Pipi putihnya kelihatan pucat sekarang. Aileen menatap pantulan wajahnya dari kubangan air tempat ia berteduh. Hujan turun cukup lebat, aroma hujan bercampur asap knalpot kendaraan menusuk ke penciuman. Aileen berdiri dengan pandangan kosong, sambil menghela napas berat berusaha menghilangkan pikiran tentang kejadian memuakkan beberapa waktu lalu.
“Aileen kau memang terlalu bodoh!” Gadis malang itu mengumpat menyaksikan kebodohan dirinya sendiri. Rasanya ingin memutar kembali waktu untuk menghajar laki-laki brengsek yang sudah membuat hatinya hancur. Namun semua tidak mungkin, semuanya telah terlanjur. Di saat hatinya sedang kacau, mobil melaju kencang hingga membuat genangan air mengenai dirinya. Aileen memejamkan mata, ia hanya ingin teriak sekuatnya. “Sialan!!” Aileen menarik napas panjang. “Kenapa aku sangat sial!!!” “Kenapa, Tuhan!!!” Seorang pria yang tak sengaja melihat pemandangan gadis berteriak di tengah hujan deras pun tersenyum, mungkin juga merasa terhibur dengan pemandangan itu. “Sebentar,” katanya pada sopir pribadinya. “Baik, Tuan.” Ia membuka kaca jendela mobilnya lalu menatap wajah gadis itu. Aileen terkesiap, tak menyadari jika ada orang yang memperhatikan tingkah memalukannya barusan. “A-Ada apa!!” sentak Aileen. Ia tak peduli betapa ketusnya itu. Orang lain yang berpikir mungkin menganggap ia sudah gila karena marah sendirian. . “Nona baik-baik saja?” tanyanya seolah tak peduli barusan Aileen ketus begitu. Aileen terdiam sambil memalingkan wajah. “Untuk apa Anda bertanya. Silakan lewat sesukamu! Kalau perlu kau cipratkan sekalian genangan air lebih banyak ke arahku!” ocehnya kesal. Saat itu air mata Aileen tak dapat berhenti mengalir. Seolah ia semakin teriris perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya. “Cepat sana pergi!” “Nona butuh tumpangan?” tawarnya. Aileen berdecih. “Anda mengasihaniku?” sahutnya geram. “Tidak juga.” Aileen menggeram kesal, padahal dia sedang tak berselera untung basa-basi tak penting. “Jalan saja, saya tidak butuh tumpangan. Saya bukan tunawisma.” Siapa, sih. Batin Aileen kesal dan sedikit takut. Orang itu jelas tidak dikenalnya, tapi malah menawarkan tumpangan. Namun pria itu malah keluar dari mobil. Di tengah hujan deras ia menarik tangan Aileen. “Masuklah, akan saya antar.” Aileen melepas paksa genggaman tangan pria itu. “Lepaskan atau aku akan teriak!” "Anda yakin?" "Anda siapa, sih. Lagipula kenapa bersikeras ingin mengantar saya!" tegas Aileen. "Tidak apa, sebagai manusia harus saling tolong menolong." "Tidak perlu! Saya tak butuh bantuan Anda." “Baik, saya mengerti.” Meski Aileen masih tidak mengerti akan situasi tersebut. Tapi sejujurnya saat menatap mata pria itu, dia tak yakin orang itu punya niat buruk. “Anda sudah lebih tenang?” tanya pria itu pada Aileen. “Apa Anda berusaha menipu saya? Ah, begini, ya. Anda tahu, kan? Jaman sekarang banyak sekali penipuan, atau mungkin ... penculikan? Anda mau menculik saya?” Aileen menutup mulutnya rapat. Pria itu sejenak terdiam. “Hem..." “Menyingkir.” Aileen sudah lelah. “Saya pikir Anda terlalu berlebihan.” Ia masih mengikuti langkah kaki Aileen perlahan. Aileen mengerutkan kening. “Ya , terserah.” “Saya tidak mengira jika tampang saya seperti penipu dimata Anda.” Pria itu makin maju mendekati Aileen. Hal yang makin membuat Aileen curiga. Sontak Aileen memundurkan badan. “Jangan bergerak!” Baik dari ujung kepala sampai ujung kaki, pria itu kelihatan sempurna di mata Aileen. Sempurna sebagai pria tampan nan berkelas. “Jadi, mau masuk atau?” kata pria itu masih berusaha mengajak Aileen ke mobilnya. Aileen menggeleng secepat kilat. “Sudahlah! Tidak peduli Anda penipu atau bukan. Saya akan pulang sendiri!” “Ya, baiklah kalau Anda tidak mau. Saya tidak akan memaksa.” Aileen berdecih, ia lega pria itu tak memaksanya lagi. Dan memang Aileen tidak peduli sama sekali. Hujan semakin deras, Aileen berlari mencari tempat untuk berteduh. Namun suara petir menggelegar membuatnya menjerit keras. Aileen melupakan satu hal itu, bahwa dirinya takut petir. “Argh!!” Aileen yang lemah itu menangis, tak menyangka jika harinya akan berakhir sangat mengerikan. “Masuklah.” Lagi-lagi pria itu muncul, membuka kaca mobil dengan santai. “Kau!” Aileen melotot kaget. Tapi suara petir lagi-lagi membuatnya panik. Aileen refleks membuka pintu mobil pria asing itu. “Ya Tuhan kenapa petirnya sangat mengerikan sih!” “Saya akan mengantar Anda." Aileen menunduk, ia menatap wajah pria asing itu malu. Padahal tadi dia sendiri yang menolak tegas, tapi malah dia sendiri yang masuk ke dalam mobil itu. “Saya akan turun lagi,” kata Aileen. “Sudahlah, ini malam dan hujan deras. Ada petir, Anda kelihatannya takut dengan itu.” “Apa?” Aileen kesal, tapi itu tidak salah. Dia memang takut suara petir. “Tenang saja Nona, saya tidak berniat jahat.” Pikiran Aileen yang sedang kacau membuatnya tidak banyak bicara lagi. Sudahlah, jika memang dia akan diculik sekalipun, ia tak peduli lagi. Kondisinya sekarang sudah terpuruk, jadi tak masalah jika ada hal buruk lainnya. Pria itu hanya terus diam, berbeda dari sebelumnya yang berusaha mengajak Aileen bicara. Tapi baguslah, Aileen jadi tidak perlu menanggapi apa-apa lagi. Mobil pun terus melaju, jalanan yang dilewati memang benar jalan menuju ke rumahnya. Jadi, apa benar pria itu bukan orang jahat, pikirnya mulai takut jika tadi ia hanya salah sangka saja. “Kenapa Anda mengajak saya masuk ke mobil Anda, sih.” Aileen berkata pelan. “Tidak tau, hanya ingin.” “Hah?” Aileen makin kesal tapi ia terpaksa menerima bantuan karena petir sialan. “Ya, itu tidak terlalu penting.” Pria itu menjawabnya santai dan singkat. “Ah, begitu ya.” Aileen menyerah, ia tidak peduli lagi dengan alasannya. “Anda sendiri, apa yang Anda lakukan seperti tadi?” tanya pria asing. “Untuk apa aku menjawab pertanyaanmu.” Aileen menghela napas. “Ya, benar juga. Putus asa itu bisa menimpa siapa saja.” Kata-kata itu membuat Aileen tersentak. Apa barusan orang itu sedang menyindirnya. “Maksudmu aku putus asa?” Pria itu menoleh. “Apa aku salah?” Aileen terhenyak. Tidak salah, tapi ia tidak menyangka jika keputusasaannya terlihat begitu jelas. Aileen mengusap matanya, ia sudah tidak ingin menangis tapi air matanya menetes begitu saja. "Ini," ucap pria itu sambil memberikan selembar sapu tangan warna abu-abu. "Untuk apa?" "Air mata," kata pria itu singkat. Aileen mengambilnya, lalu menatapnya sebentar untuk kemudian ia usap ke ujung matanya. “Tunjukkan saja jalan ke arah rumah Anda,” kata pria itu dan Aileen hanya terpaku. ** Ternyata kecurigaan Aileen sama sekali tidak beralasan. Pria itu bukan hendak menipu Aileen, apalagi menculiknya. Pria itu memang mengantarkan Aileen sampai ke rumahnya dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun. Sepanjang perjalanan tadi, pria itu juga tak mengajak Aileen bicara, itu membuat Aileen merasa lega. Karena jujur saja, Aileen sedang tidak berkeinginan untuk mengobrol dengan siapa pun. “Em, terima kasih,” ucap Aileen pada pria itu. “Ya, sama-sama.” “Ah, kalau begitu...” kata Aileen ragu-ragu ingin meminta maaf karena sudah salah paham. “Apa Anda masih curiga pada saya?” tanya pria asing itu. “Ti-tidak, maafkan saya,” sahut Aileen merasa bersalah sudah berlebihan menaruh curiga pada pria baik di depannya. “Tapi setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi.” “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Pria itu masuk ke dalam mobil. Aileen berdiri di depan rumahnya sambil menatap kendaraan itu menjauhinya. "Terima kasih," gumam Aileen. Dadanya terasa sakit, ia belum makan apa-apa karena terlalu bersemangat menemui Rio. Ternyata hari yang ia anggap akan menjadi momen pelepas rindu malah berujung menyesakkan. Pria itu menatap ponselnya lalu menghela napas. "Kenapa saya harus memilih perempuan itu."Aileen membaringkan tubuhnya di kasur. Ini hari kedua ia berada di kota, jauh dari kedua orang tuanya. Seharusnya saat ini ia sedang bersama Rio, tapi semuanya sudah berantakan. Rencana itu hanya menjadi kenangan pahit yang harus ia telan bersama pengkhianat bernama Rio. "Mama daritadi telepon," ucap Aileen saat melihat panggilan tak terjawab berulangkali dari sang mama. "Halo, Ma." Aileen menatap sapu tangan abu-abu yang tertinggal di dalam tasnya. Ia baru ingat, benda itu milik pria yang memberi tumpangan tadi. "Ai tadi tidak lihat mama telepon, maaf ya." Mamanya pasti cemas, apalagi selama ini Aileen tidak pernah cerita kalau ia berpacaran dengan seseorang yang ada di kota. "Ya, Aileen belum tau, tapi sementara Aileen akan kost di sini, Ma." Aileen terkejut saat mamanya bilang akan pindah ke kota untuk urusan bisnis. Mamanya jug bilang agar Aileen tidak perlu kost, ia bisa tinggal dengan mamanya. "Ah, begitu. Baik, Ma, atur saja." Aileen lelah, ia ingin memejamk
Matanya masih terasa berat, sebab ia baru saja tertidur dini hari karena meski mengantuk ia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. "Halo, Ma." Aileen melotot. "Apa? Mama kok tiba-tiba sekali sih? Tapi, Ma..." Panggilan terputus begitu saja. Aileen dibuat terkejut dengan panggilan dari sang mama. "Ini gila, apa aku akan dinikahkan paksa?" gumam Aileen gugup, takut, sekaligus was-was. "Nggak, nggak! Aku nggak mau menikah paksa dengan orang yang nggak jelas!!" Aileen mengusap kasar wajahnya frustrasi. Namun mamanya tidak membiarkan ia menolak. Mamanya buru-buru mematikan panggilan dan mengirimkan alamat tempat Aileen harus menemui pria kenalan orang tuanya itu. "Sial!" Aileen panik karena bahkan mamanya sudah menyiapkan meja di sebuah restoran atas namanya dan ia tak bisa lagi menghentikan langkah mendadak sang mama itu. ** "Lenka, apa kau semalam menelepon Aileen?" tanya Rio. "Hem, memangnya kenapa kalau aku telepon cewek culun itu?" sahut Lenka, wanita itu tengah sibuk
Aileen mungkin sudah gila atau karena saking putus asa nya, hingga dia menyetujui kesepakatan yang ditawarkan Albani padanya. Tapi di satu sisi Aileen benar-benar benci dengan Rio, apalagi setelah Rio menguras tabungannya padahal keduanya sudah putus. "Tidak, kamu beneran udah parah, Ai. Kamu setuju nikah kontrak sama dia? Asli padahal kamu sama dia belum lama kenal. Kok bisa sih kamu mau aja?" Namun semua sudah kepalang basah. Aileen telah menandatangani kesepakatan itu hitam di atas putih. "Silakan tanda tangan disini, Nona Aileen." Aileen yang awalnya ragu, tapi dia bertekad melakukan itu demi membalas kan sakit hatinya pada Rio. Akhirnya Aileen membubuhi beberapa lembar dokumen yang ada di depannya dengan tanda tangannya. "Oke, semua sudah ditandatangani secara sah di atas materai dan di saksikan oleh dua orang saksi yang saya bawa. Nona Aileen, saya sangat senang dan berterima kasih karena Nona memilih hal yang sangat tepat." Senyum tipis Albani menyisakan misteri bag
"Aileen, coba buka kacamata kamu, Sayang. Tante mau lihat mata kamu tanpa benda itu," ujar Mia, dia adalah kenalan mamanya yang bekerja sebagai make up artist. Hari itu, Mia diberikan tanggung jawab untuk mengubah penampilan Aileen yang awalnya terkesan kuno, menjadi lebih modern, elegan, dan pastinya cantik. "Kacamata? Hem, kenapa harus dilepas, Tante? Aileen selama ini nggak melepas kacamata karena penglihatan tidak terlalu jelas tanpa kacamata ini," jawab Aileen agak ragu-ragu. Mia tersenyum lalu mengusap dua bahu Aileen sambil menatap pantulan di cermin. "Aileen, kulit kamu bagus, hidung kamu juga mancung, rambut kamu juga indah dan lembut. Tante rasa, kamu cantik alami. Tapi, penampilan kamu akan bertambah cantik, kalau kamu mengganti kacamata kamu itu, Sayang." "Gimana caranya, Tante?" "Mana mungkin kamu nggak tau kalau ada yang namanya lensa kontak?" "Ah, itu, Aileen tau. Tapi, Aileen nggak nyaman, Tante." "Udah pernah coba?" Aileen menggeleng. "Belum sih." "Nah,
"Apa ini benar-benar terjadi?" gumam Aileen berdebar. Tibalah hari yang menegangkan bagi Aileen. Sekarang, dia sedang berdiri, menggandeng tangan ayahnya dengan jantung berdentum kuat. Tak pernah dia bayangkan, pesta megah yang sekarang sedang berlangsung, adalah pesta pernikahannya dengan seorang putra pewaris tunggal perusahaan ternama di ibukota. Albani Raditya, pria itu berdiri di seberang sana, melihat ku dengan tatapan yang tidak terlalu jelas, apakah dia datar, muram, atau malah terkejut. Ternyata itik buruk rupa bisa berubah menjadi angsa yang sangat cantik. Aileen belum pernah berdandan sampai sedetail ini. Dia juga tak berencana untuk menikah dengan gaya yang mewah, terkesan sensual dengan pakaian pengantin yang sekarang sedang di kenakannya. Ingatan itu pernah menjadi hal terindah bagi Aileen. "Ai, kamu kalau nikah nanti sama aku. Janji, ya. Kamu nggak perlu dandan yang terlalu berlebihan. Cukup tunjukkan kamu cantik alami, seperti sekarang." Aileen hanya tersenyu
"Kalian berdua resmi sebagai suami istri." "Benarkah," desah Aileen pelan. "Senyumlah." Albani memegang tangan Aileen. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Albani. Begitu akad nikah selesai dilaksanakan. Meski dengan perasaan bercampur aduk, antara cemas, takut, dan tidak dapat dideskripsikan oleh Aileen. Dia sudah resmi dan sah menjadi istri seorang Albani Raditya. Kini Aileen terngiang perkataan Albani barusan, ini tentang balas dendam. "Kau benar Mas Al." "Hem?" "Aku harus balas dendam, kan." Albani menganggukkan kepala. "Ah, tepat." "Silakan untuk pengantin pria diperbolehkan jika ingin mencium pengantin wanita." Ucapan pembawa acara itu membuat Aileen berdegup gugup. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah Albani akan menciumnya sungguhan di depan orang-orang yang jumlahnya sangat banyak itu. Tapi tadi Albani bilang dia tidak boleh menolak, malah menyuruhnya melakukan improvisasi. Albani tersenyum penuh arti, menatap Aileen sembari mengelus punggung tanga
Diambilnya rokok dari dalam dasbor mobil, lalu Rio keluar untuk menyalakan api. Lenka mengusap wajah, tak mengerti dengan kemarahan pacarnya. "Dia kenapa sih? Padahal, dia sendiri yang bilang, dia nggak betah punya pacar yang benar-benar norak, dan nggak menggairahkan? Kenapa sekarang dia mendadak begitu? Atau jangan-jangan, dia beneran terpukau karena mantannya itu mulai merubah penampilannya?" Lenka mengatakan itu sembari menatap pantulan dirinya dari kaca mobil. "Tapi, dia sama sekali bukan tandingan ku." Rio masih menenangkan diri dengan sebatang rokok di sela telunjuk dan jari tengahnya. Sambil mengepul kan asap ke udara, berusaha untuk bisa menghilangkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya kala terbayang bibir merah Aileen, yang ternyata sangat sexy dengan polesan gincu berwarna merah muda tadi. "Fuck!!" "Rio, kamu sampai kapan merokok? Kita pulang, yuk. Sepertinya kamu harus mengademkan pikiran kamu yang mulai aneh itu. Kamu nggak perlu punya perasaan kesal don
Memang tak akan ada yang terjadi antara Albani dan Aileen di momen bulan madu mereka. Keduanya diberikan waktu satu minggu untuk liburan di hotel dan segala fasilitas mewah. Namun karena mereka bukan menikah selayaknya pasangan suami istri yang normal. Tak ada yang terjadi, entah itu aktivitas kontak fisik dan semacamnya. Aileen sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang penulis novel. Sedangkan Albani pun sama, sibuk dengan pekerjaannya yang dia bawa dari kantor. "Aileen." "Ya, Mas?" Albani mengenakan arloji mahalnya. Dia lalu memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada Aileen. "Ini untuk kamu." Aileen menatap benda itu, dan agak terkejut. Aileen belum pernah memiliki benda Sultan tersebut. Tapi dia cukup tau, bahwa itu adalah black card. "Black card? Untuk apa, Mas Al?" "Untuk kamu gunakan. Ini termasuk fasilitas yang saya janjikan. Kamu bisa pakai untuk membeli berbagai macam kebutuhan kamu. Mulai dari pakaian, perhiasan, sepatu, tas dan lain-lain." Aileen menggeleng, menolak
"Rio, dari mana saja kamu tidak pulang ke apartement beberapa hari? Kamu pasti sedang sibuk main dengan perempuan, kan?" ucap Lenka. Dia seperti biasa, selalu saja mengintimidasi Rio. Tapi, kata-kata Lenka itu benar, dia memang pergi untuk mencari kesenangan dengan perempuan lain. "Kalau iya, apa itu masalah untuk kamu?" "Rio, kamu akhir-akhir ini banyak berubah. Katakan jujur, apa ini semua karena mantan pacar kamu itu?" "Hentikan, Lenka. Ini semua tidak ada urusannya dengan Aileen.." "Ya, ya, kamu menyebut namanya dengan ringan. Aku jadi curiga. Kamu masih punya rasa untuknya. Iya kan!" "Kamu tau Lenka, aku capek kita sering bertengkar." Lenka yang tadinya akan marah mendadak melemah. "Maaf." "Ini semua sama sekali nggak ada hubungannya dengan siapa pun, dengan orang lain. Ini semua tentang kamu, Lenka. Sikap kamu belakangan makin menjadi-jadi. Aku sudah bilang, aku ingin kita segera menikah. Tapi aku masih ingin menundanya. Itu kenapa, aku jadi malas berbicara deng
"Ada apa, Aileen?" tanya Albani begitu keluar dari toilet. "Papa mengajak main catur," ucap Aileen. "Ah, begitu." Albani lalu pergi begitu saja meninggalkan Aileen. Namun kemudian ia berbalik lagi. "Aileen." "Ya?" "Maaf karena yang tadi pagi," ucap Albani. "Oh, ya, aku tau Mas tidak sengaja." Aileen mengangguk. "Terima kasih karena sudah mau akrab dengan papa," kata Albani tiba-tiba. "Ah, itu, sudah seharusnya kan. Tidak masalah, Mas." "Tenang saja, kesepakatan tetap berjalan." Albani lalu pergi meninggalkan Aileen. "Hem, kenapa mas Al sering mengulangi kata-kata kesepakatan. Seolah dia mulai tak nyaman," ucap Aileen. "Al, kenapa lama sekali." Mario menunggu di depan meja catur. "Pa, jangan sekarang. Saya sedang tidak ingin main catur." "Sebentar saja, lagipula lihatlah istrimu saja mau menemaniku," kata Mario saat Aileen muncul. Gadis itu duduk di dekat Mario dengan tenang. Albani menghela napas. "Ya, baiklah hanya sebentar." Mario tersenyum. "Tidak apa,
Hari ini papa Albani pulang dari luar negeri. Beliau langsung meminta makan bersama dengan Albani dan menantunya, Aileen. Suasana hening, antara Aileen dan Albani terlihat canggung. Melani agak heran, sebab belum lama dia melihat anaknya masih terlihat mesra dengan istrinya. Kecurigaan pun muncul, apakah mereka bertengkar. "Aileen, kamu kenapa?" tanya Melani. Baru saja ia memperkenalkan Aileen pada suaminya, papa mertua Aileen. "Al, kenapa kamu hanya diam saja dengan istrimu. Apa kalian bertengkar?" tanya Mario, papa Albani. "Tidak ada apa-apa." Ia tau penyebab Aileen lebih pendiam, ini pasti karena kejadian pagi tadi. "Oh iya, kenapa papa tidak hadir di pernikahan saya. Apakah papa bisa jelaskan." Albani buru-buru mengganti topiknya. Lagipula ia memang penasaran alasan papanya yang belum diungkapkan. "Maafkan Papa, Nak." Mario melihat ke arah Melani. "Papa mu sakit, belum lama papa menjalani operasi. Maaf Al, karena mama baru bisa bilang." "Apa?" "Ya, papamu sakit
Setelah mengatakan hal itu, Albani langsung membelakangi Aileen. Sementara Aileen masih diam, ia bingung harus bagaimana menanggapi ucapan Albani yang tiba-tiba membahas kontrak pernikahan lagi. "Maaf karena saya mengatakan hal-hal yang tidak penting. Selamat tidur Aileen." Aileen masih tidak menjawab. Baginya itu benar, keduanya memang harus tetap menjaga batasan. Albani masih belum bisa melupakan kebodohannya dengan wanita penghibur itu, dia akat menyesali perbuatannya, tapi sadar semua sudah terlanjur. "Tenang saja, Mas. Aku tau betul kita hanya sebatas menikah kontrak. Jadi, Mas tidak perlu merasa segan jika ingin membahasnya," kata Aileen kemudian. Albani berusaha memejamkan mata, ini harus segera dibuang. Ia tak boleh terus merasa gelisah, lagipula dia tak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya pada Aileen bahwa ia pria baik yang tak pernah menyentuh wanita. Jadi, ia tak perlu merasa bersalah. "Ya, terima kasih, Aileen." *** "Terima kasih, Rio. Aku sangat meras
Aileen melihat Albani menatapnya berbeda, seolah menegaskan, atau memberikan kode padanya tentang sesuatu. Kemudian Aileen mengusap tengkuk, sedikit mengedarkan pandangannya, tak sengaja melihat Melani yang sedang mengintip dari kejauhan. Secepatnya, Aileen segera bersikap santai, dia tertawa ringan lalu berdiri sejajar dengan Albani. Benar, Albani tahu keberadaan Melanie yang sedang menguping itu. "Maaf, karena aku belum terbiasa. Maklum, kita juga baru kenal, kan, Mas. Untung saja ada kesepakatan itu, sehingga kita bisa terus komitmen. Meski nggak mudah, karena kita harus menyesuaikan diri padahal sebelumnya kita tidak saling mengenal." Albani meletakkan tangannya ke kepala Aileen, mengusapnya lembut. "Iya, saya juga masih berusaha jadi suami yang baik untuk kamu." Lagi-lagi perasaan Aileen aneh setiap kali merasakan sentuhan Albani. Jantungnya berdebar sama seperti dia sewaktu jatuh cinta pada Rio. Ini tidak mungkin, Aileen membuang segera perasaan aneh itu. "Iya, Mas Al. Kal
"Ah, tapi ini mungkin menganggu privasinya." Aileen mengurungkan niatnya. "Jadi, semua pasti baik-baik saja. Mas Al adalah pekerja keras, dia pasti sedang sangat sibuk. Jika aku menelepon di saat yang tak tepat, bisa-bisa jadi berantakan." Ia lalu meletakkan ponselnya dan berusaha untuk membuang setiap kegelisahan yang menurutnya tidak berarti apa-apa. *** Jarum jam terus saja bergerak, bunyi dentingnya berhasil membuat Aileen tidak bisa tidur. Aileen juga merasa haus, dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil segelas air. Namun, saat dia baru sampai di depan pintu kamar, dia melihat Albani baru saja masuk ke dalam rumah. Sontak ia mendekat dan menegur pria itu dengan suara pelan serupa berbisik, cemas jika ada yang terbangun mengingat waktu sudah larut. Aileen berjalan menuruni anak tangga. Albani terlihat sedang duduk di kursi yang ada di ruang tamu sendirian sambil memijat kening. Sekalian saja, Aileen berinisiatif untuk membuatkan Albani minuman, sekalian dia
Kemudian keduanya pergi ke sebuah privat room. Albani mengendurkan dasi sambil berjalan menuju ruangan yang disiapkan khusus untuknya. Wanita itu tampak cantik, dan pastinya seksi. Albani langsung mendorong tubuh wanita itu, begitu dia mendapatkan diri pintu telah ditutup rapat oleh wanita tadi. Tanpa membuang waktu, dia memagut kasar bibir wanita itu, membuka bajunya dan meremas tubuh indah yang terpampang setengah terbuka di depan matanya. Wanita itu sangat senang, karena pria gagah seperti Albani yang malam ini sedang menikmati tubuhnya. Tak berjeda, pagutan itu makin dalam nan basah, turun ke bagian lain dan merajai. Albani seolah sangat kehausan, hingga tak butuh waktu lama, tubuhnya sudah bangun dan siap dimanjakan. "Now!"Wanita itu berjongkok, kemudian membuka resleting celana Albani, menikmati peran kotornya dengan panas. Piawainya membuat Al tak kuasa mendesah, menggeram hebat hingga memaksa wanita itu lebih kuat menikmatinya. "Hard! Fast!"Desahan wanita itu terdengar tak
"Aileen.""Ya?""Maaf, tapi bisakah kamu berbohong jika nanti malam dia bertanya saya ada di mana?""Dia?" Aileen sedikit bingung, dia siapa yang dimaksud Albani."Ibu saya," jelas Albani. Aileen tidak mengerti mengapa Albani sangat dingin terhadap ibunya sendiri. Aileen juga tidak mengerti, kenapa dia harus berbohong. "Loh? Memangnya kenapa, Mas?""Begini, saya tadi sudah bilang bahwa malam ini saya tidak bisa pulang." "Ya, lalu?" "Tapi, ya, kamu tau sendiri bagaimana yang orang itu katakan tadi." "Memangnya kenapa Mas. Bukannya itu wajar kalau mamamu bertanya tentang itu." Albani menggeleng malas. "Saya tidak suka." "Hem," sahut Aileen kaku. "Kamu nggak keberatan, kan, kalau saya meminta bantuan kamu? katakan saja, saya sudah tidur di kamar. Karena saya yakin orang itu akan memeriksa dan menanyakan pada kamu nanti."Meski Aileen agak penasaran, sebenarnya ke mana Albani akan pergi. Tapi, dia sadar, posisinya tidak berhak bertanya tentang itu. "Oh, baiklah, Mas." Senyum Aile
"Hem, bulan madu?" ucap Albani. Dia menggaruk tengkuk, agak bingung menjelaskan tentang itu. Keduanya tidak berpikir akan berbulan madu, lagipula itu sama sekali tidak perlu. Aileen hanya senyum canggung. Percakapan antara mereka mulai memanas ke arah yang lebih pribadi. Ia jadi tak nyaman, tapi bagaimana pun itu adalah pertanyaan yang wajar. seorang ibu bertanya tentang bulan madu anaknya yang baru menikah. "Ya, kenapa bingung begitu saat kutanya tentang bulan madu kalian?" tanya Melani. Ia tau, anaknya pasti tidak kepikiran ke arah sana. "Ya, menurutku itu...." Albani menggantungkan ucapannya. "Kau berkeringat, Al." Melanie menatap Albani penuh perhatian. Tanpa sadar itu membuat Albani tertekan. "Biasa saja, wajar sekali orang tua bertanya apakah anaknya dan istrinya akur dan harmonis. Bukan begitu?" "Ya, tapi tidak perlu juga sampai bertanya tentang bulan madu segala," tegas Albani. "Hanya cukup jawab kalian berbulan madu, atau belum?" Melani kian mencecar. Disitula