"Shofi!" teriak salah satu kaum hawa yang ditakdirkan menjadi Bunda Shofi.
Shofi yang hari itu sedang merias wajah dengan sapuan bedak tipis dan merapikan jilbab, tiba-tiba berjingkat kaget. Suara Bunda teramat lantang, membuat ayam betina milik tetangga tidak jadi bertelur. "Tolong ya! Nanti sepulang kerja mampir ke pondok Yumna, ada titipan dari ibunya di ruang tamu!" Shofi bukan anak pondok, tetapi tetangga dan keluarganya banyak yang mengirim buah hati mereka ke pondok untuk belajar agama. Atau setidaknya agar aman dari sentuhan-sentuhan dunia luar yang penuh dengan kehidupan hedonis. Sayangnya, meskipun bukan santri ia sering singgah di pondok yang bersebelahan dengan pabrik tempatnya bekerja. Hal tersebut membuat tetangga dan keluarga yang perlu memberikan tambahan uang saku, sabun, atau sekadar oleh-oleh menitipkan barang kepadanya. "Aduh, Bunda! Aku bukan kurir! Plis deh, sampaikan ke mereka aku tidak mau!" "Ada orang minta bantuan kok ditolak, mumpung kamu masih hidup, maka bantulah mereka, syukur-syukur bisa dijadikan sebagai ladang amal!" ucap ibu Shofi berlagak seperti seorang Bu Nyai sedang mengisi ceramah. "Ya Allah, putrimu yang paling cantik ini merangkap gelar karyawan pabrik sekaligus kurir yang tidak dapat gaji!" "Sudah jangan bawel, titipan itu adalah ladang pahala bagimu, jangan banyak protes!" "Bunda, ladang pahala gimana? Dulu ada rendang masuk tasku, aromanya kecium para buruh pabrik, akunya kan jadi malu!" protes Shofi sembari mengenang pengalaman buruk yang pernah terjadi. Kalau pagi itu Bunda tidak menyuruhnya mampir ke pondok, ia tidak akan kehilangan kontak sepeda motor. Sudah hampir satu jam Shofi dan Yumna hilir-mudik mencari kontak motor, tetapi belum juga ditemukan. Kehadiran Shofi di pondok pesantren membuat kekhusukan mengaji santri berkurang. "Ingat nggak tadi jatuh di mana?" tanya Yumna sambil berkacak pinggang. Ia mengeluh lelah melalui ekspresi wajah. Jilbab putih yang dikenakan telah berkerut berantakan. Rok lebarnya berkibar diembus angin sore yang merayap perlahan. Langit mulai menguning, belahan dunia barat menampilkan nilai artistik yang menakjubkan. Sekelompok burung prenjak terbang ke arah timur, mereka pulang usai seharian berpetualang mencari makan."Kalau ingat aku nggak minta bantuanmu untuk mencarinya, Yumna! Sudah kuambil sedari tadi di titik tempat jatuh!" gerutu Shofi kesal. "Aduh Fi, gini saja kamu pulang dulu, besok kesini lagi, kalau kontak motornya sudah ketemu aku kasihkan kepadamu, aku nggak enak sama Bu Nyai kalau nggak masuk diniyah!" "Aku kehilangan kontak motor gara-gara semur jengkol Ibumu! Kamu masih sempat mikir urusanmu sendiri, ha?" ujar Shofi dengan nada tinggi. Shofi geram, meskipun begitu tubuh masih membungkuk dengan mata tertuju pada permukaan paving halaman pondok. Ia memastikan benda kecil yang menghidupkan mesin salah satu alat transportasi darat itu jatuh di area luar. "Kamu juga yang salah, ngapain mau disuruh antar semur jengkol! Di pondok sudah ada yang masak, santrinya tinggal makan," seru Yumna, tidak mau dikalahkan. Meski mereka berdua tidak sekolah di satu atap serupa, tetapi sewaktu TK mereka sangat akrab. Kedekatan mereka berlangsung hingga dewasa dengan dalil tetangga dan orang tua yang saling bersimbiosis mutuaslisme. "Loh kok nyalahin aku sih, Yum? Ini semua karena Ibumu yang terlalu khawatir nutrisi makananmu, jadilah dikit-dikit kirim paket makanan! Rasanya aku pengen hengkang dari pabrik dekat pondok ini," "Bilang sama ibuku jangan kirim makanan lagi, kirim uang saja,""Itu mah, enakan di kamu!" Mereka berdua terus mencari kontak motor dengan menelusuri sepanjang jalan utama yang menghubungkan asrama putra dan putri. Halaman depan fokus untuk santri laki-laki, sementara di belakang terhampar kamar-kamar dan aula kegiatan khusus santri putri. Sebenarnya ada gapura masuk ke santri putri lewat jalur timur, sayangnya Shofi memilih jalur barat dengan alasan lebih dekat. "Ingat ya, Yum! Pokoknya kunci motorku harus ketemu, aku nggak mau tidur di asramamu seperti ikan pindang!" "Ya Allah Fi, Shofi, jangan meremehkan kebiasaan anak santri dong, kami tidur bareng-bareng satu kamar demi menuntut ilmu pengetahuan!" "Ilmu kok dituntut, mau dipenjarakan, ha?" Shofi justru meledek. Shofi memang tidak mau bermalam di pondok pesantren. Ia bukannya tidak suka tinggal di lingkungan yang agamis, hanya saja sadar diri merasa tidak pantas. Lihatlah pakaian Yumna dan lainnya, tertutup rapat dari ujung rambut sampai kaki, sementara dirinya memakai celana katun panjang berwarna cokelat dengan stelan tunik serupa awan, jilbabnya pun seputih melati. Ia tidak bisa mengenakan rok panjang, tetapi Bunda menyuruhnya memakai pakaian sopan yang menutup aurat saat ke pondok. Maka celana panjang menjadi alternatif demi menjaga sopan santun. Sekadar urusan pakaian saja ia tidak bisa beradaptasi, apalagi hal besar lainnya? Oleh sebab itu Bunda tidak begitu memaksa dirinya masuk pondok. Lepas SMA langsung tancap gas mencari pekerjaan, sementara Yumna sudah dari SMP menggeluti dunia pesantren, sebentar lagi ia bisa menjadi Musyrifah. Yumna memelankan suara, mereka sudah keluar dari area pesantren putri, malu jika obrolan sampai terdengar telinga kaum adam. Persoalannya Shofi tidak peduli, ia tetap bersuara lantang. "Aduh gimana ini, aku nggak mungkin pulang jalan kaki kan, Yum?" "Sabar, Insya Allah nanti ketemu, kalau memang belum ketemu, nanti kuberi uang untuk naik angkutan umum!" "Zaman modern, Yum! Aku bisa pesan ojek online! Jangan dipikir aku tidak punya uang buat ngojek! Hanya saja kalau kontaknya nggak ketemu, besok pagi aku berangkat kerjanya bagaimana?" Suara Shofi justru naik beberapa oktaf. Santri yang sedang mengaji di kelas menoleh keluar, menyaksikan dua kaum hawa sedang berselisih. Sesaat pelajaran agama terjeda karena ulah Shofi. "Aduh Dia, jangan keras-keras, malu aku kalau dilihat santri putra," kata Yumna sembari mencubit lengan Shofi. Perempuan dengan riasan soft yang tidak mencolok itu justru berteriak lantang, "Woi, siapa pun makhluk di sini yang menemukan kontak motor, tolong kembalikan ke saya! Saya mau pulang!" Shofi tidak peduli jika suaranya termasuk aurat yang harus dijaga. Yumna sendiri kewalahan mengatasi tingkah gadis itu. Ia akan menjadi obrolan hangat di meja-meja diniyah, wajahnya akan tersimpan hangat dalam ingatan kaum adam yang melongok melalui jendela kelas. Farhan—salah satu guru mengaji yang sering dipanggil Gus oleh santri di tempat itu menutup kitab-nya. Ia melangkah mendekati pintu yang tidak ditutup. "Aduh Fi! Mendingan kamu naik angkutan saja, pencarian kontak motornya dilanjutkan besok, malu dilihat santri putra, apalagi sampai Gus Farhan keluar! Nggak enak aku…" Yumna memohon pengertian kepada Shofi dengan rupa bersemu merah. "Plis!" "Nah kali aja salah satu santri di dalam menemukan kontak motorku, lebih baik mereka tahu kan?" Shofi menantang. "Yasudah Fi, aku kembali ke asrama putri dulu. Maaf dan terima kasih sudah antar titipan ibuku." Yumna kabur, ia tidak mau menjadi pusat perhatian kaum adam. Malu dan tidak terbiasa berlama-lama di area santri putra. "Hei!" Guru yang dipanggil Gus itu mendekati Shofi, tidak berani menatap wajah, dengan sopan ia ucapkan salam sebgai bentuk penghormatan. " … ada yang bisa saya bantu?" ucap Gus Farhan. Ia merupakan putra tunggal pemilik pondok pesantren 'Asmaul Khusna,' meski masih muda sudah diberi kepercayaan oleh pemimpin pondok yang kerap dipanggil Abah Aziz, untuk menularkan ilmu agama yang telah dipelajari di Kairo Mesir. Sejak pulang dari Mesir ia langsung mengajar. Paras Gus Farhan serupa langit tanpa mendung sedikit pun, putih bersih. Senja itu ia memakai pecis dengan stelan sarung hitam dan kemeja putih, kisi-kisi matahari jatuh menerpa tubuh, menciptakan bayangan di bumi. Shofi menatap lekat sosok yang justru menjaga pandangannya supaya tidak menelusuri lekuk wajah Shofi. "Kontak motor saya hilang, bisa bantu cari nggak?" Shofi bicara sedikiit ketus. "Baiklah, nanti biar dibantu mencari santri-santri di sini, sekarang Mbak tunggu dulu di ruang tamu pondok, kalau sudah ketemu nanti saya antarkan." "Terima kasih." Shofi langsung bergegas menuju kantor pondok putra setelah gapura masuk. Ia memang sengaja parkir di area tersebut. Sayang setelah menunggu lebih dari dua jam, kontak motornya tidak kunjung ditemukan. Santri Gus Farhan sudah mencari ke selokan, ke sela-sela paving, di gang perbatasan dengan asrama putri, juga di kamar mandi, hasilnya nihil. Langit mulai menggelap, pikiran Shofi dilanda panik, ia tidak mungkin pulang terlampau larut. Shofi takut dengan kegelapan, apalagi terjebak di jalanan seorang diri di waktu malam. "Maaf, Mbak. Kami belum menemukan kontak motornya, kalau Mbak bersedia, silakan menginap di pondok putri atau menghubungi mahramnya di rumah untuk menjemput!" ungkap Gus Farhan dengan lembut. "Saya belum menikah!" sentak Shofi sedikit kesal karena sudah menunggu lama tetapi tidak menuai hasil. Gus Farhan tersenyum, Shofi menyaksikan lengkung ekspresi di wajah pemuda alim itu, sangat meneduhkan dan membuat pemandangnya dialiri kedamaian. "Mahram bukan berarti suami yang mendampingimu, Mbak. Mahram adalah laki laki atau perempuan kerabatmu yang tidak boleh dinikahkan, Mbak. Ada, kan?" Gus Farhan menjelaskan. "Oh begitu …," Shofi tersipu malu. "Kakak saya jauh di seberang pulau, tidak tahu kapan pulang, mustahil saya hubungi untuk ke pondok ini," ucap Shofi dengan nada tinggi. Gus Farhan lagi-lagi tersenyum. "Saya hanya bisa memberi solusi menginap, itu pun jika Mbak bersedia, jika tidak silakan mencari alternatif lain, saya permisi, waktu isyak sebentar lagi datang, sudah banyak santri yang menunggu di masjid. Assalamu'alaikum." Ekspetasi Shofi ada salah satu santri yang diutus untuk mengantarkannya pulang, sayang Gus Farhan tidak melakukan hal tersebut. Ia mendengkus kesal, tetapi enggan pula mengiba di depan umum."Ngomong dong dari tadi kalau nggak ketemu, saya kan bisa pulang sebelum malam datang!" sungut Shofi sambil mendelikkan mata dan berkacak pinggang. Shofi melangkah layu menjauhi pondok pesantren. Gus Farhan memperhatikan punggungnya yang bergerak ragu-ragu dari jendela masjid. Ia sanggup membaca ketakutan pada ekspresi Shofi, mendung tetiba hinggap menyeluruh di wajahnya. Akan tetapi, Shofi bukan bagian dari keluarganya, ia juga bukan mahramnya, tidak wajib untuk melindungi kaum hawa tersebut.Cahaya bulan mengusap atap-atap pemukiman pondok 'Asmaul Khusna'. Malam larut dalam kesiur angin yang diembuskan dari kebon bambu di samping asrama putra. Suara koor jangkrik dan serangga liar beradu di sebelah kantor pondok, di sana ada sebentang sawah yang padinya sebentar lagi kuning.Detik itu jarum berhenti pada angka satu dini hari, Gus Farhan kebetulan belum pulang ke rumah yang biasa dipanggil para santri Ndalem, tempat tinggalnya ada di perbatasan antara asrama putri dan asrama putra, tepat sehabis gang kecil tuntas, di situlah ada rumah megah menghadap matahari terbit. Ia sedang duduk di beranda kantor, menatap langit dengan pandangan sendu dan berbagai hal. Pulang dari Mesir rasanya hambar jika ilmu yang ia raup mogok di pondok saja, ada hasrat ingin menularkan isi kepalanya ke berbagai madrasah, baik Aliyah maupun Tsanawiyah. "Belum kondor, Gus?" sapa santri yang malam itu selesai menunaikan salat tahajud. "Mata saya belum ngantuk, kamu bergegaslah ke asrama, istirahat,
Bagi Shofi waktu adalah uang, setiap detiknya begitu berharga. Jika sampai terlambat masuk kerja, terlambat satu detik saja, reward yang diperjuangkan selama satu bulan melayang. Karena kontak motornya belum ketemu, maka ia bangun lebih pagi, mandi lebih awal demi bergegas men-stop angkutan umum. Berdesak-desakan dengan ibu-ibu dari pasar ia lalui, menghirup aneka ragam parfum bercampur dengan keringat juga ia alami. Intinya hari itu dia sudah berusaha supaya tidak datang terlambat ke pabrik, sayang takdir tidak memihak, ia telat satu detik karena mesin finger tidak langsung membaca rekaman sidik jarinya. "Haa … awas ya, Yum! Aku bikin perhitungan denganmu!" jerit Shofi setelah absennya kelar. Ia telat satu detik, hanya satu detik. Perjalanan menuju aula packing dipenuhi gedumelan ringan. Sangat kesal, apalagi itu akhir bulan. Ia telah melampaui hari sebelumnya dengan tertib dan tidak terlambat dengan sepeda motor. Ini gegara angkutan umum berhenti di beberapa titik, membuatnya berka
"Kenapa kamu mengajakku ke tempat ini, Nggi?" tanya Shofi yang masih bingung. Mereka berhenti di sebuah rentourant dan bar untuk kaum-kaum penongkrong dan peminum. Bagi Anggi itu biasa, penampilannya dengan rambut pirang terurai, kaos seatas pantat dan celana jins, tidak begitu kontras, tetapi nasib Shofi? Ia memakai jilbab, pakaiannya menutup aurat. Sesuatu yang sangat mencolok baginya, ia tidak pantas di tempat itu meski di dalam ada beberapa juga kaum perempuan yang sedang ngobrol, minum dan mereka memakai jilbab. "Aku ingin bertemu dengan temanku, dia janjinya di sini," "Apa tidak ada tempat lain? Buat janji kok di tempat dugem." "Ayo masuk!" Shofi melotot. Diajak parkir di halaman tempat itu saja ia kurang berkenan, kok diajak masuk?Sayangnya Anggi tidak peduli jika tetiba Shofi pulang, ia membawa Shofi karena dipikir perempuan itu akan mau. "Nggi!" teriak Shofi. "Tunggu!" Shofi juga tidak mau menunggu di luar serupa orang hilang. Barangkali itu menjadi pengalaman untuk
Wanita setengah tua itu berkali-kali memandang layar jendela, mengharap Shofi pulang menggiring langkahnya yang senantiasa terburu-buru. Sudah tiga hari semenjak dirinya menyuruh Shofi mampir ke pondok, anak perawannya tersebut tidak kunjung pulang. Sosok yang kerap dipanggil Bunda oleh Shofi itu mulai dikerubungi perasaan khawatir. Tidak seperti biasanya Shofi menginap di pabrik tanpa ijin. Memang pabrik roti yang dikerjai oleh Shofi juga menyediakan mess bagi karyawan, tetapi Shofi memilih datang dan pergi. Lebih dari itu rasanya mustahil jikalau Shofi menginap di pondok Yumna mencari ilmu, kecuali ada hal-hal urgent. Bunda mulai memastikan. Terdorong kontak Shofi yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi, ia nekat datang ke tempat kerja Shofi. Sayangnya kabar yang digiring oleh buruh pabrik roti justru membuat suasana batinnya bertambah kacau. “Shofi sudah dua hari tidak berangkat kerja, bahkan tanpa keterangan, kami kira dia sakit!” tutur seorang rekan kerja hari itu. “Dia belum pulan
Konon alasannya sederhana, demi menghargai dan menghormati perasaan seorang ibu, maka Gus Farhan mulai mencampuri urusan orang lain yang bukan mahram-nya. Ia banyak belajar perihal kehidupan manusia yang memang diperintahkan saling bahu-membahu untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Bukan hal aneh jika tiba-tiba Gus Farhan menawarkan untuk mengantar pulang Bunda Shofi. “Sebaiknya ibu saya antar pulang, tidak baik mengendarai sepeda motor dalam keadaan bimbang seperti itu, sepeda motor ibu biar diantar oleh santri saya, bagaimana?” tawar Gus Farhan. Bunda memandang wajah Gus Farhan yang seputih awan, menelusuri ketulusannya lebih dalam, menjangkau pikiran yang tidak bisa ia tebak bahkan meluruhkan segenap ketidakmampuannya kepada Gus Farhan. Untuk kali itu pemuda putra Abah Aziz tersebut merupakan sandaran sekaligus harapan. “Baiklah Farhan, mungkin itu jalan yang tepat. Pikiran saya memang sedang semrawut, ibu mana yang akan tenang jika putrinya tidak pulang?
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Tiada gemerlap bintang yang mencuri pandang dari langit. Daun-daun pepohonan menampung kepenatan lelap yang bergerilya di pelupuk mata. Suasana detik itu menjadikan beberapa sisi kehidupan anak manusia terasa hening tanpa suara. Sementara di sisi lain, tepat pada dunia gemerlap Bos Bagong, malam yang bertambah pekat adalah nikmat. Lantai dipenuhi dengan hentakan kaki dari pemuda yang meneguk khilaf sebelum senja. Bir-bir terjual banyak. Meja-meja penuh dengan segerombol penongkrong yang hendak ngobrol omong-kosong. Semakin panjang usia malam maka musik DJ bertambah nyaring dan melengking menusuk sel-sel pendengaran. Bos Bagong sedang mengisap rokok dengan cerutu andalan, ia menerawang jauh nasib gadis yang sedang disekap di dalam gudang. Emosinya sungguh meletup-letup bagaikan petasan yang baru saja diledakkan. Ia marah karena Anggi mengirim gadis yang teramat kampungan. “Bos, mustahil ada yang mau pesan tiket untuk membeli wanita itu,” u
Ruangan bertambah hening ketika santri-santri pondok Asmaul Husna saling siulkan dengkur. Detik itu Abah Aziz sedang berpergian ke luar kota ke daerah Jawa Timur. Sementara Gus Farhan berulang kali memutar rekaman CCTV demi memastikan kepergian Shofi. Asrama pondok menyisakan lelah aktivitas menimba ilmu sejak tadi pagi. Daun-daun nangka berguguran diembus angin malam. Beberapa kunang bersembunyi di balik semak-semak, seolah sedang mengintip kegiatan Gus Farhan dan Kang Zaki yang terkantuk-kantuk. "Sudahlah, Gus. Istirahat saja! Toh kita tidak mengenal Shofi, tidak ada tanggung jawab yang melekat pada diri kita, dia bukan santriwati pondok." "Kang, lihat mata pedih ibunya tidak?" Kang Zaki memberi anggukan. "Tetapi tetap saja Gus, anak itu bukan tanggung jawabmu. Setidaknya kau butuh istirahat, Gus. Ini sudah sangat larut, eman fisiknya, Gus!" "Ibu Shofi pasti sangat sedih, ia juga menaruh harapan serta kepercayaan kepada kita. Setidaknya berusaha terlebih dahulu, barangkali bisa
Sore ketika matahari bertengger di belahan bumi barat, sementara rutinitas kaum adam mulai beranjak, Gus Farhan mengangsur langkah sepeda motor menuju rumah Shofi. Kebetulan sekali hari itu jumat, tidak ada jadwal mengajar baginya. Jam sorenya kosong, karena merasa tidak punya kegiatan ia datang ke rumah Bunda Shofi. "Apa ada perkembangan, Han?" tanya Bunda sedikit bersahabat. Gus Farhan menggelengkan leher, ia belum mengetahui kabar Shofi. "Hanya saja saya tadi bertemu dengan Anggi, teman yang waktu itu diajak ke pondok oleh Shofi," terang Gus Farhan sambil mengingat hingga kejadian yang telah lampau. "Oh Anggi, iya dia teman akrab Shofi selama di pabrik. Apa yang dia katakan?" selidik Bunda tidak sabaran. "Dia bilang, sempat pergi ke alun-alun kota bersama Shofi," seru Gus Farhan. "Sayangnya tidak ada bukti keberadaan Shofi di alun-alun waktu itu," jelasnya. Gus Farhan memandang layu ke arah jendela. Gorden tipis diombang-ambing angin sore. Udara terasa lebih dingin dari biasan
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad