Seketika rona wajah Bunda dipenuhi dengan mendung. Barangkali memang benar, tidak boleh sembarangan mempercayakan sesuatu kepada orang asing, sekalipun orang tersebut terpandang baik atau pun alim. Pasalnya, di masa yang dahulu pernah dikatakan indah, kepercayaannya lenyap di tangan orang yang dikenal baik. Ayahnya Shofi meninggal dunia usai difitnah menggelapkan anggaran amal untuk pembangunan masjid. Pria dengan kumis tipis dalam benak Agam itu seketika terkena serangan jantung, meninggal tanpa bersalah tetapi dihujani umpatan dan makian menyakitkan. Tragisnya, tidak seorang pun datang ke pemakaman untuk mengantar jenazah almarhum. Bunda memutuskan pindah dari kota kelahiran, mengungsi ke kota yang lebih sibuk supaya bisa menentramkan kenangan buruk dalam pikiran. Bunda membawa Agam juga Shofi ke Jawa Timur demi menimbun masa lalu yang teramat getir. Ia menjual rumah sekaligus tanah yang diwariskan orang tua di Porworejo, Jawa Tengah kemudian membeli rumah sederhana di Malang Jawa
Meski kedengarannya aneh, tetapi faktanya itu memang pesan dari Shofi, Bu." Urai Anggi kemudian. Ia menangkap manik mata Agama yang dipenuhi dengan ketidakpercayaan. Semalam yang lalu, tangan dan kepalanya sibuk menjiplak tulisan tangan Shofi. Rupanya bukan hal mudah meniru gerak-gerik jari-jari orang. Namun, ia tidak mau menjadi bodoh, jika membiarkan Bunda terus-menerus menanyakan kabar Shofi, maka tidak sedikit orang yang akan menaruh curiga kepadanya. Lebih-lebih jika sampai kasus itu terseret ke ranah hukum. Barangkali Bos Bagong bisa mengelak, mencari alasan dengan sejuta dalih atau sogokan uang, tetapi bagi Anggi? Ia terlalu miskin untuk membungkam mulut keadilan. Anggi mencari cara supaya pencarian Shofi diberhentikan. Ia berinisiatif meniru tulisan tangan Shofi, memberi kabar bohong perihal Shofi yang memilih hidup mandiri, katanya; 'Teruntuk Bundaku tersayang, maaf dan terima kasih karena telah merawatku sampai detik ini. Aku sangat beruntung menjadi putrimu, setidak embu
"Kau mutiara di antara tumpukan tahi kambing, teramat bersinar tetapi tetaplah beraroma busuk," kata pria berkaca mata tebal sambil melonggarkan kancing. "Sementara aku adalah tahi kambing di antara tumpukan mutiara, sisi gelapku tidak begitu tampak karena mutiara-mutiara itu bersinar terang, Gadis Manis!" sambungnya kemudian. Shofi hanya mengembuskan napas lelah. Ia tidak mau pasrah apalagi menyerah. Harga dirinya teramat mahal jika harus diobral di atas kasur Bos Bagong dengan pria berpenampilan rapi, tetapi hatinya keji. Dari cerita Bawon, sosok yang ada di hadapannya kemarin malam adalah seorang pemimpin di kota sebelah. Shofi amat terkejut melihat paras orang separuh renta yang menjilat kekuasaan dengan pembodohan dan kebohongan di hadapan publik. Ia tidak menyangka akan berhadapan langsung dengan orang-orang bejat seperti itu. Biasanya Shofi hanya menyaksikan di televisi. "Kenapa Anda bangga menjadi kotoran, Tuan?" tanya Shofi retoris sembari memandang tajam. Ada hasrat menika
Agam membaca surat yang diberikan oleh Anggi berkali-kali, ia bahkan menempelkan kertas itu dengan lakban di atas permukaan cermin. Selain meneropong kekesalan melalui pantulan wajahnya, ia terus membandingkan tulisan surat tersebut dengan tulisan tangan Shofi. Agam sedang berusaha keras mencari kejanggalan dari sikap Anggi. Pasalnya ia sulit mempercayai orang, apalagi orang asing yang mengaku-ngaku menjadi teman akrab Shofi di tempat kerja. Baginya itu hal yang aneh, sayangnya ia tidak bisa bicara begitu saja di depan Bunda tanpa bukti. Bunda tentu akan mengira dirinya hanya penaruh curiga kepada orang lain. "Aku yakin, ini bukan tulisan tangan Shofi, meski nyaris sama persis, tetapi mereka hanya mirip bukan satu tangan!" gumam Agam sambil mengelus ujung dagu yang tidak berjanggut.Isi surat yang dibaca Bunda kemarin malam membuat wanita separuh renta itu menemukan semangatnya yang sempat hilang. Pada pagi-pagi selanjutnya ia kembali menjalani rutinitas kehidupan dengan riang dan s
