Unknown diaryDia dan aku selamanya hanya akan menjadi orang asing. Aku yang kesulitan bersikap di sekitarnya hingga seperti jadi asing dan dia yang begitu dingin.Bukan! Bukan dingin.Dia adalah orang termenyenangkan yang mungkin kau kenal, yang sayangnya, tak tersentuh karena kehangatannya itulah yang membuatmu ragu mendekat. Padahal dia begitu unik dan menarik untuk didekati. Dan kau sudah cukup terpaku hanya karena pesonanya, melihatnya, sehingga kau memilih berhenti di tempat untuk sekadar mengaguminya.Titik.Hanya untuk pekerjaan yang tak ‘melelahkan’ dan tidak menghasilkan itu, yang sayangnya cukup ‘membahagiakan’ buatmu.Lalu ketika makhluk yang menjadi objek kekagumanmu—yang mungkin hanya kau temui di dunia mimpi—itu mendekat dan nyata memintamu. Kau malah menjauh. Merasa kurang dan jauh dari sekedar pantas untuk memimpikannya, bersanding bersama. Berpikir untuk melupakan segala sihirnya. Sebab menurutmu kau padanya hanya puas mengagumi. Bukan memiliki.Maka cukuplah ini men
Azan Isya telah berkumandang. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam belanja di Matahari dan memboyong beberapa setel baju, gamis, dan beberapa sandangan lainnya milik Zulfa dalam paper bag yang kini menyesaki jok belakang mobil, Adhim membelokkan Jip putih berjenis Wranglernya ke halaman luas sebuah masjid.Laki-laki itu sudah sangat lelah sebenarnya, tetapi demi menyenangkan adiknya ia akan bertahan lebih lama.Tadi di Matahari, adiknya yang sudah bersuami itu membuatnya harus jalan ke sana dan kemari berkeliling mal guna menemani gadis itu memilih pakaian, menjadi bodyguard dari orang-orang yang berniat jahat pada sang adik sekaligus merangkap jadi pelayan yang bertugas membawakan belanjaannya.Adhim juga harus rela kehilangan banyak saldo dari rekeningnya untuk membayar setelan-setelan manis yang dibeli Zulfa—yang tentu saja, seluruhnya berharga mahal.Di sana, kakak-beradik itu hampir menghabiskan waktu tiga jam untuk gentayangan mencari baju dan hanya berhenti sejenak saat waktu
Zulfa Zahra El-FazaAku tidak yakin ada yang lebih sakit lagi dari ini. Jantung serasa dihantam batu dengan kedua paru-paru dan seluruh organ pernapasan yang dibakar. Dalam sedetik terjadi berkali-kali, dan aku tidak mati.Sakit, sakit sekali.Apakah seperti ini rasanya dicurangi oleh orang yang kita cintai? Di menit ini, rasanya aku sudah dibunuh berkali-kali dengan belati.Gus Fatih. Robek sudah, Gus, selendang harapku padamu yang sebelumnya sudah setipis kulit ari. Apakah belum cukup sakitku selama ini? Sampai kau tiada henti melukai perempuanmu yang lemah ini? Jika hanya satu tanyaku yang boleh kuajukan padamu, maka katakan! Apa sebenarnya diriku ini dalam hidupmu?Lainnya, apakah aku memang hanya pajangan hidup di rumahmu? Piaraanmu? Mainanmu? Atau, seseorang yang memang sengaja kau jadikan budak cintamu? Jika iya, kumohon, bunuh saja aku!Kamu tidak tahu sudah sebesar apa rindu dan cintaku padamu. Kamu adalah arah hidupku, Gus. Prioritas dan tujuanku. Sungguh, aku lelah mengharap
Zulfa Zahra El-FazaBeberapa lama Gus Fatih memacu mobilnya sampai telepon pintarnya yang tergeletak di dashboard mobil berdering. Aku melirik dan mendapati ada panggilan masuk dengan nama Gus Adhim melompat-lompat gelisah ditampilkan layar ponsel silver itu.Gus Fatih kemudian memelankan laju mobilnya sebelum benar-benar berhenti di jalan yang lumayan sepi.“Lihat ponsel kamu, Fa!” tukasnya menoleh kepadaku tanpa mengangkat telepon Mas Adhim.Meski tidak mengerti apa tujuannya, aku mencoba berhenti sesenggukkan dan mengambil ponselku dari dalam tas. Terlihat ada lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab datang dari Mas Adhim dan puluhan pesan singkat yang juga darinya di notifikasi. Aku belum mengganti mode silent ponselku sehingga aku tidak mendengarnya sama sekali.Tanpa disuruh siapa-siapa aku mengetik balasan pada Mas Adhim kalau aku baik-baik saja agar ia tidak cemas. Lalu tidak lama kemudian, ponsel Gus Fatih kehilangan deringnya. Dapat dipastikan Mas Adhim yang menerima pesa
