Zulfa Zahra El-Faza
“Neng? Neng?!”Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.“Iya?” kataku mengambil piring itu.“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan Dewi tadi. Ikan asin ini favoritnya Abah Kiai—panggilanku pada ayah mertuaku sendiri lalu mengambil piring porselen lain untuk tempat bendoyo terong kegemaran Abah Kiai sekaligus Gus Fatih.“Neng, cah kangkungnya sudah matang,” lapor Dewi.Aku segera mengangguk lalu mengambil mangkuk besar untuk wadah tumisan itu. Setelahnya aku memindahkannya sendiri ke mangkuk yang kubawa.“Sudah kamu cicipi rasanya, De?” tanyaku.Dewi mengangguk.“Bagaimana? Enak tidak?” cemasku memegangi mangkuk cah kangkung di tanganku. Ini masakan tumis pertamaku.Dewi diam lalu mengangguk lirih. “Lumayan,” katanya membuat mulutku sedikit terbuka.Aku langsung mencari sendok dan mencicipinya sendiri. Dan benar katanya, ‘lumayan’ karena bagiku rasanya biasa saja. Kalau dibandingkan masakannya, ini tidak ada apa-apanya.“Tidak usah kecewa, Neng. Kiai, Bu Nyai, dan suami Neng pasti menghabiskannya.” Dewi tertawa. Aku meliriknya sehingga ia diam. “Lagi pula ini kan tumis kangkung pertama Neng Zulfa, keluarga ndalem pasti menghargainya.” Dewi merapatkan kedua giginya sembari menyengir kuda.Aku menghela napas lalu meletakkan mangkuk yang ada di tanganku ke meja. Cah kangkung ini memang tumisan pertamaku. Dewi yang mengajariku. Kalau boleh jujur aku tidak pandai memasak. Menyentuh pekerjaan dapur saja sangat jarang karena sedari kecil aku sudah mondok. Masa MI-ku dulu aku nyantri di Lamongan, pengasuhnya teman Abah. Lalu selepasnya aku nyantri di pesantren keluarga suamiku ini sampai akhirnya menikah.Kalaupun dulu liburan dan pulang ke Kediri, para santri putri yang jadi anak ndalem yang memasak, membantu Mbok Halimah. Kesempatanku hanya membikin wedang seperti teh, kopi, dan menggoreng-goreng makanan. Masakan sederhana yang bisa kubuat lainnya pun hanya nasi goreng, tidak ada yang lain.Tidak tahu bagaimana nasibku kalau tidak ada Dewi. Aku pasti akan sangat malu di depan Gus Fatih dan mertuaku. Untung Dewi mau mengajariku. Aku jadi tidak perlu sungkan pada Ibu yang sedari awal tahu bagaimana kemampuan memasakku. Oleh karena itu, Ibu berniat mau mengajariku, tetapi aku tidak mau. Sekali lagi, sungkan, itulah yang menjadi alasanku.“De, apa kita buat lagi, ya?” kataku pada Dewi yang tampak sibuk. Dia baru saja mengangkat bali endok yang jadi menu utama pagi ini dari kompor dan memindahkannya ke mangkuk. Jangan tanya! Tentu Dewi dan anak ndalem lainnya yang membuatnya. Aku tidak bisa. Ralat! Bukan tidak, ‘belum’ lebih tepatnya. Aku sudah berniat akan belajar memasak sampai bisa, setidaknya makanan yang biasa disantap keluarga suamiku. Siapa tahu aku bisa merebut hati Gus Fatih kalau dia memang tidak mencintaiku.Ya Allah ... Gus Fatihku. Apa benar dia tidak mencintaiku?“Tidak, Neng. Tidak usah. Cah kangkung buatan njenengan enak kok.” Dewi menepuk lenganku. Aku mengangkat kepalaku.“Ya Allah! Jangan-jangan ini, ya, yang buat Neng sering melamun?!” pekik Dewi menatapku.Aku membulatkan mata lalu segera menggelengkan kepala. Refleks, tetapi memang bukan itu penyebabnya. Dewi tidak tahu saja.“Halah, terus apa coba? Sadar ndak kalau Neng Zulfa sampai punya kantung mata selain tambah pucat juga?” Dewi berkata.Aku menundukkan kepala. Jadi sebenarnya Dewi melihatnya. Itu berarti santri lainnya pasti juga. Aku menoleh ke tempat bupet kaca penyimpanan piring. Benar. Ternyata wajahku yang kacau terlihat jelas dengan dua buah kantung mata di bawah kelopak, bahkan lingkaran hitam mengitarinya. Ya Allah! Padahal aku sudah berusaha menghilangkannya dengan kompresan es batu. Aku bahkan sampai memakai foundation sebelum bedakan tadi.Aku menggelengkan kepala. "Memangnya begitu?" kataku dengan nada kubuat tidak percaya.Bukannya menjawab, Dewi tersenyum lebar. Ia mendekatkan wajahnya padaku. “Karena Gus Fatih, ya?” bisiknya tepat di indra pendengarku.Aku membeliak menatapnya. Bagaimana bisa Dewi mengetahuinya? Bukannya aku sudah berusaha tampil semringah di depan semua? Kenapa Dewi bisa mengatakan itu?“Tidak, De,” bantahku cepat. Perasaanku sungguh sudah ketar-ketir sekarang melihat ekspresi wajahnya yang ‘anehnya’ malah terlihat seperti sedang menggoda.Ada apa sebenarnya?“Tiap hari Gus Fatih minta jatah, ya?” ucap Dewi tak dapat kupercaya.Set!Puluhan mata penghuni dapur melihat kami. Terlihat jelas ekspresi syok dan tawa tertahan mereka. Aku menghela napas lalu segera memelototi Dewi. Yang kupelototi lalu segera mengucapkan ‘maaf’ dengan lirih. Setelahnya samar-samar kudengar ia mengucapkan istigfar berkali-kali sambil menunduk.Aku segera tersenyum pada semua santri yang ada di dapur dan meminta mereka melanjutkan kegiatannya. Mbok Aminah juga. Sama seperti Mbok Halimah yang mengabdi di keluargaku, Mbok Aminah juga mengabdi lama di ndalem keluarga suamiku. Beliau tersenyum canggung padaku lalu mencubit Wiwit, santri putri ndalem yang merupakan cucunya, kebetulan Wiwit sedang bekerja di sampingnya.Sekali lagi, aku menghela napas lega. Hampir saja! Kukira Dewi tahu alasannya.***“Ini kamu, Nduk, yang membuatnya?” Abah Kiai melihatku setelah mencicipi sambal klotok buatanku. Ya, aku lupa. Sebenarnya aku bisa membuat sambal juga. Segala jenis, insyaallah aku bisa. Sudah terbiasa soalnya.Aku tersenyum sembari mengangguk. “Nggeh, Bah. Silakan dimakan. Maaf kalau Abah tidak selera gara-gara sambelannya Zulfa.”Aku menyelesaikan tugasku lalu duduk di kursi yang ada di samping Gus Fatih setelah sebelumnya mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Kalau Ibu selalu mengambil sendiri. Pernah kutawarkan sekali tetapi langsung tidak ‘dikersai’ Ibu, sedangkan Abah Kiai selalu Ibu yang melayani.“Katanya Mbok Aminah, cah kangkung ini kamu yang buat, Nduk. Benar?” Ibu menyendok nasi dan cah kangkung buatanku. Aku mengangguk.“Bismillah ... Ibu makan, ya?” Ibu memakannya. Aku diam menunggu pendapatnya. Entah kenapa seisi ruang makan diam saat kutengok, Gus Fatih juga. Semua seperti menunggu apa yang akan dikatakan Ibu.“Enak ...,” kata Ibu mangut-mangut melegakan hatiku.“Alhamdulillah ...,” ucapku.Setelahnya kulihat Abah Kiai juga menyantapnya. Beliau terlihat puas juga. Refleks aku menoleh pada Gus Fatih ingin tahu bagaimana dengannya. Sayangnya dia hanya diam menatap piringnya. Sontak aku langsung menundukkan kepala. Menatap makanan yang tersaji di piringku sendiri. Nafsu makanku rasanya tiba-tiba lenyap karena sikapnya.“Lho, Fa! Kok ndak kamu makan?” Suara Ibu membuatku mengangkat kepalaku.