Zulfa Zahra El-FazaBeberapa lama Gus Fatih memacu mobilnya sampai telepon pintarnya yang tergeletak di dashboard mobil berdering. Aku melirik dan mendapati ada panggilan masuk dengan nama Gus Adhim melompat-lompat gelisah ditampilkan layar ponsel silver itu.Gus Fatih kemudian memelankan laju mobilnya sebelum benar-benar berhenti di jalan yang lumayan sepi.“Lihat ponsel kamu, Fa!” tukasnya menoleh kepadaku tanpa mengangkat telepon Mas Adhim.Meski tidak mengerti apa tujuannya, aku mencoba berhenti sesenggukkan dan mengambil ponselku dari dalam tas. Terlihat ada lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab datang dari Mas Adhim dan puluhan pesan singkat yang juga darinya di notifikasi. Aku belum mengganti mode silent ponselku sehingga aku tidak mendengarnya sama sekali.Tanpa disuruh siapa-siapa aku mengetik balasan pada Mas Adhim kalau aku baik-baik saja agar ia tidak cemas. Lalu tidak lama kemudian, ponsel Gus Fatih kehilangan deringnya. Dapat dipastikan Mas Adhim yang menerima pesa
Zulfa Zahra El-FazaJam mengarah ke angka sepuluh begitu aku dan Gus Fatih tiba di pondok. Umilah orang pertama yang menyambut kami dengan wajahnya yang tampak resah dan khawatir.“Dari mana saja kamu, Nduk?”Umi menghambur ke arahku. Ekspresinya cemas dengan kedua tangan yang memegangi kedua lenganku.Perlahan kutunjukkan senyum. Kantong kresek berisi batagor yang tadi dibeli Gus Fatih di jalan kusodorkan pada Umi. “Jalan-jalan, Mi,” jawabku.Dari belakang Umi, Mbak Ratna menyusul. Zidan yang tadinya terlihat tertidur di gendongannya ia serahkan ke seorang mbak ndalem yang langsung membawa keponakan tampanku itu pergi dari ruang tamu.“Tak pikir kenapa-napa tadi di jalan jam segini baru pulang!” Suara Umi kembali terdengar, kali ini lebih santai. “Adhim nelepon Umi tadi, Fa. Katanya pas kalian makan di kafe kamu ngilang. Umi panik terus Masmu nelepon lagi bilang kamu pulang sama Fatih.”“Oh. He he. Iya, Mi.” Aku mengangguk.“Kok bisa, Nduk? Bukannya Fatih ada acara di tempat temannya
Zulfa Zahra El-FazaMalam semakin larut. Aku masih tidak percaya akan sampai pada titik ini juga pada akhirnya. Seolah setelah melewati bertahun-tahun rasanya.Seperti seorang pengantin, Umi dan Mbak Ratna memapahku ke tempat ini dengan nampan berisi dua cawan ramuan Umi yang dicampur sedikit air dan madu di tanganku. Katanya minuman itu harus kuminum habis bersama Gus Fatih nanti. Entah untuk apa aku tidak bertanya pun tidak mengeti.Persis seperti yang terakhir kali kulihat, tampat privat belakang ndalem ini memang jelmaan taman bunga dengan berbagai jenis dan warna yang memanjakan mata. Harumnya menyemerbak. Jika diperhatikan jenisnya pun semakin banyak dan beragam. Malam juga seolah gagal menyamarkan cantiknya berkat lampu-lampu taman yang ditata sedemikian rupa di berbagai titik.Bintang-gemintang pun bersinar terang di langit.Dan, masyaallah …. Malam ini sedang purnama. Bulan bundar tersenyum di angkasa. Lalu di sisi lainnya, bunyi gemericik air dari kolam ikan dan pancurannya
Zulfa Zahra El-FazaSelesai dengan urusan kami, kulihat Gus Fatih merapikan sarungnya dengan mataku yang setengah terpejam. Ia kemudian pergi mematikan lilin-lilin kecil di sekitar kamar yang tersisa seperempat bagian lalu kembali menghampiriku yang masih setia terkulai di atas tempat tidur kami yang masih penuh bunga.Susah payah aku mencoba berdiri. Namun, sia-sia karena tenagaku rasanya benar-benar sudah terkuras habis.“Ayo tak gendong saja!” Gus Fatih bicara. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Namun langsung terhenti berkat gelengan kepala yang kuberikan.Melihat Gus Fatih yang menatapku iba seperti ini membuatku terharu sekaligus ingin menangis.Aku tahu, Gus Fatih pasti sama lelahnya sepertiku, tetapi dia malah berbesar hati mau mengurusku. Padahal sebagai istri, aku yang seharusnya mengurus Gus Fatih, bukannya malah tergolek lemah seperti ini.“Lho, kenapa? Kalau perlu sekalian tak mandikan.” Gus Fatih mengambil te
