Aileen mungkin sudah gila atau karena saking putus asa nya, hingga dia menyetujui kesepakatan yang ditawarkan Albani padanya. Tapi di satu sisi Aileen benar-benar benci dengan Rio, apalagi setelah Rio menguras tabungannya padahal keduanya sudah putus.
"Tidak, kamu beneran udah parah, Ai. Kamu setuju nikah kontrak sama dia? Asli padahal kamu sama dia belum lama kenal. Kok bisa sih kamu mau aja?" Namun semua sudah kepalang basah. Aileen telah menandatangani kesepakatan itu hitam di atas putih. "Silakan tanda tangan disini, Nona Aileen." Aileen yang awalnya ragu, tapi dia bertekad melakukan itu demi membalas kan sakit hatinya pada Rio. Akhirnya Aileen membubuhi beberapa lembar dokumen yang ada di depannya dengan tanda tangannya. "Oke, semua sudah ditandatangani secara sah di atas materai dan di saksikan oleh dua orang saksi yang saya bawa. Nona Aileen, saya sangat senang dan berterima kasih karena Nona memilih hal yang sangat tepat." Senyum tipis Albani menyisakan misteri bagi Aileen. Dia belum mengenal dengan baik pria itu. Tidak ada yang tau, apakah semuanya akan berjalan lancar atau tidak. "Tenang saja, Nona. Selama Nona tetap menjunjung tinggi kesepakatan yang kita buat. Maka tak ada hal buruk yang akan terjadi. Satu tahun waktu yang kita punya. Setelah itu, kita akan hidup terpisah dan saya jamin Nona akan mendapatkan lebih dari yang Nona bayangkan." Sejujurnya bukan untuk uang. Aileen hanya ingin melepaskan bayang-bayang Rio dalam kehidupannya. "Oke, kalau begitu saya harap dalam dua tahun ke depan kita bisa bekerja sama dengan baik, Tuan." "Ya, tentu saja. Omong-omong, jangan bicara terlalu formal, bisa? Saya akan panggil Aileen, dan kamu bisa panggil saya Al saja." "Tapi itu agak kurang sopan. Bagaimana kalau Mas?" Albani tersenyum. "Boleh." "Baik, Mas Al. Semoga kita bisa saling menguntungkan satu sama lain. Yang aku butuhkan bukan uang. Meski aku tidak sekaya dirimu, Al. Tapi, yang kubutuhkan sekarng hanyalah status untuk membalas dendam pada seseorang." "Itu hal yang mudah, dan juga sangat menarik, Aileen. Saya akan bantu kamu dengan syarat kamu bisa bersikap memuaskan di hadapan orang tua saya. Setidaknya buat mereka bungkam, dan tak banyak ikut campur lagi untuk urusan saya." "Hem, urusan mengambil hati orang tua serahkan pada saya." Begitulah kesepakatan yang terjadi antara Aileen dan Albani. Sekarang, Aileen malah takut dan cemas dengan keputusannya itu. "Kalau nggak berhasil, dan malah berantakan gimana? Kalau mamah dan papah tau gimana? Apa mereka akan kecewa? Kalau orang tua Mas Al tau, apa dia juga akan kecewa sama aku?" *** Di tempat lain, Rio yang sempat merasa hidupnya akan lebih bahagia bersama Lenka mendadak gusar. Dia mulai dihinggapi rasa bersalah terhadap Aileen. "Kamu kenapa, Beb? Kok keliatannya banyak pikiran gitu?" Lenka baru saja keluar dari kamar mandi, dia mengusap dada bidang Rio sambil sesekali memberikan ciuman kecil di bibir pria itu. "Masih kurang? Mau satu ronde lagi?" "Sayang, aku …" ucap Rio terputus. Dia ragu, apakah setelah memberitahu keresahan nya, Lenka dapat menerima? "Tunggu dulu. Jangan-jangan, kamu masih kepikiran sama mantan kamu yang culun itu?" Lenka yang hanya mengenakan bra dan underwear itu segera mengambil pakaiannya. "Jawab jujur, Rio. Aku nggak mau ya, kamu masih mikirin dia. Buat apa sih?" ujarnya sembari mengenakan celana panjangnya. "Aku heran, apa yang bikin kamu berat banget ninggalin dia dulu. Dilihat dari ujung sedotan pun dia nggak menarik sama sekali loh. Kamu punya nafsu liat dia telanjang? Kayaknya nggak deh." Lenka berdecih, seolah wanita yang pernah dicintai Rio itu tak ada harganya sama sekali. "Lenka, biar gimana pun dia punya jasa sampai aku bisa lulus kuliah." "Berapa sih yang dia keluarin buat bantu kamu, hem? Sini biar aku bayar semuanya!" Rio menggeleng. "Bukan itu, setidaknya aku mungkin harus minta maaf sama dia. Karena dia bisa aja dendam sama aku, Sayang." "Persetan mau dia dendam kek, apa kek, bukan urusan kamu lagi, Beb. Udah, aku nggak mau ya, denger kamu bahas dia, mikirin dia. Males tau nggak!" Lenka mengenakan blazer berwarna brown miliknya, tak lupa mengenakan kembali anting-anting dan perhiasannya. "Aku harus balik ke kantor. Tadi, ada meeting dadakan. Kamu ademin pikiran dulu deh, kalau nggak mood ngantor, nggak perlu maksa. Minggu depan sepupuku menikah, aku harus datang ke acara itu. Kamu juga, oke?" Rio tak menjawab. Sebuah ciuman mendarat di bibirnya. "Aku pergi dulu ya. Kalau butuh aku, cukup datang ke ruangan aku. Inget, aku selalu tau apa yang kamu butuhkan, Beby." Lenka keluar dari kamar apartemen mewah yang dia belikan khusus untuk Rio. Wanita itu memang memiliki segalanya, hal itu juga yang membuat Rio meninggalkan cinta pertamanya, Aileen Haura, yang telah memberinya ketulusan cinta. "Aku memang nggak pantes buat kamu, Ai. Maaf, karena aku telah jatuh ke jurang yang luar biasa dalam. Sampai-sampai, aku nggak tau, apa aku bisa keluar dari jurang itu apa nggak, Ai. Aku tau kamu pasti kecewa banget sama aku." Satu minggu kemudian… "Sayang, anak Mama sebentar lagi kamu udah punya suami, Nak. Bunda sedih, Mama belum siap ditinggal sama kamu," ujar mamanya pada Aileen. Aileen menghela napas panjang. "Ma, bukannya ini juga keinginan mama dan papa, supaya Aileen menikah?" mamanya memeluk Aileen. Meski begitu pasti tetap saja ada rasa sedih, sesak, dan tak rela jika putrinya akan diambil orang. Tapi, mamanya yakin, itu demi kebaikan, dan kebahagiaan Aileen nantinya. "Mama nggak mau kamu sedih karena putus dari pacar kamu, Ai. Kamu kira Mama nggak tau. Kamu dekat sama siapa, dan kamu kenapa mengurung diri di kamar? Mama tau semuanya, Nak." Aileen tersentak. Dia kira, dia telah menyembunyikan semuanya dengan rapat. Tapi dia salah, mama nya tau itu semua. "Maafin Ai, ya, Ma." Tatapan sendu dan hela napas berat, Aileen merasa sangat bersalah karena menyembunyikan itu semua selama ini, dari kedua orang tuanya. "Mama mengerti, seumuran kamu wajar kalau mengalami pasang surut dalam dunia percintaan. Tapi, kamu nggak boleh larut dalam kesedihan, patah hati berkepanjangan. Albani, dia pria yang benar-benar luar biasa, Ai. Bunda bahagia, kamu bisa menikah dengannya. Kamu, sudah merasa cocok belum sama dia?" Pertanyaan itu, mana mungkin Aileen merasakan kecocokan secepat itu pada pria yang baru dia kenal? Tapi, bunda nya tak boleh sampai tau, kalau dia menikah dengan Albani hanya karena sebuah kesepakatan tertulis. "Ya, lumayan, lah, Ma. Tapi, pasti tetap butuh proses." Mamanya tersenyum. "Nggak masalah. Lambat laun, pasti semuanya berubah kok. Kamu akan menemukan