Dahi Harsano mengernyit saat mendengar jawaban dari David, begitupun dengan Erin. Keduanya memandang pria berkumis tipis itu dengan ekspresi bingung. “David… kamu ini juga sama saja, selalu saja mementingkan pekerjaan…,” keluh Harsano dengan ekspresi kesal. “Papa akan bilang ke ayah mu,” ucap Harsano lagi. Erin bisa melihat jelas David tampak kaget dengan apa yang diucapkan ayahnya. “Pa…,” panggil David mencoba mencegah ayah mertuanya. Namun Harsano tidak mempedulikan panggilan menantunya dan justru langsung menjauh sambil membawa ponsel. Pria tua itu tampak sangat kesal dengan sikap putri dan menantunya yang gila kerja. “Ehmm, aku tau mas David nggak suka ide papa, tapi sebaiknya kali ini kita turuti… kalau nggak, mungkin papa akan melakukan hal yang lebih merepotkan,” ucap Erin setengah berbisik. “Merepotkan?” “Ya, sikap papa agak aneh, jadi turuti saja sekali ini, setelah itu ku rasa papa nggak akan melakukan
Tidak ada tanggapan dari David dan hal tersebut membuat Erin merasa lega karena bisa memandangi pria itu dalam waktu lama. “Aku harap setelah semua ini selesai, mas David bisa bisa lebih bahagia,” ucap Erin lirih. Perempuan itu tersenyum, tapi ada kesedihan pada tatapan matanya saat ia membayangkan David yang akan kembali bersama dengan Niki dan putranya. Keheningan menyelimuti perjalanan tersebut dan memperjelas batas dari hubungan yang akan segera berakhir. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya Erin dan David tiba di resort mewah yang sudah dipesankan oleh Harsano. “Aku bisa pesan kamar satu lagi kalau kamu nggak nyaman,” ucap David tiba-tiba. “Kalau papa tau bagaimana?” “Bagaimana bisa tau? kan nggak mungkin papa menyuruh orang mengawasi sampai kesini?” “Hmm, entahlah… mungkin ada orang yang dikenalnya di resort ini?” David masih terdiam, mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya. “Kalau sampai papa dengar nanti justru semua akan menjadi semakin ru
Erin kembali ke kamarnya setelah melihat matahari terbenam sedangkan David berkata ingin berkeliling sendiri selama beberapa waktu. Ia menghela nafas lalu membaringkan dirinya di kasur. Matanya fokus menatap langit-langit ruangan dengan ekspresi sendu. Ruangan dengan kombinasi kayu itu tampak hangat sekaligu sepi karena hanya ada dirinya sendiri. Meski sudah mengingatkan dirinya berkali-kali, ia ingin sekali memeluk David dan melepas rasa rindunya. Ada keinginan egois yang muncul dan meminta ia mempertahankan semuanya. Namun pikirannya lagi-lagi berusaha menepis semua perasaan tersebut. Tangannya meraih ponsel lalu membuka galeri. Ia mengamati fotonya dengan David yang dikirmkan kepada Harsano. ‘Bagaimana caranya menghentikan perasaan ku?’ keluhnya dalam hati. Setelah cukup lama mengamati fotonya dengan David, Erin akhirnya membuka pesan lama dan membaca ulang percakapannya dengan David. Dulu pria itu sangat baik dan ha
Usai liburan yang singkat tersebut, Erin dan David kembali ke Yogyakarta setelah dua hari berada di Bali. Keduanya langsung kembali sibuk dengan pekerjaan tanpa mengambil jeda untuk istirahat. Harsano sudah menyarankan putri dan menantunya untuk istirahat selama satu hari. Namun dengan berbagai alasan mereka tetap memaksa bekerja. Erin dan David menjauh secara alami karena kesibukan berbeda dan hal tersebut membuat perempuan itu merasa lebih lega. Keduanya hanya bertemu di rumah saat sudah dalam keadaan lelah sehingga komunikasi antara Erin dan David semakin berkurang. Saat makan malam pun David sering tidak ikut karena pulang terlambat. Peluncuran produk dengan model terbaru mendapat sambutan hangat sehingga pria itu harus bekerja ekstra. Dalam seminggu ini, beberapa kali David harus ke luar kota karena undangan dari mitra bisnis yang ingin membicarakan kerjasama lebih lanjut. “David menginap lagi?” “Ya, kali ini ke Jakarta,” balas Erin yang kemudian menyendokkan makanan ke mu
Tatapan mata David memandang ke arah Erin berkali-kali. Ada ketidakrelaan yang disembunyikan dalam ekspresinya yang datar. Makan bersama tersebut berlangsung hangat diselingi obrolan. Namun bagi Erin maupun David, semua itu terasa hambar. Meski sudah menyiapkan hati untuk semua hal termasuk perpisahan sementara sebelum perceraian, Erin tetap selalu merasa tidak siap. “Ehmm, boleh David ajak Erin berkeliling sebentar?” ucap David tiba-tiba. Erin memandang David dengan ekspresi bingung. ‘Ada apa?’ “Terserah kalian saja, tapi pastikan Erin sudah di bandara 1 jam sebelum waktu keberangkatan,” balas nenek Elisa dengan ekspresi datar. “Saya mengerti…” Harsano hanya mengangguk pelan. Ia terlihat lega tanpa sebab saat melihat cara David menatap Erin. Setelah berpamitan, David melangkah diikuti Erin meninggalkan resto tersebut setelah berpamitan sebentar. “Kamu nggak bertanya kita mau kemana?” “Nggak, aku tau mas David punya alasan sendiri untuk nggak mengatakannya…” Pria berkumis t
Pertanyaan dari Harsano membuat tatapan mata David menjadi lebih hangat. “Ya, saya mencintainya.” Jawaban kali ini sama sepertinya yang diucapkan dulu. Namun sekarang ia mengatakannya dengan perasaan berbeda. Kali ini David tidak lagi berbohong tentang apa yang dikatakannya kepada Harsano. Pria itu benar-benar mencintai Erin. “Bicarakan dengannya kalau ada keputusannya yang tidak kamu suka.. Erin itu seperti papa, perlu ditunjukkan dan dijelaskan langsung supaya tidak seenaknya mengambil keputusan. “Jangan buat dia menyesal di kemudian hari karena baru menyadari tindakan bodohnya setelah mengambil keputusan yang ia pikir adalah jawaban terbaik.” Suasana menjadi hening selama beberapa saat karena David mencoba mencari kalimat yang tepat untuk merespon. Namun ada beban berat di hatinya ketika mengingat kembali semua kesepakatannya dengan Erin. “Ya… David akan mencobanya.” Hanya jawaban itu yang bisa ia berikan meski dalam hati ia
Nathan tiba di bar 10 menit setelah Emmy meneleponnya untuk memberitahu David sedang minum-minum dan hampir tidak sadarkan diri. Ia memandang Emmy yang masih duduk di tempatnya dengan ekspresi lelah. Tatapan matanya tidak seramah biasanya dan cenderung seperti dipenuhi amarah. “Sudah datang kan? Aku mau pulang.” “Kenapa kamu disini dengan mas David?” Emmy memutar bola matanya dengan ekspresi malas. “Aku nggak sengaja bertemu disini.” “Nggak sengaja?” “Ya tentu saja nggak sengaja, memangnya ada urusan apa aku bertemu dengan kakak mu?” tanya Emmy dengan suara agak meninggi. Ia sudah lelah dengan semua drama di keluarganya dan sekarang ia lagi-lagi terlibat masalah dengan orang lain. Beberapa saat kemudian Emmy menggeleng lalu bergumam pelan, “sial aku jadi gampang emosi, ini gara-gara masalah yang belum selesai tapi malah kena masalah lain.” “Apa?” “Sudahlah, aku mau pulang. Aku menelepon mu supaya bukan aku yang harus mengurus kakak mu itu.” Emmy langsung pergi sambil mengom
Italia… . . Erin merebahkan tubuhnya di kasur kamar yang akan ditempatinya sementara itu. Matanya benar-benar berat karena selama perjalanan ia tidak bisa tidur. “Erin! Ayo makan dulu…” Perempuan itu membuka matanya dengan malas lalu menatap neneknya yang sudah berdiri di ambang pintu. “Nenek kan sudah bilang lebih baik kamu tidur, malah baca buku selama perjalanan…” “Aku nggak bisa tidur, nek… jadi sekarang aku ngantuk banget.” “Makan siang dulu, setelah itu kamu bisa istirahat.” “Iya iya…” Setelah mendapatkan jawaban dari cucunya, Elisa melangkah turun. Erin akhirnya bangun lalu berjalan malas menuju kamar mandi kemudian mencuci wajahnya dengan air dingin. Udara kering pada akhir musim panas di negara tersebut membuat Erin selalu ingin membasahi kulitnya dengan air. Usai mencuci muka dan berganti pakaian, Erin langsung turun menuju meja makan. Terlihat kakeknya sudah duduk di kursi samb