“Nggeh, Bu. Ini mau Zulfa makan,” kataku tersenyum lalu segera menyendok makananku.Bu Nyai adalah ibu terbaik setelah Umi. Sekarang aku sudah tidak mengakui itu. Kenyataannya beliau sama baiknya dengan Umi, ibu kandungku.Aku bersyukur memilikinya. Aku tidak yakin ada ibu mertua sebaik Ibu di luar sana yang memperlakukanku seperti ini. Seperti kata Dewi, cah kangkungku rasanya biasa. ‘Lumayan’ malahan, tetapi Ibu mengatakan kalau rasanya enak. Padahal kalau dirasa-rasakan rasanya sedikit asin karena mulai dingin. Makanan berkuah kalau dalam keadaan panas rasa keasinannya yang semula sedang biasanya berubah menjadi asin kalau mulai dingin, alasannnya lidah kita kurang bisa merasainya dengan baik ketika panas“Ayo, Ngger, dimakan masakan istrimu! Kasihan Zulfa yang sudah susah payah memasaknya. Dimakan sama bendoyo terong penyet sambal klotok tambah mantap lho rasanya.” Abah Kiai berkata. Beliau menambahkan bendoyo terong penyet lagi ke piring putranya.Aku dibuat tersenyum karenanya. Abah Kiai tidak kalah baiknya dari Bu Nyai. Mereka mertua yang sama baiknya seperti orang tua kandung sendiri.“Nggeh, Bah.” Suara berat Gus Fatih membuatku menolehnya.Kulihat ia menyendok makanan di piringnya lalu mengunyahnya perlahan. Mulutku sedikit terbuka saat melihat bola matanya berkaca-kaca.Ada apa? Apa Gus Fatih tidak menyukainya?“Jangan diteruskan Mas kalau Mas tidak suka. Mas makan bali endoknya saja.” Aku berinisiatif mengambil piringnya. Berniat menyingkirkan cah kangkung dan masakanku lainnya.“Jangan!” Tanganku tiba-tiba dicekalnya. Membuatku menatapnya. Kami sangat dekat sampai aku bisa melihat dengan jelas wajah tampannya, menelisik kejora matanya, alis dan bulu matanya yang lebat, hidung bangirnya dan bibir kemerahan dengan sedikit garis hitam di tepiannya.Ya Allah .... Jantungku mau meledak jika terus begini, jadi langsung kutarik tanganku. Lalu aku memperbaiki posisi dudukku.“Hem ... hem ....” Dehaman Abah Kiai menyadarkanku.Aku langsung melihat ke arah Abah Kiai dan Ibu yang ternyata tajam menatapku dan Gus Fatih. Aku langsung menundukkan kepala dan menyendok nasiku.“Zulfa, Zulfa. Kamu ini. Makanan apa, sih, yang tidak disukai Masmu ini? Apalagi makanan seenak ini.” Ibu menunjuk-nunjuk makanan buatanku di meja. “Dulu sebelum Masmu Fatih ke Mesir sewaktu masih mondok di Paculgowang, semua makanan habis sama dia. Dimakan semua,” cerita Ibu menarik atensiku padanya, begitu sebentar lalu lama ke arah Gus Fatih. Ia tampak tak percaya dan tak terima Ibu menceritakan masa kecilnya.“Ibu ini! Itu kan dulu. Kok malah diungkit-ungkit lagi di depan mantu.” Suara Gus Fatih terdengar pelan, seperti menggerutu.Aku jadi penasaran seperti apa suamiku ini dulu. Kapan-kapan meminta Ibu menceritakan lebih banyak lagi tentangnya pasti seru. Kalau aku mau jujur, aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Sikap dan kepribadiannya saja masih misteri buatku.Dia bahkan belum mau benar-benar tidur denganku. Apalagi bercerita tentang pribadinya yang lain. Mustahil sekali rasanya kalau dipikir-pikir.“Iya, iya. Ibu minta maaf. Ya sudah, cepat dimakan!” Ibu tersenyum dengan wajah semringah.“Iya.” Gus Fatih mengangguk.“Boleh kan kumakan?” Aku terlonjak lagi. Gus Fatih menatapku lagi dan dengan segera kuangguki. Kulihat ia memakan makanannya dalam diam. Sudut bibirnya terangkat seperti membentuk senyuman.Hah, aku pasti sedang mengkhayal!Aku tidak sampai lama memperhatikannya karena sadar ada Ibu dan Abah Kiai di depanku. Jadi kuputuskan menyantap makananku. Meski semua masakanku yang kumakan hanya cah kangkung sedikit tanpa kuah yang menurutku sedikit asin dan bali endok. Kali ini bali endok itu menjadi favoritku, enak, yang buat bukan aku jadi tidak diragukan lagi itu.Sekitar sepuluh menit kemudian semua sudah selesai makan. Kini Abah Kiai dan Gus Fatih asyik menyesap kopi hitam mereka. Masih di meja makan. Waktu menunjukkan jam 06.30 WIB. Baru saja seorang santri putra yang kuketahui mengabdi di ndalem mengantarkannya. Aku dan Ibu memilih menikmati potongan semangka dan melon di piring yang juga dibawa oleh santri itu. Sesekali kami menyelinginya dengan meminum air.Tidak lama, Abah Kiai dan Ibu kemudian bercerita bagaimana perjuangan mereka mempertahankan pesantren ini sepeninggal Mbah Kiai Jabbar, romo dari Abah Kiai di masa-masa awal beliau mengemban pengasuhan pondok.Abah Kiai masih sangat muda saat itu, seusia Gus Fatih sekarang katanya. Banyak terjadi pro dan kontra di antara para santri dan punggawa ndalem yang sebelumnya. Lebih banyak dari mereka yang meragukan kemampuan Abah Kiai, tetapi Ibu sebagai istri selalu menyemangati dan mendampingi beliau sampai semua terkendali dan pesantren ini tetap bertahan sampai sekarang.Aku menyimak dalam diam. Otakku berusaha merekamnya sebaik mungkin. Cerita ini tidak boleh hilang karena merupakan sejarah keluarga, tentu harus dijaga.Usai cerita salah satu ‘sejarah keluarga’ itu, Ibu lanjut bercerita tentang masa kecil Gus Fatih. Tentu saja aku lebih antusias lagi mendengarnya. Dari awal aku memang sudah menanti ceritanya.Kulirik Gus Fatih, ia masih diam dengan cangkir kopi di tangannya. Sesekali ia menatap kurang suka tetapi tetap tak bersuara saat Ibu menceritakan masa kecilnya yang bisa dibilang sangat ndablek.Aku bahkan dibuat tertawa mendengarnya. Ya, terlebih saat Ibu bercerita kalau Gus Fatih pernah membakar sendiri rambutnya saat kecil yang katanya panjang. Untung waktu itu ada Mbah Nyai Atikah yang melihatnya. Beliau Ibu dari Abah Kiai. Melihat rambut cucunya yang terbakar Mbah Nyai langsung menyiramnya dengan air bekas cucian di ember yang kebetulan beliau bawa. Lucu saja mendengarnya.“Kamu tahu, Nduk. Masmu ini waktu kecil sangat gendut, ngalem pula. Ibu sampai capek menggendongnya kalau dia rewel ndak bisa tidur sendiri, padahal usianya sudah enam tahun.”“Nggeh, Bu?” kataku tak percaya. Sekali aku melirik Gus Fatih lalu tertawa kecil di balik telapak tanganku lagi. Abah Kiai bahkan sudah tertawa sejak tadi.Pasti lucu melihat masa kecil Gus Fatih yang katanya gendut itu bertingkah seperti itu. Lain kali aku harus membuka album foto lama keluarga ini untuk melihatnya. Aku penasaran bagaimana rupanya.“Iya, Nduk. Sebelnya lagi Masmu itu selalu mengompoli tempat tidur Ibu dan Abahmu ini.” Ibu melanjutkan cerita.Aku tertawa.Seketika kemudian aku langsung diam saat Gus Fatih menatap tak suka. Aku sedang meliriknya dan mendapati ia melihatku cukup lama.Gus Fatih menyeruput pelan kopinya.Ibu menghentikan cerita lalu ikut menyeruput teh miliknya yang sudah hangat karena tidak diminum dari tadi. Aku mengikutinya.