"Apa ini benar-benar terjadi?" gumam Aileen berdebar.
Tibalah hari yang menegangkan bagi Aileen. Sekarang, dia sedang berdiri, menggandeng tangan ayahnya dengan jantung berdentum kuat. Tak pernah dia bayangkan, pesta megah yang sekarang sedang berlangsung, adalah pesta pernikahannya dengan seorang putra pewaris tunggal perusahaan ternama di ibukota. Albani Raditya, pria itu berdiri di seberang sana, melihat ku dengan tatapan yang tidak terlalu jelas, apakah dia datar, muram, atau malah terkejut. Ternyata itik buruk rupa bisa berubah menjadi angsa yang sangat cantik. Aileen belum pernah berdandan sampai sedetail ini. Dia juga tak berencana untuk menikah dengan gaya yang mewah, terkesan sensual dengan pakaian pengantin yang sekarang sedang di kenakannya. Ingatan itu pernah menjadi hal terindah bagi Aileen. "Ai, kamu kalau nikah nanti sama aku. Janji, ya. Kamu nggak perlu dandan yang terlalu berlebihan. Cukup tunjukkan kamu cantik alami, seperti sekarang." Aileen hanya tersenyum tipis. Tapi, apakah dia memang cantik alami? Dia pun berdebar, merasa senang dan bahagia di puji oleh yang paling dia sayang. "Kamu yakin?" "Hem, tentu. Emangnya kamu tidak sadar, Sayang. Kamu itu cantik alami, kamu itu nggak sama dengan wanita lain." Aileen dengan polosnya percaya. Dia benar-benar percaya setiap pujian yang terlontar dari mulut manis pria bernama Rio. "Oke, kalau itu mau kamu. Aku beneran nggak sabar, ingin segera bertemu dengan waktu di mana aku berdiri di samping ayah. Lalu menghampiri kamu, berjalan di altar, menuju kamu yang ada di seberang sana, yang sedang menunggu aku." "Tentu, sama, Ai. Hanya kamu yang akan aku nikahi. Tidak ada wanita lain." Gadis itu menghela napas berat, ia tak boleh mengingatnya lagi. Aileen meringis pilu meratapi kebodohannya dulu. Dia sangat percaya, jika yang dikatakan Rio adalah tulus dari hatinya. Ternyata, justru dia ditinggalkan dengan alasan dia tidak menarik. Jadi, persetan dengan penilaian munafik seperti itu. Mulai hari ini, Aileen bukan lagi Aileen yang polos. Melainkan Aileen yang dipenuhi dendam. "Rio, buruan dong, Beby. Lihat itu pengantin wanita nya sudah berjalan di altar. Kita nggak boleh ketinggalan." "Iya, Sayang." Rio yang dari awal memang tidak bersemangat, duduk di samping Lenka. "Sayang, aku juga nggak sabar, sebentar lagi kita berdua akan seperti itu." Rio mengangkat wajahnya, lalu melihat pengantin wanita sedang berjalan dengan anggun nya. Kemudian mendadak dia tersentak, begitu melihat pria yang ada di sebelah wanita itu. "Itu, kan? Nggak, Astaga! Nggak mungkin!" "Beby, kenapa? Ada apa? Apanya yang nggak mungkin?" Lenka terheran karena seketika wajah Rio berubah pucat. "Kamu liat apa, sih? Kamu kenal sama pihak pengantin wanitanya? Jangan-jangan kamu kenal sama calon istri Al ya?" Lenka bilang Al dan dirinya adalah sepupu. Tapi tidak mungkin wanita yang dinikahi sepupu Lenka adalah... "Nggak mungkin. Lenka, siapa nama pengantin wanitanya?" Desak Rio. Ia mulai berharap, itu pasti salah. Penglihatannya salah. Lagipula pengantin wanitanya sangat cantik, meskipun begitu sekilas memang mirip dengan yang dipikirkan Rio. Lenka agak memekik saat tangan Rio terlalu kuat mencengkeram kedua bahunya. "Sabar dong, sakit tau!" Rio terlihat gelagapan, sekarang dia juga berkeringat. "Cepat kamu kasih tau aku, Len. Aku beneran pengin tau." Semoga bukan, batinnya terus begitu. "Aku emang nggak sempat tanya siapa namanya. Tau sendiri, 'kan, aku sibuk banget. Sebentar, aku lihat dulu undangannya ya." Lenka mencari tau, Rio tak sabar ingin tau. "Papa Mama kasih ke aku, tapi aku malas bacanya. Ada salinan undangan online nya juga deh kalau nggak salah." Rio makin pucat, dia menatap wajah pengantin wanita itu dengan mata membola. Wanita yang tengah berjalan pelan di altar itu terlihat sangat sangat berbeda. Dia terlalu cantik untuk dideskripsikan. "Shit!" Rio mengumpat pelan. Orang-orang juga sangat terlihat kagum dengan wajah Aileen. Gadis yang semula berpenampilan culun, terkesan kampungan itu berubah menjelma bak bidadari, atau malaikat tak bersayap. Rio mengira ini mimpi sampai Lenka ikut terkejut. "Astaga? Calon istri Albani, namanya Aileen?" Lenka menutup mulutnya. "Aileen bukannya nama cewek culun itu?" Deg. Jantung Rio seolah dipukul kuat hingga membuatnya sangat sakit. "Jadi, benar-benar Aileen?" Pengantin wanita itu adalah Aileen. Tapi, kenapa secepat itu Aileen menikah. Apakah Aileen sebenarnya tidak bersedih karena putus darinya. "Wah gila. Si culun itu, nggak mungkin lah! Al segila itu?" Lenka terus menerus takjub tak percaya. Rio benar-benar tidak sadar, jika sakit yang ditorehkan itulah yang membuat Aileen bangkit, sampai memilih menerima perjodohan dengan pria bernama Albani Raditya. "Acara akan segera kita mulai. Teruntuk para tamu undangan diperkenankan untuk duduk kembali di kursi masing-masing." Aileen berdiri dengan tatapan fokus menatap Albani yang tersenyum kecil ke arahnya. Aileen tiba-tiba ingin bertanya, apakah menurut Albani penampilanya hari ini cukup cantik. Setidaknya, dia dapat mengartikan tatapan orang-orang yang terfokus padanya hari ini. Albani seolah tau, apa yang diinginkan Aileen. Pria itu berjalan menghampiri Aileen, meminta tangan Aileen untuk dia genggam. Dengan agak ragu, Aileen memberikan telapak tangannya yang sejak tadi melingkar di lengan ayahnya. Keduanya berdiri berdampingan, lalu berjalan menuju tempat prosesi akad nikah akan dilangsungkan. "Kamu ratunya hari ini, Aileen." Dia berbisik di telinga Aileen. "Bukankah kamu ingin sebuah penilaian dariku? Lihatlah, semua orang menatap mu, Aileen." "Benarkah, begitu, Mas Al?" sahut Aileen seolah tak percaya. "Apa benar aku cantik?" "Ya, sebenarnya begitu." Aileen merasakan kelegaan. Tadinya dia berpikir mungkin saja penampilannya kali ini terlihat buruk. Syukurlah, seharusnya dia tidak perlu meragukan penilaian Albani, itu pasti jujur apa adanya. Semoga saja, Albani bukan pria pembual seperti Rio. Tapi, apa yang dia harapkan? Pernikahan yang berlangsung hari ini bukankah hanya sebatas kesepakatan? Tidak lah lebih dari itu. Sambil menunggu penghulu mempersiapkan akad nikah. Aileen mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dia lalu terkejut melihat seorang laki-laki dengan wajah muram sedang menatapnya di bangku tamu VVIP. "Ri-Rio?" "Siapa?" tanya Albani, dia ikut tersentak, karna yang dia dengar dari intonasi Aileen, gadis itu teramat kaget. "Siapa yang membuat kamu kaget begitu?" "Tidak mungkin. Kenapa dia bisa ada di tamu VVIP?" Albani kemudian menatap ke arah yang Aileen tuju. Bangku VVIP dan disitu ada sepupunya, Lenka. Albani tersenyum ke arah Lenka, tapi aneh, wajah Lenka malah lebih mirip orang yang benar-benar terkejut. Sama seperti Aileen. "Dia sepupuku, Lenka. Apa kamu mengenalnya?" "Sepupu? Maksud kamu, wanita yang itu adalah sepupumu? Saudaramu?" "Ya, masih sepupu, dia adalah anak dari kakak tiri ibuku." Aileen tidak tau apakah kebetulan ini merupakan pertanda sesuatu. "Tidak." Aileen menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kini dia makin gemetaran. Albani melihat itu mendadak cemas. Tidak, kalau Aileen sampai jatuh pingsan, dia bisa mengacaukan rencana pernikahan itu. "Ai, kamu kenapa? Ini belum waktunya berakting. Kamu kenapa?" Aileen meneguk ludah, lalu menatap Albani. "Lenka adalah selingkuhan kekasihku, Mas. Bagaimana bisa, jadi dia adalah sepupumu? Orang yang paling aku benci. Masih aku benci sampai saat ini." "Apa?" "Saudara Albani Raditya dan Saudari Aileen. Acara akan kita mulai." Albani lalu menggenggam tangan Aileen, mengecupnya di depan orang-orang sambil tersenyum simpul. Rio juga melihat itu, dan itu memang rencana Albani. Dia sengaja, ingin agar Rio melihatnya. Hanya Aileen tersentak, kenapa Albani malah mencium tangannya. "Kita buat dia menyesal, dan kita lihat reaksinya." Albani tersenyum. "Terima apa pun perlakuan yang akan aku berikan padamu. Jangan menolak, justru kamu boleh melakukan improvisasi." Aileen menggeleng tak mengerti. "Kau tau, maksudku ini tentang balas dendam.""Kalian berdua resmi sebagai suami istri." "Benarkah," desah Aileen pelan. "Senyumlah." Albani memegang tangan Aileen. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Albani. Begitu akad nikah selesai dilaksanakan. Meski dengan perasaan bercampur aduk, antara cemas, takut, dan tidak dapat dideskripsikan oleh Aileen. Dia sudah resmi dan sah menjadi istri seorang Albani Raditya. Kini Aileen terngiang perkataan Albani barusan, ini tentang balas dendam. "Kau benar Mas Al." "Hem?" "Aku harus balas dendam, kan." Albani menganggukkan kepala. "Ah, tepat." "Silakan untuk pengantin pria diperbolehkan jika ingin mencium pengantin wanita." Ucapan pembawa acara itu membuat Aileen berdegup gugup. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah Albani akan menciumnya sungguhan di depan orang-orang yang jumlahnya sangat banyak itu. Tapi tadi Albani bilang dia tidak boleh menolak, malah menyuruhnya melakukan improvisasi. Albani tersenyum penuh arti, menatap Aileen sembari mengelus punggung tanga
Diambilnya rokok dari dalam dasbor mobil, lalu Rio keluar untuk menyalakan api. Lenka mengusap wajah, tak mengerti dengan kemarahan pacarnya. "Dia kenapa sih? Padahal, dia sendiri yang bilang, dia nggak betah punya pacar yang benar-benar norak, dan nggak menggairahkan? Kenapa sekarang dia mendadak begitu? Atau jangan-jangan, dia beneran terpukau karena mantannya itu mulai merubah penampilannya?" Lenka mengatakan itu sembari menatap pantulan dirinya dari kaca mobil. "Tapi, dia sama sekali bukan tandingan ku." Rio masih menenangkan diri dengan sebatang rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya. Sambil mengepul kan asap ke udara, berusaha untuk bisa menghilangkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya kala terbayang bibir merah Aileen, yang ternyata sangat sexy dengan polesan gincu berwarna merah muda tadi. "Fuck!!" "Rio, kamu sampai kapan merokok? Kita pulang, yuk. Sepertinya kamu harus mengademkan pikiran kamu yang mulai aneh itu. Kamu nggak perlu punya perasaan kesal don
Memang tak akan ada yang terjadi antara Albani dan Aileen di momen bulan madu mereka. Keduanya diberikan waktu satu minggu untuk liburan di hotel dan segala fasilitas mewah. Namun karena mereka bukan menikah selayaknya pasangan suami istri yang normal. Tak ada yang terjadi, entah itu aktivitas kontak fisik dan semacamnya. Aileen sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang penulis novel. Sedangkan Albani pun sama, sibuk dengan pekerjaannya yang dia bawa dari kantor. "Aileen." "Ya, Mas?" Albani mengenakan arloji mahalnya. Dia lalu memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada Aileen. "Ini untuk kamu." Aileen menatap benda itu, dan agak terkejut. Aileen belum pernah memiliki benda Sultan tersebut. Tapi dia cukup tau, bahwa itu adalah black card. "Black card? Untuk apa, Mas Al?" "Untuk kamu gunakan. Ini termasuk fasilitas yang saya janjikan. Kamu bisa pakai untuk membeli berbagai macam kebutuhan kamu. Mulai dari pakaian, perhiasan, sepatu, tas dan lain-lain." Aileen menggeleng, menolak
"Maaf apa ada orang di dalam?" Aileen mendengar suara itu saat dia tengah berada di kamar mandi butik. Dia lalu keluar dan kaget mdlihat bahwa yang ada di luar itu adalah Lenka. Bagaimana bisa dia ada di tempat itu. Aileen seolah kehabisan kata-kata, ia segera melewati Lenka begitu saja. Tapi, Lenka berdecih, membuatnya menghentikan langkah kaki. "Sekali jelek tetap saja jelek. Kamu tidak perlu bersusah payah memperbaiki penampilan kamu, Aileen. Karena kamu tetap saja jelek, tidak menarik, dan kamu juga bukan saingan ku." Sekali lagi, Lenka merendahkan Aileen. "Apa kamu bilang?" kata Aileen, lalu dia tersenyum miring, berjalan ke hadapan Lenka dengan tatapan mencibir. "Kamu kira aku memerlukan pengakun mu? Tidak. Lagi pula, menurutku, kamu tidak sebanding denganku, jadi jangan merasa kamu layak bersaing dengan ku. Bagus kalau kamu menyadari, bahwa kamu bukan saingan ku." Lenka tak mengira jika Aileen akan menjawabnya. Kemudian Aileen pergi meninggalkan Lenka yang membisu, ber
Aileen berdiri di depan Albani dengan perasaan senang. Akhirnya, dia bisa bersikap tegas di hadapan Lenka. Padahal, sebelumnya Aileen tak bisa bertindak banyak, apalagi untuk menunjukkan dirinya yang lebih dari sekedar gadis bodoh. Dia merasa, kalau bukan karena Albani, mana mungkin dia bisa begitu. "Kenapa? Kamu tersenyum seperti itu?" tanya Albani. "Enggak. Aku cuman mau ngomong, makasih, ya, Mas. Karena tadi Mas udah bantu aku. Makasih juga untuk barang-barang yang Mas belikan untuk aku." "Oh. Kenapa hanya karena hal itu saja kamu terlihat sangat senang. Sekarang, saya harap kamu bisa pikirkan hal apa yang sangat kamu inginkan. Entah itu apa pun, sampaikan pada saya, akan saya kabulkan." Aileen tertawa geli, dia melihat Albani seperti sebuah keajaiban. "Kamu kayak jin lampu, Mas. Yang bisa mengabulkan keinginan." "Hah? Kamu, kenapa terkadang kamu seperti anak-anak, Aileen." "Ya, tapi dulu aku pernah berpikir, mungkin saja kalah aku punya jin lampu, maka hidupku akan lebih muda
"Eh, tidak kok." Albani menggaruk tengkuk. "Oh. Mas, aku cocok pakai baju ini, nggak?" Albani tersentak. "Kok tanya saya?" "Eh, emang nggak boleh tanya?" "B-Bukan gitu, kalau kamu nyaman itu tidak masalah." "Hem, agak kurang nyaman sih." "Kenapa?" "Soalnya, ini agak terbuka menurutku," ucap Aileen polos, gadis itu bahkan menunjuk dadanya sendiri. "Lihat, terlalu terbuka." Albani menggeram tertahan. "Apa kamu tidak waspada, Ai?" Aileen menautkan alisnya, "Waspada?" Aileen menatap Albani yang terus melihat ke arah dadanya. "Mas Al lihatin apa?" Albani terkejut. "Saya tidak lihat apa-apa, maaf Aileen, saya ke kamar dulu." Mereka masih di hotel, karena besok mereka baru akan pindah ke rumah keluarga Albani. Sesuai tradisi, satu bulan pertama pihak wanita harus menyesuaikan diri dengan keluarga pihak laki-laki, jadi dia akan tinggal di sana dan harus tidur dalam satu kamar. Tapi, Aileen tak cemas, karena dia percaya Albani tak akan menyentuhnya. "Kenap
"Pagi, Aileen." Aileen hanya mengangguk pelan, lalu menjawabnya singkat. "Pagi, Mas." Albani mengambil secangkir kopi dan tak lupa sambil mengecek pekerjaannya lewat ponsel. Aileen mengambil sepotong roti, dengan perlahan mengoleskan selai ke atasnya. "Hari ini saya mulai bekerja. Sebelum itu saya akan antar kamu ke rumah." Aileen mengangguk, lalu memakan roti isi di tangannya. "Maaf, karena saya mungkin tidak pulang malam ini." Albani meletakkan cangkir yang sudah kosong di tangannya. "Oh, baiklah." "Apa terjadi sesuatu? Kenapa kamu terlihat tidak leluasa?" tanya Albani, karena Aileen lebih pendiam dari sebelumnya. Padahal hubungan keduanya mulai dekat, dalam artian dekat sebagai partner bisnis. Kontrak yang mereka tandatangani merupakan bisnis yang keduanya sepakati. "Tidak. Aku baik-baik saja, kok, Mas." Sebenarnya Aileen masih merasa kesal dengan dirinya sendiri, sebab yang dia lakukan semalam. Belum pernah Aileen memikirkan laki-laki sampai dia terangsang. Bahkan, dulu s
"Hem, bulan madu?" ucap Albani. Dia menggaruk tengkuk, agak bingung menjelaskan tentang itu. Keduanya tidak berpikir akan berbulan madu, lagipula itu sama sekali tidak perlu. Aileen hanya senyum canggung. Percakapan antara mereka mulai memanas ke arah yang lebih pribadi. Ia jadi tak nyaman, tapi bagaimana pun itu adalah pertanyaan yang wajar. seorang ibu bertanya tentang bulan madu anaknya yang baru menikah. "Ya, kenapa bingung begitu saat kutanya tentang bulan madu kalian?" tanya Melani. Ia tau, anaknya pasti tidak kepikiran ke arah sana. "Ya, menurutku itu...." Albani menggantungkan ucapannya. "Kau berkeringat, Al." Melanie menatap Albani penuh perhatian. Tanpa sadar itu membuat Albani tertekan. "Biasa saja, wajar sekali orang tua bertanya apakah anaknya dan istrinya akur dan harmonis. Bukan begitu?" "Ya, tapi tidak perlu juga sampai bertanya tentang bulan madu segala," tegas Albani. "Hanya cukup jawab kalian berbulan madu, atau belum?" Melani kian mencecar. Disitula
"Rio, dari mana saja kamu tidak pulang ke apartement beberapa hari? Kamu pasti sedang sibuk main dengan perempuan, kan?" ucap Lenka. Dia seperti biasa, selalu saja mengintimidasi Rio. Tapi, kata-kata Lenka itu benar, dia memang pergi untuk mencari kesenangan dengan perempuan lain. "Kalau iya, apa itu masalah untuk kamu?" "Rio, kamu akhir-akhir ini banyak berubah. Katakan jujur, apa ini semua karena mantan pacar kamu itu?" "Hentikan, Lenka. Ini semua tidak ada urusannya dengan Aileen.." "Ya, ya, kamu menyebut namanya dengan ringan. Aku jadi curiga. Kamu masih punya rasa untuknya. Iya kan!" "Kamu tau Lenka, aku capek kita sering bertengkar." Lenka yang tadinya akan marah mendadak melemah. "Maaf." "Ini semua sama sekali nggak ada hubungannya dengan siapa pun, dengan orang lain. Ini semua tentang kamu, Lenka. Sikap kamu belakangan makin menjadi-jadi. Aku sudah bilang, aku ingin kita segera menikah. Tapi aku masih ingin menundanya. Itu kenapa, aku jadi malas berbicara deng
"Ada apa, Aileen?" tanya Albani begitu keluar dari toilet. "Papa mengajak main catur," ucap Aileen. "Ah, begitu." Albani lalu pergi begitu saja meninggalkan Aileen. Namun kemudian ia berbalik lagi. "Aileen." "Ya?" "Maaf karena yang tadi pagi," ucap Albani. "Oh, ya, aku tau Mas tidak sengaja." Aileen mengangguk. "Terima kasih karena sudah mau akrab dengan papa," kata Albani tiba-tiba. "Ah, itu, sudah seharusnya kan. Tidak masalah, Mas." "Tenang saja, kesepakatan tetap berjalan." Albani lalu pergi meninggalkan Aileen. "Hem, kenapa mas Al sering mengulangi kata-kata kesepakatan. Seolah dia mulai tak nyaman," ucap Aileen. "Al, kenapa lama sekali." Mario menunggu di depan meja catur. "Pa, jangan sekarang. Saya sedang tidak ingin main catur." "Sebentar saja, lagipula lihatlah istrimu saja mau menemaniku," kata Mario saat Aileen muncul. Gadis itu duduk di dekat Mario dengan tenang. Albani menghela napas. "Ya, baiklah hanya sebentar." Mario tersenyum. "Tidak apa,
Hari ini papa Albani pulang dari luar negeri. Beliau langsung meminta makan bersama dengan Albani dan menantunya, Aileen. Suasana hening, antara Aileen dan Albani terlihat canggung. Melani agak heran, sebab belum lama dia melihat anaknya masih terlihat mesra dengan istrinya. Kecurigaan pun muncul, apakah mereka bertengkar. "Aileen, kamu kenapa?" tanya Melani. Baru saja ia memperkenalkan Aileen pada suaminya, papa mertua Aileen. "Al, kenapa kamu hanya diam saja dengan istrimu. Apa kalian bertengkar?" tanya Mario, papa Albani. "Tidak ada apa-apa." Ia tau penyebab Aileen lebih pendiam, ini pasti karena kejadian pagi tadi. "Oh iya, kenapa papa tidak hadir di pernikahan saya. Apakah papa bisa jelaskan." Albani buru-buru mengganti topiknya. Lagipula ia memang penasaran alasan papanya yang belum diungkapkan. "Maafkan Papa, Nak." Mario melihat ke arah Melani. "Papa mu sakit, belum lama papa menjalani operasi. Maaf Al, karena mama baru bisa bilang." "Apa?" "Ya, papamu sakit
Setelah mengatakan hal itu, Albani langsung membelakangi Aileen. Sementara Aileen masih diam, ia bingung harus bagaimana menanggapi ucapan Albani yang tiba-tiba membahas kontrak pernikahan lagi. "Maaf karena saya mengatakan hal-hal yang tidak penting. Selamat tidur Aileen." Aileen masih tidak menjawab. Baginya itu benar, keduanya memang harus tetap menjaga batasan. Albani masih belum bisa melupakan kebodohannya dengan wanita penghibur itu, dia akat menyesali perbuatannya, tapi sadar semua sudah terlanjur. "Tenang saja, Mas. Aku tau betul kita hanya sebatas menikah kontrak. Jadi, Mas tidak perlu merasa segan jika ingin membahasnya," kata Aileen kemudian. Albani berusaha memejamkan mata, ini harus segera dibuang. Ia tak boleh terus merasa gelisah, lagipula dia tak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya pada Aileen bahwa ia pria baik yang tak pernah menyentuh wanita. Jadi, ia tak perlu merasa bersalah. "Ya, terima kasih, Aileen." *** "Terima kasih, Rio. Aku sangat meras
Aileen melihat Albani menatapnya berbeda, seolah menegaskan, atau memberikan kode padanya tentang sesuatu. Kemudian Aileen mengusap tengkuk, sedikit mengedarkan pandangannya, tak sengaja melihat Melani yang sedang mengintip dari kejauhan. Secepatnya, Aileen segera bersikap santai, dia tertawa ringan lalu berdiri sejajar dengan Albani. Benar, Albani tahu keberadaan Melanie yang sedang menguping itu. "Maaf, karena aku belum terbiasa. Maklum, kita juga baru kenal, kan, Mas. Untung saja ada kesepakatan itu, sehingga kita bisa terus komitmen. Meski nggak mudah, karena kita harus menyesuaikan diri padahal sebelumnya kita tidak saling mengenal." Albani meletakkan tangannya ke kepala Aileen, mengusapnya lembut. "Iya, saya juga masih berusaha jadi suami yang baik untuk kamu." Lagi-lagi perasaan Aileen aneh setiap kali merasakan sentuhan Albani. Jantungnya berdebar sama seperti dia sewaktu jatuh cinta pada Rio. Ini tidak mungkin, Aileen membuang segera perasaan aneh itu. "Iya, Mas Al. Kal
"Ah, tapi ini mungkin menganggu privasinya." Aileen mengurungkan niatnya. "Jadi, semua pasti baik-baik saja. Mas Al adalah pekerja keras, dia pasti sedang sangat sibuk. Jika aku menelepon di saat yang tak tepat, bisa-bisa jadi berantakan." Ia lalu meletakkan ponselnya dan berusaha untuk membuang setiap kegelisahan yang menurutnya tidak berarti apa-apa. *** Jarum jam terus saja bergerak, bunyi dentingnya berhasil membuat Aileen tidak bisa tidur. Aileen juga merasa haus, dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil segelas air. Namun, saat dia baru sampai di depan pintu kamar, dia melihat Albani baru saja masuk ke dalam rumah. Sontak ia mendekat dan menegur pria itu dengan suara pelan serupa berbisik, cemas jika ada yang terbangun mengingat waktu sudah larut. Aileen berjalan menuruni anak tangga. Albani terlihat sedang duduk di kursi yang ada di ruang tamu sendirian sambil memijat kening. Sekalian saja, Aileen berinisiatif untuk membuatkan Albani minuman, sekalian dia
Kemudian keduanya pergi ke sebuah privat room. Albani mengendurkan dasi sambil berjalan menuju ruangan yang disiapkan khusus untuknya. Wanita itu tampak cantik, dan pastinya seksi. Albani langsung mendorong tubuh wanita itu, begitu dia mendapatkan diri pintu telah ditutup rapat oleh wanita tadi. Tanpa membuang waktu, dia memagut kasar bibir wanita itu, membuka bajunya dan meremas tubuh indah yang terpampang setengah terbuka di depan matanya. Wanita itu sangat senang, karena pria gagah seperti Albani yang malam ini sedang menikmati tubuhnya. Tak berjeda, pagutan itu makin dalam nan basah, turun ke bagian lain dan merajai. Albani seolah sangat kehausan, hingga tak butuh waktu lama, tubuhnya sudah bangun dan siap dimanjakan. "Now!"Wanita itu berjongkok, kemudian membuka resleting celana Albani, menikmati peran kotornya dengan panas. Piawainya membuat Al tak kuasa mendesah, menggeram hebat hingga memaksa wanita itu lebih kuat menikmatinya. "Hard! Fast!"Desahan wanita itu terdengar tak
"Aileen.""Ya?""Maaf, tapi bisakah kamu berbohong jika nanti malam dia bertanya saya ada di mana?""Dia?" Aileen sedikit bingung, dia siapa yang dimaksud Albani."Ibu saya," jelas Albani. Aileen tidak mengerti mengapa Albani sangat dingin terhadap ibunya sendiri. Aileen juga tidak mengerti, kenapa dia harus berbohong. "Loh? Memangnya kenapa, Mas?""Begini, saya tadi sudah bilang bahwa malam ini saya tidak bisa pulang." "Ya, lalu?" "Tapi, ya, kamu tau sendiri bagaimana yang orang itu katakan tadi." "Memangnya kenapa Mas. Bukannya itu wajar kalau mamamu bertanya tentang itu." Albani menggeleng malas. "Saya tidak suka." "Hem," sahut Aileen kaku. "Kamu nggak keberatan, kan, kalau saya meminta bantuan kamu? katakan saja, saya sudah tidur di kamar. Karena saya yakin orang itu akan memeriksa dan menanyakan pada kamu nanti."Meski Aileen agak penasaran, sebenarnya ke mana Albani akan pergi. Tapi, dia sadar, posisinya tidak berhak bertanya tentang itu. "Oh, baiklah, Mas." Senyum Aile
"Hem, bulan madu?" ucap Albani. Dia menggaruk tengkuk, agak bingung menjelaskan tentang itu. Keduanya tidak berpikir akan berbulan madu, lagipula itu sama sekali tidak perlu. Aileen hanya senyum canggung. Percakapan antara mereka mulai memanas ke arah yang lebih pribadi. Ia jadi tak nyaman, tapi bagaimana pun itu adalah pertanyaan yang wajar. seorang ibu bertanya tentang bulan madu anaknya yang baru menikah. "Ya, kenapa bingung begitu saat kutanya tentang bulan madu kalian?" tanya Melani. Ia tau, anaknya pasti tidak kepikiran ke arah sana. "Ya, menurutku itu...." Albani menggantungkan ucapannya. "Kau berkeringat, Al." Melanie menatap Albani penuh perhatian. Tanpa sadar itu membuat Albani tertekan. "Biasa saja, wajar sekali orang tua bertanya apakah anaknya dan istrinya akur dan harmonis. Bukan begitu?" "Ya, tapi tidak perlu juga sampai bertanya tentang bulan madu segala," tegas Albani. "Hanya cukup jawab kalian berbulan madu, atau belum?" Melani kian mencecar. Disitula