Zulfa Zahra El-Faza
Lamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam pelukannya, erat.Srek ….Sebuah suara berhasil menyentakku. Duduk. Kudapati diriku habis berbaring di atas ranjang. Kutoleh sisi kanan. Kosong. Tidak ada Gus Fatih di sana. Bahkan seprainya masih terlihat rapi dan tidak kusut atau lecek sama sekali.Mungkin hanya mimipi. Ya, cuma mimpi!Aku membuang napas lalu menyalakan lampu meja bagian sisiku. Mengerjap, kudapati Gus Fatih menatapku. Kepalanya menoleh dengan tubuh menghadap rak sandal-sepatu plastik di dekat pintu, sebelah kakinya masih menjulur menyentuhnya. Sekarang aku tahu dari mana asal suara tadi. Gus Fatih pasti tak sengaja menyeret rak yang penuh sandal dan sepatu itu.“Maaf,” lirihnya. “Kamu jadi terbangun.” Gus Fatih memutar badannya.Aku mengangguk lalu melirik jam di dinding. Jam setengah dua belas malam. Gus Fatih pasti baru pulang dari rumah makan melihat pakaian yang ia kenakan masih sama dengan yang tadi siang sebelum pergi. Kaus hitam dengan celana dan jaket levis biru belel.Aku bangkit. Menuangkan air ke gelas yang ada di meja kamar lalu berjalan ke arahnya, menyerahkan gelas itu. Tanpa ia minta aku masuk ke kamar mandi, menyiapkan air panas untuk keperluannya mandi. Gus Fatih sudah menghabiskan minumnya begitu aku kembali. Setelah aku menyiapkan handuk dan baju ganti, aku langsung berbaring lagi.Jangan tanya kenapa aku tak menyiapkan makan malam. Gus Fatih pasti sudah makan di luar. Seperti biasa, ia pasti makan malam di rumah makannya yang ada di daerah Wonosalam.Aku, Ibu, dan Abah Kiai sudah biasa makan ‘sendiri’ tiap tiga hari sekali begitu dia pergi—sebenarnya Gus Fatih yang lebih pantas disebut makan sendiri. Namun, aku punya alasan kenapa makan malamku bersama Ibu dan Abah Kiai yang kusebut ‘sendiri’. Alasannya tidak ada dirinya di sisiku—bisa jadi memang tidak akan ada, dalam arti yang lainnya.“Belum bisa tidur lagi?” Gus Fatih baru keluar dari kamar mandi. Bagian bawah tubuhnya masih terbalut handuk dengan tubuh telanjang dada. Air masih terlihat mengucur dari kepala ke ruang di dahi putihnya.Menelan ludah aku langsung memejamkan mata, tidak menyahut atau menganggukinya.“Maaf, ya, hari ini pulangku lebih terlambat dari biasa, banyak urusan tadi.” Suara berat Gus Fatih mengalun lagi di telingaku.Kulirik, ia sedang mengenakan baju. Meski belum terjadi itu di antara kami, ia sudah biasa seperti ini. Malah aku yang merasa risi sendiri saat melihatnya, mungkin. Dan sebenarnya aku juga. Toh, dia suamiku. Siapa tahu dia malah tertarik padaku saat melihatku, tetapi tidak. Sekali lagi. Hanya nihil.Ya. Mungkin sikapku ini agresif, tetapi aku ini memang istrinya, kan?! Apa salahnya? Aku tidak bisa disebut melampaui batas karena ini. Tidak sama sekali.Ceklek ….Mataku terbuka berkat suara itu. Sedikit mengangkat kepala, kulihat Gus Fatih memasuki perpustakaan kecilnya lagi seperti biasa. Dia memasuki ruangan yang ada di samping kamar kami itu yang sebenarnya masih dalam satu ruangan.Gus Fatih tidak pernah absen. Aku bahkan tidak ingat dia pernah berbaring di sampingku, kecuali setelah salat malam. Yang kusimpulkan dia pasti tidur juga sebentar di sana, baru keluar ambil wudu. Apalagi, salat Tahajud kan hanya diperbolehkan terlaksana jika sudah terlelap, meski sebentar saja. Waktu tidurnya pun berarti hanya sebentar. Entah bagaimana ia selalu tampak segar setiap harinya. Tidak sepertiku.Jika aku menuruti suuzan, maka firasatku mengatakan Gus Fatih sedang mempermainkanku. Dia tidak serius dengan pernikahan ini. Kata-katanya kala itu hanya isapan jempol. Entah apa motifnya. Menurutku Gus Fatih tidak memiliki niat menikah denganku. Dia tidak mencintaiku. Gus Fatih tidak menganggapku.Aku mengubah posisi tidur. Mencari posisi ternyaman. Tidak berpengaruh. Aku masih kesulitan terlelap lagi. Bahkan memejamkan mata. Tidak bisa.Aku menyorot pintu yang menelan Gus Fatih di dalamnya sebelum menghela napas.Apa aku yang tidak bisa mengertinya? Mungkin Gus Fatih punya alasan mengapa.Dia selalu baik-baik padaku, kecuali pada satu hal itu. Tuduhanku saja yang, mungkin, terlalu jahat mengatakan dia mempermainkanku. Bisa saja dia memang tidak mencintaiku.Namun, tetap saja, itu berarti dia telah berbuat jahat padaku. Seharusnya dia tidak menikahiku, kan? Ini sama saja menyakitiku, lebih sakit lagi dari saat kami mendapat takziran dan berusaha saling melupakan. Tidak. Bukan saling. Aku saja mungkin. Dan itu tidak berhasil.Jika dalam hidup manusia diperbolehkan takabur, maka biar kukatakan. Jauh sebelum aku mengenal Gus Fatih, sebenarnya sudah banyak yang menanyakanku. Mereka, dari yang masih gus bahkan sudah kiai, sudah berniat mau menikahiku. Aku masih di bangku aliyah kala itu. Banyak pinangan yang datang. Keluarga mereka mengatakan akan menunggu asal aku mau menerima pinangan itu. Namun tidak, semua kutolak, aku memang tidak berencana menikah muda, sebelum bertemu Gus Fatih tentunya.Gus Fatih. Biarlah aku menjatuhkan harga diriku. Aku akan melakukan apa pun supaya ia melihatku, mencintaiku.***Ceklek ….Suara pintu terkuak.Fatih baru keluar dari perpustakaan kecilnya yang juga jadi ruang kerja dan belajarnya. Setelahnya netra hitamnya membulat sempurna melihat Zulfa yang duduk di tepi ranjang. Rambut panjangnya tergerai dan senyum ranum mekar di wajahnya, matanya sendu seperti biasanya. Dalam kamar yang gelap, Fatih bisa melihat istrinya itu sedang menatapnya. Sorot terluka campur rindu terpancar dari matanya jika Fatih bisa melihatnya.“Zulfa ... kamu ....” Fatih menghentikan kalimatnya. Tatapan terkejutnya masih pada wajah pucat Zulfa yang entah bagaimana tetap cantik terkena pancaran sinar temaram lampu meja. Istrinya itu memang terlihat semakin pucat saban hari, sakit mungkin, tetapi tetap cantik. Bu Nyai Fatimah—ibunya Fatih sudah menanyakan keadaannya, tetapi Zulfa selalu mengatakan dia baik.“Mas baru selesai, ya?” Zulfa mengambil kitab tafsir yang tadinya dipegang Fatih. Ia yang sebelumnya berdiri di depan Fatih kemudian beranjak untuk meletakkan kitab itu kembali ke rak buku tempatnya yang ada di dinding kamar, setelahnya Zulfa kembali berdiri di hadapan laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu. “Ada yang mau kukatakan, Mas,” ucapnya.Fatih masih terdiam di lekukan wajah dan mata Zulfa. “Apa?” Fatih kemudian menyahutinya.Merasakan Zulfa yang terus melihatnya tanpa berkedip, Fatih memalingkan muka. Ia terbatuk sebelum menghirup udara lalu membuangnya kasar.Zulfa tersenyum miris sebelum menundukkan kepala, menyebabkan beberapa helai rambutnya jatuh ke depan. Ia kembali memasang senyum terbaiknya sebelum mendongak. “Aku izin pulang ke Kediri, Mas,” ucapnya lirih dengan sedikit penekanan di setiap katanya.“Pulang?” Fatih mengerutkan kening. Tatapannya kembali ke iris mata Zulfa.“Iya.” Zulfa menganggukkan kepala.“Ke-kenapa tiba-tiba?” tanya Fatih tidak bisa menutupi nada cemas dan terkejutnya. Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Zulfa tiba-tiba mau pulang. Apakah terjadi sesuatu?Zulfa mengembangkan senyum. Ia sama sekali tidak ingin melibatkan orang tua, tetapi ia harus melakukannya untuk tahu yang sebenarnya. Apakah Fatih memang menginginkannya sebagai istri atau tidak. Mungkin pulang ke Kedirilah cara terbaik untuknya, saat ini. Sekalian menenangkan diri selain mencari jalan keluar dan kepastian.“Kangen Abah-Umi, Mas.” Zulfa berdalih.Tidak sepenuhnya bohong. Alasan itu memang pantas mengingat hampir sebulan setengah Zulfa tidak bertemu abah dan uminya. Komunikasi hanya berjalan lewat seluler, itu pun Zulfa harus menfilter kata-katanya agar Abah dan Umi tidak sampai tahu yang sebenarnya bagaimana keadaan rumah-tangganya bersama Fatih, suami yang belum pernah utuh memperlakukannya sebagai istri. Abah dan Umi hanya tahu Zulfa bahagia setelah menikahkannya.“Benar?” Fatih mendekatkan wajahnya. Saat ini Zulfa bisa merasakan napas hangat Fatih yang menerpa wajahnya.“Iya, Mas.” Zulfa kembali menunjukkan senyumnya. Matanya masih berpagutan dengan mata Fatih. “Ya sudahlah, Mas. Wudu gih sana! Mas Fatih mau tahajudan, kan? Biar perlengkapannya kusiapkan.” Zulfa memundurkan langkah. Mengambil ikat rambut di meja rias lalu mencencang rambutnya.“Kalau nanti Mas Fatih udahan wudunya, gantian sama aku. Mas mau kan jadi imam tahajudanku?” Zulfa berjalan ke arah pintu, tangannya kini menekan tombol on lampu utama sehingga cahaya meneraingi seisi ruangan yang tidak lain adalah kamarnya dan Fatih.“Udah. Gih, sana!” Zulfa mengibaskan tangan ke depan sambil tersenyum. Setulus yang bisa ia tunjukkan.“Iya.” Fatih mengangguk.Tanpa sepengetahuan Fatih, Zulfa langsung luruh ke lantai begitu Fatih hilang di balik pintu kamar mandi. Cairan matanya yang sudah ia tahan dari tadi berlinangan. Mungkin karena sudah berpengalaman menangis gadis itu jadi bisa menahannya meski belum bisa mengendalikannya. Dadanya sesak setiap melihat perhatian Fatih yang ditunjukkan padanya seperti tadi.***“Sekalian salat sunah hajat, ya, Mas.” Zulfa sudah selesai memakai mukenanya. Ia sudah mengambil posisi di belakang Fatih yang kini menolehnya, Fatih melihatnya sebentar sebelum menganggukkan kepala.Setelah melafalkan niat, keduanya melakukan takbiratulihram bergantian. Zulfa menahan air mata harunya di belakang. Bahagia, setidaknya dia bisa mencicipinya sedikit sekarang setelah satu setengah bulan pernikahan. Ini salah satu yang ia impikan, salat berjemaah dengan Fatih sebagai imam.Tidak ingin air matanya keluar semakin banyak, Zulfa memejamkan mata. Memilih hanyut pada suara merdu Fatih yang melantunkan ayat suci al-Qur'an. Hatinya berusaha meresapi setiap makna yang terkandung di dalamnya. Besok-besok dia tidak akan merasakannya jika Fatih akhirnya memilih melepasnya. Bisa jadi ini jemaah pertama dan terakhir mereka.“Allahu akbar.”Air mata akhirnya menerobos paksa mata terpejam Zulfa. Ia berusaha menahan rasa perih yang mendera hatinya."Sami'allahu liman khamidah."Zulfa mempererat pejaman matanya."Allahu akbar."Begitu sujud air mata keluar begitu derasnya. Kali ini Zulfa menahan suara isaknya, dan itu sudah menjadi keahliannya.Di setiap gerakan salat selanjutnya, Zulfa berusaha menguatkan hati. Jika dia memang akhirnya tidak bisa bersama Fatih, ia harus mengikhlaskannya. Mungkin masa berjodoh mereka memang tidak sampai selama dari selamanya. Zulfa harus bisa menerimanya.Di sujud terakhir dan doanya, Zulfa meminta. Jika Allah berkenan menakdirkan mereka tetap bersama dalam ikatan pernikahan seperti ini maka perkuat hubungan mereka, tumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang yang tak bisa pudar karena-Nya di antaranya dan Fatih—entah bagaimana Allah mewujudkannya.Dan jika perpisahan lebih baik untuk mereka. Maka pisahkan dirinya dan Fatih dengan cara yang baik sebagaimana mereka terikat dalam pernikahan. Zulfa pun meminta agar setelahnya Allah membuat hatinya mau menerima perpisahan itu dengan lapang dada.Ya, demi kebaikan kiranya.Zulfa juga sudah memutuskan melupakan tekadnya sebelumnya untuk memperjuangkan haknya sebagai istri pada Fatih. Tadinya ia siap menjatuhkan harga dirinya sejatuh-jatuhnya asal Fatih mau melihatnya. Ia akan melakukannya sampai Fatih menerimanya karena itu ia sengaja bangun dan duduk di ranjang menunggu Fatih keluar. Namun, begitu Fatih membuang muka darinya sebelum Zulfa mengutarakan maksudnya, hilang sudah kekuatan dan kepercayaan dirinya. Bahkan rasa-rasanya ketabahannya yang sebelumnya ia yakini akan bertahan sampai akhir pun ikut surut.Fatihlah alasannya. Alasan Zulfa menyerah pada kecewa dan rasa sakitnya.“Mas,” lirih Zulfa begitu salat mereka usai. Ia memandang Fatih lama begitu laki-laki tampan itu menoleh kepadanya. Sebelumnya Zulfa sudah berhasil menghapus jejak air matanya. Mungkin hidung bangirnya yang memerah kini yang tersisa. Selebihnya wajahnya tetap memancarkan kecantikannya seperti biasa.Fatih kemudian dibuat terdiam begitu Zulfa mendekat dan menciumi tangannya. Ia terpana. Saat itu sisa cairan hangat terasa di punggung tangannya, hanya setetes, Zulfa sudah kembali memegang kendali atas butiran hangat itu.Fatih tersenyum. “Kamu benar-benar ingin pulang, ya?” Tangan kirinya kini beralih ke kepala Zulfa, membuat si empunya menghentikan gerakan saat merasakan tangan itu membelai kepalanya. Zulfa mendongak dengan mata membola.“Baiklah, besok kuantarkan setelah izin Abah sama Ibu.” Fatih masih mengangkat senyum. Matanya bersitatap dengan manik Zulfa yang terpaku padanya. Sebenarnya itu berkat belaian di kepalanya yang kini menjadi usapan lembut di pipinya. Pikiran Zulfa yang tadi kalut dibuat melayang memikirkan sikap Fatih yang mendadak berubah seperti ini.“Istirahatlah!” Fatih mengecup kening Zulfa. Ia kemudian membantu Zulfa melepas mukena lalu menggandengnya ke tempat tidur. Begitu mereka sudah saling duduk, Fatih mengusap puncak kepala Zulfa, senyumnya kini sudah tidak ada lagi kecuali wajah datar dan tatapan tajam yang sulit diartikan.Zulfa memejamkan mata saat mendengar Fatih menghela napas. Ia membuka kelopaknya saat merasakan tangan laki-laki itu tidak lagi memegang kepalanya melainkan beralih pada pipinya. Harapan baru seketika bercokol di hatinya melihat bibir kemerahan Fatih mau bersuara. Zulfa menahan napasnya.“Tidurlah, Fa! Sekarang ini aku mau pergi menilik ke pondok putra. Sebentar lagi sudah mau Subuh juga soalnya.” Fatih menunjukkan senyumnya.Dan saat itu juga, Zulfa kehilangan harapannya. Terakhir. Mungkin ini yang terakhir kali untuknya. Bayangan orang tua dan mertua berputar di kepalanya. Dari Abah, Umi, Abah Kiai, dan berakhir pada Ibu Nyainya. Mereka semua menatapnya penuh tanya dan tatapan lain yang tak terbaca.***Zulfa Zahra El-FazaPagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku mer
Assalamu'alaikum,Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu.Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu.Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama.Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku.Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya.Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam set
Fatih Thoriqul FirdausHari ini suasana pesantren begitu ramai, semarak sekaligus meriah.Panggung besar didirikan di halaman utama yayasan dengan kursi-kursi berjajar memanjang sepanjang timur ke barat, menghadap panggung yang kebetulan—dan bisa dibilang selalu berada sejajar dengan pintu utama ndalem.Aku berdiri di belakang jendela kantor madrasah diniyah. Terpaku melihat seorang gadis yang duduk di bangku wisudawati dengan ratusan santri putri lain yang rencananya hari ini akan diwisuda.Ia tampak memesona dengan balutan gamis biru tua dan pashmina senada yang melekat sempurna di tubuhnya, dresscode yang sama dengan para wisudawati lainnya.Sesekali gadis itu tertawa dengan teman-temannya. Salah satunya kukenali menjadi khodimah di ndalem pondok, Dewi, kata Ibu dia santri putri yang sejak lama bersahabat dengan gadis yang sedang menyedot perhatianku kini.Entah, sudah berapa lama aku memperhatikannya dari sini. Acaranya bahkan sudah dimulai, meski belum ke inti tetapi aku tidak bo
Zulfa Zahra El-FazaBulan madu?Aku menertawakan diriku. Bagaimana tidak? Kata-kata Ibu itu terus terngiang-ngiang di telingaku setibanya aku dan Gus Fatih di Kediri, seperti ada yang menekan tombol repeat di kepalaku berkali-kali.Tentu saja, aku dipenuhi harapan saat ini. Pondok orang tuaku memang menyediakan tempat privat untuk pasangan yang baru menikah, khususnya para santri yang dulunya menjadi bagian pesantren ini. Entah ide siapa, sejak aku kecil tempat itu memang sudah ada.Aku tidak pernah tertarik mengetahui sejarahnya.Tempat itu masih berada di area dekat ndalem yang sekelilingnya dibangun dinding dari batako. Aku hanya pernah dua kali masuk ke sana. Dalamnya seperti taman dengan berbagai tanaman hias dan bunga. Dan, ya, sebuah gazebo berdiri agung di tengahnya, dan aku tidak pernah memasukinya selain melihat ikan hias cantik yang ada di kolam besar sampingnya.Aku tidak tahu harus menuruti Umi yang menyuruhku bermalam di gazebo itu atau menolaknya lagi kali ini.Dulu seu
Zulfa Zahra El-Faza“Sugeng dalu, Cah Ayu.”Tepat setelah kata itu berbisik di telingaku, buyar sudah rasa kantukku.Tenggorokanku rasanya tercekat dan hidungku kehilangan fungsinya menghirup udara. Aku sampai membuka mulutku menarik masuk udara cukup banyak, jantungku menggila dan aku ingin menenangkannya.Ya Allah …. Ini pertama kalinya aku dan Gus Fatih dekat sedekat ini, tidak dalam mimpi.Darahku rasanya berdesir hebat sekarang. Apalagi bulu romaku, pasti sudah berdiri semua. Udara AC yang tadi sudah kusetel sedemikian rupa tidak terasa, suhu jadi gerah.Sungguh, saat ini aku ingin membalikkan badanku tapi tidak bisa.Tubuhku benar-benar membeku.“Mas?” Sangat lirih aku akhirnya berhasil bersuara. Entahlah, sudah berapa kali tadi aku menelan saliva.Tidak ada sahutan. Hanya ada kebisuan.Aku menghela napas. Mungkin Gus Fatih sudah tidur.“Kenapa, Fa?”Suara bass yang sedikit mulai serak itu berhasil membuat sekujur tubuhku menegang lagi. Susah payah aku menelan air ludahku sendir
Zulfa Zahra El-FazaSeharian aku terus menghindari Gus Fatih. Dia juga tampak baik-baik saja tanpaku—karena tentu saja, memangnya siapa aku? Dan sepanjang aku diam-diam memperhatikan, Gus Fatih tampak selalu sibuk dengan ponselnya saat tidak ada Umi, Abah, maupun Mas Alim yang mengajaknya bicara.Bahkan tadi di meja makan, dia hanya bersikap pasif saat Umi membahas rencana perjodohan Mas Adhim dengan Dewi, sahabatku.Siapa tahu Gus Fatih punya pendapat.Dia baru bicara saat Abah yang menanyainya perihal santri ndalemnya.Alasan Abah tidak bertanya padaku adalah karena Dewi sahabatku. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Jadi menurut Abah pasti hanya kebaikan Dewi yang akan aku katakan nanti. Lain lagi dengan Umi. Sejak Mas Adhim belum kuliah di Bandung, Umi sudah gencar menjodohkannya dengan sahabatku itu, tetapi Masku saja yang tidak mau. Padahal di mataku mereka cukup serasi.Aku juga tidak terlalu mengerti kenapa Umi berpikir mau menjodohkan Mas Adhim lagi dengan Dewi. Apakah karen
Lelaki tinggi dengan rambut gondrong itu berdiri di depan pintu. Tubuhnya cukup atletis mengingat laki-laki itu suka nge-gym dan tidak jarang ikut hiking dan climbing dengan kelab pecinta alam kampusnya.Laki-laki dengan senyum menawan itu melepas jaket kulitnya, menampilkan kaus putih oblong yang ia kenakan. Dan yang membuat semua orang ingin meliriknya selain wajahnya yang rupawan adalah celana levis sobek-sobeknya yang menjadi pemandangan kontras di antara pemuda lain yang notabenenya adalah santri di lingkungan ndalem Kiai Hisyam itu.Sebab, bagaimana tidak? Semua laki-laki yang ada di sana tidak ada yang memakai celana seperti itu. Kebanyakan mereka memakai sarung. Kalau tidak, yang mereka kenakan adalah celana training atau celana kain.“Baru sampek?”Seorang lelaki yang tidak kalah tampan dengan setelan baju koko biru tua dan sarung senada menyambut laki-laki yang baru datang itu. Kopyah hitam bertengger sempurna di kepalanya. Ia mengambil alih tas punggung milik laki-laki beram
Zulfa Zahra El-FazaSeorang perempuan sebelum menikah adalah tanggung jawab ayahnya, orang tuanya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah urutan berbakti kepada Allah. Namun setelah menikah, seorang perempuan adalah tanggung jawab laki-laki yang menikahinya—suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun digantikan kewajibannya untuk berbakti kepada suami. Berbakti kepada orang tua menjadi urutan kedua setelah berbakti kepada suaminya itu.“Salat di kamar saja, nanti kubilang ke Umi kalau kamu sedang enggak enak badan.”Gus Fatih sempat berbisik padaku tadi sebelum pergi mandi dan bersiap ke masjid pondok. Sebentar lagi salat Asar, tadi pun Umi sudah memanggil kami untuk segera bersiap-siap.Aku menghela napas. Baru saja Gus Fatih meninggalkan kamar terang ini setelah mengenakan kopyahnya yang sebelumnya ada di atas nakas.Ya, kamar terang. Setelah berbisik padaku ia menyalakan lampu utama kamar ini lalu pergi mandi. Di sisi lain tirai di jendela dibiarkannya tetap da
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-