“Abah perhatikan kamu selalu pucat, Nduk, beberapa hari ini. Kamu sakit?” tanya Abah Kiai tiba-tiba. Beliau saling bersitatap dengan Ibu sebelumnya.“Iya, Nduk. Kamu kenapa?” Ibu menyahutinya. Mata teduh milik Ibu menatapku penuh selidik.Aku melirik Gus Fatih. Ia masih menyesap minumannya.Huh, memangnya apa pedulinya? Padahal aku seperti ini secara tidak langsung juga karena dia!“Tidak, Bu, Bah. Zulfa baik-baik saja.” Aku segara menjawab setelahnya.Aneh! Ibu dan Abah Kiai malah saling pandang sembari tersenyum.“Sudah ke dokter?” Ibu kembali melempar pertanyaan.Aku menggeleng. Kenyataanya aku memang tidak sakit apa-apa. Sakit hati dan kecewa mungkin iya.“Kalau begitu kamu harus pergi periksa, ya, Nduk. Sepertinya bakal ada kabar baik. Ibu sudah ndak sabar ngemong cucu.”“Huk ... huk ....” Gus Fatih terbatuk bersamaan dengan kedua mataku yang membola tak percaya.Cucu? Bagaimana bisa?! Menyentuhku saja Gus Fatih tidak pernah melakukannya.Hatiku rasanya teriris mengingat sikapnya. Ingin menangis saja sekarang, tetapi berhasil kutahan dan kusembunyikan. Entah sampai kapan.***Zulfa Zahra El-FazaLamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam peluk
Zulfa Zahra El-FazaPagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku mer
Assalamu'alaikum,Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu.Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu.Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama.Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku.Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya.Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam set
Fatih Thoriqul FirdausHari ini suasana pesantren begitu ramai, semarak sekaligus meriah.Panggung besar didirikan di halaman utama yayasan dengan kursi-kursi berjajar memanjang sepanjang timur ke barat, menghadap panggung yang kebetulan—dan bisa dibilang selalu berada sejajar dengan pintu utama ndalem.Aku berdiri di belakang jendela kantor madrasah diniyah. Terpaku melihat seorang gadis yang duduk di bangku wisudawati dengan ratusan santri putri lain yang rencananya hari ini akan diwisuda.Ia tampak memesona dengan balutan gamis biru tua dan pashmina senada yang melekat sempurna di tubuhnya, dresscode yang sama dengan para wisudawati lainnya.Sesekali gadis itu tertawa dengan teman-temannya. Salah satunya kukenali menjadi khodimah di ndalem pondok, Dewi, kata Ibu dia santri putri yang sejak lama bersahabat dengan gadis yang sedang menyedot perhatianku kini.Entah, sudah berapa lama aku memperhatikannya dari sini. Acaranya bahkan sudah dimulai, meski belum ke inti tetapi aku tidak bo
Zulfa Zahra El-FazaBulan madu?Aku menertawakan diriku. Bagaimana tidak? Kata-kata Ibu itu terus terngiang-ngiang di telingaku setibanya aku dan Gus Fatih di Kediri, seperti ada yang menekan tombol repeat di kepalaku berkali-kali.Tentu saja, aku dipenuhi harapan saat ini. Pondok orang tuaku memang menyediakan tempat privat untuk pasangan yang baru menikah, khususnya para santri yang dulunya menjadi bagian pesantren ini. Entah ide siapa, sejak aku kecil tempat itu memang sudah ada.Aku tidak pernah tertarik mengetahui sejarahnya.Tempat itu masih berada di area dekat ndalem yang sekelilingnya dibangun dinding dari batako. Aku hanya pernah dua kali masuk ke sana. Dalamnya seperti taman dengan berbagai tanaman hias dan bunga. Dan, ya, sebuah gazebo berdiri agung di tengahnya, dan aku tidak pernah memasukinya selain melihat ikan hias cantik yang ada di kolam besar sampingnya.Aku tidak tahu harus menuruti Umi yang menyuruhku bermalam di gazebo itu atau menolaknya lagi kali ini.Dulu seu
Zulfa Zahra El-Faza“Sugeng dalu, Cah Ayu.”Tepat setelah kata itu berbisik di telingaku, buyar sudah rasa kantukku.Tenggorokanku rasanya tercekat dan hidungku kehilangan fungsinya menghirup udara. Aku sampai membuka mulutku menarik masuk udara cukup banyak, jantungku menggila dan aku ingin menenangkannya.Ya Allah …. Ini pertama kalinya aku dan Gus Fatih dekat sedekat ini, tidak dalam mimpi.Darahku rasanya berdesir hebat sekarang. Apalagi bulu romaku, pasti sudah berdiri semua. Udara AC yang tadi sudah kusetel sedemikian rupa tidak terasa, suhu jadi gerah.Sungguh, saat ini aku ingin membalikkan badanku tapi tidak bisa.Tubuhku benar-benar membeku.“Mas?” Sangat lirih aku akhirnya berhasil bersuara. Entahlah, sudah berapa kali tadi aku menelan saliva.Tidak ada sahutan. Hanya ada kebisuan.Aku menghela napas. Mungkin Gus Fatih sudah tidur.“Kenapa, Fa?”Suara bass yang sedikit mulai serak itu berhasil membuat sekujur tubuhku menegang lagi. Susah payah aku menelan air ludahku sendir
Zulfa Zahra El-FazaSeharian aku terus menghindari Gus Fatih. Dia juga tampak baik-baik saja tanpaku—karena tentu saja, memangnya siapa aku? Dan sepanjang aku diam-diam memperhatikan, Gus Fatih tampak selalu sibuk dengan ponselnya saat tidak ada Umi, Abah, maupun Mas Alim yang mengajaknya bicara.Bahkan tadi di meja makan, dia hanya bersikap pasif saat Umi membahas rencana perjodohan Mas Adhim dengan Dewi, sahabatku.Siapa tahu Gus Fatih punya pendapat.Dia baru bicara saat Abah yang menanyainya perihal santri ndalemnya.Alasan Abah tidak bertanya padaku adalah karena Dewi sahabatku. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Jadi menurut Abah pasti hanya kebaikan Dewi yang akan aku katakan nanti. Lain lagi dengan Umi. Sejak Mas Adhim belum kuliah di Bandung, Umi sudah gencar menjodohkannya dengan sahabatku itu, tetapi Masku saja yang tidak mau. Padahal di mataku mereka cukup serasi.Aku juga tidak terlalu mengerti kenapa Umi berpikir mau menjodohkan Mas Adhim lagi dengan Dewi. Apakah karen
Lelaki tinggi dengan rambut gondrong itu berdiri di depan pintu. Tubuhnya cukup atletis mengingat laki-laki itu suka nge-gym dan tidak jarang ikut hiking dan climbing dengan kelab pecinta alam kampusnya.Laki-laki dengan senyum menawan itu melepas jaket kulitnya, menampilkan kaus putih oblong yang ia kenakan. Dan yang membuat semua orang ingin meliriknya selain wajahnya yang rupawan adalah celana levis sobek-sobeknya yang menjadi pemandangan kontras di antara pemuda lain yang notabenenya adalah santri di lingkungan ndalem Kiai Hisyam itu.Sebab, bagaimana tidak? Semua laki-laki yang ada di sana tidak ada yang memakai celana seperti itu. Kebanyakan mereka memakai sarung. Kalau tidak, yang mereka kenakan adalah celana training atau celana kain.“Baru sampek?”Seorang lelaki yang tidak kalah tampan dengan setelan baju koko biru tua dan sarung senada menyambut laki-laki yang baru datang itu. Kopyah hitam bertengger sempurna di kepalanya. Ia mengambil alih tas punggung milik laki-laki beram
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-