“Sejak tadi?” “Sekitar setengah jam yang lalu.” Erin menghela nafas panjang dan mengatur ekspresinya baru kemudian melangkah memasuki ruangannya dengan raut wajah tenang. Tatapan matanya langsung bertemu dengan David yang memandanginya dengan ekspresi menyelidik. “Mas David datang?” “Ya… ayah meminta ku mengantar beberapa dokumen ke papa, lalu ayah minta sekalian memberikan ini untuk mu.” Pandangan mata Erin beralih ke kue tersebut lalu kembali lagi menatap David dengan ekspresi tenang. “Sampaikan terimakasih ku ke ayah.” David mengangguk lalu menghela nafas panjang. “Kamu jadinya naik ojek online?” ‘Sepertinya mas David tau sejak tadi Milley disini, aku nggak bisa menyangkal lagi… untung aja aku nolak waktu kak Dani nawarin mau nganter.’ “Ya… karena lebih cepat,” jawab Erin asal. “Kalau begitu aku pulang dulu.” Pria itu bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Erin terdiam di tempatnya. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Kepedihan hatinya
Hari berganti dan waktu semakin berlalu. Semua terlihat berjalan normal, bagi orang lain. Tidak ada yang mencurigai tentang hubungan Erin dan David yang sebentar lagi akan berakhir. Baik Erin maupun David tetap menunjukkan keharmonisan di depan orang lain. Keduanya masih sering menghadiri acara-acara pesta bersama. Erin berpikir semuanya akan baik-baik saja karena semua orang percaya dengan apa yang ia dan David perlihatkan. Namun diluar dugaan ternyata Harsano selama ini mengamati interaksi putri dan menantunya. Pria tua itu mulai merasa ada yang aneh karena kadang sikap Erin tampak berbeda kepada David saat tidak ada yang melihat. Tentu saja awalnya Harsano berpikir keluarga kecil itu hanya sedang bertengkar kecil dan ia tidak mau ikut campur. Namun interaksi pasangan tersebut tampak canggung saat pria itu tiba-tiba muncul. “Papa memanggil ku?” tanya Erin yang baru saja tiba di ruangan kerja ayahnya. “Ya, ada yang mau papa tanyakan.” “Soal pekerjaan?” “Bukan.” Dahi Erin me
Ekspresi sedih pria tua itu membuat David merasa semakin bersalah. Ia berpikir bahwa ialah yang harus meminta maaf karena sudah membohongi pria itu. “Papa pikir Erin bisa lebih dewasa, tapi ternyata dia masih saja egois…” Pria tua itu mulai mengatakan semua tindakan putrinya yang sering dilakukan tanpa pikir panjang. Ia meminta maaf berkali-kali kepada David yang harus menghadapi keras kepala Erin. “Saya paham, tapi keinginan untuk berkembang itu bagus, jadi jangan menilainya dengan buruk.” “Tapi dia bahkan tidak mempertimbangkan mu untuk mengajak tinggal disana bukan? Bagaimana papa tidak menilainya egois?” “Belajar membutuhkan fokus, pa. Selain itu keputusan Erin yang seperti itu pasti juga karena sudah memikirkan posisi David yang banyak pekerjaan disini.” Pandangan Harsano beralih ke gelas berisi kopi di atas meja. Eskpresi sendunya masih terlihat meski David sudah mencoba menenangkannya. “Coba saja papa bisa sepertimu deng
“Kita balik duluan ya, rin.” “Ya, hati-hati di jalan.” Erin menghela nafas panjang usai dua sahabatnya pergi. Ia baru saja makan bersama dengan teman dekatnya di salah satu restoran dekat kampus setelah selesai kelas. Jessie hari ini berulang tahun, oleh karena itu mereka merayakannya dengan makan bersama. Sebenarnya masih ada acara lain dan Erin masih ingin bepergian bersama teman-temannya, tapi ia tidak jadi ikut setelah Livi bilang akan banyak teman laki-laki dari berbagai jurusan yang datang untuk karaoke bersama. Perempuan itu menghela nafas panjang. Ia mulai kembali merasa bosan dengan rutinitas yang sama dan ingin pergi bersenang-senang. Namun sejak awal situasinya berbeda dengan teman-teman lainnya. Ia tidak ingin berada di sekitar orang-orang yang memandangnya dengan tatapan aneh hanya karena ia sudah menikah meski masih kuliah. Erin menghela nafas panjang lagi. Pandangan matanya fokus memeriksa agenda hari itu. ‘Padah