kecocokan dengan sendirinya. Yang terpenting, kamu jangan menutup diri ya. Kamu harus terbuka sama Albani. Ngerti?" "Iya, Ma. Aileen akan coba." Ketakutan makin menjadi-jadi. Dia takut mama nya tau kesepakatan yang dia buat dengan Albani. Kalau sampai itu terjadi, Aileen tidak tahu apakah ada yang lebih buruk dari sekedar dimusuhi oleh orang tuanya? Atau dia akan dicoret namanya dari kartu keluarga? Aileen mengerjapkan mata, tak mau kalau sampai itu terjadi padanya. Kedua orang tuanya tak boleh tau fakta sebenarnya. ** Albani mengusap kasar wajahnya. Mimpi buruk itu datang lagi. Begitu mimpi itu menghantui tidurnya, Albani sontak kembali teringat dengan kemarahannya terhadap wanita di masa lalunya. "Sial! Kenapa harus mimpi itu lagi, sih?" "Al, kamu di dalam?" Suara ketukan pintu segera menyadarkan Albani, dia harus melupakan mimpi itu. "Iya, Ma, ada apa?" "Mama mau bicara, Nak, ini tentang pesta pernikahanmu." "Ya, sebentar, Saya ganti baju dulu." "Mama tunggu di ruang tengah ya." "Ya." Mamanya menunggu di ruang tengah sembari menyesap secangkir teh yang disajikan di cangkir ukiran berwarna keemasan. Dia begitu santai, terlihat bahagia karena sebentar lagi putra tunggalnya akan segera menikah. "Ekhem." "Duduk, Sayang." Albani pun duduk di hadapan mamanya. Dia tau, pasti mamanya akan meminta sesuatu darinya. "Al, persiapan pernikahanmu sudah selesai. Mama juga sudah undang semua kolega, keluarga, dan juga kerabat kita." "Hem, Ya. Baguslah, kalau memang semuanya sudah beres." Albani juga tak merasakan beban. Sebab yang dinikahinya adalah Aileen, wanita yang memiliki visi misi serupa dengannya. "Kamu keliahatan sangat santai, Al. Mama penasaran, apakah kamu benar-benar tertarik dengan Aileen?" Albani berdecih, lalu dia menghela nafas panjang. "Bukannya mau Anda seperti itu? Saya hanya berusaha mengikuti keinginan Anda." Mamanya tersenyum, begitulah Albani, selalu kaku dan dingin. "Berarti hanya karena keinginan Mama? Bukan karena kamu tertarik dengan dia?" Bukan Melanie namanya jika tak membuat Albani kepusingan dengan permainan kata-kata yang diajukan. "Sudahlah, bukankah masalah tertarik atau tidaknya itu belakangan? Yang terpenting bagi Anda, pendapat Anda. Saya menikah, dan calon yang saya nikahi juga sesuai dengan kriteria keluarga ini, kan?" Mamanya tersenyum. "Al, memang benar begitu. Tapi, Aileen adalah gadis yang lumayan." Albani berdecih. "Sudah selesai?" "Albani, pernikahan ini bukan sekedar pernikahan biasa. Kau tau itu, bukan." Albani menatap mamanya serius. "Saya istirahat dulu." "Mama harap kau tidak mengecewakan keluarga ini, Al." Tangan Albani mengepal. Ia berusaha untuk yang terbaik. Kalau bukan demi keluarga, lalu untuk siapa lagi semua pengorbanan yang ia lakukan selama ini. Bisa-bisanya ia selalu dituntut lebih. Kemudian ia pergi ke kemarnya tanpa menanggapi perkataan mamanya lagi."Aileen, coba buka kacamata kamu, Sayang. Tante mau lihat mata kamu tanpa benda itu," ujar Mia, dia adalah kenalan mamanya yang bekerja sebagai make up artist. Hari itu, Mia diberikan tanggung jawab untuk mengubah penampilan Aileen yang awalnya terkesan kuno, menjadi lebih modern, elegan, dan pastinya cantik. "Kacamata? Hem, kenapa harus dilepas, Tante? Aileen selama ini nggak melepas kacamata karena penglihatan tidak terlalu jelas tanpa kacamata ini," jawab Aileen agak ragu-ragu. Mia tersenyum lalu mengusap dua bahu Aileen sambil menatap pantulan di cermin. "Aileen, kulit kamu bagus, hidung kamu juga mancung, rambut kamu juga indah dan lembut. Tante rasa, kamu cantik alami. Tapi, penampilan kamu akan bertambah cantik, kalau kamu mengganti kacamata kamu itu, Sayang." "Gimana caranya, Tante?" "Mana mungkin kamu nggak tau kalau ada yang namanya lensa kontak?" "Ah, itu, Aileen tau. Tapi, Aileen nggak nyaman, Tante." "Udah pernah coba?" Aileen menggeleng. "Belum sih." "Nah,
"Apa ini benar-benar terjadi?" gumam Aileen berdebar. Tibalah hari yang menegangkan bagi Aileen. Sekarang, dia sedang berdiri, menggandeng tangan ayahnya dengan jantung berdentum kuat. Tak pernah dia bayangkan, pesta megah yang sekarang sedang berlangsung, adalah pesta pernikahannya dengan seorang putra pewaris tunggal perusahaan ternama di ibukota. Albani Raditya, pria itu berdiri di seberang sana, melihat ku dengan tatapan yang tidak terlalu jelas, apakah dia datar, muram, atau malah terkejut. Ternyata itik buruk rupa bisa berubah menjadi angsa yang sangat cantik. Aileen belum pernah berdandan sampai sedetail ini. Dia juga tak berencana untuk menikah dengan gaya yang mewah, terkesan sensual dengan pakaian pengantin yang sekarang sedang di kenakannya. Ingatan itu pernah menjadi hal terindah bagi Aileen. "Ai, kamu kalau nikah nanti sama aku. Janji, ya. Kamu nggak perlu dandan yang terlalu berlebihan. Cukup tunjukkan kamu cantik alami, seperti sekarang." Aileen hanya tersenyu
"Kalian berdua resmi sebagai suami istri." "Benarkah," desah Aileen pelan. "Senyumlah." Albani memegang tangan Aileen. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Albani. Begitu akad nikah selesai dilaksanakan. Meski dengan perasaan bercampur aduk, antara cemas, takut, dan tidak dapat dideskripsikan oleh Aileen. Dia sudah resmi dan sah menjadi istri seorang Albani Raditya. Kini Aileen terngiang perkataan Albani barusan, ini tentang balas dendam. "Kau benar Mas Al." "Hem?" "Aku harus balas dendam, kan." Albani menganggukkan kepala. "Ah, tepat." "Silakan untuk pengantin pria diperbolehkan jika ingin mencium pengantin wanita." Ucapan pembawa acara itu membuat Aileen berdegup gugup. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah Albani akan menciumnya sungguhan di depan orang-orang yang jumlahnya sangat banyak itu. Tapi tadi Albani bilang dia tidak boleh menolak, malah menyuruhnya melakukan improvisasi. Albani tersenyum penuh arti, menatap Aileen sembari mengelus punggung tanga
Diambilnya rokok dari dalam dasbor mobil, lalu Rio keluar untuk menyalakan api. Lenka mengusap wajah, tak mengerti dengan kemarahan pacarnya. "Dia kenapa sih? Padahal, dia sendiri yang bilang, dia nggak betah punya pacar yang benar-benar norak, dan nggak menggairahkan? Kenapa sekarang dia mendadak begitu? Atau jangan-jangan, dia beneran terpukau karena mantannya itu mulai merubah penampilannya?" Lenka mengatakan itu sembari menatap pantulan dirinya dari kaca mobil. "Tapi, dia sama sekali bukan tandingan ku." Rio masih menenangkan diri dengan sebatang rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya. Sambil mengepul kan asap ke udara, berusaha untuk bisa menghilangkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya kala terbayang bibir merah Aileen, yang ternyata sangat sexy dengan polesan gincu berwarna merah muda tadi. "Fuck!!" "Rio, kamu sampai kapan merokok? Kita pulang, yuk. Sepertinya kamu harus mengademkan pikiran kamu yang mulai aneh itu. Kamu nggak perlu punya perasaan kesal don
Memang tak akan ada yang terjadi antara Albani dan Aileen di momen bulan madu mereka. Keduanya diberikan waktu satu minggu untuk liburan di hotel dan segala fasilitas mewah. Namun karena mereka bukan menikah selayaknya pasangan suami istri yang normal. Tak ada yang terjadi, entah itu aktivitas kontak fisik dan semacamnya. Aileen sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang penulis novel. Sedangkan Albani pun sama, sibuk dengan pekerjaannya yang dia bawa dari kantor. "Aileen." "Ya, Mas?" Albani mengenakan arloji mahalnya. Dia lalu memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada Aileen. "Ini untuk kamu." Aileen menatap benda itu, dan agak terkejut. Aileen belum pernah memiliki benda Sultan tersebut. Tapi dia cukup tau, bahwa itu adalah black card. "Black card? Untuk apa, Mas Al?" "Untuk kamu gunakan. Ini termasuk fasilitas yang saya janjikan. Kamu bisa pakai untuk membeli berbagai macam kebutuhan kamu. Mulai dari pakaian, perhiasan, sepatu, tas dan lain-lain." Aileen menggeleng, menolak
"Maaf apa ada orang di dalam?" Aileen mendengar suara itu saat dia tengah berada di kamar mandi butik. Dia lalu keluar dan kaget mdlihat bahwa yang ada di luar itu adalah Lenka. Bagaimana bisa dia ada di tempat itu. Aileen seolah kehabisan kata-kata, ia segera melewati Lenka begitu saja. Tapi, Lenka berdecih, membuatnya menghentikan langkah kaki. "Sekali jelek tetap saja jelek. Kamu tidak perlu bersusah payah memperbaiki penampilan kamu, Aileen. Karena kamu tetap saja jelek, tidak menarik, dan kamu juga bukan saingan ku." Sekali lagi, Lenka merendahkan Aileen. "Apa kamu bilang?" kata Aileen, lalu dia tersenyum miring, berjalan ke hadapan Lenka dengan tatapan mencibir. "Kamu kira aku memerlukan pengakun mu? Tidak. Lagi pula, menurutku, kamu tidak sebanding denganku, jadi jangan merasa kamu layak bersaing dengan ku. Bagus kalau kamu menyadari, bahwa kamu bukan saingan ku." Lenka tak mengira jika Aileen akan menjawabnya. Kemudian Aileen pergi meninggalkan Lenka yang membisu, ber
Aileen berdiri di depan Albani dengan perasaan senang. Akhirnya, dia bisa bersikap tegas di hadapan Lenka. Padahal, sebelumnya Aileen tak bisa bertindak banyak, apalagi untuk menunjukkan dirinya yang lebih dari sekedar gadis bodoh. Dia merasa, kalau bukan karena Albani, mana mungkin dia bisa begitu. "Kenapa? Kamu tersenyum seperti itu?" tanya Albani. "Enggak. Aku cuman mau ngomong, makasih, ya, Mas. Karena tadi Mas udah bantu aku. Makasih juga untuk barang-barang yang Mas belikan untuk aku." "Oh. Kenapa hanya karena hal itu saja kamu terlihat sangat senang. Sekarang, saya harap kamu bisa pikirkan hal apa yang sangat kamu inginkan. Entah itu apa pun, sampaikan pada saya, akan saya kabulkan." Aileen tertawa geli, dia melihat Albani seperti sebuah keajaiban. "Kamu kayak jin lampu, Mas. Yang bisa mengabulkan keinginan." "Hah? Kamu, kenapa terkadang kamu seperti anak-anak, Aileen." "Ya, tapi dulu aku pernah berpikir, mungkin saja kalah aku punya jin lampu, maka hidupku akan lebih muda
"Eh, tidak kok." Albani menggaruk tengkuk. "Oh. Mas, aku cocok pakai baju ini, nggak?" Albani tersentak. "Kok tanya saya?" "Eh, emang nggak boleh tanya?" "B-Bukan gitu, kalau kamu nyaman itu tidak masalah." "Hem, agak kurang nyaman sih." "Kenapa?" "Soalnya, ini agak terbuka menurutku," ucap Aileen polos, gadis itu bahkan menunjuk dadanya sendiri. "Lihat, terlalu terbuka." Albani menggeram tertahan. "Apa kamu tidak waspada, Ai?" Aileen menautkan alisnya, "Waspada?" Aileen menatap Albani yang terus melihat ke arah dadanya. "Mas Al lihatin apa?" Albani terkejut. "Saya tidak lihat apa-apa, maaf Aileen, saya ke kamar dulu." Mereka masih di hotel, karena besok mereka baru akan pindah ke rumah keluarga Albani. Sesuai tradisi, satu bulan pertama pihak wanita harus menyesuaikan diri dengan keluarga pihak laki-laki, jadi dia akan tinggal di sana dan harus tidur dalam satu kamar. Tapi, Aileen tak cemas, karena dia percaya Albani tak akan menyentuhnya. "Kenap
"Rio, dari mana saja kamu tidak pulang ke apartement beberapa hari? Kamu pasti sedang sibuk main dengan perempuan, kan?" ucap Lenka. Dia seperti biasa, selalu saja mengintimidasi Rio. Tapi, kata-kata Lenka itu benar, dia memang pergi untuk mencari kesenangan dengan perempuan lain. "Kalau iya, apa itu masalah untuk kamu?" "Rio, kamu akhir-akhir ini banyak berubah. Katakan jujur, apa ini semua karena mantan pacar kamu itu?" "Hentikan, Lenka. Ini semua tidak ada urusannya dengan Aileen.." "Ya, ya, kamu menyebut namanya dengan ringan. Aku jadi curiga. Kamu masih punya rasa untuknya. Iya kan!" "Kamu tau Lenka, aku capek kita sering bertengkar." Lenka yang tadinya akan marah mendadak melemah. "Maaf." "Ini semua sama sekali nggak ada hubungannya dengan siapa pun, dengan orang lain. Ini semua tentang kamu, Lenka. Sikap kamu belakangan makin menjadi-jadi. Aku sudah bilang, aku ingin kita segera menikah. Tapi aku masih ingin menundanya. Itu kenapa, aku jadi malas berbicara deng
"Ada apa, Aileen?" tanya Albani begitu keluar dari toilet. "Papa mengajak main catur," ucap Aileen. "Ah, begitu." Albani lalu pergi begitu saja meninggalkan Aileen. Namun kemudian ia berbalik lagi. "Aileen." "Ya?" "Maaf karena yang tadi pagi," ucap Albani. "Oh, ya, aku tau Mas tidak sengaja." Aileen mengangguk. "Terima kasih karena sudah mau akrab dengan papa," kata Albani tiba-tiba. "Ah, itu, sudah seharusnya kan. Tidak masalah, Mas." "Tenang saja, kesepakatan tetap berjalan." Albani lalu pergi meninggalkan Aileen. "Hem, kenapa mas Al sering mengulangi kata-kata kesepakatan. Seolah dia mulai tak nyaman," ucap Aileen. "Al, kenapa lama sekali." Mario menunggu di depan meja catur. "Pa, jangan sekarang. Saya sedang tidak ingin main catur." "Sebentar saja, lagipula lihatlah istrimu saja mau menemaniku," kata Mario saat Aileen muncul. Gadis itu duduk di dekat Mario dengan tenang. Albani menghela napas. "Ya, baiklah hanya sebentar." Mario tersenyum. "Tidak apa,
Hari ini papa Albani pulang dari luar negeri. Beliau langsung meminta makan bersama dengan Albani dan menantunya, Aileen. Suasana hening, antara Aileen dan Albani terlihat canggung. Melani agak heran, sebab belum lama dia melihat anaknya masih terlihat mesra dengan istrinya. Kecurigaan pun muncul, apakah mereka bertengkar. "Aileen, kamu kenapa?" tanya Melani. Baru saja ia memperkenalkan Aileen pada suaminya, papa mertua Aileen. "Al, kenapa kamu hanya diam saja dengan istrimu. Apa kalian bertengkar?" tanya Mario, papa Albani. "Tidak ada apa-apa." Ia tau penyebab Aileen lebih pendiam, ini pasti karena kejadian pagi tadi. "Oh iya, kenapa papa tidak hadir di pernikahan saya. Apakah papa bisa jelaskan." Albani buru-buru mengganti topiknya. Lagipula ia memang penasaran alasan papanya yang belum diungkapkan. "Maafkan Papa, Nak." Mario melihat ke arah Melani. "Papa mu sakit, belum lama papa menjalani operasi. Maaf Al, karena mama baru bisa bilang." "Apa?" "Ya, papamu sakit
Setelah mengatakan hal itu, Albani langsung membelakangi Aileen. Sementara Aileen masih diam, ia bingung harus bagaimana menanggapi ucapan Albani yang tiba-tiba membahas kontrak pernikahan lagi. "Maaf karena saya mengatakan hal-hal yang tidak penting. Selamat tidur Aileen." Aileen masih tidak menjawab. Baginya itu benar, keduanya memang harus tetap menjaga batasan. Albani masih belum bisa melupakan kebodohannya dengan wanita penghibur itu, dia akat menyesali perbuatannya, tapi sadar semua sudah terlanjur. "Tenang saja, Mas. Aku tau betul kita hanya sebatas menikah kontrak. Jadi, Mas tidak perlu merasa segan jika ingin membahasnya," kata Aileen kemudian. Albani berusaha memejamkan mata, ini harus segera dibuang. Ia tak boleh terus merasa gelisah, lagipula dia tak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya pada Aileen bahwa ia pria baik yang tak pernah menyentuh wanita. Jadi, ia tak perlu merasa bersalah. "Ya, terima kasih, Aileen." *** "Terima kasih, Rio. Aku sangat meras
Aileen melihat Albani menatapnya berbeda, seolah menegaskan, atau memberikan kode padanya tentang sesuatu. Kemudian Aileen mengusap tengkuk, sedikit mengedarkan pandangannya, tak sengaja melihat Melani yang sedang mengintip dari kejauhan. Secepatnya, Aileen segera bersikap santai, dia tertawa ringan lalu berdiri sejajar dengan Albani. Benar, Albani tahu keberadaan Melanie yang sedang menguping itu. "Maaf, karena aku belum terbiasa. Maklum, kita juga baru kenal, kan, Mas. Untung saja ada kesepakatan itu, sehingga kita bisa terus komitmen. Meski nggak mudah, karena kita harus menyesuaikan diri padahal sebelumnya kita tidak saling mengenal." Albani meletakkan tangannya ke kepala Aileen, mengusapnya lembut. "Iya, saya juga masih berusaha jadi suami yang baik untuk kamu." Lagi-lagi perasaan Aileen aneh setiap kali merasakan sentuhan Albani. Jantungnya berdebar sama seperti dia sewaktu jatuh cinta pada Rio. Ini tidak mungkin, Aileen membuang segera perasaan aneh itu. "Iya, Mas Al. Kal
"Ah, tapi ini mungkin menganggu privasinya." Aileen mengurungkan niatnya. "Jadi, semua pasti baik-baik saja. Mas Al adalah pekerja keras, dia pasti sedang sangat sibuk. Jika aku menelepon di saat yang tak tepat, bisa-bisa jadi berantakan." Ia lalu meletakkan ponselnya dan berusaha untuk membuang setiap kegelisahan yang menurutnya tidak berarti apa-apa. *** Jarum jam terus saja bergerak, bunyi dentingnya berhasil membuat Aileen tidak bisa tidur. Aileen juga merasa haus, dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil segelas air. Namun, saat dia baru sampai di depan pintu kamar, dia melihat Albani baru saja masuk ke dalam rumah. Sontak ia mendekat dan menegur pria itu dengan suara pelan serupa berbisik, cemas jika ada yang terbangun mengingat waktu sudah larut. Aileen berjalan menuruni anak tangga. Albani terlihat sedang duduk di kursi yang ada di ruang tamu sendirian sambil memijat kening. Sekalian saja, Aileen berinisiatif untuk membuatkan Albani minuman, sekalian dia
Kemudian keduanya pergi ke sebuah privat room. Albani mengendurkan dasi sambil berjalan menuju ruangan yang disiapkan khusus untuknya. Wanita itu tampak cantik, dan pastinya seksi. Albani langsung mendorong tubuh wanita itu, begitu dia mendapatkan diri pintu telah ditutup rapat oleh wanita tadi. Tanpa membuang waktu, dia memagut kasar bibir wanita itu, membuka bajunya dan meremas tubuh indah yang terpampang setengah terbuka di depan matanya. Wanita itu sangat senang, karena pria gagah seperti Albani yang malam ini sedang menikmati tubuhnya. Tak berjeda, pagutan itu makin dalam nan basah, turun ke bagian lain dan merajai. Albani seolah sangat kehausan, hingga tak butuh waktu lama, tubuhnya sudah bangun dan siap dimanjakan. "Now!"Wanita itu berjongkok, kemudian membuka resleting celana Albani, menikmati peran kotornya dengan panas. Piawainya membuat Al tak kuasa mendesah, menggeram hebat hingga memaksa wanita itu lebih kuat menikmatinya. "Hard! Fast!"Desahan wanita itu terdengar tak
"Aileen.""Ya?""Maaf, tapi bisakah kamu berbohong jika nanti malam dia bertanya saya ada di mana?""Dia?" Aileen sedikit bingung, dia siapa yang dimaksud Albani."Ibu saya," jelas Albani. Aileen tidak mengerti mengapa Albani sangat dingin terhadap ibunya sendiri. Aileen juga tidak mengerti, kenapa dia harus berbohong. "Loh? Memangnya kenapa, Mas?""Begini, saya tadi sudah bilang bahwa malam ini saya tidak bisa pulang." "Ya, lalu?" "Tapi, ya, kamu tau sendiri bagaimana yang orang itu katakan tadi." "Memangnya kenapa Mas. Bukannya itu wajar kalau mamamu bertanya tentang itu." Albani menggeleng malas. "Saya tidak suka." "Hem," sahut Aileen kaku. "Kamu nggak keberatan, kan, kalau saya meminta bantuan kamu? katakan saja, saya sudah tidur di kamar. Karena saya yakin orang itu akan memeriksa dan menanyakan pada kamu nanti."Meski Aileen agak penasaran, sebenarnya ke mana Albani akan pergi. Tapi, dia sadar, posisinya tidak berhak bertanya tentang itu. "Oh, baiklah, Mas." Senyum Aile
"Hem, bulan madu?" ucap Albani. Dia menggaruk tengkuk, agak bingung menjelaskan tentang itu. Keduanya tidak berpikir akan berbulan madu, lagipula itu sama sekali tidak perlu. Aileen hanya senyum canggung. Percakapan antara mereka mulai memanas ke arah yang lebih pribadi. Ia jadi tak nyaman, tapi bagaimana pun itu adalah pertanyaan yang wajar. seorang ibu bertanya tentang bulan madu anaknya yang baru menikah. "Ya, kenapa bingung begitu saat kutanya tentang bulan madu kalian?" tanya Melani. Ia tau, anaknya pasti tidak kepikiran ke arah sana. "Ya, menurutku itu...." Albani menggantungkan ucapannya. "Kau berkeringat, Al." Melanie menatap Albani penuh perhatian. Tanpa sadar itu membuat Albani tertekan. "Biasa saja, wajar sekali orang tua bertanya apakah anaknya dan istrinya akur dan harmonis. Bukan begitu?" "Ya, tapi tidak perlu juga sampai bertanya tentang bulan madu segala," tegas Albani. "Hanya cukup jawab kalian berbulan madu, atau belum?" Melani kian mencecar. Disitula