Wanita setengah tua itu berkali-kali memandang layar jendela, mengharap Shofi pulang menggiring langkahnya yang senantiasa terburu-buru. Sudah tiga hari semenjak dirinya menyuruh Shofi mampir ke pondok, anak perawannya tersebut tidak kunjung pulang. Sosok yang kerap dipanggil Bunda oleh Shofi itu mulai dikerubungi perasaan khawatir. Tidak seperti biasanya Shofi menginap di pabrik tanpa ijin. Memang pabrik roti yang dikerjai oleh Shofi juga menyediakan mess bagi karyawan, tetapi Shofi memilih datang dan pergi. Lebih dari itu rasanya mustahil jikalau Shofi menginap di pondok Yumna mencari ilmu, kecuali ada hal-hal urgent. Bunda mulai memastikan. Terdorong kontak Shofi yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi, ia nekat datang ke tempat kerja Shofi. Sayangnya kabar yang digiring oleh buruh pabrik roti justru membuat suasana batinnya bertambah kacau. “Shofi sudah dua hari tidak berangkat kerja, bahkan tanpa keterangan, kami kira dia sakit!” tutur seorang rekan kerja hari itu. “Dia belum pulan
Konon alasannya sederhana, demi menghargai dan menghormati perasaan seorang ibu, maka Gus Farhan mulai mencampuri urusan orang lain yang bukan mahram-nya. Ia banyak belajar perihal kehidupan manusia yang memang diperintahkan saling bahu-membahu untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Bukan hal aneh jika tiba-tiba Gus Farhan menawarkan untuk mengantar pulang Bunda Shofi. “Sebaiknya ibu saya antar pulang, tidak baik mengendarai sepeda motor dalam keadaan bimbang seperti itu, sepeda motor ibu biar diantar oleh santri saya, bagaimana?” tawar Gus Farhan. Bunda memandang wajah Gus Farhan yang seputih awan, menelusuri ketulusannya lebih dalam, menjangkau pikiran yang tidak bisa ia tebak bahkan meluruhkan segenap ketidakmampuannya kepada Gus Farhan. Untuk kali itu pemuda putra Abah Aziz tersebut merupakan sandaran sekaligus harapan. “Baiklah Farhan, mungkin itu jalan yang tepat. Pikiran saya memang sedang semrawut, ibu mana yang akan tenang jika putrinya tidak pulang?
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Tiada gemerlap bintang yang mencuri pandang dari langit. Daun-daun pepohonan menampung kepenatan lelap yang bergerilya di pelupuk mata. Suasana detik itu menjadikan beberapa sisi kehidupan anak manusia terasa hening tanpa suara. Sementara di sisi lain, tepat pada dunia gemerlap Bos Bagong, malam yang bertambah pekat adalah nikmat. Lantai dipenuhi dengan hentakan kaki dari pemuda yang meneguk khilaf sebelum senja. Bir-bir terjual banyak. Meja-meja penuh dengan segerombol penongkrong yang hendak ngobrol omong-kosong. Semakin panjang usia malam maka musik DJ bertambah nyaring dan melengking menusuk sel-sel pendengaran. Bos Bagong sedang mengisap rokok dengan cerutu andalan, ia menerawang jauh nasib gadis yang sedang disekap di dalam gudang. Emosinya sungguh meletup-letup bagaikan petasan yang baru saja diledakkan. Ia marah karena Anggi mengirim gadis yang teramat kampungan. “Bos, mustahil ada yang mau pesan tiket untuk membeli wanita itu,” u
Ruangan bertambah hening ketika santri-santri pondok Asmaul Husna saling siulkan dengkur. Detik itu Abah Aziz sedang berpergian ke luar kota ke daerah Jawa Timur. Sementara Gus Farhan berulang kali memutar rekaman CCTV demi memastikan kepergian Shofi. Asrama pondok menyisakan lelah aktivitas menimba ilmu sejak tadi pagi. Daun-daun nangka berguguran diembus angin malam. Beberapa kunang bersembunyi di balik semak-semak, seolah sedang mengintip kegiatan Gus Farhan dan Kang Zaki yang terkantuk-kantuk. "Sudahlah, Gus. Istirahat saja! Toh kita tidak mengenal Shofi, tidak ada tanggung jawab yang melekat pada diri kita, dia bukan santriwati pondok." "Kang, lihat mata pedih ibunya tidak?" Kang Zaki memberi anggukan. "Tetapi tetap saja Gus, anak itu bukan tanggung jawabmu. Setidaknya kau butuh istirahat, Gus. Ini sudah sangat larut, eman fisiknya, Gus!" "Ibu Shofi pasti sangat sedih, ia juga menaruh harapan serta kepercayaan kepada kita. Setidaknya berusaha terlebih dahulu, barangkali bisa
Sore ketika matahari bertengger di belahan bumi barat, sementara rutinitas kaum adam mulai beranjak, Gus Farhan mengangsur langkah sepeda motor menuju rumah Shofi. Kebetulan sekali hari itu jumat, tidak ada jadwal mengajar baginya. Jam sorenya kosong, karena merasa tidak punya kegiatan ia datang ke rumah Bunda Shofi. "Apa ada perkembangan, Han?" tanya Bunda sedikit bersahabat. Gus Farhan menggelengkan leher, ia belum mengetahui kabar Shofi. "Hanya saja saya tadi bertemu dengan Anggi, teman yang waktu itu diajak ke pondok oleh Shofi," terang Gus Farhan sambil mengingat hingga kejadian yang telah lampau. "Oh Anggi, iya dia teman akrab Shofi selama di pabrik. Apa yang dia katakan?" selidik Bunda tidak sabaran. "Dia bilang, sempat pergi ke alun-alun kota bersama Shofi," seru Gus Farhan. "Sayangnya tidak ada bukti keberadaan Shofi di alun-alun waktu itu," jelasnya. Gus Farhan memandang layu ke arah jendela. Gorden tipis diombang-ambing angin sore. Udara terasa lebih dingin dari biasan
Gus Farhan menunda laju kendaraan. Ia masih berada di depan pintu gerbang pabrik roti, sementara Koh Akong dan karyawan yang memberinya roti telah pergi ke tempat tanggung jawab masing-masing. Pemuda itu berambut sewarna malam, mengenakan kaos putih sehingga terlihat amat mencolok di tengah kegelapan. Ia mengikuti pergerakan Gus Farhan mulai dari rumah Bunda sampai ke pabrik roti. Menurutnya ada hal yang tidak semestinya dilakukan oleh Gus Farhan, terlebih dirinya adalah putra kyai. "... em, kenapa diam saja?" geretak pemuda itu —Agam. Adik kandung Shofi yang lama merantau keluar kota demi mencukupi kebutuhan hidupnya. "Maaf, Anda ini siapa?" "Nah, bahkan dirimu belum tahu betul latar belakang keluarga Shofi, kenapa berani bertindak senekad ini untuk mencari Shofi?" Agam memutar balik pertanyaan. "Mohon maaf, perkenalkan diri Anda terlebih dahulu agar saya bisa memberi alasan," tutur Gus Farhan dengan sabar. "Aku Agam, adik Shofi." Keterangan yang membuat Gus Farhan melenguh p
Seketika rona wajah Bunda dipenuhi dengan mendung. Barangkali memang benar, tidak boleh sembarangan mempercayakan sesuatu kepada orang asing, sekalipun orang tersebut terpandang baik atau pun alim. Pasalnya, di masa yang dahulu pernah dikatakan indah, kepercayaannya lenyap di tangan orang yang dikenal baik. Ayahnya Shofi meninggal dunia usai difitnah menggelapkan anggaran amal untuk pembangunan masjid. Pria dengan kumis tipis dalam benak Agam itu seketika terkena serangan jantung, meninggal tanpa bersalah tetapi dihujani umpatan dan makian menyakitkan. Tragisnya, tidak seorang pun datang ke pemakaman untuk mengantar jenazah almarhum. Bunda memutuskan pindah dari kota kelahiran, mengungsi ke kota yang lebih sibuk supaya bisa menentramkan kenangan buruk dalam pikiran. Bunda membawa Agam juga Shofi ke Jawa Timur demi menimbun masa lalu yang teramat getir. Ia menjual rumah sekaligus tanah yang diwariskan orang tua di Porworejo, Jawa Tengah kemudian membeli rumah sederhana di Malang Jawa
Meski kedengarannya aneh, tetapi faktanya itu memang pesan dari Shofi, Bu." Urai Anggi kemudian. Ia menangkap manik mata Agama yang dipenuhi dengan ketidakpercayaan. Semalam yang lalu, tangan dan kepalanya sibuk menjiplak tulisan tangan Shofi. Rupanya bukan hal mudah meniru gerak-gerik jari-jari orang. Namun, ia tidak mau menjadi bodoh, jika membiarkan Bunda terus-menerus menanyakan kabar Shofi, maka tidak sedikit orang yang akan menaruh curiga kepadanya. Lebih-lebih jika sampai kasus itu terseret ke ranah hukum. Barangkali Bos Bagong bisa mengelak, mencari alasan dengan sejuta dalih atau sogokan uang, tetapi bagi Anggi? Ia terlalu miskin untuk membungkam mulut keadilan. Anggi mencari cara supaya pencarian Shofi diberhentikan. Ia berinisiatif meniru tulisan tangan Shofi, memberi kabar bohong perihal Shofi yang memilih hidup mandiri, katanya; 'Teruntuk Bundaku tersayang, maaf dan terima kasih karena telah merawatku sampai detik ini. Aku sangat beruntung menjadi putrimu, setidak embu
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad