Zulfa Zahra El-Faza
Sudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang.Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai—yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat—para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku.Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesantren besar milik Abah dan Kiai. Dan itu sudah biasa terjadi di kalangan kami. Kalangan keluarga pengasuh pondok pesantren. Perjodohan, menikah karena dijodohkan. Meski kenyataannya Gus Fatih dan aku sudah pernah memiliki hubungan sebelumnya.Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terjadi. Hari itu saat Abah dan Umi datang menyambangiku bersamaan Kiai dan Bu Nyai yang memanggilku. Kukira mereka mau menambah hukumanku. Hatiku sudah berdebar hebat saat itu, apalagi saat melihat keberadaan Gus Fatih yang semakin memperkuat dugaanku bahwa akan ada takziran tambahan.Aku sudah pasrah waktu itu, tetapi ternyata aku salah. Abah dan Umi maupun Kiai dan Bu Nyai ternyata malah membicarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengannya, bahkan Gus Fatih sendiri menyetujuinya. Aku dibuat bingung karenanya, terlebih kemudian mendengar Abah yang mengatakan kesiapan Gus Fatih untuk segera menikah denganku.Perasaanku campur aduk. Saat mereka menanyakan pendapatku aku hanya bisa diam dan meminta waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Usiaku saat ini 19 tahun dan Gus Fatih lebih tua empat tahun dariku, usianya 23 tahun. Aku tidak yakin kami bisa berumah tangga.Masalahnya bukan pada Gus Fatih, masalahnya adalah padaku yang masih terlalu labil. Aku khawatir mengecewakan kedua keluarga dan Gus Fatih yang akan menjadi suamiku. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik, takut belum mampu hidup berumah tangga walau pendidikanku di madrasah diniyah sudah rampung, tinggal menunggu hasil ujian dan wisuda. Bagaimanapun aku merasa masih terlalu muda untuk berumah tangga.Selama seminggu aku memikirkannya. Senang sebenarnya mendengar kesediaan Gus Fatih menikahiku. Itu berarti dia benar serius padaku, tetapi bagaimanapun juga masih ada keraguan dalam hatiku.Aku baru yakin dan setuju setelah melakukan salat Istikharah di hari ketujuh dan bermimpi berjalan beriringan dan begandeng tangan dengan Gus Fatih—untuk ke sekian kali, mimpi yang sama selama tujuh hari berturut-turut. Aku pun mendatangi Abah dan Umi yang sengaja menginap di Jombang karena menunggu keputusanku setelah didesak Dewi yang sejak awal menyuruhku langsung menerima perjodohan ini.Aku tidak langsung mengatakan kesediaanku juga tentang mimpiku, melainkan meminta Abah dan Umi untuk menanyakan sekali lagi keseriuasan keputusan Gus Fatih terlebih dulu. Aku takut kalau sebenarnya dia juga ragu akan perjodohan kami. Tak disangka, Gus Fatih kemudian yang malah meyakinkanku sendiri. Dia meminta untuk dilakukan pertemuan lagi untuk bicara berdua denganku sebelum Abah dan Umi menyampaikan permintaanku padanya dan keluarganya.Kami dipertemukan di ruang tamu ndalem dan dibiarkan bicara berdua dengan Abah, Umi, Kiai, dan Bu Nyai yang mengawasi dari ruang tengah. Setengah jam kami bertukar pikiran sampai Gus Fatih mengucapkan kalimat yang menjadi penguat keyakinanku untuk menyetujui penyatuan kami.“Insyaallah. Aku hanya akan mencintaimu karena Allah. Selalu ada di sampingmu dalam suka dan duka. Menjadi panutan dan imam yang baik dalam kehidupan rumah tangga kita. Dan jika kamu masih ragu akan keputusanmu, maka biarkan aku membimbingmu dan menjaga kepercayaanmu. Kamu bisa memegang kata-kataku. Ini ... adalah janjiku.”Aku pun mengangguk setuju. Seketika Gus Fatih tersenyum, begitu juga denganku. Besoknya aku langsung diboyong pulang oleh orang tuaku. Kami dikhitbah tiga hari setelahnya.Waktu itu, Gus Fatih datang dengan kedua orang tuanya, Kiai Adnan dan Bu Nyai Fatimah dan beberapa kerabatnya. Semua berjumlah delapan orang. Dia terlihat menawan sekaligus lebih tampan dalam balutan baju koko putih, sarung, dan peci hitamnya. Membuat kulit putih bersihnya semakin bersinar saja.Aku sendiri memakai baju warna ungu yang sengaja dikirimkan Bu Nyai sehari sebelumnya. Katanya beliau sendiri yang memilihnya setelah meminta pendapat Gus Fatih mengenai warna apa yang cocok denganku. Gus Fatih yang ditanya langsung berkata ungu karena ungu memang warna kesukaannya. Aku dibuat tertawa mendengarnya. Aku bahagia. Terlebih melihat ekspresi Gus Fatih yang melihatku waktu itu. Dia memasang wajah tak terbaca dengan bibir sedikit terbuka dan kedua bola mata yang tak berkedip sama sekali. Sementara aku langsung menundukkan kepala menjaga pandangannya.Tanggal pernikahan ditentukan seminggu setelah wisuda kelulusanku. Aku kembali sehari ke pondok kala itu, tetapi tepat di hari wisuda pondok Gus Fatih tiba-tiba mendapat panggilan mendadak ke Mesir dari salah satu dosennya. Pernikahan yang kurang seminggu pun akhirnya ditunda. Tiga bulan Gus Fatih di sana menyelesaikan urusannya yang entah apa. Aku pun hanya bisa menunggunya.Gus Fatih pulang seminggu sebelum tanggal pernikahan kami yang sudah ditetapkan ulang. Anehnya Gus Fatih banyak diam sekembali dari Mesir. Kami tidak saling bicara sampai pernikahan, kenyataannya memang selama di Mesir kami juga lost contact. Gus Fatih yang rajin menghubungi sekadar menanyai kabar tidak pernah lagi menelepon, bahkan sekadar mengirim chat. Aku yang biasa dihubunginya pun tak berani menghubungi lebih dulu. Malu. Kami pun akhirnya saling diam sampai hari pernikahan dilangsungkan.***“Assalamu'alaikum.”Suara Gus Fatih membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang duduk di meja rias segera menyelesaikan sisiranku dan menoleh padanya. Dia baru kembali rupanya, mengisi materi di kelas diniyah santri putra.Sebentar ia memandangiku dan langsung memalingkan muka sembari berdeham. Aku menghampirinya. “Mas mau langsung istirahat atau kubuatkan wedang dulu?” tanyaku mencoba menangkap matanya. Berharap ia mau melihatku lagi sedikit lebih lama.Aku sudah berias tadinya. Berias di sini adalah membersihkan diri, memakai bedak dan minyak wangi. Aku bahkan memakai pakaian tidur yang diberikan Ibu—Bu Nyai yang sudah jadi mertuaku dan menggerai rambut panjangku, berharap Gus Fatih malam ini mau bersamaku. Ya, sebenarnya Gus Fatih sama sekali belum menyentuhku semenjak kami menikah, dan aku merasa terganggu karena itu.“Tidak perlu. Kamu pergi tidur saja dulu,” katanya tetap tak melihatku. Ia mengambil sebuah buku tebal dari salah satu rak bukunya di kamar kemudian pergi membawanya. “Aku mau mengkhatamkannya,” katanya sebelum masuk ke ruangan sebelah. Ruangan ukuran 3 x 4 meter yang berisikan sebuah sofa panjang samping jendela, sebuah meja-kursi untuk belajar dan membaca, juga rak-rak buku lain milik Gus Fatih yang menjadi koleksinya.Aku menundukkan kepala. Mataku pasti sudah berkaca-kaca. Sebentar kulirik jam di dinding yang sudah berangka sepuluh, lalu mataku mengarah lagi padanya. Menatap ke ruangan sebelah yang pintunya dibiarkan terbuka, menampakkan sosok Gus Fatih, suamiku yang sudah bersalin mengenakan kaus putih lengan pendek yang tampak serius dengan bacaannya. Aku menghela napas kasar. Ulu hatiku terasa nyeri melihatnya. Bukan sekali, ini sudah yang ke sekian kali.Tanpa menghiraukan air mataku yang mulai mengalir, aku berjalan ke dekat pintu kamar dan mematikan lampu. Berjalan gontai ke ranjang lalu membaringkan tubuhku. Mataku terpejam, tetapi air mataku terus menerobos keluar. Yang bisa kulakukan adalah menahan isakku agar tak terdengar.Ingin sekali rasanya bertanya pada Gus Fatih alasannya bersikap begini padaku. Apa dia tidak mencintaiku? Namun, kenapa dia tetap menikahiku? Mengingat sikap lainnya padaku membuatku urung menanyakan hal itu.Gus Fatih adalah suamiku, dan dia bersikap baik padaku. Kurasa itu adalah sikap yang memang harus ditunjukkan seorang suami. Dia selalu menunjukkan perhatiannya. Tiga hari sekali setiap Gus Fatih mau berkunjung ke rumah makan yang menjadi bisnis baru rintisannya, dia selalu bertanya aku mau apa, lalu dia akan membelikannya. Bahkan dia juga membantuku memasang resleting belakang pakaianku saat melihatku kesulitan memakainya. Aku juga selalu mengurusnya dan menyiapkan semua keperluannya.Kami benar-benar bersikap normal seperti suami-istri lainnya. Semua yang melihat kami pasti juga akan menganggap begitu. Gus Fatih selalu pamit padaku dan menciumku setiap hendak pergi, aku pun selalu menyalaminya bahkan pernah sekali balas menciumnya. Namun, kenapa? Kenapa Gus Fatih selalu tampak enggan menyentuhku? Ada apa? Apa masalahnya? Bukankah aku ini memang istrinya? Seharusnya dia bebas melakukannya.Kriet ….Terdengar suara decitan ranjang dari sisi sampingku. Aku membuka mata, melihat jam dinding kamar yang menunjukkan angka setengah dua lalu melirik sisi kananku. Kudapati Gus Fatih sudah berbaring di sampingku. Tubuh besarnya tampak memunggungiku. Lagi-lagi aku menahan air mataku.Apa salahku, Gus? Kenapa kau seperti ini padaku? Apa kau tidak mencintaiku? Lalu, bagaimana dengan janjimu? Kenapa kau setuju menikah denganku? Bukankah kau sendiri yang meyakinkanku?Aku memejamkan mata. Tanganku kali ini mengatup ke mulut agar Gus Fatih tidak mendengar isakku. Sebenarnya aku belum bisa tidur sejak tadi, mataku hanya terpejam menahan air mata yang terus keluar. Mau apa lagi? Gus Fatih sungguh membuatku sakit hati. Aku merasa tidak dianggapnya sebagai istri.“Allahu akbar.”Suara takbir Gus Fatih membuatku terjaga lagi. Ia tengah salat malam dalam pakaian koko dan sarung yang biasa dikenakannya berjemaah di atas sajadah birunya. Wajah tampannya tampak teduh terkena cahaya temaram lampu meja yang ada di sebelahnnya. Gus Fatih selalu menyalakanya daripada lampu utama.Entah kenapa kali ini aku merasa semakin kecewa dari biasanya. Pasalnya aku sudah mengatakan padanya sebelumnya kemarin kalau aku ingin salat berjemaah bersamanya. Setidaknya salat malam kan bisa karena dia selalu mengerjakan salat fardunya jemaah di masjid. Kenapa tidak mengindahkannya? Gus Fatih seharusnya bisa membangunkanku kan tadi? Kenapa salat sendiri lagi? Apa dia memang tidak menganggapku sebagai istri?Aku terus berbaring sampai pagi. Mataku terpejam tetapi tidak tidur sama sekali. Pikiranku benar-benar kacau. Aku bahkan tidak bangun salat malam. Gus Fatih barusan sudah selesai mandi saat terdengar suara azan Subuh, dia sekarang sedang bersiap pergi jemaah ke masjid. Aku terus menutup mataku sampai terdengar dia menutup pintu. Lihat! Gus Fatih bahkan tidak berniat membangunkanku untuk salat Subuh. Dia pergi tanpa memikirkanku.Pujian dari masjid pondok yang digunakan berjemaah oleh para santri putra dan warga sekitar desa sudah tidak terdengar. Ikamah baru saja dikumandangkan. Aku bangun dan langsung mendapati pantulan diriku sendiri dari cermin meja rias yang memang menghadap tempat tidur. Begitu kusut dan tampak tak terurus. Mukaku sembap, mataku bahkan bengkak. Aku tersenyum getir melihatnya.Kurasa kali ini aku akan salat sendiri lagi. Ikut berjemaah di musala pondok putri malah akan menimbulkan pertanyaan dengan wajah seperti ini. Entah bagaimana nanti kalau berhadapan dengan Ibu—Bu Nyai. Belum lagi kalau nanti ditanyai Dewi.***Zulfa Zahra El-Faza“Neng? Neng?!”Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.“Iya?” kataku mengambil piring itu.“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan
Zulfa Zahra El-FazaLamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam peluk
Zulfa Zahra El-FazaPagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku mer
Assalamu'alaikum,Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu.Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu.Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama.Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku.Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya.Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam set
Fatih Thoriqul FirdausHari ini suasana pesantren begitu ramai, semarak sekaligus meriah.Panggung besar didirikan di halaman utama yayasan dengan kursi-kursi berjajar memanjang sepanjang timur ke barat, menghadap panggung yang kebetulan—dan bisa dibilang selalu berada sejajar dengan pintu utama ndalem.Aku berdiri di belakang jendela kantor madrasah diniyah. Terpaku melihat seorang gadis yang duduk di bangku wisudawati dengan ratusan santri putri lain yang rencananya hari ini akan diwisuda.Ia tampak memesona dengan balutan gamis biru tua dan pashmina senada yang melekat sempurna di tubuhnya, dresscode yang sama dengan para wisudawati lainnya.Sesekali gadis itu tertawa dengan teman-temannya. Salah satunya kukenali menjadi khodimah di ndalem pondok, Dewi, kata Ibu dia santri putri yang sejak lama bersahabat dengan gadis yang sedang menyedot perhatianku kini.Entah, sudah berapa lama aku memperhatikannya dari sini. Acaranya bahkan sudah dimulai, meski belum ke inti tetapi aku tidak bo
Zulfa Zahra El-FazaBulan madu?Aku menertawakan diriku. Bagaimana tidak? Kata-kata Ibu itu terus terngiang-ngiang di telingaku setibanya aku dan Gus Fatih di Kediri, seperti ada yang menekan tombol repeat di kepalaku berkali-kali.Tentu saja, aku dipenuhi harapan saat ini. Pondok orang tuaku memang menyediakan tempat privat untuk pasangan yang baru menikah, khususnya para santri yang dulunya menjadi bagian pesantren ini. Entah ide siapa, sejak aku kecil tempat itu memang sudah ada.Aku tidak pernah tertarik mengetahui sejarahnya.Tempat itu masih berada di area dekat ndalem yang sekelilingnya dibangun dinding dari batako. Aku hanya pernah dua kali masuk ke sana. Dalamnya seperti taman dengan berbagai tanaman hias dan bunga. Dan, ya, sebuah gazebo berdiri agung di tengahnya, dan aku tidak pernah memasukinya selain melihat ikan hias cantik yang ada di kolam besar sampingnya.Aku tidak tahu harus menuruti Umi yang menyuruhku bermalam di gazebo itu atau menolaknya lagi kali ini.Dulu seu
Zulfa Zahra El-Faza“Sugeng dalu, Cah Ayu.”Tepat setelah kata itu berbisik di telingaku, buyar sudah rasa kantukku.Tenggorokanku rasanya tercekat dan hidungku kehilangan fungsinya menghirup udara. Aku sampai membuka mulutku menarik masuk udara cukup banyak, jantungku menggila dan aku ingin menenangkannya.Ya Allah …. Ini pertama kalinya aku dan Gus Fatih dekat sedekat ini, tidak dalam mimpi.Darahku rasanya berdesir hebat sekarang. Apalagi bulu romaku, pasti sudah berdiri semua. Udara AC yang tadi sudah kusetel sedemikian rupa tidak terasa, suhu jadi gerah.Sungguh, saat ini aku ingin membalikkan badanku tapi tidak bisa.Tubuhku benar-benar membeku.“Mas?” Sangat lirih aku akhirnya berhasil bersuara. Entahlah, sudah berapa kali tadi aku menelan saliva.Tidak ada sahutan. Hanya ada kebisuan.Aku menghela napas. Mungkin Gus Fatih sudah tidur.“Kenapa, Fa?”Suara bass yang sedikit mulai serak itu berhasil membuat sekujur tubuhku menegang lagi. Susah payah aku menelan air ludahku sendir
Zulfa Zahra El-FazaSeharian aku terus menghindari Gus Fatih. Dia juga tampak baik-baik saja tanpaku—karena tentu saja, memangnya siapa aku? Dan sepanjang aku diam-diam memperhatikan, Gus Fatih tampak selalu sibuk dengan ponselnya saat tidak ada Umi, Abah, maupun Mas Alim yang mengajaknya bicara.Bahkan tadi di meja makan, dia hanya bersikap pasif saat Umi membahas rencana perjodohan Mas Adhim dengan Dewi, sahabatku.Siapa tahu Gus Fatih punya pendapat.Dia baru bicara saat Abah yang menanyainya perihal santri ndalemnya.Alasan Abah tidak bertanya padaku adalah karena Dewi sahabatku. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Jadi menurut Abah pasti hanya kebaikan Dewi yang akan aku katakan nanti. Lain lagi dengan Umi. Sejak Mas Adhim belum kuliah di Bandung, Umi sudah gencar menjodohkannya dengan sahabatku itu, tetapi Masku saja yang tidak mau. Padahal di mataku mereka cukup serasi.Aku juga tidak terlalu mengerti kenapa Umi berpikir mau menjodohkan Mas Adhim lagi dengan Dewi. Apakah karen
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-