Zulfa Zahra El-FazaJam mengarah ke angka sepuluh begitu aku dan Gus Fatih tiba di pondok. Umilah orang pertama yang menyambut kami dengan wajahnya yang tampak resah dan khawatir.“Dari mana saja kamu, Nduk?”Umi menghambur ke arahku. Ekspresinya cemas dengan kedua tangan yang memegangi kedua lenganku.Perlahan kutunjukkan senyum. Kantong kresek berisi batagor yang tadi dibeli Gus Fatih di jalan kusodorkan pada Umi. “Jalan-jalan, Mi,” jawabku.Dari belakang Umi, Mbak Ratna menyusul. Zidan yang tadinya terlihat tertidur di gendongannya ia serahkan ke seorang mbak ndalem yang langsung membawa keponakan tampanku itu pergi dari ruang tamu.“Tak pikir kenapa-napa tadi di jalan jam segini baru pulang!” Suara Umi kembali terdengar, kali ini lebih santai. “Adhim nelepon Umi tadi, Fa. Katanya pas kalian makan di kafe kamu ngilang. Umi panik terus Masmu nelepon lagi bilang kamu pulang sama Fatih.”“Oh. He he. Iya, Mi.” Aku mengangguk.“Kok bisa, Nduk? Bukannya Fatih ada acara di tempat temannya
Zulfa Zahra El-FazaMalam semakin larut. Aku masih tidak percaya akan sampai pada titik ini juga pada akhirnya. Seolah setelah melewati bertahun-tahun rasanya.Seperti seorang pengantin, Umi dan Mbak Ratna memapahku ke tempat ini dengan nampan berisi dua cawan ramuan Umi yang dicampur sedikit air dan madu di tanganku. Katanya minuman itu harus kuminum habis bersama Gus Fatih nanti. Entah untuk apa aku tidak bertanya pun tidak mengeti.Persis seperti yang terakhir kali kulihat, tampat privat belakang ndalem ini memang jelmaan taman bunga dengan berbagai jenis dan warna yang memanjakan mata. Harumnya menyemerbak. Jika diperhatikan jenisnya pun semakin banyak dan beragam. Malam juga seolah gagal menyamarkan cantiknya berkat lampu-lampu taman yang ditata sedemikian rupa di berbagai titik.Bintang-gemintang pun bersinar terang di langit.Dan, masyaallah …. Malam ini sedang purnama. Bulan bundar tersenyum di angkasa. Lalu di sisi lainnya, bunyi gemericik air dari kolam ikan dan pancurannya
Zulfa Zahra El-FazaSelesai dengan urusan kami, kulihat Gus Fatih merapikan sarungnya dengan mataku yang setengah terpejam. Ia kemudian pergi mematikan lilin-lilin kecil di sekitar kamar yang tersisa seperempat bagian lalu kembali menghampiriku yang masih setia terkulai di atas tempat tidur kami yang masih penuh bunga.Susah payah aku mencoba berdiri. Namun, sia-sia karena tenagaku rasanya benar-benar sudah terkuras habis.“Ayo tak gendong saja!” Gus Fatih bicara. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Namun langsung terhenti berkat gelengan kepala yang kuberikan.Melihat Gus Fatih yang menatapku iba seperti ini membuatku terharu sekaligus ingin menangis.Aku tahu, Gus Fatih pasti sama lelahnya sepertiku, tetapi dia malah berbesar hati mau mengurusku. Padahal sebagai istri, aku yang seharusnya mengurus Gus Fatih, bukannya malah tergolek lemah seperti ini.“Lho, kenapa? Kalau perlu sekalian tak mandikan.” Gus Fatih mengambil te
Zulfa Zahra El-FazaSatu yang kupelajari. Semakin malu-malu, maka Gus Fatih akan semakin gencar menggodaku. Suamiku itu ternyata sangat pandai melakukannya. Dan aku tidak pernah menduga akan hal ini sebelumnya.Karena tidak tahu harus melakukan apa di dalam gazebo, aku membaca sebuah novel yang kutemukan di dalam laci meja.Kupikir milik santri Abah yang tertinggal. Namun, saat kubuka halaman depannya ada tanda tangan Mas Adhim di sana. Nama lengkapnya yang ditulis Arab pegon.Aku langsung mengerutkan kening saat melihatnya tadi.Aneh sekali. Kalau benar milik Mas Adhim, kenapa bisa ada di sini?Kurasa aku harus menanyakannya saat kami bertemu.Di setiap buku miliknya, Mas Adhim selalu membubuhkan tanda tangannya pada halaman pertama. Itu sudah menjadi ciri khasnya sejak kecil.Judul novel itu adalah Cinta Naynawa, ditulis oleh seorang penulis bernama Puput Pelangi—nama yang masih sangat asing.Ketika a
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-