Harsano mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dari Elisa, neneknya Erin. Ia awalnya sempat merasa kecewa kepada David karena meninggalkan Erin untuk urusan pekerjaan.
Pria tua itu mengaku bertanya ke putrinya untuk meminta penjelasan sekaligus mempertanyakan tentang kesungguhan David pada ucapannya ketika melamar dulu.
Erin menjelaskan keadaan yang sebenarnya kepada sang ayah, sehingga Harsano akhirnya mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi dan ia tidak lagi merasa terlalu marah kepada David.
“Papa dengar Elisa juga memarahi mu?”
“Ya, tapi saya sadar itu adalah kesalahan saya… Saya memang seharusnya lebih memperhatikan Erin,” jawab David dengan ekspresi sendu.
Tatapan teduh pria tua itu membuat David kembali merasa tenang. Semua pikiran buruknya kembali disimpan rapat.
‘Apa nenek Elisa tidak mengatakan hal lainnya kepada papa?’
“Papa percaya padamu, papa tau kamu adalah pria yang baik dan menyayangi Erin dengan tu
Erin segera menuju tempat yang disebutkan Emmy. Ia mau datang karena tidak ingin terus terlibat masalah dengan orang tersebut. Meski ada rasa enggan menemui perempuan itu, ia tetap melakukannya karena memang sudah berniat menyelesaikan satu persatu masalah yang ada. Helaan nafas panjang berkali-kali terdengar dari Erin ketika ia mengingat kembali betapa bodohnya semua hal yang dilakukannya selama ini. Balas dendam dengan mengambil keputusan bodoh untuk menikah kontrak membuatnya terjebak dalam situasi yang sulit. Semua yang dilakukannya tidak hanya semakin melukai dirinya sendiri, tapi juga orang di sekitar yang menyayanginya. Erin sampai di sebuah cafe di pinggiran kota setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama satu jam. Ia masih tidak mengerti kenapa Emmy meminta menemuinya di tempat yang jauh seperti itu. Pandangan mata Erin menyelidik ke seluruh ruangan cafe itu, mencari sosok yang memintanya datang. Emmy melambaikan tangan dengan ekspresi ceria begitu melihat Erin da
Erin menunggu David di rumah dengan perasaan cemas. Ia sudah mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan berbagai kegiatan. Namun semua skenario buruk dalam kepalanya membuat ia semakin gelisah. Meski permasalahannya dengan Emmy sudah bisa dikatakan selesai. Akar utama masalah yang terjadi justru mulai memunculkan berbagai persoalan lain. Lamunannya sore itu buyar begitu getar ponselnya berkali-kali terdengar. Beberapa pesan dikirimkan oleh Alen dan pesan lainnya dari Nathan. ‘Alen meminta ku menemuinya? Tumben…’ Erin segera berganti pakaian lalu terburu-buru melangkah menuju garasi. Namun langkahnya terhenti begitu Harsano memanggilnya. “Kamu mau pergi lagi?” “Iya, mau beli sesuatu sebentar,” jawab Erin beralasan. “Kalau begitu tolong sekalian beli bahan masakan.” “Oke, Erin pergi dulu.” Kakinya melangkah dengan cepat menuju garasi lalu mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju tempat yang disebutkan Alen. Alen terlihat duduk dengan raut wajah pucat saat Erin
“Pernikahan ku?” Ekspresi kaget Erin tidak dapat lagi disembunyikan. Perasaan lega yang sempat dirasakan, sekarang kembali menjadi penuh dengan kecemasan. Tatapan sendu Elisa mengarah ke jendela restoran. Dari jendela tersebut terlihat lampu-lampu dari kendaraan menyorot jalan. Semua tampak kontras dengan suasana yang mulai semakin gelap. “Pernikahan mu dengan David hanya kontrak bukan?” ucap Elisa pelan. Pertanyaan nenek Elisa seperti ombak yang menghempas ketenangannya. Semua ketenangan yang dipertahankan, kini berserakan. Semua skenario buruk kembali muncul dalam pikiran. “Apa? Kenapa nenek berpikir begitu?” tanya Erin dengan ekspresi bingung. Nenek Elisa menghela nafas panjang lalu memandang cucunya dengan penuh simpati. “Nenek sudah mengetahui semuanya…” ‘Nggak… nggak mungkin… pasti nenek cuma sekedar memancing ku supaya aku mengatakan semuanya.’ Wanita tua itu mengaku selama ini mencoba mencari tahu tentang kehidupan Erin. Kemudian saat menemukan cerita yang mencurigakan
