Shofi melintasi lorong temaram yang menghubungkan diskotik dengan pintu keluar masuk para karyawan di bagian belakang gedung. Ia nyaris tidak bisa bernapas selama melangkah—detik demi detik. Gadis yang menutup kepala dengan topi hitam itu mulai mengembuskan napas pasrah usai tiba di area parkiran. Ia bersegera mengambil ancang-ancang untuk berlari. Dadanya bergemuruh, air mata mengalir riuh, suaranya tertahan, ingin sekali berteriak 'tolong!' tetapi tidak mau menimbulkan kecurigaan. Tiba-tiba jantungnya terasa mencelos. Sebuah suara lembut, yang kental dan sering ia dengar sebelum dijebak di tempat berlumpur dosa itu, meletakkan tangan di atas bahu Shofi. "Shofi … kaukah itu?" Lantas wajah ketakutan Shofi menoleh ke sumber suara. "Jahat kamu, Nggi!" Kalimat menuntut yang dibarengi dengan isak. Buru-buru Anggi membekap mulut Shofi, menyeret lengan keluar dari area parkiran—menjauhi arena diskotik. Pada akhirnya mereka duduk di sebuah angkringan lusuh berkawan debu dan kesunyian, s
Air mata tidak akan pernah cukup menampung kekesalan Shofi kepada Anggi. Harusnya ia tidak pernah menghabiskan waktu untuk duduk bersama di angkringan itu, ia bisa saja langsung lari, berteriak meminta bantuan kepada orang-orang yang melintas di pinggiran malam. Mengapa ia sangat ceroboh? Mengapa kembali percaya pada rekan yang sudah dipenuhi dengan kecurigaan? Intinya ia menyesal dan sesanya menjadi hal percuma. Shofi lagi-lagi terjebak di ruang asing yang tidak pernah berniat ia singgahi. Terkurung pada kamar bagus dengan fasilitas mewah, kasur yang empuk, lemari pakaian modern tidak butut apalagi dihuni rayap-rayap, cermin yang bisa menangkap seluruh tubuh sampai ujung kaki, meja rias, rak souvenir, sebuah foto figura menampilkan sosok pemuda yang merangkul Bos Bagong. Ia hanya mampu memandang wajah di bingkai itu dengan tatapan nanar. Kalau saja Bos Bagong paham bahwa dirinya pun adalah seorang anak dari ayah yang usianya telah purna. Ia pernah sangat diharga dan dilindungi oleh
Orang-orang memanggilnya demikian. Mereka menganggap Putra terlahir dari keluarga kaya raya, maka sangat ingin didekati dan diimpikan berpindah nasibnya. Putra pemuda berperawakan tinggi dengan wajah manis. Kulitnya tidak begitu putih, sawo matang serupa orang Indonesia kebanyakan. Senyumnya menawan, senantiasa membuat hati kaum hawa bergetar. Ia idola di kampus karena rupa fisik dan latar belakang keluarga yang kaya raya. Tetapi, tidak dalam pola pikir dan sikap. Putra menjadi bual-bualan di kantin-kantin kampus, di punggung -punggung malam sewaktu mereka tongkrong, maupun ketika mengerjakan tugas. Meskipun demikian, Putra tidak peduli. Ia memiliki dunia yang lebih menggairahkan ketimbang kampus menundukkan kepala di kampus. Minum alkohol, berkawan dengan preman-preman, menyatu dengan geng motor, ikut balap liar tanpa sepengetahuan kedua orang tua, bahkan suka berfoya-foya. Putra tidak sekali pun merasa dirugikan dengan kegiatan tersebut. Selama ini ia enjoy menjalani hidup suram yan
Bos Bagong mendobrak pintu kamar. Shofi yang semula mulai terpejam karena kelelahan, tiba-tiba membelalakkan mata. Rasanya baru tiga jam lalu Bos Bagong meninggalkan kamar mewah yang digunakan untuk menyekab kebebasannya, rasanya baru tadi ancaman dilayangkan penuh bara emosi, juga belum lama ia merasakan hening mengalir dengan tentram di penghujung malam. Lagi-lagi lelah yang hendak diistirahatkan terganggu gebrakan kasar Bos Bagong. "Apa yang kau minta kepada Tuhan?" sentak Bos Bagong sambil menendang lutut Shofi. Gadis itu terduduk di lantai, bersandar badan dipan yang keras, kedua tangan diikat erat, bibir dilakban hitam, anak-anak rambut berserak di kening. Kalau saja kedua tangannya bebas, jilbab kusutnya sudah dirapikan sejak tadi. Bos Bagong menarik lakban dari bibir Shofi dengan kasar. Suara merintih terdengar nyaring, menyayat hilir malam yang akan berakhir. "Beginikah caramu memperlakukan manusia? Kau sungguh tidak manusiawi, Pak!" "Persetan! Apa yang kau kirim ke langi
Pagi tiba lebih awal. Sejujurnya pergerakan detik tidak pernah berubah, senantiasa stabil tanpa memgurangi atau menambahkan kecepatan. Sayangnya bagi Gus Farhan yang kesulitan tidur tadi malam tentu pagi terasa berbeda dari biasanya. Dari bingkai jendela masjid, ia memandangi lahan sawah nan luas, mengembangkan pikiran pada hal-hal abstrak yang tidak seharusnya ia lakukan. Jamaah subuh santri telah menutup bacaan Al-Quran. Mengemas langkah usai merapikan sajadah dan membersihkan area sembahyang. Gema ayat suci yang semula menentramkan jiwa, tetiba dipangkas kesunyian dalam kedamaian waktu esok. Kang Zaki menghampiri Gus Farhan, menanyakan lamunan yang diedarkan oleh tatapan hampa. "Mau olahraga tidak, Gus?" tanya Kang Zaki sebagai basa-basi, niatnya untuk memecah lamunan Gus Farhan. Sebetulnya ia hendak mengajak keluar dari masjid. Pasalnya sudah tidak ada santri di sana, berdiam diri dengan lamunan alias bengong terlalu lama bukanlah perbuatan baik. Di luar sana, santri laki-laki
Faktanya pesan yang diharapkan sampai ke Abah Aziz dihalau oleh takdir. Pemuda pencuri foto Gus Farhan sedang berada di diskotik itu berkali-kali melenguh napas kesal, sebab kontak Abah Aziz sudah tidak aktif. Ia menanam kecewa atas tindakan Gus Farhan yang mangkir di tempat terlarang, bukan karena ia merasa sok suci dengan menghakimi perbuatan orang lain, tetapi kesal karena sosok yang diidolakan banyak mahasiswa itu terciduk duduk di hadapan miras—meski itu bukan minuman Gus Farhan. Selama ini Mahes sering mengikuti kajian kampus bersama Gus Farhan. Biasanya ada kegiatan rohani yang memang diselenggarakan secara rutin. Gus Farhan mendapatkan kepercayaan dari pihak kampus untuk membimbing jiwa lena para mahasiswa. Setidaknya ucapan dan perilaku Gus Farhan pernah didengar dan dijadikan panutan kaum muda. Mahes sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Gus Farhan hari itu. Ia sudah terlanjur sengasara karena rekan dekatnya sekarat di rumah sakit, tambah dengki karena figur yang dik
Kepala Shofi berdenyut-denyut hebat. Ia menggigil sementara perut dirasa mual. Akibata jatuh dari tangga beberapa hari lalu, juga pencernaan yang dibiarkan kosong. Sampai detik itu Shofi masih terdiam di dalam sekapan. Juned menengok ke gudang tiga kali sehari, waktu-waktu makan, sementara penghuni rumah mewah itu berkasak-kusuk sampai terdengar telinga Shofi. Kebetulan sekali gudang terletak pada deretan kamar mandi. Siapa pun yang singgah untuk mandi atau sekadar buang hajat, spontan akan melirik sebuah pintu tertutup rapat yanag sering digunakan untuk mengurung penghuni baru. Jadi selain engap, gudang itu menguarkan aroma busuk yang pantas saja membuat perut Shofi mual. "Sungguh memuakkan, hanya karena dia memakai jilbab, tubuhnya masih suci sampai detik ini," seloroh wanita berambut cepak yang baru selesai mandi. "Dia hanya sedang beruntung, ketahuilah Bos bukan orang yang mudah melepas mangsanya," "Tetapi aku merasa cemburu, kita terus dipekerjakan, tanpa peduli rupiah yang d
Juned memutar pegangan pintu, tangan kanan membawa sepiring makanan lengkap dengan lauknya sementara tangan kiri menyentuh sakelar lampu. Ruang yang semula dipenuhi dengan kegelapan mendadak terang benderang. Lihatlah, sekujur tubuh Shofi yang telah rebah di atas lantai. Jilbal koyak, kain sekusut lap pel dan bibir kering kerontang retak -retak. Ia sudah lemah, suaranya juga tak sanggup memberi pembelaan. Juned menendang kaki Shofi. Ah bahkan kaki Shofi sebeku es di freezer, dingin tak mampu dipijakkan. "Bangun!" "Kau tetap harus hidup, jika tidak Bos Bagong akan membunuhku!" "Brengsek! Bangun!" Juned menambah kekuatan. Tendangan semakin ditekan, tetapi Shofi tidak memberikan respon. Dua bola matanya tertutup rapat. "Bangun, makan!" Juned menyorongkan makanan ke arah bibir Shofi. Gadis itu sungguh tidak sadarkan diri. Embusan napas lepas keluar pasrah. Bos Bagong tentu akan marah-marah. Juragannya itu selalu tidak mau mengaku salah. Sejujurnya jika dipikir-pikir, kesalahan terle
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad