masalah? Hari ini anda tampak pucat, Nyonya Fira?” tanya Karl memperlihatkan perhatiannya. “Tidak, saya hanya kurang tidur …,” sanggah Zhafira jujur. Memang benar ia kurang tidur tadi malam karena bolak balik Jakarta-Puncak untuk mengecek kondisi suaminya. Zhafira dan kakek Kallandra memutuskan kembali ke Puncak setelah mengetahui kondisi Kaivan sudah stabil. “Apa ada yang perlu kita diskusikan?” tanya Zhafira kemudian. Karl lantas memberitahu Zhafira mengenai kendala yang baru saja muncul, mereka bertukar pikiran untuk mencari solusinya. Hari hampir sore ketika Kallandra datang ke pro
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban