"Jadi, kamu memutuskan ini dengan pikiran jernih?"
"Ya, setidaknya ini lebih baik dibandingkan harus terus meratap." "Nona Aileen, kau aneh sekali." Albani tertawa di saat Aileen sedang tidak berselera diajak bercanda. "Apanya yang lucu." Aileen mengerutkan kening. "Tentu kau, Aileen." "Apanya yang lucu. Aku sedang kesal, bukan melucu." "Untuk apa kau meratapi pria tidak berguna. Bukannya itu lucu." Albani berkata santai sambil menyesap secangkir kopi di tangannya. "Kau seharusnya memaki dia sepuasnya. Ketimbang meratapinya, bukan." Aileen langsung diam. Benar yang dikatakan Albani, untuk apa dia meratapi pria brengsek seperti mantan pacarnya. "Baguslah kalau kau sudah memutuskan menerima tawaran ini." Aileen menghela napas. "Lalu setelah ini apa?" "Kita hanya perlu berpura-pura." "Pura-pura?" "Hem, pura-pura menikah." "Tetap saja, kita benar-benar menikah. Tidak ada yang namanya menikah pura-pura tapi tercatat di kementerian agama," pungkas Aileen. Albani mengangguk setuju. "Ya, kau benar. Kita memang akan menikah sungguhan. Tapi secara pribadi, kita punya ketentuan sendiri. Pernikahan ini direncanakan dan punya akhir yang jelas nanti." "Akhir yang jelas?" "Hem, kita akan berpisah setelah dua tahun. Tidak masalah, kan." "Oh. Jadi, kita hanya menikah dua tahun?" "Ya, nanti akan kuberikan rinciannya. Kita akan sepakati bersama." Aileen meringis. Ia tak pernah membayangkan akan melakukan perjanjian dengan orang untuk menikah pura-pura. Padahal impiannya membangun rumah tangga bahagia dengan orang yang dia cintai. Sekarang semuanya harus ia kubur dalam-dalam. "Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan Aileen, hanya cukup bersamaku semuanya akan selesai dengan sempurna." Perkataan Albani membuat Aileen menatap pria itu serius. "Maksudnya?" "Kau bisa membuat pria bodoh itu tampak semakin menyedihkan nanti. Kau hanya perlu membuatnya kecil sekecil debu di depanmu." Aileen berusaha mencerna perkataan pria di depannya. Albani kelihatan sangat tenang, dia berbeda dengan Rio yang cenderung gegabah dalam bersikap. Albani di satu sisi hanyalah pria asing dalam hidup Aileen, tapi entah kenapa Aileen merasa Albani jauh membuatnya tenang, dibandingkan saat ia bersama dengan Rio dahulu. "Kau mengerti maksudku, kan?" tanya Albani. "Em, aku hanya tidak suka dia sebebas itu bersikap seolah selama ini aku hanya gadis bodoh." Aileen menghembuskan napas berat. "Aku sudah memberikan segalanya, tapi itu makin membuatku tampak bodoh kan." Albani terkekeh. "Kau hanya naif, Aileen." "Apa katamu? Naif?" "Hem, gadis naif yang sangat ku benci." "Hah?" Albani menatap Aileen lekat. "Kau seharusnya bersikap agresif dibanding naif. Gadis naif tidak akan bisa membalas dendam. Sementara gadis agresif bisa dengan lebih leluasa melakukannya. Apa kau paham?" *** Aileen terus memikirkan perkataan Albani. Anehnya setiap ucapan Albani selalu berhasil membuatnya kepikiran walau ia berusaha tidak memikirkannya. Kesepakatan itu sudah dia lakukan. Ia sebentar lagi akan menikah dengan pria asing itu. Albani Raditya. "Aileen, mama boleh masuk?" "Ya, Ma." Aileen menghilangkan pikirannya tentang perkataan Albani, ia harus fokus pada mamanya. Semoga saja mamanya tidak curiga mengapa ia begitu mudahnya berbalik jadi menerima perjodohan itu. "Kamu belum tidur sayang?" "Belum, Ma. Ada apa, Ma?" "Tidak apa-apa, mama cuman mau ngobrol sebentar." "Ah, oke." "Kamu tadi abis ketemuan sama Albani?" "Em, iya, Ma. Hanya untuk mengobrol aja." "Itu bagus, Sayang. Mama rasa kamu bisa lebih dekat lagi nanti." "Ma, Aileen ingin segera menikah." Mamanya terkejut mendengar perkataan Aileen. "Menikah lebih cepat?" "Ya. Lebih cepat lebih baik kan." "Tapi, ini serius? Kenapa sayang?" "No problem, aku hanya ingin segera menikah." Mamanya merasa aneh, tapi dia tidak ingin Aileen berubah pikiran. "Baiklah, Sayang. Mama akan bicarakan ini dengan papa dan juga keluarga Albani." "Ya, baik Ma." Aileen merasa yakin dia akan lebih baik jika sudah menikah. Sekarang dia semakin bersemangat untuk menghancurkan pria bernama Rio. Apalagi setelah kejadian tadi, dia tidak sengaja melihat Rio tengah bergandengan dengan kekasihnya di tempat yang sama, tempat dimana ia bertemu Albani. ** Albani baru saja sampai di apartemennya. Saat seperti ini dia memilih untuk memberikan privasi dengan tidak tinggal di rumah yang sama dimana mamanya ada di sana. Berbagai pertanyaan dan obrolan yang tidak dia harapkan hanya akan membuat kepalanya sakit. "Haah." Albani menghela napas berat. Ditangannya ada segelas wine yang menemani waktunya untuk sendiri. "Apa kau akan segera menjadi pria sungguhan, Al." Tatapan mata Albani hanya terus kosong. Ia banyak berpikir apa yang akan terjadi ke depannya, tapi saat kata pernikahan muncul mendadak semuanya jadi kosong melompong. "Wanita, kenapa harus ada di hidup ini." Albani menyesap minuman di gelasnya santai. "Wanita, gadis itu apakah dia juga wanita yang sama." Albani meletakkan gelas yang sudah kosong. "Wanita yang hanya akan menggigitku saat aku sudah tidak berguna." Albani tertawa sumbang. "Wanita yang seperti anjing. Bahkan anjing pun lebih baik." Tangannya mengepal kuat. Ia berharap Aileen tidak sama dengan wanita yang ia anggap seperti anjing. Wanita yang pernah mengisi hidupnya, dan membuatnya jadi tidak berselera untuk bercinta lagi setelahnya. Ikatan pernikahan hanya akan membuatnya semakin tertekan, tapi semoga tidak jika wanita itu seperti Aileen. "Baiklah, Al, hadapi saja dan kita lihat. Apakah pernikahan itu cukup menarik untuk dinikmati seperti wine ini." Ia menuang kembali wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong tadi. Ponsel Albani berdering. Ia lalu menerima panggilan masuk itu. "Ya, ada apa kau menelepon?" "Al, jadi apa benar kau akan menikah, hem?" Albani menatap gelasnya. "Hem, untuk apa kau tanya." "Wow! Jadi, benar?" "Lupakan saja, aku akan tutup." "Al! Tunggu dulu, jangan lupa mengundangku oke!" Albani menggeleng. "Ya, jika aku benar menikah." "Sialan. Sudah kuduga pasti ada yang tidak beres, kan. Kau bukannya masih patah hati karena—" Albani mematikan panggilan tersebut setelah merasa tidak nyaman. "Aku benci jika wanita anjing itu harus dibahas lagi." ** Aileen baru akan memejamkan mata, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah pemberitahuan muncul berisi rincian dana yang keluar dari rekeningnya. "Apa ini?" gumamnya sebelum ia terheran-heran. "Aku tidak menggunakan uang sebanyak ini. Tapi ini kenapa bisa?" Jelas sekali ia bahkan tidak membuka aplikasi mobile banking beberapa hari ini. Tapi ada uang yang keluar dari rekeningnya. "Nggak mungkin, apa ini perbuatan Rio?" Aileen buru-buru mencari informasi tentang uang yang baru saja keluar itu. "Gila, ini banyak sekali. Apa yang dia lakukan, kenapa dia masih menguras uangku?" Aileen menggeleng. Ia makin benci dengan Rio dan kemarahannya semakin meluap-luap. "Apa kamu kekurangan uang, apa pacarmu itu nggak bisa kasih kamu uang, Rio. Ini nggak bisa dibiarkan, aku nggak akan tinggal diam!"Aileen mungkin sudah gila atau karena saking putus asa nya, hingga dia menyetujui kesepakatan yang ditawarkan Albani padanya. Tapi di satu sisi Aileen benar-benar benci dengan Rio, apalagi setelah Rio menguras tabungannya padahal keduanya sudah putus. "Tidak, kamu beneran udah parah, Ai. Kamu setuju nikah kontrak sama dia? Asli padahal kamu sama dia belum lama kenal. Kok bisa sih kamu mau aja?" Namun semua sudah kepalang basah. Aileen telah menandatangani kesepakatan itu hitam di atas putih. "Silakan tanda tangan disini, Nona Aileen." Aileen yang awalnya ragu, tapi dia bertekad melakukan itu demi membalas kan sakit hatinya pada Rio. Akhirnya Aileen membubuhi beberapa lembar dokumen yang ada di depannya dengan tanda tangannya. "Oke, semua sudah ditandatangani secara sah di atas materai dan di saksikan oleh dua orang saksi yang saya bawa. Nona Aileen, saya sangat senang dan berterima kasih karena Nona memilih hal yang sangat tepat." Senyum tipis Albani menyisakan misteri bag
"Aileen, coba buka kacamata kamu, Sayang. Tante mau lihat mata kamu tanpa benda itu," ujar Mia, dia adalah kenalan mamanya yang bekerja sebagai make up artist. Hari itu, Mia diberikan tanggung jawab untuk mengubah penampilan Aileen yang awalnya terkesan kuno, menjadi lebih modern, elegan, dan pastinya cantik. "Kacamata? Hem, kenapa harus dilepas, Tante? Aileen selama ini nggak melepas kacamata karena penglihatan tidak terlalu jelas tanpa kacamata ini," jawab Aileen agak ragu-ragu. Mia tersenyum lalu mengusap dua bahu Aileen sambil menatap pantulan di cermin. "Aileen, kulit kamu bagus, hidung kamu juga mancung, rambut kamu juga indah dan lembut. Tante rasa, kamu cantik alami. Tapi, penampilan kamu akan bertambah cantik, kalau kamu mengganti kacamata kamu itu, Sayang." "Gimana caranya, Tante?" "Mana mungkin kamu nggak tau kalau ada yang namanya lensa kontak?" "Ah, itu, Aileen tau. Tapi, Aileen nggak nyaman, Tante." "Udah pernah coba?" Aileen menggeleng. "Belum sih." "Nah,
"Apa ini benar-benar terjadi?" gumam Aileen berdebar. Tibalah hari yang menegangkan bagi Aileen. Sekarang, dia sedang berdiri, menggandeng tangan ayahnya dengan jantung berdentum kuat. Tak pernah dia bayangkan, pesta megah yang sekarang sedang berlangsung, adalah pesta pernikahannya dengan seorang putra pewaris tunggal perusahaan ternama di ibukota. Albani Raditya, pria itu berdiri di seberang sana, melihat ku dengan tatapan yang tidak terlalu jelas, apakah dia datar, muram, atau malah terkejut. Ternyata itik buruk rupa bisa berubah menjadi angsa yang sangat cantik. Aileen belum pernah berdandan sampai sedetail ini. Dia juga tak berencana untuk menikah dengan gaya yang mewah, terkesan sensual dengan pakaian pengantin yang sekarang sedang di kenakannya. Ingatan itu pernah menjadi hal terindah bagi Aileen. "Ai, kamu kalau nikah nanti sama aku. Janji, ya. Kamu nggak perlu dandan yang terlalu berlebihan. Cukup tunjukkan kamu cantik alami, seperti sekarang." Aileen hanya tersenyu
"Kalian berdua resmi sebagai suami istri." "Benarkah," desah Aileen pelan. "Senyumlah." Albani memegang tangan Aileen. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Albani. Begitu akad nikah selesai dilaksanakan. Meski dengan perasaan bercampur aduk, antara cemas, takut, dan tidak dapat dideskripsikan oleh Aileen. Dia sudah resmi dan sah menjadi istri seorang Albani Raditya. Kini Aileen terngiang perkataan Albani barusan, ini tentang balas dendam. "Kau benar Mas Al." "Hem?" "Aku harus balas dendam, kan." Albani menganggukkan kepala. "Ah, tepat." "Silakan untuk pengantin pria diperbolehkan jika ingin mencium pengantin wanita." Ucapan pembawa acara itu membuat Aileen berdegup gugup. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah Albani akan menciumnya sungguhan di depan orang-orang yang jumlahnya sangat banyak itu. Tapi tadi Albani bilang dia tidak boleh menolak, malah menyuruhnya melakukan improvisasi. Albani tersenyum penuh arti, menatap Aileen sembari mengelus punggung tanga
Diambilnya rokok dari dalam dasbor mobil, lalu Rio keluar untuk menyalakan api. Lenka mengusap wajah, tak mengerti dengan kemarahan pacarnya. "Dia kenapa sih? Padahal, dia sendiri yang bilang, dia nggak betah punya pacar yang benar-benar norak, dan nggak menggairahkan? Kenapa sekarang dia mendadak begitu? Atau jangan-jangan, dia beneran terpukau karena mantannya itu mulai merubah penampilannya?" Lenka mengatakan itu sembari menatap pantulan dirinya dari kaca mobil. "Tapi, dia sama sekali bukan tandingan ku." Rio masih menenangkan diri dengan sebatang rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya. Sambil mengepul kan asap ke udara, berusaha untuk bisa menghilangkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya kala terbayang bibir merah Aileen, yang ternyata sangat sexy dengan polesan gincu berwarna merah muda tadi. "Fuck!!" "Rio, kamu sampai kapan merokok? Kita pulang, yuk. Sepertinya kamu harus mengademkan pikiran kamu yang mulai aneh itu. Kamu nggak perlu punya perasaan kesal don
Memang tak akan ada yang terjadi antara Albani dan Aileen di momen bulan madu mereka. Keduanya diberikan waktu satu minggu untuk liburan di hotel dan segala fasilitas mewah. Namun karena mereka bukan menikah selayaknya pasangan suami istri yang normal. Tak ada yang terjadi, entah itu aktivitas kontak fisik dan semacamnya. Aileen sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang penulis novel. Sedangkan Albani pun sama, sibuk dengan pekerjaannya yang dia bawa dari kantor. "Aileen." "Ya, Mas?" Albani mengenakan arloji mahalnya. Dia lalu memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada Aileen. "Ini untuk kamu." Aileen menatap benda itu, dan agak terkejut. Aileen belum pernah memiliki benda Sultan tersebut. Tapi dia cukup tau, bahwa itu adalah black card. "Black card? Untuk apa, Mas Al?" "Untuk kamu gunakan. Ini termasuk fasilitas yang saya janjikan. Kamu bisa pakai untuk membeli berbagai macam kebutuhan kamu. Mulai dari pakaian, perhiasan, sepatu, tas dan lain-lain." Aileen menggeleng, menolak
"Maaf apa ada orang di dalam?" Aileen mendengar suara itu saat dia tengah berada di kamar mandi butik. Dia lalu keluar dan kaget mdlihat bahwa yang ada di luar itu adalah Lenka. Bagaimana bisa dia ada di tempat itu. Aileen seolah kehabisan kata-kata, ia segera melewati Lenka begitu saja. Tapi, Lenka berdecih, membuatnya menghentikan langkah kaki. "Sekali jelek tetap saja jelek. Kamu tidak perlu bersusah payah memperbaiki penampilan kamu, Aileen. Karena kamu tetap saja jelek, tidak menarik, dan kamu juga bukan saingan ku." Sekali lagi, Lenka merendahkan Aileen. "Apa kamu bilang?" kata Aileen, lalu dia tersenyum miring, berjalan ke hadapan Lenka dengan tatapan mencibir. "Kamu kira aku memerlukan pengakun mu? Tidak. Lagi pula, menurutku, kamu tidak sebanding denganku, jadi jangan merasa kamu layak bersaing dengan ku. Bagus kalau kamu menyadari, bahwa kamu bukan saingan ku." Lenka tak mengira jika Aileen akan menjawabnya. Kemudian Aileen pergi meninggalkan Lenka yang membisu, ber
Aileen berdiri di depan Albani dengan perasaan senang. Akhirnya, dia bisa bersikap tegas di hadapan Lenka. Padahal, sebelumnya Aileen tak bisa bertindak banyak, apalagi untuk menunjukkan dirinya yang lebih dari sekedar gadis bodoh. Dia merasa, kalau bukan karena Albani, mana mungkin dia bisa begitu. "Kenapa? Kamu tersenyum seperti itu?" tanya Albani. "Enggak. Aku cuman mau ngomong, makasih, ya, Mas. Karena tadi Mas udah bantu aku. Makasih juga untuk barang-barang yang Mas belikan untuk aku." "Oh. Kenapa hanya karena hal itu saja kamu terlihat sangat senang. Sekarang, saya harap kamu bisa pikirkan hal apa yang sangat kamu inginkan. Entah itu apa pun, sampaikan pada saya, akan saya kabulkan." Aileen tertawa geli, dia melihat Albani seperti sebuah keajaiban. "Kamu kayak jin lampu, Mas. Yang bisa mengabulkan keinginan." "Hah? Kamu, kenapa terkadang kamu seperti anak-anak, Aileen." "Ya, tapi dulu aku pernah berpikir, mungkin saja kalah aku punya jin lampu, maka hidupku akan lebih muda
"Rio, dari mana saja kamu tidak pulang ke apartement beberapa hari? Kamu pasti sedang sibuk main dengan perempuan, kan?" ucap Lenka. Dia seperti biasa, selalu saja mengintimidasi Rio. Tapi, kata-kata Lenka itu benar, dia memang pergi untuk mencari kesenangan dengan perempuan lain. "Kalau iya, apa itu masalah untuk kamu?" "Rio, kamu akhir-akhir ini banyak berubah. Katakan jujur, apa ini semua karena mantan pacar kamu itu?" "Hentikan, Lenka. Ini semua tidak ada urusannya dengan Aileen.." "Ya, ya, kamu menyebut namanya dengan ringan. Aku jadi curiga. Kamu masih punya rasa untuknya. Iya kan!" "Kamu tau Lenka, aku capek kita sering bertengkar." Lenka yang tadinya akan marah mendadak melemah. "Maaf." "Ini semua sama sekali nggak ada hubungannya dengan siapa pun, dengan orang lain. Ini semua tentang kamu, Lenka. Sikap kamu belakangan makin menjadi-jadi. Aku sudah bilang, aku ingin kita segera menikah. Tapi aku masih ingin menundanya. Itu kenapa, aku jadi malas berbicara deng
"Ada apa, Aileen?" tanya Albani begitu keluar dari toilet. "Papa mengajak main catur," ucap Aileen. "Ah, begitu." Albani lalu pergi begitu saja meninggalkan Aileen. Namun kemudian ia berbalik lagi. "Aileen." "Ya?" "Maaf karena yang tadi pagi," ucap Albani. "Oh, ya, aku tau Mas tidak sengaja." Aileen mengangguk. "Terima kasih karena sudah mau akrab dengan papa," kata Albani tiba-tiba. "Ah, itu, sudah seharusnya kan. Tidak masalah, Mas." "Tenang saja, kesepakatan tetap berjalan." Albani lalu pergi meninggalkan Aileen. "Hem, kenapa mas Al sering mengulangi kata-kata kesepakatan. Seolah dia mulai tak nyaman," ucap Aileen. "Al, kenapa lama sekali." Mario menunggu di depan meja catur. "Pa, jangan sekarang. Saya sedang tidak ingin main catur." "Sebentar saja, lagipula lihatlah istrimu saja mau menemaniku," kata Mario saat Aileen muncul. Gadis itu duduk di dekat Mario dengan tenang. Albani menghela napas. "Ya, baiklah hanya sebentar." Mario tersenyum. "Tidak apa,
Hari ini papa Albani pulang dari luar negeri. Beliau langsung meminta makan bersama dengan Albani dan menantunya, Aileen. Suasana hening, antara Aileen dan Albani terlihat canggung. Melani agak heran, sebab belum lama dia melihat anaknya masih terlihat mesra dengan istrinya. Kecurigaan pun muncul, apakah mereka bertengkar. "Aileen, kamu kenapa?" tanya Melani. Baru saja ia memperkenalkan Aileen pada suaminya, papa mertua Aileen. "Al, kenapa kamu hanya diam saja dengan istrimu. Apa kalian bertengkar?" tanya Mario, papa Albani. "Tidak ada apa-apa." Ia tau penyebab Aileen lebih pendiam, ini pasti karena kejadian pagi tadi. "Oh iya, kenapa papa tidak hadir di pernikahan saya. Apakah papa bisa jelaskan." Albani buru-buru mengganti topiknya. Lagipula ia memang penasaran alasan papanya yang belum diungkapkan. "Maafkan Papa, Nak." Mario melihat ke arah Melani. "Papa mu sakit, belum lama papa menjalani operasi. Maaf Al, karena mama baru bisa bilang." "Apa?" "Ya, papamu sakit
Setelah mengatakan hal itu, Albani langsung membelakangi Aileen. Sementara Aileen masih diam, ia bingung harus bagaimana menanggapi ucapan Albani yang tiba-tiba membahas kontrak pernikahan lagi. "Maaf karena saya mengatakan hal-hal yang tidak penting. Selamat tidur Aileen." Aileen masih tidak menjawab. Baginya itu benar, keduanya memang harus tetap menjaga batasan. Albani masih belum bisa melupakan kebodohannya dengan wanita penghibur itu, dia akat menyesali perbuatannya, tapi sadar semua sudah terlanjur. "Tenang saja, Mas. Aku tau betul kita hanya sebatas menikah kontrak. Jadi, Mas tidak perlu merasa segan jika ingin membahasnya," kata Aileen kemudian. Albani berusaha memejamkan mata, ini harus segera dibuang. Ia tak boleh terus merasa gelisah, lagipula dia tak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya pada Aileen bahwa ia pria baik yang tak pernah menyentuh wanita. Jadi, ia tak perlu merasa bersalah. "Ya, terima kasih, Aileen." *** "Terima kasih, Rio. Aku sangat meras
Aileen melihat Albani menatapnya berbeda, seolah menegaskan, atau memberikan kode padanya tentang sesuatu. Kemudian Aileen mengusap tengkuk, sedikit mengedarkan pandangannya, tak sengaja melihat Melani yang sedang mengintip dari kejauhan. Secepatnya, Aileen segera bersikap santai, dia tertawa ringan lalu berdiri sejajar dengan Albani. Benar, Albani tahu keberadaan Melanie yang sedang menguping itu. "Maaf, karena aku belum terbiasa. Maklum, kita juga baru kenal, kan, Mas. Untung saja ada kesepakatan itu, sehingga kita bisa terus komitmen. Meski nggak mudah, karena kita harus menyesuaikan diri padahal sebelumnya kita tidak saling mengenal." Albani meletakkan tangannya ke kepala Aileen, mengusapnya lembut. "Iya, saya juga masih berusaha jadi suami yang baik untuk kamu." Lagi-lagi perasaan Aileen aneh setiap kali merasakan sentuhan Albani. Jantungnya berdebar sama seperti dia sewaktu jatuh cinta pada Rio. Ini tidak mungkin, Aileen membuang segera perasaan aneh itu. "Iya, Mas Al. Kal
"Ah, tapi ini mungkin menganggu privasinya." Aileen mengurungkan niatnya. "Jadi, semua pasti baik-baik saja. Mas Al adalah pekerja keras, dia pasti sedang sangat sibuk. Jika aku menelepon di saat yang tak tepat, bisa-bisa jadi berantakan." Ia lalu meletakkan ponselnya dan berusaha untuk membuang setiap kegelisahan yang menurutnya tidak berarti apa-apa. *** Jarum jam terus saja bergerak, bunyi dentingnya berhasil membuat Aileen tidak bisa tidur. Aileen juga merasa haus, dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil segelas air. Namun, saat dia baru sampai di depan pintu kamar, dia melihat Albani baru saja masuk ke dalam rumah. Sontak ia mendekat dan menegur pria itu dengan suara pelan serupa berbisik, cemas jika ada yang terbangun mengingat waktu sudah larut. Aileen berjalan menuruni anak tangga. Albani terlihat sedang duduk di kursi yang ada di ruang tamu sendirian sambil memijat kening. Sekalian saja, Aileen berinisiatif untuk membuatkan Albani minuman, sekalian dia
Kemudian keduanya pergi ke sebuah privat room. Albani mengendurkan dasi sambil berjalan menuju ruangan yang disiapkan khusus untuknya. Wanita itu tampak cantik, dan pastinya seksi. Albani langsung mendorong tubuh wanita itu, begitu dia mendapatkan diri pintu telah ditutup rapat oleh wanita tadi. Tanpa membuang waktu, dia memagut kasar bibir wanita itu, membuka bajunya dan meremas tubuh indah yang terpampang setengah terbuka di depan matanya. Wanita itu sangat senang, karena pria gagah seperti Albani yang malam ini sedang menikmati tubuhnya. Tak berjeda, pagutan itu makin dalam nan basah, turun ke bagian lain dan merajai. Albani seolah sangat kehausan, hingga tak butuh waktu lama, tubuhnya sudah bangun dan siap dimanjakan. "Now!"Wanita itu berjongkok, kemudian membuka resleting celana Albani, menikmati peran kotornya dengan panas. Piawainya membuat Al tak kuasa mendesah, menggeram hebat hingga memaksa wanita itu lebih kuat menikmatinya. "Hard! Fast!"Desahan wanita itu terdengar tak
"Aileen.""Ya?""Maaf, tapi bisakah kamu berbohong jika nanti malam dia bertanya saya ada di mana?""Dia?" Aileen sedikit bingung, dia siapa yang dimaksud Albani."Ibu saya," jelas Albani. Aileen tidak mengerti mengapa Albani sangat dingin terhadap ibunya sendiri. Aileen juga tidak mengerti, kenapa dia harus berbohong. "Loh? Memangnya kenapa, Mas?""Begini, saya tadi sudah bilang bahwa malam ini saya tidak bisa pulang." "Ya, lalu?" "Tapi, ya, kamu tau sendiri bagaimana yang orang itu katakan tadi." "Memangnya kenapa Mas. Bukannya itu wajar kalau mamamu bertanya tentang itu." Albani menggeleng malas. "Saya tidak suka." "Hem," sahut Aileen kaku. "Kamu nggak keberatan, kan, kalau saya meminta bantuan kamu? katakan saja, saya sudah tidur di kamar. Karena saya yakin orang itu akan memeriksa dan menanyakan pada kamu nanti."Meski Aileen agak penasaran, sebenarnya ke mana Albani akan pergi. Tapi, dia sadar, posisinya tidak berhak bertanya tentang itu. "Oh, baiklah, Mas." Senyum Aile
"Hem, bulan madu?" ucap Albani. Dia menggaruk tengkuk, agak bingung menjelaskan tentang itu. Keduanya tidak berpikir akan berbulan madu, lagipula itu sama sekali tidak perlu. Aileen hanya senyum canggung. Percakapan antara mereka mulai memanas ke arah yang lebih pribadi. Ia jadi tak nyaman, tapi bagaimana pun itu adalah pertanyaan yang wajar. seorang ibu bertanya tentang bulan madu anaknya yang baru menikah. "Ya, kenapa bingung begitu saat kutanya tentang bulan madu kalian?" tanya Melani. Ia tau, anaknya pasti tidak kepikiran ke arah sana. "Ya, menurutku itu...." Albani menggantungkan ucapannya. "Kau berkeringat, Al." Melanie menatap Albani penuh perhatian. Tanpa sadar itu membuat Albani tertekan. "Biasa saja, wajar sekali orang tua bertanya apakah anaknya dan istrinya akur dan harmonis. Bukan begitu?" "Ya, tapi tidak perlu juga sampai bertanya tentang bulan madu segala," tegas Albani. "Hanya cukup jawab kalian berbulan madu, atau belum?" Melani kian mencecar. Disitula