Anggi sungguh muak dengan keberadaan Agam, ia memutuskan berpaling dari hadapan pemuda yang menyimpan banyak kepedulian kepada saudaranya. Anggi menghidupkan mesin sepeda motor lagi, membelokkan roda, mengembalikan arah pada jalan utama. Sejujurnya Agam sangat kesal. Diabaikan merupakan hal paling memuakkan dalam hidupnya. Sayang, ia tidak mau membuang tenaga dengan berontak malam itu. Pilihan terakhir, dirinya mengikuti pergerakan langkah roda motor Anggi, bermaksud membaca pola kehidupan Anggi. Agam ingin tahu tempat-tempat yang dituju oleh Anggi. Maka bukan hanya pada malam itu saja ia menjadi ekor bagi setiap pergerakan langkah perempuan berambut pirang tersebut, melainkan nyaris sepanjang waktu ia mengintai dari lokasi terdekat. Selama itu kegiatan Anggi, hanyalah datang ke tempat kerja–pabrik roti, pulang ke rumah di kawasan rusun milik pemerintah daerah yang disewakan dengan harga miring, kemudian duduk di balkon rumah sempit–memandang langit, menghitung bintang-bintang, seol
"Han, besok gantikan abah ceramah di depan warga ya!" perintah Abah Aziz sambil menatap putra kesayangannya dari ambang pintu. Gus Farhan yang semula rebahan, langsung mengambil posisi duduk. Detik itu malam datang lebih cepat. Rutinitas di pondok Asmaul Khusna yang telah berjalan teratur, mengikis pergerakan waktu. Tak disadari menit menjadi masa lalu. Abah Aziz baru saja pulang dari Demak, silaturahmi ke pesantren salaf milik kyai yang dulu pernah menjadi guru. Raut wajah Abah Aziz terlihat kusut karena disapu angin lelah dan debu-debu selama perjalanan. "Wah … ilmu Farhan masih sekecil pasir di pesisir, tidak ada apa-apanya dengan Abah, alangkah baiknya jika guru lain yang menggantikan," kata Gus Farhan dengan lembut. Abah Aziz mendekat, ia meletakkan tangan kanan di bahu Gus Farhan, menitipkan sebuah kepercayaan melalui gerakan tersurat. "Maka belajarlah, ilmu semakin disebarkan maka akan bertambah manfaatnya, tidak ada yang rugi dari berbagi ilmu, Han. Sekecil apa pun hal ya
"Jadi temannya Shofi memberikan surat ini kepada saya," Bunda mulai membuka suara. Ia menyeka riak tangis kemudian fokus memandang wajah Gus Farhan yang penuh dengan minyak. Lelah pemuda itu tersurat di parasnya yang teduh. Meski demikian ia tidak mungkin mengabaikan tamu yang telah menunggunya sejak tadi. Bunda membenarkan letak kerudung. Surat yang dimaksud diserahkan kepada Gus Farhan dengan meletakkan di atas meja. Gus Farhan menyeret kertas itu sebelum di lembar di ambang udara. Helai-demi helai kata ia baca seksama. "Jadi Shofi tidak hilang, Bu?" Gus Farhan memastikan. "Menurut surat tersebut, begitu Han. Tetapi Agam tidak yakin dengan tulisan itu, saya sempat berusaha tenang, belajar percaya, akan tetapi batin saya terasa tidak tenang. Bisakah Farhan memberi solusi?" Bunda yang sudah terlalu pesimis, mengharap bantuan kepada Gus Farhan lagi. "Haruskah saya melaporkan kepada polisi?" Gus Farhan merenung sejenak. Lapor polisi dibenarkan. Setidaknya ada tim yang akan memban
Shofi melintasi lorong temaram yang menghubungkan diskotik dengan pintu keluar masuk para karyawan di bagian belakang gedung. Ia nyaris tidak bisa bernapas selama melangkah—detik demi detik. Gadis yang menutup kepala dengan topi hitam itu mulai mengembuskan napas pasrah usai tiba di area parkiran. Ia bersegera mengambil ancang-ancang untuk berlari. Dadanya bergemuruh, air mata mengalir riuh, suaranya tertahan, ingin sekali berteriak 'tolong!' tetapi tidak mau menimbulkan kecurigaan. Tiba-tiba jantungnya terasa mencelos. Sebuah suara lembut, yang kental dan sering ia dengar sebelum dijebak di tempat berlumpur dosa itu, meletakkan tangan di atas bahu Shofi. "Shofi … kaukah itu?" Lantas wajah ketakutan Shofi menoleh ke sumber suara. "Jahat kamu, Nggi!" Kalimat menuntut yang dibarengi dengan isak. Buru-buru Anggi membekap mulut Shofi, menyeret lengan keluar dari area parkiran—menjauhi arena diskotik. Pada akhirnya mereka duduk di sebuah angkringan lusuh berkawan debu dan kesunyian, s
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad