Zhafira memandang ke depan, hamparan hijau memanjakan matanya.
Bukan hanya hijau sawah maupun rerumputan namun tanaman sayuran yang merupakan mata pencaharian tetangga kakeknya di villa ini pun menyegarkan mata Zhafira.Belum lagi udaranya yang sejuk dan bersih benar-benar tempat yang layak untuk healing.“Pagi Non ...,” sapa seorang pria dan wanita paruh baya yang hendak pergi ke kebun.Mereka adalah salah satu tetangga kakek Kallandra.“Pagi Pak ... Bu,” balas Zhafira ramah disertai senyum.Villa kakek Kallandra adalah satu-satunya rumah yang paling mewah dan luas di daerah ini.Beliau tidak membuat villa yang berlokasi di pinggir jalan tapi lebih masuk ke dalam pedesaan agar feel villanya lebih terasa, begitu kata beliau.Dan memang benar, Zhafira akui suasana di sini sangat jauh dari perkotaan.Zhafira jadi merasa berada di dunia berbeda.Ia betah tinggal di si“Tuan Kallandra Gunadhya, suatu kehormatan saya mendapat kunjungan dari anda.” Xander menyambut kakek Kallandra di loby gedung kantornya. Ia begitu tersanjung ketika sekertarisnya memberitau rencana kunjungan pria tersukses di Negara tempat dirinya membangun perusahaan. Kallandra tertawa pelan sambil berjabat tangan dengan Xander. Salah satu anak muda yang ia akui memiliki kemampuan hebat dalam bisnis. “Mari ke ruangan saya, Tuan.” Xander memperlakukan kakek Kallandra dengan rendah hati karena baginya—Kallandra adalah senior dalam bidang bisnis dan ada banyak ilmu yang bisa ia dapat dari beliau. Tanpa berbasa-basi—setibanya di ruangan Xander—setelah pria itu mempersilahkannya duduk—Kallandra langsung mengutarakan tujuan kedatangannya ke sini. Sekertaris Kallandra juga memberikan sebuah proposal yang kemudian dibaca dengan seksama oleh Xander hingga beberapa menit lamanya dan dengan sabar Kallandra me
Pagi ini Zhafira akan mempresentasikan secara langsung mengenai keseluruhan ide atau keinginannya yang telah disetujui Kallandra dalam membangun resort. Tidak ada ketegangan sama sekali meski ini yang pertama baginya. Kallandra menyewa ruang rapat di salah satu hotel agar rapat tersebut berjalan lancar dengan perlengkapan penunjang yang disediakan pihak hotel. “Kamu semangat sekali, Fir.” “Bekerjasama dengan Karl Louis itu impian Fira, Kek … apalagi bisa berguna bagi Kakek, Fira senang banget.” Mereka tiba di sana lebih dulu sehingga Zhafira bisa menyiapkan segala sesuatunya dibantu sekretaris Kallandra. “Jangan salah, kamu itu Kakek gaji loh … dan desain bangunan kamu akan Kakek beli ….” “Enggak usah, Kek … Fira ikhlas kok membantu Kakek.” “Kakek tahu, Fir … tapi Business is business … maha karya kamu juga kerja keras kamu patut dih
“Fir, makan malam dulu.”Nenek Shareena masuk ke ruang kerja Zhafira, sedari sore—sepulang dari proyek—Zhafira mengerjakan banyak hal untuk proyeknya.“Nenek sama kakek makan duluan saja, Fira selesaikan dulu kerjaan Fira.” Nenek Shareena tersenyum kemudian mengusap kepala Zhafira lembut. “Nenek senang lihat kamu semangat seperti sekarang …,” celetuk sang nenek yang kemudian duduk di depan Zhafira. “Pekerjaan ini menyita waktu dan pikiran Fira, Nek … jadi Fira enggak ada waktu mikirin rasa sakit yang mas Kai buat … Fira mau pasrah aja, Nek! Kalau memang Mas Kai memang jodoh yang terbaik buat, Fira … Tuhan pasti akan menyadarkan Mas Kai dan membawa Mas Kai kembali sama Fira.”Nenek Shareena mengangguk setuju. “Kamu memang perempuan kuat dan tabah ya, Fir.” “Fira udah terbiasa diam menerima apapun yang terjadi sama Fira, Nek ….” Raut wajah Zhafira menyendu. “Fir, hidup kamu milik k
Zhafira berlari menyusuri lorong rumah sakit yang lengang karena jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Tadi ketika kakek Kallandra mendapat telepon dari granpa Edward yang memberi tahu mengenai kondisi Kaivan—kebetulan Zhafira sedang bersama beliau dan mendengar semua yang dikatakan grandpa Edward. Saat itu juga Zhafira memohon ijin Kallandra untuk pergi ke Jakarta untuk menemui suaminya. Kakek Kallandra tidak bisa menolak, ia pun khawatir dengan kondisi Kaivan dan mereka akhirnya berangkat ke Jakarta. Zhafira baru mendapat kabar jika penyebab dari musibah yang dialami Kaivan adalah karena ingin menolong Imelda dari Marco. Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap pergi melihat kondisi Kaivan secara langsung. “Fira,” panggil Xander ketika langkah Zhafira tiba di depan pintu ruang ICU. Zhafira menoleh. “Pak Xander ….” Langkah Zhafira mendekati Xander, berdiri tepat di depannya.
“Kaivan memutuskan hubungan apapun denganku demi menjaga perasaanmu.”“Kaivan meminta aku menjauhinya.” Semua kalimat yang diucapkan Imelda berseliweran di benak Zhafira membuatnya tidak fokus. Hari ini Zhafira lebih sering melamun dalam mengawasi proyek pembangunan resort. “Ada masalah? Hari ini anda tampak pucat, Nyonya Fira?” tanya Karl memperlihatkan perhatiannya. “Tidak, saya hanya kurang tidur …,” sanggah Zhafira jujur. Memang benar ia kurang tidur tadi malam karena bolak balik Jakarta-Puncak untuk mengecek kondisi suaminya. Zhafira dan kakek Kallandra memutuskan kembali ke Puncak setelah mengetahui kondisi Kaivan sudah stabil. “Apa ada yang perlu kita diskusikan?” tanya Zhafira kemudian. Karl lantas memberitahu Zhafira mengenai kendala yang baru saja muncul, mereka bertukar pikiran untuk mencari solusinya. Hari hampir sore ketika Kallandra datang ke pro
Kaivan mengerjapkan mata tatkala ia merasakan sesuatu—seperti jarum menusuk tangannya. Setelah membuka matanya baru ia tahu jika seseorang pria dengan stetoskop di leher sedang menyuntikkan sesuatu pada lengannya. Kaivan yakin jika pria paruh baya itu adalah dokter yang diutus keluarga Gunadhya untuk merawatnya. “Jangan bergerak dulu, saya sedang memberikan obat penahan sakit,” sergah pria itu saat Kaivan hendak menegakan tubuh. “Saya dokter Hadi diutus grandpa kamu untuk membawa kamu kembali ke Jakarta,” imbuh pria itu usai menyuntikkan obat. “Enggak, Dok! Saya enggak akan pulang, saya akan di sini … istri saya mana, Dok?” Kaivan berusaha menegakan tubuhnya untuk turun dari atas ranjang namun rasa sakit di sekujur tubuh juga kepalanya menahan Kaivan hingga akhirnya pria itu kembali terbaring lemah. “Kamu belum pulih betul, kamu harus mendapat perawatan intensif untuk luka dalam kam
“Saya enggak pernah memilih bahan ini, Pak … saya minta yang kualitasnya lebih baik dari ini sesuai dengan apa yang pernah saya sampaikan sama Pak Xander.” Zhafira panik saat melihat bahan bangunan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. “Maaf Bu, saya bukan bagian pemesanan bahan … saya hanya menerima saja, untuk pemesanan bahan ada bagiannya lagi, atau jika Bu Fira kurang puas bisa langsung menghubungi Pak Xander,” ujar wakil dari perusahaan Xander yang memimpin proyek pembangunan resort tersebut. Bibir Zhafira mencebik kesal, bagaimana ia bisa menghubungi Xander karena ponselnya tertinggal di Jakarta. Selama ini Zhafira dan kakek Kallandra berkomunikasi melalui telepon rumah dan email. Zhafira menduga jika ini pasti ada hubungannya dengan berdebatan kemarin di rumah sakit—Xander jadi bersikap tidak profesional. “Bisa hubungi Pak Xander dari hape Bapak? Hape saya tertinggal di rumah.” Zhafira berdusta.
“Ayang mau mandi?” Kaivan bertanya basa-basi karena semenjak istrinya memasuki kamar, Zhafira tidak berucap sepatah kata pun meski hanya sekedar menyapanya. “Iya, Mas udah mandi, kan?” sahut Zhafira yang juga bertanya basa-basi agar Kaivan tidak mengira ia masih marah hingga nanti mereka akan terlibat perdebatan dan berakhir dengan Kaivan meminta peluk atau cium untuk meyakinkan dirinya sudah tidak marah. “Udah, tapi kalau Ayang mau aku temenin boleh kok, Yang.” “Enggak usah, Fira bisa mandi sendiri,” kata Zhafira disusul suara pintu ditutup. Kaivan tertawa pelan menanggapi sikap Zhafira, ia tahu Zhafira masih kecewa, ia juga tahu jika sikapnya menyebalkan dan sering membuat Zhafira kesal tapi ia takjub karena Zhafira masih seperti Zhafira yang dulu. Menghargai dan menghormatinya sebagai seorang suami. Dan yang membuat Kaivan bahagia saat ini adalah Zhafira pulang tepat waktu sesuai janjinya tadi sia