Beberapa bulan kemudian.. . . Semakin hari hubungan Erin dan David semakin renggang. Perempuan itu bahkan mulai jarang makan bersama dengan alasan sedang sibuk menyiapkan skripsi. Ia akan berangkat pagi-pagi dan berdiam diri di perpustakaan fakultas hingga menjelang waktu kelas. Setelah itu Erin akan ke kantor sebentar dan memeriksa semua dokumen yang perlu diperiksa hingga sore hari. Usai bekerja biasanya Erin akan menuju ke salah satu kafe yang tenang untuk lanjut membaca beberapa penelitian terdahulu dan akan kembali ketika jam makan malam sudah lewat. Harsano ingin menegurnya tapi David melarang dan menyarankan sang ayah mertua untuk memaklumi kegiatan Erin. Pria itu menjelaskan dengan hati-hati bahwa Erin ingin lulus lebih cepat dan menurutnya itu adalah hal yang perlu didukung. Harsano akhirnya menyerah dan membiarkan Erin melakukan apa yang diinginkannya. “Erin, kamu masih belum bersiap?” “Sebentar,” balas Erin yang masih fokus dengan layar di depannya. “Ini sudah ja
David dan Erin sampai di restoran tidak lama setelah makanan disajikan. Keluarga Nathan memang mengundang Harsano dan Erin secara khusus untuk ikut merayakan kelulusan putra mereka. Makan bersama tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya menjalin hubungan antar keluarga agar menjadi lebih dekat. Dua keluarga tersebut makan bersama sambil mengobrol. Obrolan tersebut sesekali diselingi dengan tawa kecil dari Hardion dan Amelian yang sedang berbahagia dengan kelulusan putranya. Erin juga sesekali menanggapi dengan ekspresi ramah. Ia menjaga raut wajahnya tetap hangat meski perasaannya sedang tidak menentu. Dalam satu tahun terakhir semua banyak berubah. Amelian yang dulunya tampak membenci perempuan itu, sekarang juga sudah terlihat ramah. Wanita paruh baya itu memang sudah mencoba menerima keadaan setelah sering mendapat teguran dari Hardion. Kondisi Nathan yang membaik juga menjadi salah satu alasan kenapa Amelian tidak lagi memusuhi Erin. Suasana makan bersama yang hangat itu memb
Pria di samping Erin itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tidak menyangka kalau perempuan itu bahkan tidak mengingatnya. “Ehmm, aku Sandi, sahabatnya Daniel, waktu itu kita pernah ketemu waktu makan di restoran daging…” Erin mengernyitkan keningnya. Ia tampak mencoba mengingat tapi ia tidak terlalu mengingat pria tersebut. “Oh… ya, ya aku ingat sekarang.” “Maaf kalau aku mengganggu,” ucap Sandi dengan ekspresi bersalah. “Nggak kok… kak Sandi lagi nyari bahan skripsian juga?” “Iya, kalau kamu?” Pandangan matanya beralih ke buku yang asal ia ambil, begitupun dengan pria di sampingnya. “Ehmm, tadi sebenarnya mau nyari buku referensi, tapi malah ambil buku yang lain, hehe,” jawab Erin asal. Obrolan tersebut berlanjut. Erin merasa senang karena akhirnya pikirannya bisa teralihkan. “Oh jadi kamu mau nyiapin dulu? Rajin ya mulai lebih dulu,” ucap Sandi sambil tertawa kecil. “Ehmm, aku ingin lulus cepat kak.” “Kenapa? Supaya fokus dengan keluarga?” Pertanyaan dari pria itu
Erin sudah mencoba menjelaskan semuanya dan bahkan menyebut dengan detail percakapan yang dilakukannya dengan Daniel maupun Sandi. Kali ini ia jujur menceritakan semuanya, tapi ekspresi datar Harsano yang menahan amarah tetap tidak berubah. “Coba pikirkan dari sudut pandang orang lain yang tidak tau tentang itu,” balas Harsano yang kemudian meletakkan koran di meja dengan kasar. “Papa tidak melarang mu bertemu teman, Erin, tapi sebisa mungkin jangan pergi berdua dengan laki-laki, itu bisa menimbulkan salah paham,” tambah Harsano lagi. “Erin mengerti,” jawab Erin pasrah. “Coba bayangkan apa yang dipikirkan orang lain sebelum kamu melakukan sesuatu lagi.” “Ya, pa…” Harsano bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga tanpa mengatakan apa pun lagi. ‘Sepertinya papa nggak percaya dengan apa yang ku katakan…’ Perempuan itu mengigit bibirnya pelan. Perasaan yang sudah lega sebelumnya, tiba-tiba penuh kembali dan membuat dadanya terasa sesak. Ia memijat d
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka