Sara membuka bibirnya dan memoleskan lipstik merah itu dengan hati-hati. Tangannya merapikan rambut panjangnya yang tergerai. Korean dress selutut yang selama ini tidak pernah ia pakai pun kini membalut tubuhnya dengan cantik. Ia sedikit memutar-mutar tubuhnya. Mematut dirinya sedemikian rupa sampai merasa sudah pas dan enak dilihat.
Perfect!Tinggal menunggu Banyu saja dan mereka akan berangkat untuk dinner. Ini memang ide spontan Sara saja. Ia mau sedikit membalas kebaikan Banyu dengan mengajaknya makan malam dengan honor pertamanya setelah kasus papanya yang menjadikannya jobless. Lagipula, hubungan mereka beberapa hari ini menunjukkan progress yang baik. Em, mungkin bisa dibilang lebih akrab dan terbuka? Ya begitulah. Juga penebusan rasa bersalah karena ia sering ada kerjaan pada saat energinya habis setelah bertemu Hira.Sara pun meraih tasnya dan mengambil ponsel berniat menanyakan Banyu sudah sampai mana. Satu pesan pun terkirim kepada lelaki itu, tSemalam, Sara menangis di balik selimut karena rencananya hancur berantakan akibat ketidakhadiran Banyu. Ia kecewa, mengapa Banyu dengan mudahnya melupakan janji untuk pulang segera, menjemputnya dan makan malam bersama. Bahkan tidak ada satu pesannya yang di balas.Sampai Sara ketiduran di ranjang besar kamar Banyu, ia terbangun di pagi hari yang dingin. Kepalanya sedikit berat akibat menangis, berupaya menengok ke seisi ruangan, sepi. Semua masih seperti semalam. Tidak ada tanda-tanda Banyu pulang.Matanya pun terpejam dan menghela napas. Setelah dipikir kembali, Memang ia berhak marah? Sementara status nikah kontrak hanyalah satu-satunya yang menjadi acuannya bahwa di luar itu, mereka bukan siapa-siapa. Mereka tak terikat hubungan spesial yang mengharuskan Banyu berkomitmen atas tindakannya. Begitupun Sara, ia tidak seharusnya bersedih berlebihan bukan? Sebab, pada waktunya nanti, semua permainan ini juga akan berakhir dan saling melupakan satu sama lain. Sara t
Sara dengan sadar mengakui bahwa tidak ada firasat orang tua yang salah. Meski jauh di sana, mami Lucy ternyata masih memiliki ikatan batin yang erat dengan anaknya. Sara rasa, mengapa Mami kepikiran soal Banyu terus dan perasaannya tidak enak, kini terbukti. Banyu pulang dalam keadaan yang berantakan dan hatinya pasti hancur.Seperti anak kecil, Banyu juga membutuhkan sosok yang ia bisa jadikan tempat untuk pulang dan bersandar, menceritakan segala hal yang membuat hatinya sakit. Dan Sara melakukan itu untuk Banyu; menjadikan dirinya rumah untuk Banyu. Meski ia tidak tahu, Banyu akan menganggapnya rumah juga atau hanya sebatas bank energi baginya. Sara tidak lagi mempedulikan hal itu. Ia melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk Banyu sekarang. Seperti kata Ardi yang meminta tolong untuk menemani Banyu melalui semua ini. Tangan itu terus mengusap kepala Banyu seperti bayi yang kini bergelung memeluknya dan menenggelamkan kepalanya di ceruk antara leher dan dada Sara. Sudah hampir satu
Sara tertawa getir. "Lemah! Kamu lelaki lemah!!"Usaha Sara untuk membuat ego Banyu tergores berhasil. Kini, lelaki itu menghentikan langkahnya lagi dan menoleh ke arah Sara dengan rahang yang mengeras dan mata menyala.Tidak apa-apa, Sara. ujarnya dalam hati. Sara menguatkan dirinya untuk ini meski berpotensi membuat Banyu marah."Aku tahu kamu butuh waktu. Oke, take your time! Tapi gak dengan cara mengabaikan kesehatanmu begini Bay!""Jangan ikut campur urusanku!" tegas Banyu di tengah hujan yang semakin deras dan tubuh mereka sudah basah kuyup.Seperti petir yang menyambar, sekali lagi dada Sara terpukul palu gada atas ucapan Banyu baru saja. Bulir matanya turun, tapi toh itu tidak akan kentara karena hujan sama-sama membasahinya.Sara tersenyum miring. "Kamu sendiri yang udah hapus poin perjanjian itu buat aku. Gak ingat? Kamu menjilat ludah mu sendiri?"Lagi dan lagi, Sara melukai ego Banyu.Lelaki itu sema
"Bal, gue udah post semua endorsment ya. Kalau ada kerjaan lagi, mungkin nanti malam baru bisa gue kerjakan. Sekarang gue lagi ribet." ujar Sara yang sedang mengantri di sebuah kasir sebuah restoran healthy food."Iya santai, cuma brand kemarin aja yang mendesak kok. Lo dimana sih Beb? Berisik banget."Sara maju dua langkah mengikuti antrian yang semakin maju. "Lagi beli makanan buat lunch.""Ihiyyy!! Lunch sama mas Banyu ya?""Diem deh, gue tutup ya." tanpa menunggu persetujuan Babal, ia pun menutup sambungan teleponnya. Pas juga tiba gilirannya. Ia pun memesan Chicken salad, Creamy vegan pasta dan Tom kha gai. Take away.Lalu, setelah membeli makan, ia pun ke kedai ice cream kesukaan Banyu. Sara membelikan varian persis seperti yang dulu pernah ia beli di Mall ini. Dengan gesit, ia melangkah ke basemen, dan menyetir ke kantor Banyu. Semoga saja mood Banyu sudah lebih baik siang ini. Sara menyunggingkan senyumnya sambil menget
Banyu membuktikan perkataannya bahwa ia tidak akan kerja sampai sore atau sampai jam kerja kantor habis. Ia hanya mengecek beberapa email lalu mengajak Sara pergi memakai mobilnya dan meninggalkan mobil Sara di kantor.Di basemen yang sepi ini, Banyu masih menyalakan mesin mobilnya. Sara melihat Banyu dari samping dan lelaki ini sedang mengatur napasnya. Sara tahu ini berat buat Banyu; menyambangi tempat tinggal Hira sekaligus apartemen miliknya. Pasti berat. Jadi, Sara membiarkan lelaki ini mengambil waktu sampai ia siap untuk turun dari mobil.Dering ponsel Banyu membuatnya harus mendongak dan mengaburkan lamunannya. "Ya, selamat siang."" ... ""Baik, terimakasih."Banyu menyimpan ponselnya di saku celana. Mematikan mesin mobilnya dan bersiap untuk turun."Polisi udah nunggu di dalam. Mereka mau melakukan investigasi." ujar Banyu menatap Sara.Mereka pun turun dari mobil dan berjalan bersama memasuki apartemen. Saat di dalam lift, Banyu beberapa kali menghembuskan napasnya kasar.
Kata demi kata itu tertulis dengan gerakan serampangan di kertas itu. Menandakan sang penulis melibatkan emosi dan perasaan di dalam dirinya.Banyu membaca setiap lembar kertas itu dengan seksama. Semua tulisan Hira membuatnya sesak napas. Ini semua adalah isi hati Hira yang tak pernah Banyu tahu.Di lembar pertama, tulisan itu ditujukan untuk ayahnya, yang tidak pernah menganggapnya ada di dunia. Akan tetapi, Hira begitu sayang pada ayahnya sampai-sampai saat masa kuliah, Hira pernah menghilang satu minggu dan ternyata, perempuan itu mendonorkan satu ginjalnya untuk ayahnya. Fakta ini belum pernah sekalipun Banyu dengar dari bibir Hira.Lembar kedua, Hira tujukan untuk ibunya. Meski tidak pernah mendapat kasih sayang yang cukup. Hira masih menyayangi ibunya, ia berterima kasih telah melahirkannya ke dunia. Hira mengirim sisa uang tabungannya untuk ibunya yang baru saja menikah lagi. Hira menitipkan itu pada teman ibunya, karena Hira sendiri tidak tahu dimana ibunya sekarang tinggal.L
"Ra.""Hmm?""Apa rasa penyesalan dan rasa bersalah wajar aku alami sekarang?" tanya Banyu.Mereka duduk berjejer di sofa ruang tengah dengan cahaya remang dan lampu yang sengaja tidak dinyalakan. Sejak tadi, mereka hanya duduk berdiam di sana, tanpa ada yang mulai berbicara lebih dulu. Dan kali ini, Saat Banyu mengeluarkan suaranya dan berbicara hal yang menyangkut perasaannya setelah kepergian Hira satu minggu yang lalu, Sara langsung menoleh. Siluet wajah Banyu itu menyapanya. "Menurutku wajar. Semua orang yang baru aja ditinggalkan orang tersayangnya dengan tiba-tiba, pasti mengalami itu. Mengalami beban yang berlapis juga. Dulu, waktu mamaku meninggal, aku juga ngerasa begitu. Aku menyesal karena gak memberikan banyak waktuku yang layak untuk mama, aku juga merasa bersalah karena di akhir hidupnya, aku gak ada di sampingnya. Yang lebih menyedihkan lagi, aku belum bisa bahagiain mama."Banyu menelan salivanya dan jakun itu bergerak dengan tegas. "Apa semua ini akan berlalu?" tan
Banyu telah kembali. Mungkin Sara melihat kesedihan dan kehilangannya terhadap Hira masih ada. Beberapa kali Banyu masih suka termenung, tetapi kabar baiknya, He recovered so fast. Buktinya Banyu sudah menjahili Sara kembali. Kerlingan mata jailnya, senyum miringnya dan gestur menyebalkannya sudah kembali lagi. Sara senang meski dengan risiko ia akan kesal sepanjang hari karenanya. Namun ini lebih baik daripada melihat Banyu menahan emosi dan diam. Itu lebih mengerikan."Mobil kamu mana?""Di kantor. Aku ke sini pakai taksi online." Banyu meringis menunjukkan barisan giginya."Ck! Dasar!" Sara pun melempar kunci mobilnya kepada Banyu yang sudah berjalan ke sisi kanan mobil.Banyu menangkap kunci itu dan membuka mobilnya. Mereka pun meninggalkan halaman kantor om Derry. Banyu tetaplah Banyu. Ada saja idenya untuk tidak melewatkan makan siang bersama Sara. Mereka pun akhirnya makan di sebuah restoran jepang yang cukup terkenal. Beberapa me
"Ish! Salah siapa sih kamu buru-buru, sampai gak lihat jalan?"Sara meniup-niup kening Banyu. Lelaki itu kemarin baru saja mendapatkan lima jahitan akibat menabrak pinggiran pintu dan bocor."Aku panik Hon waktu dengar Bumi nangis kejer. Jadi aku lari gak lihat-lihat. Mana baru bangun tidur di sofa, terus ingetnya masih rumah lama.""Ck! Bumi nangis kan wajar sayang. Kalau gak minta susu ya gak nyaman. Kamu gak perlu sepanik itu." Kini, Sara mengusap pelan perban sekitar perban itu dan menyelipkan rambut ikal Banyu ke belakang.Tangan Banyu melingkar di pinggang Sara yang berdiri di depannya. "Iya, maaf. Lain kali aku hati-hati."Banyu mendongak dan menatap istrinya yang serius sekali meniup luka Banyu tersebut. "Honey, Kiss me a little, please!" katanya dengan nada berbisik."Gak bisa, kita harus segera keluar sekarang. Itu udah rame loh. Gak sopan membuat mereka nunggu." tolak Sara.Banyu memberengut. "Satu k
"Kenapa, Hon?" tanya Banyu saat Sara terlihat menghela napas kasar seraya menyurukkan kepalanya di dada Banyu."Papa pasti kesepian di rumah. Biasanya kita selalu makan malam bersama, terus ngobrol di ruang tengah. Atau aku bantuin Papa mengurus beberapa hal di ruang kerjanya sambil ngerjain endorsment."Tangan Banyu membelai kepala Sara dengan sayang. "Kamu bisa telpon Papa, Hon. Atau mau aku telponin?"Sara menggeleng. "Papa udah tidur jam segini."Ini memang sudah pukul sebelas malam, dan Mario selalu tidur sebelum sepuluh malam. Beliau selalu menerapkan jam tidur sehat supaya bisa bekerja lebih produktif esok harinya. Ya tidak heran, Mario kan pemilik perusahaan kesehatan."Sayang, aku kepikiran sesuatu." Sara mendongak menatap Banyu.Lelaki itu pun menaikkan kedua alisnya, bertanya. "Apa?""Boleh gak Kikut dikasihkan ke Papa, biar gak kesepian banget kalau punya hewan peliharaan."Banyu melotot. "Sara, wala
Papa, Sara, dan Banyu duduk berjejer di dalam satu pesawat. Mereka akan balik ke ibu kota sore ini setelah Sara diperbolehkan pulang oleh dokter.Sementara Babal, Ardi dan Disha, masih mau menikmati liburan mereka. Biarlah tim penggembira itu bersenang-senang, sebelum Babal akan Sara repotkan selama kehamilannya ini. Mungkin Ardi dan Disha juga akan kerepotan karena Banyu tampak akan menjadi suami super posesif dan siaga nantinya. Ya bagaimana tidak? Banyu punya beban untuk meyakinkan Papa Mario atas tanggung jawab dan perhatian penuhnya terhadap Sara.Meski suasananya sudah lebih mencair, Sejak masuk ke dalam pesawat, Mario sama sekali belum berbicara apapun dengan Banyu. Membuat Sara gemas sendiri."Papa tahu gak? Seberapa bahagia Sara hari ini?"Mario menaikkan kedua alisnya saat putrinya membungkus lengannya dengan manja."Sara bahagia banget Pa. Dua lelaki kesayangan Sara kini kembali. Momen-momen yang selalu Sara impikan saat Papa m
Sara tidak bisa diam di kamar. Babal dan Ardi bahkan sudah meminta Sara untuk duduk dan berbaring dengan tenang demi kesehatannya, tapi Sara terus menolak. Ia tidak bisa diam saja melihat Banyu dan papa bicara di luar sana. Ada rasa takut. Bagaimana jika Banyu akan menuruti apa yang papanya mau seperti waktu di rumah Papa itu. Ia baru saja mengurai benang kusut dengan Banyu dan akan memulai semuanya kembali. Mengarungi rumah tangga dengan pengalaman baru mempersiapkan diri jadi orang tua. Kali ini ia tidak mau mengulangi hal buruk kemarin lagi. Berpisah dengan Banyu meski hanya seminggu, rasanya sudah sangat menyiksanya. Terserah jika orang berkata ia budak cinta paling tolol. Nyatanya, Banyu tidak pernah gagal membuatnya mabuk kepayang dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Ia tidak bisa terpisah dengan Banyu.Kemudian ia teringat sesuatu. Sara pun menyuruh Babal mengambilkan ponselnya dan menelepon Mbok Na. Sara harus memastikan sesuatu."Mbak Sara!! Astaga!
Babal menggigit bibirnya dengan gelisah, sementara Ardi mengusap wajahnya kasar, sama paniknya dengan Babal tatkala melihat Mario Iswary sudah berdiri tegak di depan ranjang itu, melihat tajam dua orang yang masih bergelung di atas sana."Gawat!" bisik Babal setelah mereka membuka pintu kamar itu dan hanya bisa mematung juga di belakang Mario.Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan segelas air lalu pasien di sembur. Ah! ia frustasi melihat pemandangan ini.Sepasang pasutri kembali kasmaran itu pun mulai terusik. Sara mulai membuka matanya dan pupilnya melebar kaget. Lalu, Banyu juga terusik dan akhirnya terbangun dan otomatis seperti melihat hantu di depannya. Dengan wajah kusut, rambut berantakan dan baju tipis saringan tahu, Banyu melompat dari ranjang itu. "Papa." ujarnya dengan suara serak.Sialan Banyu! Sudah tahu itu papa Mario, bukan hulk, masih menvalidasi pula dengan ekspresi tidak berdosanya.Situasi macam apa ini?Di sela
Sara tidak pernah terbayangkan akan merasakan perasaan hangat ini lagi. Kemarin, ia sungguh bertekad melepaskan Banyu setelah perceraian selesai dan melupakan semua momen kebersamaannya dengan Banyu. Sekalipun ternyata prosesnya sangat sakit. Diam-diam, ia sering menangis sendirian di tengah malam. Ada perasaan hampa menyelimutinya saat sadar fakta mereka tidak akan bersama, melewati hari, bercanda gurau dan saling memadu kasih lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, Sara tidak ingin ini terjadi. Sara mencintai Banyu. Masih mencintai lelaki itu bahkan saat Banyu membohonginya soal perjanjian dengan papanya.Namun, memang semuanya terlalu rumit.Sara sangat sayang dengan Papanya. Sejak dulu, ia selalu menurut apa yang papanya bilang. Ia tidak pernah menjadi anak yang pembangkang dan terbukti, berbakti dengan orang tua membuat hidupnya lebih mudah, lebih tenang hatinya dan damai. Ia akan melakukan apapun untuk papanya, terlebih setelah dinyatakan bebas. Sara
Mengetahui mereka akan segera menjadi orang tua adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Sara, bahkan Banyu. Apalagi mereka sedang di luar pulau dan di tempat yang asing. Sesuatu perasaan yang sangat aneh. Sara terus menangis karena terharu, bimbang, dan banyak ketakutan serta kekhawatiran yang mendiami pikirannya. Namun, Banyu dengan setia menemani Sara melalui proses penerimaan dengan keadaan baru ini. Hampir satu jam, Sara menangis dan bicara ngalor-ngidul soal kecemasannya akan menjadi ibu. Kini, air matanya telah berhenti. Hidungnya merah dan matanya sembab. Kerinduan Banyu yang telah terakumulasi seminggu lebih ini, justru membuatnya gemas melihat Sara yang begini. Ia sungguh ingin mencium Sara terus menerus dan menghujaninya dengan sayang, melepas kerinduannya kepada istrinya ini. Sekarang tentu saja bukan saatnya kangen-kangenan. Banyu harus tetap menjadi suami siaga untuk Sara, ditengah kelabilan Sara ini. "Sara, kamu udah melewatkan makan siang. Sekarang kamu harus makan malam.
"Jadi ... surat siapa yang dikirim ke rumah?"Keduanya tampak memandang bingung satu sama lain. Terutama Banyu yang sangat tidak paham dengan cerita Sara. Bagaimana mungkin ada surat dari pengadilan yang tiba-tiba ada di rumah Sara, sementara Banyu saja tidak berniat menceraikan Sara. Tidak sedikitpun ia menginjak lantai pengadilan untuk menggugatnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk terus memperjuangkan Sara, bagaimanapun sulitnya menghadapi Mario dan kerasnya hati Sara saat ini. Di tengah keheningan dengan pikiran masing-masing itu, suara pintu kamar terdengar. Sontak keduanya memalingkan wajah ke arah pintu. Lalu muncullah seorang dokter laki-laki paruh bawa yang rambutnya sudah putih semua tapi wajahnya tampak seperti umur tiga puluhan. Cukup good looking dan pasti membuat semua perawat dan dokter perempuan di sini ketar-ketir. Andai Sara tidak sedang berstatus terombang-ambing begini, sudah pasti ia mengaku naksir dokter tersebut.Dokter
Sara menepis tangan Banyu saat mau membantunya turun dari kapal. Sebagai gantinya, ia lebih menarik Babal dan menerima bantuan lain dari Disha di sebelah kanannya. Tadi, kaki Sara sempat kram karena ia memang tidak banyak melakukan pemanasan sebelum naik ke Padar. Sungguh kesalahan fatal. Sekarang, ia harus merepotkan banyak orang untuk membantunya begini. Ambulan sudah siap ketika mereka turun di pelabuhan dan Sara diminta untuk tiduran di brankar. Sara pikir hanya Babal dan Disha yang ikut naik ambulan itu, rupanya Ardi dan Banyu juga ikut naik. Bahkan Banyu dengan sigap duduk di sebelah kanan dada Sara mendahului Disha.Bibir Sara sudah hampir protes dan meminta Bantu keluar, tapi pintu ambulan itu sudah ditutup oleh petugas medisnya. Mau tidak mau, Sara harus menerima situasi berdekatan dengan Banyu. Ia menutupi matanya dengan lengan karena pusing itu kembali menderanya. Selain itu juga untuk menghindari melihat Banyu.Dalam kurun waktu dela