Zulfa Zahra El-FazaSatu yang kupelajari. Semakin malu-malu, maka Gus Fatih akan semakin gencar menggodaku. Suamiku itu ternyata sangat pandai melakukannya. Dan aku tidak pernah menduga akan hal ini sebelumnya.Karena tidak tahu harus melakukan apa di dalam gazebo, aku membaca sebuah novel yang kutemukan di dalam laci meja.Kupikir milik santri Abah yang tertinggal. Namun, saat kubuka halaman depannya ada tanda tangan Mas Adhim di sana. Nama lengkapnya yang ditulis Arab pegon.Aku langsung mengerutkan kening saat melihatnya tadi.Aneh sekali. Kalau benar milik Mas Adhim, kenapa bisa ada di sini?Kurasa aku harus menanyakannya saat kami bertemu.Di setiap buku miliknya, Mas Adhim selalu membubuhkan tanda tangannya pada halaman pertama. Itu sudah menjadi ciri khasnya sejak kecil.Judul novel itu adalah Cinta Naynawa, ditulis oleh seorang penulis bernama Puput Pelangi—nama yang masih sangat asing.Ketika a
Fatih membuka pejaman matanya. Seperti semula kepalanya masih ada di pangkuan Zulfa. Mendongakkan kepala, laki-laki itu mengamati wajah perempuan yang sudah menjadi istrinya itu dalam diam.Cantik. Tidak ada yang bisa menampik opini mayoritas yang merupakan fakta bagi laki-laki dengan manik hitam itu.Gadis yang memakai gamis polkadot hitam putih berbahankan kain satin itu memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersinar seperti pualam. Dan, oh! Jangan lupakan roman muka perpaduan oriental-Timur Tengahnya yang teduh dengan manik sendu. Zulfa adalah definisi sempurna keluhuran paras dan budi seorang perempuan, terlebih untuk seorang putri kiai berdarah biru sepertinya. Bagi Fatih, Zulfa adalah sesempurnanya sempurna.Sampai saat ini Fatih memang belum bisa secara penuh mendeskripsikan perasaannya yang sebenarnya untuk Zulfa. Namun laki-laki itu selalu merasakan damai ketika melihat wajah istrinya itu. Perasaan damai yang tidak pernah Fatih peroleh dari peremp
“Assalamu'alaikum, Bu. Ini Zulfa,” salam Zulfa begitu mengangkat telepon dari mertuanya.“Alhamdulillah! Akhirnya bisa juga ditelepon. Iya, Fa, wa'alaikumussalam.” Suara ibu mertuanya itu terdengar senang dari seberang sana.“Kamu sama Masmu ke mana saja, Nduk? Hari ini kok nggak bisa Ibu telepon blas dari pagi. Terus, Masmu sekarang juga di mana? Kok malah kamu yang ngangkat teleponnya? Hapemu sendiri juga kenapa ndak bisa Ibu telpon?” Nyai Fatimah membrondong Zulfa dengan pertanyaan ini-itu.Zulfa tersenyum, melengkungkan bibir. Perhatian ibu mertuanya yang seperti ini sangat berarti untuknya. Dari suaranya, terdengar jelas jika beliau teramat sayang dan begitu mengkhawatirkan Zulfa. Sama seperti pada putranya sendiri, Fatih.“He he.” Zulfa bingung harus menjawab bagaimana. Tidak mungkin kan ia ceritakan semua yang dirinya dan Fatih alami selama di Kediri kepada ibu mertuanya itu.“Lho, ditanya kok ndak jawab? Cengengesan sisan. Masa ha
Zulfa Zahra El-FazaAku baru tahu, ternyata Gus Fatih tidak jadi pergi ke ndalem tadi. Semua makanan yang tersaji di meja, Mbak Ratna yang mengantarkannya. Lalu soal hidangan fastfood, siapa lagi kalau bukan kerjaan Mas Adhim.Entah, sogokan seperti apa yang diberikan Mas Adhim sehingga membuat ipar cantikku itu bersedia membawa serta makanan ‘terlarang’ itu.Atau jangan-jangan, Mbak Ratna dipaksa olehnya? Atau bahkan diancam? Semua bisa saja terjadi bukan? Mas Adhim itu kadang tidak bisa ditebak. Orangnya sangar bin nyeleneh. Jadi yang pasti, kakakku itu pasti melakukannya secara sembunyi-sembunyi di belakang Umi, tetapi jujur aku merasa senang. Berkat Mas Adhim, aku bisa makan pizza sepuasnya juga kentang goreng dengan baluran keju di atasnya.Gus Fatih tidak banyak bicara saat dengan lahap aku menyantap makananku. Sesekali ia hanya tersenyum sembari menatapku dengan tatapan tenang—yang selalu saja sukar diterjemahkan.Sama denganku, Ma