Semalam, Sara menangis di balik selimut karena rencananya hancur berantakan akibat ketidakhadiran Banyu. Ia kecewa, mengapa Banyu dengan mudahnya melupakan janji untuk pulang segera, menjemputnya dan makan malam bersama. Bahkan tidak ada satu pesannya yang di balas.
Sampai Sara ketiduran di ranjang besar kamar Banyu, ia terbangun di pagi hari yang dingin. Kepalanya sedikit berat akibat menangis, berupaya menengok ke seisi ruangan, sepi. Semua masih seperti semalam. Tidak ada tanda-tanda Banyu pulang.Matanya pun terpejam dan menghela napas. Setelah dipikir kembali, Memang ia berhak marah? Sementara status nikah kontrak hanyalah satu-satunya yang menjadi acuannya bahwa di luar itu, mereka bukan siapa-siapa. Mereka tak terikat hubungan spesial yang mengharuskan Banyu berkomitmen atas tindakannya. Begitupun Sara, ia tidak seharusnya bersedih berlebihan bukan? Sebab, pada waktunya nanti, semua permainan ini juga akan berakhir dan saling melupakan satu sama lain. Sara tSara dengan sadar mengakui bahwa tidak ada firasat orang tua yang salah. Meski jauh di sana, mami Lucy ternyata masih memiliki ikatan batin yang erat dengan anaknya. Sara rasa, mengapa Mami kepikiran soal Banyu terus dan perasaannya tidak enak, kini terbukti. Banyu pulang dalam keadaan yang berantakan dan hatinya pasti hancur.Seperti anak kecil, Banyu juga membutuhkan sosok yang ia bisa jadikan tempat untuk pulang dan bersandar, menceritakan segala hal yang membuat hatinya sakit. Dan Sara melakukan itu untuk Banyu; menjadikan dirinya rumah untuk Banyu. Meski ia tidak tahu, Banyu akan menganggapnya rumah juga atau hanya sebatas bank energi baginya. Sara tidak lagi mempedulikan hal itu. Ia melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk Banyu sekarang. Seperti kata Ardi yang meminta tolong untuk menemani Banyu melalui semua ini. Tangan itu terus mengusap kepala Banyu seperti bayi yang kini bergelung memeluknya dan menenggelamkan kepalanya di ceruk antara leher dan dada Sara. Sudah hampir satu
Sara tertawa getir. "Lemah! Kamu lelaki lemah!!"Usaha Sara untuk membuat ego Banyu tergores berhasil. Kini, lelaki itu menghentikan langkahnya lagi dan menoleh ke arah Sara dengan rahang yang mengeras dan mata menyala.Tidak apa-apa, Sara. ujarnya dalam hati. Sara menguatkan dirinya untuk ini meski berpotensi membuat Banyu marah."Aku tahu kamu butuh waktu. Oke, take your time! Tapi gak dengan cara mengabaikan kesehatanmu begini Bay!""Jangan ikut campur urusanku!" tegas Banyu di tengah hujan yang semakin deras dan tubuh mereka sudah basah kuyup.Seperti petir yang menyambar, sekali lagi dada Sara terpukul palu gada atas ucapan Banyu baru saja. Bulir matanya turun, tapi toh itu tidak akan kentara karena hujan sama-sama membasahinya.Sara tersenyum miring. "Kamu sendiri yang udah hapus poin perjanjian itu buat aku. Gak ingat? Kamu menjilat ludah mu sendiri?"Lagi dan lagi, Sara melukai ego Banyu.Lelaki itu sema
"Bal, gue udah post semua endorsment ya. Kalau ada kerjaan lagi, mungkin nanti malam baru bisa gue kerjakan. Sekarang gue lagi ribet." ujar Sara yang sedang mengantri di sebuah kasir sebuah restoran healthy food."Iya santai, cuma brand kemarin aja yang mendesak kok. Lo dimana sih Beb? Berisik banget."Sara maju dua langkah mengikuti antrian yang semakin maju. "Lagi beli makanan buat lunch.""Ihiyyy!! Lunch sama mas Banyu ya?""Diem deh, gue tutup ya." tanpa menunggu persetujuan Babal, ia pun menutup sambungan teleponnya. Pas juga tiba gilirannya. Ia pun memesan Chicken salad, Creamy vegan pasta dan Tom kha gai. Take away.Lalu, setelah membeli makan, ia pun ke kedai ice cream kesukaan Banyu. Sara membelikan varian persis seperti yang dulu pernah ia beli di Mall ini. Dengan gesit, ia melangkah ke basemen, dan menyetir ke kantor Banyu. Semoga saja mood Banyu sudah lebih baik siang ini. Sara menyunggingkan senyumnya sambil menget
Banyu membuktikan perkataannya bahwa ia tidak akan kerja sampai sore atau sampai jam kerja kantor habis. Ia hanya mengecek beberapa email lalu mengajak Sara pergi memakai mobilnya dan meninggalkan mobil Sara di kantor.Di basemen yang sepi ini, Banyu masih menyalakan mesin mobilnya. Sara melihat Banyu dari samping dan lelaki ini sedang mengatur napasnya. Sara tahu ini berat buat Banyu; menyambangi tempat tinggal Hira sekaligus apartemen miliknya. Pasti berat. Jadi, Sara membiarkan lelaki ini mengambil waktu sampai ia siap untuk turun dari mobil.Dering ponsel Banyu membuatnya harus mendongak dan mengaburkan lamunannya. "Ya, selamat siang."" ... ""Baik, terimakasih."Banyu menyimpan ponselnya di saku celana. Mematikan mesin mobilnya dan bersiap untuk turun."Polisi udah nunggu di dalam. Mereka mau melakukan investigasi." ujar Banyu menatap Sara.Mereka pun turun dari mobil dan berjalan bersama memasuki apartemen. Saat di dalam lift, Banyu beberapa kali menghembuskan napasnya kasar.
Kata demi kata itu tertulis dengan gerakan serampangan di kertas itu. Menandakan sang penulis melibatkan emosi dan perasaan di dalam dirinya.Banyu membaca setiap lembar kertas itu dengan seksama. Semua tulisan Hira membuatnya sesak napas. Ini semua adalah isi hati Hira yang tak pernah Banyu tahu.Di lembar pertama, tulisan itu ditujukan untuk ayahnya, yang tidak pernah menganggapnya ada di dunia. Akan tetapi, Hira begitu sayang pada ayahnya sampai-sampai saat masa kuliah, Hira pernah menghilang satu minggu dan ternyata, perempuan itu mendonorkan satu ginjalnya untuk ayahnya. Fakta ini belum pernah sekalipun Banyu dengar dari bibir Hira.Lembar kedua, Hira tujukan untuk ibunya. Meski tidak pernah mendapat kasih sayang yang cukup. Hira masih menyayangi ibunya, ia berterima kasih telah melahirkannya ke dunia. Hira mengirim sisa uang tabungannya untuk ibunya yang baru saja menikah lagi. Hira menitipkan itu pada teman ibunya, karena Hira sendiri tidak tahu dimana ibunya sekarang tinggal.L
"Ra.""Hmm?""Apa rasa penyesalan dan rasa bersalah wajar aku alami sekarang?" tanya Banyu.Mereka duduk berjejer di sofa ruang tengah dengan cahaya remang dan lampu yang sengaja tidak dinyalakan. Sejak tadi, mereka hanya duduk berdiam di sana, tanpa ada yang mulai berbicara lebih dulu. Dan kali ini, Saat Banyu mengeluarkan suaranya dan berbicara hal yang menyangkut perasaannya setelah kepergian Hira satu minggu yang lalu, Sara langsung menoleh. Siluet wajah Banyu itu menyapanya. "Menurutku wajar. Semua orang yang baru aja ditinggalkan orang tersayangnya dengan tiba-tiba, pasti mengalami itu. Mengalami beban yang berlapis juga. Dulu, waktu mamaku meninggal, aku juga ngerasa begitu. Aku menyesal karena gak memberikan banyak waktuku yang layak untuk mama, aku juga merasa bersalah karena di akhir hidupnya, aku gak ada di sampingnya. Yang lebih menyedihkan lagi, aku belum bisa bahagiain mama."Banyu menelan salivanya dan jakun itu bergerak dengan tegas. "Apa semua ini akan berlalu?" tan
Banyu telah kembali. Mungkin Sara melihat kesedihan dan kehilangannya terhadap Hira masih ada. Beberapa kali Banyu masih suka termenung, tetapi kabar baiknya, He recovered so fast. Buktinya Banyu sudah menjahili Sara kembali. Kerlingan mata jailnya, senyum miringnya dan gestur menyebalkannya sudah kembali lagi. Sara senang meski dengan risiko ia akan kesal sepanjang hari karenanya. Namun ini lebih baik daripada melihat Banyu menahan emosi dan diam. Itu lebih mengerikan."Mobil kamu mana?""Di kantor. Aku ke sini pakai taksi online." Banyu meringis menunjukkan barisan giginya."Ck! Dasar!" Sara pun melempar kunci mobilnya kepada Banyu yang sudah berjalan ke sisi kanan mobil.Banyu menangkap kunci itu dan membuka mobilnya. Mereka pun meninggalkan halaman kantor om Derry. Banyu tetaplah Banyu. Ada saja idenya untuk tidak melewatkan makan siang bersama Sara. Mereka pun akhirnya makan di sebuah restoran jepang yang cukup terkenal. Beberapa me
"Pelan-pelan bisa gak sih?!" rajuk Sara yang sedang fokus memoleskan lipstik di bibirnya sambil mengaca."Kita telat Ra." ujar Banyu."Salah siapa?" tanya Sara yang sudah menatap Banyu penuh kesal.Oh tentu saja salah keduanya. Bisa-bisanya Banyu menggoda Sara hanya karena perempuan ini berpenampilan berbeda dari biasanya. Sara tampak begitu cantik dan menarik dimatanya. Sementara Sara, diam-diam juga terbuai saat Banyu mencium bibirnya lembut. Namun lama-lama ciuman itu semakin panas dan hampir saja mereka tidak jadi berangkat kondangan. Kalau saja Ardi tidak telepon dan menyuruh Banyu cepat datang, maka sofa ruang tengah itu mungkin menjadi saksi mengapa mereka bolos kondangan malam ini.Sial!"Ya salah kamu lah. Kalau kamu mencegah aku, kita gak akan ciuman selama itu di sofa. Lagian kamu kelihatan menikmati kok." protes Banyu tidak mau kalah."Heh! Kok aku? Yang mulai siapa? Kamu kan?!"Keduanya saling menyalahkan. "Gini ya Sara, ibarat aku jual kamu beli. Kalau aku jual tapi kam