Zulfa Zahra El-Faza
Pagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku merindukan kamar ini. Seluruh penghuninya, teman-teman, nyamuk yang kadang (bahkan) sering menyerang di waktu malam, decakan cicak di langit-langit plafon, rintik hujan yang menjajaki teras saat angin bertiup kencang dan kadang terserak ke dalam karena pintu yang terbuka—sekarang musimnya hujan, dan tentu saja keributan berkat celoteh dan candaan temanku di kamar ini.Aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar ini daripada kamarku sendiri selama 19 tahun ini. Aku merindukan kamar ini. Merindukan masa-masaku di sini. Merindukan saat aku masih seorang santri. Merindukan masa di mana aku belum menikah dan menjadi seorang istri.“Neng.”Seseorang menepuk pundakku saat aku masih menatap persegi dengan bingkai solasi di ke empat sudutnya itu. Fotoku.“Iya?” Aku membalikkan tubuhku. Tampak wajah polos Zinda yang menatapku.Dia teman sekamarku dulu, juga wakilku sebagai ketua pondok sebelum boyong di masa awal jabatanku. Singkatnya gadis berkerudung cokelat muda itu adalah ketua pondok putri yang sekarang, penggantiku.“Ada yang ingin kubicarakan,” katanya santai, entah kenapa terdengar seperti ada penekanan.“Sekarang?” Kutatap kedua mata sipit Zinda.Zinda menganggukkan kepala. “Di kantor pondok putri saja,” ucapnya.Aku menurutinya.Beriringan aku dan Zinda melewati teras-teras kamar blok A yang ada di lantai satu. Santri putri yang terlihat mulai sibuk dengan kegiatan pagi terlihat lebih manatap penasaran ke arah kami. Tatapan yang sulit kutafsiri dan akhir-akhir ini kurang kusukai.Daripada Zinda, mata mereka terlihat lebih lebih menyorot padaku. Ya, aku tahu di mana posisiku. Sebelum pernikahanku sebenarnya mereka sudah begitu selama aku mondok. Berkat sebutan ‘Neng’ yang secara tak langsung tersemat di namaku membuat manik mata mereka selalu tersedot kepadaku, seolah diriku menjadi pusat perhatian—entah untuk alasan apa mereka melakukannya.Aku terus melangkah dan mencoba mengembangkan senyuman di wajah. Tidak buruk juga. Mereka yang kurang mengenalku karena sebelumnya tidak dekat denganku atau ada di kelas bawah tingkatku dan para santri baru balas mengangguk dan tersenyum. Sedang para santri yang kenal padaku memilih serempak menyapaku saat mataku menyapu ke arah mereka. Sebagai balasan, aku menganggukkan kepala menanggapinya.“Itu benar Neng Zulfa kan, ya? Subhanallah, cantik sekali, ya, ternyata. Biasanya hanya lihat dari jauh saat jemaah salat. Mau salaman juga gak bisa kalah sama temen lainnya.”“Iya. Kamu sudah tahu belum kalau dulu Neng Zulfa ketua pondok di sini?”“Heem. Dulu populer sekali loh di kalangan para santri. Selain cantik Neng Zulfa terkenal sangat baik.”“Dulu ceritanya bagaimana, ya, Neng Zulfa bisa diperistri Gus Fatih? Menurutku mereka serasi.”“Kenapa gak dari dulu ya mondok di sini? Jadi kepo begini kan!”“Hush .... Jangan keras-keras! Nanti Neng Zulfa sama Mbak Zinda dengar. Lebih baik kita tanya mbak-mbak pondok senior saja.”“Iya! Mereka pasti lebih tahu ceritanya daripada santri baru seperti kita.”Aku memejamkan mata sebentar sebelum menundukkan kepala. Tidak menyangka jika aku masih menjadi buah bibir di pondok putri. Terlebih yang membicarakan santri-santri baru. Mereka yang tidak mengenal diriku.Jujur, yang mengena di hatiku hanya satu dari gumaman para santri baru itu, yaitu ucapan seseorang yang mengatakan ‘serasi’ untuk diriku dan Gus Fatih.Sungguh, ada sedikit haru mendengar itu selain sesak yang lebih mendominasi rongga dadaku. Entah keberanian dari mana, diam-diam aku mengamini ‘serasi’ itu. Berharap kata itu berarti utuh menjadi satu, bukan sekedar serasi dari pandangan mata. Karena yang terlihat mata kadang kala tidak sesuai kenyataannya. Aku mengalaminya.Setelah menjejaki batu-batu yang ada di antara bangunan blok A dan blok B lantai satu sebagai penyeberangan yang memiliki tulisan ‘SUCI’ di punggungnya, aku dan Zinda menghentikan langkah kami di sebuah ruangan cukup besar dengan plakat bertuliskan ‘Kantor Pondok Pesantren Putri Al-Khadijah’ di atas pintu.Aku menyusul Zinda masuk setelah menolak Zinda yang sebelumnya memintaku masuk lebih dulu setelah ia membuka kunci dan memutar kenop pintu.Aku segera turut bersimpuh di samping gadis bermata sipit itu yang kini sedang mencoba membuka kunci sebuah laci.Aku tidak bisa tidak mengerutkan kening begitu Zinda mengeluarkan sebuah kotak kayu dari dalamnya. Mataku membola sempurna beberapa detik kemudian saat bisa mengenali kotak warna merah marun itu. Kotak itu adalah milikku!“Neng.”Suara Zinda menarik atensiku. Aku langsung mendongak menatap wajah seorang temanku itu. Wajahku pasti lebih pucat sekarang menatap kedua manik hitam berbingkai selaput mata sipit itu. Apa dia sudah tahu rahasiaku?“Aku tahu.” Suara serak basahnya berhasil mencekatku.Perlahan Zinda mengeluarkan satu per satu kertas persegi panjang dengan garis biru-merah di tepiannya itu. Dia mengangkat kertas-kertas bertuliskan air mail di bagian belakangnya itu tinggi-tinggi di antara wajah kami, surat bukti pelanggaranku tempo hari.“Maaf kalau aku lancang. Tapi apakah benar semua ini, Neng?” tanya Zinda menempatkanku seperti seorang terdakwa.Refleks aku menggelengkan kepala. Aku tidak bermaksud membohonginya karena respons tubuhku ini lebih karena rasa tak percaya.Bagaimana bisa aku melupakannya? Seharusnya aku mengamankan kertas-kertas itu dari lama. Siapa saja sekarang yang sudah membacanya? Apakah seluruh santri putri sudah mengetahuinya?Aku menajamkan mata menatap Zinda. Penasaran bagaimana reaksinya selanjutnya.“He he he. Selamat, ya?!” Aku terkesiap begitu merasakan pelukan darinya. Membeku begitu Zinda memelukku lama. Zinda semakin mempererat rangkulannya.“Kamu. Kamu sudah baca?” kataku menguraikan kedua lengan dan tubuh Zinda. Menatap penuh tanya atas perlakuannya.“Iya.” Zinda mengembangkan senyumannya.Wajahku pasti semakin keras dan menegang sekarang melihat padanya. Pikiranku sudah mengembara memikirkan hal-hal buruk yang bisa jadi sudah tercipta berkat isi tulisan dari kertas-kertas itu.“Kenapa Neng ndak cerita?” Zinda mendaratkan kedua tangannya ke atas pahaku sembari mencondongkan tubuhnya ke arahku. Mata sipit gadis itu menelisik wajahku.“Siapa saja yang tahu?” tanyaku dengan berbagai pikiran buruk yang memenuhi kepalaku.Bagaimana tidak?! Amplop-amplop putih bergambar pesawat itu berisi surat-surat kepunyaanku yang berasal dari Gus Fatih sebelum menjadi suamiku. Surat-surat yang membawa kami menjalani takziran berbulan-bulan lalu.Bukannya menjawabku, Zinda malah memunguti amplop-amplop yang tercecar itu saat dia memelukku tadi dan memasukkannya kembali ke dalam kotak. Ia menyodorkan kotak kayu itu ke arahku dengan senyuman lesung pipit yang terlihat horor buatku. Kekhawatiran jelas masih menggelayuti perasaanku.“Tidak ada. Aku saja.” Zinda menggelengkan kepala.Aku langsung menghela napas yang tadinya begitu terasa sesak mendengarnya setelah mengambil alih kotak marun itu.Dengan gerakan super cepat aku meraih sebelah tangan Zinda. “Jangan katakan siapa-siapa!” pintaku tajam menatapnya.Zinda menganggukkan kepala. “Iya, Neng.” Gadis itu kembali memamerkan lesung pipitnya.Sungguh, sudah lama aku tidak melihatnya. Kami hanya bertukar sapa saat bertemu di musala pondok putri saja. Itu pun kalau kami sama-sama berbaris di shaf pertama. Kalau aku memang selalu di shaf nomor satu, para santri putri memang selalu menyisakan tempat untukku di belakang Ibu yang selalu mengimami jemaah salat.Lain dengan Zinda, terkadang dia harus baris di shaf belakang karena kurang cepat atau terlambat datang berkat tanggung jawab ketua pondok yang kini diembannya. Dia pasti selalu sibuk di kantor ini seperti aku dulu saat masih menjabat ketua. Apalagi yang kudengar dari Dewi, sampai saat ini belum ada yang mengisi posisi wakil ketua yang bisa membantunya. Alasannya aku belum lengser secara resmi. Entah apa yang diinginkan Ibu sehingga belum menunjuk ketua dan wakil kutua baru.“Kenapa Neng tidak cerita?” Suara Zinda membawaku kembali ke topik pertama.Aku mengerjapkan mata.“Neng tahu?” Zinda memberi jeda. Ia membalikkan tanganku kembali ke genggamannya. “Aku sangat cemas saat Neng pulang ke Kediri tanpa kabar beberapa hari setelah Neng dipanggil ke ndalem dulu. Apalagi saat di pondok gempar oleh berita pertunangan Neng dengan Gus Fatih. Aku benar-benar kaget, Neng. Aku sampai berpikir yang tidak-tidak kalau Neng dipaksa keluarga ndalem dan keluarga njenengan sendiri untuk menikah dengan Gus Fatih.”“Sungguh, Neng. Aku ndak percaya loh Neng saat Neng Zulfa kemudian benar-benar jadi istrinya Gus Fatih. Neng Zulfa kan tidak pernah cerita apa-apa sama aku. Apalagi selama ini Neng Zulfa terlihat selalu cuwek masalah lamaran laki-laki yang ingin memperistri njenengan. Surprise saja Neng mau menikah di usia Neng yang sekarang, padahal setahuku Neng pernah beralasan padaku tidak mau menikah muda saat mendapat lamaran dari Gus Aji, most wanted gus yang nyantri di Pesantren Yayasan Nurul Anwar ini.”Aku mengangkat kedua sudut bibirku mendengar penuturan Zinda yang berapi-api padaku. Tidak menyangka dia sebegitu perhatiannya padaku, padahal dia tidak sedekat Dewi denganku. Dewi sudah seperti saudaraku sedang Zinda hanya teman baik buatku.“Aku ikut bahagia dan lega Neng, setelah tahu semua. Surat-surat Gus Fatih mengatakan segalanya. Kalian saling mencintai ternyata.” Zinda memungkasi kata-katanya dengan tawa dan mata yang berkaca-kaca.Terpaku sebentar, aku langsung merengkuh tubuh Zinda.Saling mencintai katanya?!Dia memang tidak tahu yang sebenarnya.Biar saja dia menganggapku bahagia. Siapa tahu husnuzannya menjelma doa mustajabah buatku—meski kebanyakan aku ragu.Sekali lagi, biarkan aku menyembunyikan sakitku. Tidak boleh ada yang tahu betapa lemahnya aku. Kueratkan pelukanku saat air mataku mulai terasa mengaliri pipiku. Satu hal ini pun, gadis baik hati bermata sipit ini tidak boleh tahu.***Assalamu'alaikum,Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu.Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu.Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama.Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku.Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya.Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam set
Fatih Thoriqul FirdausHari ini suasana pesantren begitu ramai, semarak sekaligus meriah.Panggung besar didirikan di halaman utama yayasan dengan kursi-kursi berjajar memanjang sepanjang timur ke barat, menghadap panggung yang kebetulan—dan bisa dibilang selalu berada sejajar dengan pintu utama ndalem.Aku berdiri di belakang jendela kantor madrasah diniyah. Terpaku melihat seorang gadis yang duduk di bangku wisudawati dengan ratusan santri putri lain yang rencananya hari ini akan diwisuda.Ia tampak memesona dengan balutan gamis biru tua dan pashmina senada yang melekat sempurna di tubuhnya, dresscode yang sama dengan para wisudawati lainnya.Sesekali gadis itu tertawa dengan teman-temannya. Salah satunya kukenali menjadi khodimah di ndalem pondok, Dewi, kata Ibu dia santri putri yang sejak lama bersahabat dengan gadis yang sedang menyedot perhatianku kini.Entah, sudah berapa lama aku memperhatikannya dari sini. Acaranya bahkan sudah dimulai, meski belum ke inti tetapi aku tidak bo
Zulfa Zahra El-FazaBulan madu?Aku menertawakan diriku. Bagaimana tidak? Kata-kata Ibu itu terus terngiang-ngiang di telingaku setibanya aku dan Gus Fatih di Kediri, seperti ada yang menekan tombol repeat di kepalaku berkali-kali.Tentu saja, aku dipenuhi harapan saat ini. Pondok orang tuaku memang menyediakan tempat privat untuk pasangan yang baru menikah, khususnya para santri yang dulunya menjadi bagian pesantren ini. Entah ide siapa, sejak aku kecil tempat itu memang sudah ada.Aku tidak pernah tertarik mengetahui sejarahnya.Tempat itu masih berada di area dekat ndalem yang sekelilingnya dibangun dinding dari batako. Aku hanya pernah dua kali masuk ke sana. Dalamnya seperti taman dengan berbagai tanaman hias dan bunga. Dan, ya, sebuah gazebo berdiri agung di tengahnya, dan aku tidak pernah memasukinya selain melihat ikan hias cantik yang ada di kolam besar sampingnya.Aku tidak tahu harus menuruti Umi yang menyuruhku bermalam di gazebo itu atau menolaknya lagi kali ini.Dulu seu
Zulfa Zahra El-Faza“Sugeng dalu, Cah Ayu.”Tepat setelah kata itu berbisik di telingaku, buyar sudah rasa kantukku.Tenggorokanku rasanya tercekat dan hidungku kehilangan fungsinya menghirup udara. Aku sampai membuka mulutku menarik masuk udara cukup banyak, jantungku menggila dan aku ingin menenangkannya.Ya Allah …. Ini pertama kalinya aku dan Gus Fatih dekat sedekat ini, tidak dalam mimpi.Darahku rasanya berdesir hebat sekarang. Apalagi bulu romaku, pasti sudah berdiri semua. Udara AC yang tadi sudah kusetel sedemikian rupa tidak terasa, suhu jadi gerah.Sungguh, saat ini aku ingin membalikkan badanku tapi tidak bisa.Tubuhku benar-benar membeku.“Mas?” Sangat lirih aku akhirnya berhasil bersuara. Entahlah, sudah berapa kali tadi aku menelan saliva.Tidak ada sahutan. Hanya ada kebisuan.Aku menghela napas. Mungkin Gus Fatih sudah tidur.“Kenapa, Fa?”Suara bass yang sedikit mulai serak itu berhasil membuat sekujur tubuhku menegang lagi. Susah payah aku menelan air ludahku sendir
Zulfa Zahra El-FazaSeharian aku terus menghindari Gus Fatih. Dia juga tampak baik-baik saja tanpaku—karena tentu saja, memangnya siapa aku? Dan sepanjang aku diam-diam memperhatikan, Gus Fatih tampak selalu sibuk dengan ponselnya saat tidak ada Umi, Abah, maupun Mas Alim yang mengajaknya bicara.Bahkan tadi di meja makan, dia hanya bersikap pasif saat Umi membahas rencana perjodohan Mas Adhim dengan Dewi, sahabatku.Siapa tahu Gus Fatih punya pendapat.Dia baru bicara saat Abah yang menanyainya perihal santri ndalemnya.Alasan Abah tidak bertanya padaku adalah karena Dewi sahabatku. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Jadi menurut Abah pasti hanya kebaikan Dewi yang akan aku katakan nanti. Lain lagi dengan Umi. Sejak Mas Adhim belum kuliah di Bandung, Umi sudah gencar menjodohkannya dengan sahabatku itu, tetapi Masku saja yang tidak mau. Padahal di mataku mereka cukup serasi.Aku juga tidak terlalu mengerti kenapa Umi berpikir mau menjodohkan Mas Adhim lagi dengan Dewi. Apakah karen
Lelaki tinggi dengan rambut gondrong itu berdiri di depan pintu. Tubuhnya cukup atletis mengingat laki-laki itu suka nge-gym dan tidak jarang ikut hiking dan climbing dengan kelab pecinta alam kampusnya.Laki-laki dengan senyum menawan itu melepas jaket kulitnya, menampilkan kaus putih oblong yang ia kenakan. Dan yang membuat semua orang ingin meliriknya selain wajahnya yang rupawan adalah celana levis sobek-sobeknya yang menjadi pemandangan kontras di antara pemuda lain yang notabenenya adalah santri di lingkungan ndalem Kiai Hisyam itu.Sebab, bagaimana tidak? Semua laki-laki yang ada di sana tidak ada yang memakai celana seperti itu. Kebanyakan mereka memakai sarung. Kalau tidak, yang mereka kenakan adalah celana training atau celana kain.“Baru sampek?”Seorang lelaki yang tidak kalah tampan dengan setelan baju koko biru tua dan sarung senada menyambut laki-laki yang baru datang itu. Kopyah hitam bertengger sempurna di kepalanya. Ia mengambil alih tas punggung milik laki-laki beram
Zulfa Zahra El-FazaSeorang perempuan sebelum menikah adalah tanggung jawab ayahnya, orang tuanya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah urutan berbakti kepada Allah. Namun setelah menikah, seorang perempuan adalah tanggung jawab laki-laki yang menikahinya—suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun digantikan kewajibannya untuk berbakti kepada suami. Berbakti kepada orang tua menjadi urutan kedua setelah berbakti kepada suaminya itu.“Salat di kamar saja, nanti kubilang ke Umi kalau kamu sedang enggak enak badan.”Gus Fatih sempat berbisik padaku tadi sebelum pergi mandi dan bersiap ke masjid pondok. Sebentar lagi salat Asar, tadi pun Umi sudah memanggil kami untuk segera bersiap-siap.Aku menghela napas. Baru saja Gus Fatih meninggalkan kamar terang ini setelah mengenakan kopyahnya yang sebelumnya ada di atas nakas.Ya, kamar terang. Setelah berbisik padaku ia menyalakan lampu utama kamar ini lalu pergi mandi. Di sisi lain tirai di jendela dibiarkannya tetap da
Zulfa Zahra El-FazaAku tidak tahu berapa lama Gus Fatih menciumku. Dia terus memegangi kepalaku dengan kedua tangannya yang sesekali mengusap wajahku. Pagutan itu hanya ia lepaskan beberapa kali saat mengambil napas yang terasa sudah mau habis.Tok! Tok! Tok!“Dek, Adek!”Suara di luar kamar menghentikan perbuatan Gus Fatih. Dia menjauhkan wajahnya dariku dengan tatapan laparnya yang menikam kedua manikku. Bersamaan menelan ludah, aku mengerjapkan mataku. Wajah Gus Fatih masih begitu dekat denganku. Napasnya bersahutan dengan milikku.“Siapa?” lirihnya padaku sembari mengusapkan jari jempolnya ke bibirku yang basah—apalagi kalau bukan ulahnya. Sebentar kemudian Gus Fatih menopang tubuhnya dengan sebelah tangan. Sebelahnya lagi merapikan rambutku yang sedikit berserak ke wajah.“M-Mas … Mas Adhim, Mas,” jawabku sedikit terbata.Jujur saja, jantungku saat ini masih menggila. Aku yakin wajahku saat ini pasti merah luar biasa.“Oh ….” Gus Fatih ber-oh ria. Seperti sebelumnya, Gus Fatih b
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-