Ucapan Erin yang terdengar tanpa emosi dengan tatapan mata yang sendu itu membuat David membeku di tempatnya. “Ada apa?” “Sebenarnya aku ingin membicarakan ulang tentang perjanjian kita, aku ingin mengakhiri perjanjian ini lebih cepat.” Kalimat yang diucapkan Erin seketika membuat David terkejut. “Tiba-tiba? Apa karena pernyataan ku waktu itu?” Erin menggeleng pelan. “Aku sudah nggak memiliki alasan untuk tetap melanjutkan ini, aku nggak ingin menimbulkan lebih banyak masalah lagi.” Kali ini David memandangi Erin dengan ekspresi bingung. “Jelaskan pada ku.” Perempuan itu menyandarkan punggungnya di ranjang. Ia menghela nafas panjang lalu mengatakan secara jujur bahwa ia tidak lagi merasa dendam atau marah kepada Nathan. Ia juga mengatakan ingin memperbaiki hidupnya dan tidak mau menyakiti siapa pun lagi. “Aku banyak merenung setelah mendapatkan banyak masalah, ku rasa keputusan yang ku ambil saat sedang marah itu adalah hal paling bodoh yang pernah ku lakukan... Aku benar-bena
Sore itu David mampir ke rumah orang tuanya setelah selesai bekerja. Ia memang sudah lama tidak pulang karena banyak yang harus dilakukan saat kakek dan nenek Erin datang. Pria itu ingin memastikan sesuatu karena merasa penasaran dengan perubahan sikap Nathan yang terlihat kembali emosional saat berbicara dengannya. “Ibu dimana yah?” “Sedang pergi belanja.” “Nathan?” “Siang hari dia memang ada di kantor, tapi cuma sebentar, biasanya dia menggunakan waktu luangnya sampai sore untuk mengerjakan skripsi.” ‘Dia sudah skripsian ternyata… sepertinya sudah lama aku tidak memperhatikannya…” David duduk di sofa begitu ayahnya masuk ke dalam kamar. Ia melepas jas lalu melonggarkan dasi yang dipakainya. Pandangan matanya yang lelah menyapu seluruh sudut ruangan tersebut. Ada rasa berat di hati saat ia mengingat banyak hal. Saat sedang terdiam sendiri, David sering mengingat kembali hal-hal yang sudah lewat. Semua emosi yang selama ini selalu disembunyikan semakin menekan perasaannya. K
Erin mengernyitkan keningnya setelah melihat ekspresi David yang tampak sedang mengkhawatirkan sesuatu. Suara David yang bergetar saat bertanya itu membuat perempuan itu menjadi berpikir macam-macam. ‘Apa lagi sekarang?’ “Ya, tentu.” “Kamu memberitahu Nathan tentang pernikahan kontrak kita?” Dahi Erin mengernyit saat mendengar pertanyaan dari David. ‘Apa Nathan mengatakannya ke mas David? Untuk apa?’ “Tentu saja nggak, untuk apa aku melakukan itu? Memangnya Nathan bilang apa?” “Dia bertanya kapan perjanjian ku dengan mu berakhir…” ‘Kenapa dia menanyakan itu? Apa sengaja untuk membuat mas David marah?’ Perempuan bermata coklat itu menghela nafas panjang. “Nathan memberitahu ku bahwa dia mengetahui tentang pernikahan kontrak ini saat tidak sengaja mendengar obrolan mu dengan kak Niki.” “Dia memberitahu mu kalau dia tau? Kenapa? Apa tujuannya?” “Ya, aku juga terkejut saat Nathan bilang padaku kalau di
Mata Erin terbuka begitu suara alarm ponselnya berbunyi. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang ada di ruangan tersebut. Ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dekat ranjangnya lalu meletakkan kembali benda tersebut setelah mematikan alarm. Erin turun dari ranjang lalu melangkah pelan ke ruang kerja yang biasanya digunakan David. Pandangan matanya menyelidik semua sudut tempat tersebut. Suasana ruangan itu masih sama seperti sebelumnya. Hening dan tidak terdapat tanda bahwa tempat itu dimasuki seseorang semalam. Semua benda di atas meja masih tetap pada tempatnya, tidak bergeser sedikit pun. Sofa ruangan itu juga masih rapi, tidak ada jejak seperti pernah diduduki atau ditiduri seseorang. ‘Mas David semalam nggak pulang?’ Menyadari hal tersebut, perasaan Erin tiba-tiba terasa nyeri. Ada kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sejak ia tidak meminta maaf karena telah meninggikan suara, ia tahu telah mendorong pria itu menjauh dan ia paha
Langkah Erin terhenti lalu menoleh ke arah sumber suara. “Kak Dani?” Pria tampan bermata onyx itu tersenyum ramah. “Masih ingat aku ternyata?” “Ya, tentu saja…” Erin menundukkan kepalanya. Ada rasa malu yang muncul begitu ia melihat Daniel yang masih saja ramah kepadanya. Sejak lama ia memang sengaja menghindari Daniel karena merasa tidak enak dengan apa yang sudah terjadi. “Jadi kamu berbaikan dengannya?” tanya Daniel mengulangi pertanyaannya. Perempuan di samping Daniel tersebut menggaruk ujung alisnya yang tidak gatal. Ia bingung akan menjawab apa karena jika disebut berbaikan sepertinya kurang tepat. “Sepertinya aku nggak bisa membicarakan ini di jalan begini…” Daniel melihat sekeliling jalanan yang mulai ramai dengan mahasiswa yang berdatangan. “Ya, kamu benar… hmm kamu mau makan siang bersama? Aku sebenarnya ingin mendengarnya sekarang sambil minum teh tapi aku baru ingat ada bimbingan sebentar lagi.” Dahi Erin mengernyit, ia sudah terlanjur bilang pada David untuk men
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka