Home / Pernikahan / Neng Zulfa / Prolog - Awal Mula

Share

Neng Zulfa
Neng Zulfa
Author: Puput Pelangi

Prolog - Awal Mula

Author: Puput Pelangi
last update Last Updated: 2023-12-02 13:47:19

Srek srek srek ….

Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom.

“Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?” tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya.

Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. “Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok,” jawabnya seperti gumaman. “Banyak yang lebih pantas dariku.”

Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang juga merupakan seorang abdi ndalem menoleh. “Kenapa, Neng?” Dewi menghentikan gerakan tangannya. “Neng Zulfa, kan, salah satu santri berprestasi di pesantren ini,” Dewi menyentakkan cucian sebelum melanjutkan, “pasti bakal terpilih kalau maju!” tandasnya.

Zulfa hanya diam dan terus mendengarkannya.

“Di antara santri putri lainnya, Neng Zulfa adalah kandidat ketua pondok terbaik di sini. Apalagi Neng Zulfa kan punya darah biru,” dukung Dewi lagi.

Dewi berhenti menyikat dan lantas menatap Zulfa. Menanti respons sahabatnya yang merupakan putri seorang kiai besar di daerah Kediri itu, tetapi Zulfa tak segera merespons. Mata Zulfa malah menatap kosong ke depan, menerawang dinding berlumut yang kian hijau di depannya itu.

“Aku banyak kesalahan, De,” sahut Zulfa akhirnya, pelan tetapi masih jelas terdengar. “Ya sudahlah, aku ke kamar dulu, ada cucian yang tertinggal.” Zulfa bangkit, membasuh tangannya yang berbusa dengan air kemudian pergi.

***

“Ada apa ini, Zul? Kenapa hafalanmu amburadul begini?” tanya Ustaz Imam di depan kelas pada Zulfa. “Kata para ustaz dan ustazah kamu juga sering tidak memperhatikan pelajaran akhir-akhir ini. Ada apa? Kamu punya masalah?” Ustaz Imam meletakkan buku nadhom Alfiyah yang dipegangnya ke meja.

Zulfa menunduk. Diam. Entah tidak berani menjawab atau memang tidak ingin. Matanya terus menatap ke ubin kelas. Kedua tangannya tak henti meremas jari-jemarinya satu sama lain.

“Saya jadi ragu kamu bisa mewakili pesantren kita di lomba lalaran antarpesantren salafiyah tingkat nasional jika kamu terus begini.” Ustaz Imam terdengar kecewa. “Dewan asatidz sangat berharap banyak darimu, Zulfa. Jadi, perbaiki hafalanmu, ya?” Beliau menarik napas dalam lalu bersandar di kursinya.

“Enggeh, Ustaz.” Zulfa manggut. “Insyaallah,” lanjutnya tanpa berani mengangkat wajah.

“Neng, ada yang mau kutanyakan!” Tiba-tiba Dewi menarik tangan Zulfa seusai tadrisud diniyah, mengajaknya duduk lagi di kelas yang sudah sepi ditinggal kembali ke asrama oleh santri putri lainnya. Mereka sudah mengantuk dan ingin beristirahat di kamar masing-masing. Jam dinding kelas sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.

“Di mana Neng Zulfaku yang selama ini?” tanya Dewi menggerakkan ujung dagunya ke depan.

Zulfa mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dikatakan Dewi. “Maksud kamu?” tanyanya.

Dewi menghela napas, kedua tangannya meraih salah satu tangan Zulfa kemudian menggenggamnya erat.

“Aku tidak ingin basa-basi, Neng. Apa yang Neng sembunyikan dariku?” tanya Dewi menatap mata Zulfa tajam.

Zulfa diam.

“Neng sedang menyembunyikan sesuatu, kan?!” seru Dewi lagi setelah lama tak segera mendapat jawaban.

Zulfa memalingkan wajah. Dengan cepat ia menarik tangannya dari Dewi lalu memperbaiki posisi duduknya. “Tidak ada, De. Tidak ada yang kusembunyikan,” elaknya.

“Jangan bohong, Neng! Aku tahu ada yang Neng sembunyikan.” Dewi meraih tangan Zulfa lagi. “Aku ini sahabatmu, Neng. Aku tahu kalau Neng sedang menutupi sesuatu!” Gadis itu bersikeras.

“Neng sering menyendiri sekarang, tidak memperhatikan pelajaran dan hafalan Alfiyahnya banyak yang lupa. Ada apa sebenarnya? Apa yang Neng sembunyikan?” Dewi terus mendesak.

Zulfa memejamkan mata. Menghela napas kemudian kembali bicara, “Tidak ada yang kusembunyikan!” Kali ini matanya balas menatap tajam ke Dewi, suaranya meninggi.

Dewi tertawa. Ia tahu persis kalau Zulfa sedang membohonginya.

“Neng, Neng!” Kepala Dewi menggeleng. “Baiklah, kalau Neng tidak mau mengatakan yang sebenarnya padaku tidak apa,” cetus Dewi santai. “Aku yang akan mengatakannya,” sambungnya.

Sambil menatap Zulfa yang acuh tak acuh padanya, Dewi merogoh saku rok, mengambil sesuatu milik Zulfa yang disimpannya di situ lalu menunjukkannya, “Aku menemukan ini!”

Mata Zulfa langsung terbelalak. Benda yang ditunggunya datang beberapa hari ini dengan cemas ada di tangan Dewi. Dengan cepat ia berusaha meraih benda itu, tetapi dengan gerakan yang tidak kalah cepat juga Dewi menariknya.

“Dari mana kamu mendapatkan itu?” Zulfa hampir meledak.

Dewi meringis. Dilipatnya lagi benda itu seperti saat ia menemukannya di halaman depan sebuah buku. “Kalau begitu benar dugaanku,” gumamnya lirih.

Dewi ingat, beberapa waktu lalu seorang anak kecil telah salah mengira kalau dirinya adalah Zulfa. Benda itu didapatnya terselip di halaman buku yang diberikan anak kecil itu. Dewi ingat benar, saat itu ia dan Zulfa sedang belanja di pasar atas perintah Bu Nyai. Zulfa sedang tidak bersamanya saat anak kecil itu datang.

“Neng merasa tidak pantas dan tidak mau mencalonkan diri sebagai ketua pondok karena ini, kan? Karena ini juga kan Neng Zulfa mengatakan kalau Neng banyak salah?” terka Dewi dengan benda putih itu teracung di tangannya.

Diam, Zulfa tidak bisa menyangkal. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ia hanya membisu karena semua yang dikatakan Dewi benar.

Zulfa akhirnya menghela napas. “Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang, De?” tanyanya dengan wajah tak bersahabat. “Kamu akan menunjukkannya pada semua orang?” tambahnya dengan satu alis terangkat.

“Aku sudah salah langkah, De. Salah. Tidak bisa kembali. Sekarang hanya kehancuranku saja yang belum terjadi. Dan kamu bisa membantuku mewujudkannya dengan surat itu,” ucap Zulfa. Untuk pertama kalinya kepalanya tertunduk malu di hadapan Dewi, sahabat yang dimilikinya sejak di madrasah aliyah dua tahun lalu. Mata sendunya pun mulai berkaca-kaca.

Di sisi lain Dewi menggeleng. “Neng bicara apa? Aku ini sahabatmu, Neng! Sebagai sahabat, tidak mungkin aku diam saja melihat sahabatku hancur, apalagi menjadi penyebab kehancurannya. Tidak, Neng! Aku tidak setega itu.” Mata Dewi ikut berkaca-kaca juga.

Beberapa saat kemudian tercipta hening. Keduanya saling sibuk dengan pikiran masing-masing sampai salah satu dari mereka memulai konversasi lagi. Dan orang itu adalah Dewi.

“Neng, jawab aku!” kata Dewi. “Apa benar Neng Zulfa dan Gus Fatih pacaran seperti yang kuketahui lewat surat tadi? Atau, kalian hanya iseng dan main-main?” tanya Dewi serius.

Zulfa mengangkat kepala. Air mata terus leleh di wajah ayunya yang kian sembap, jatuh mengenai kerudung biru muda yang ia kenakan. Sambil terisak, ia menjawab juga pertanyaan Dewi, “Iya, De. Kami memang pacaran. Gus Fatih pemuda yang baik. Kami saling menyukai,” ungkapnya jujur.

“Aku tahu, tidak benar kami melakukan semua ini. Jika orang-orang mengetahuinya, bisa-bisa nama baik orang tua kami tercemar. Itu jelas hal yang sangat memalukan baik bagi keluargaku maupun keluarga Gus Fatih sendiri. Aku sadar itu.” Zulfa terisak. “Tapi kami benar-benar saling mencintai, De. Percayalah! Kami sudah mencoba mengubur perasaan itu, tapi tak bisa.”

Dewi geleng-geleng kepala. Mendengar cerita sahabatnya, matanya yang tadi hanya berkaca-kaca mulai menumpahkan lelehan hangat ke pipi.

“Jadi sejauh apa hubungan kalian?” Dewi berusaha bertanya lagi.

Zulfa menarik napas. Mata bulatnya mengarah pada Dewi, tetapi pandangannya menerawang masa lalu.

“Gus Fatih dan aku bertemu pertama kali di ndalem, De. Saat itu Gus Fatih baru boyongan dari pondoknya. Aku yang waktu itu sedang disambang oleh Abah dan Umi hampir bertabrakan dengannya saat izin pergi ke kamar mandi. Akhirnya kami dikenalkan dan sejak itu Gus Fatih mulai mengirimiku surat dan aku juga membalasnya,” ungkap Zulfa yang kemudian bercerita panjang lebar mengenai hubungannya dengan Fatih, gus muda berwajah rupawan, terkenal memiliki intelektual tinggi yang tidak lain adalah putra Kiai dan Bu Nyainya sendiri.

Dewi terus menyimak cerita Zulfa sambil menahan napas, mencoba menenangkan hatinya dan memikirkan jalan terbaik untuk Zulfa.

“Aku sudah mendengarkan Neng bercerita dan aku mempercayainya, Neng. Sekarang Neng Zulfalah yang harus percaya padaku!” putus Dewi sembari menarik napas. “Ikutlah bersamaku menghadap Bu Nyai Fatimah!” katanya yang langsung disambut gelengan oleh Zulfa. Namun ia tetap bersikeras.

***

Malam yang dingin masih menyelimuti Zulfa yang sedang menjalani takzirannya. Perlahan Zulfa menyapu peluh di keningnya yang bercucuran dengan lengan baju. Matanya masih menahan kantuk sebenarnya, tapi dengan air di kamar mandi ndalem yang belum juga penuh setelah diisinya berkali-kali membuatnya harus tetap terjaga, menimba air dari sumur samping kamar mandi itu sampai terisi penuh.

Berbeda dengan santri putri lain yang dihukum mengenakan jilbab khusus takzir sepanjang masa hukuman. Zulfa tidak mengenakannya. Bahkan hukuman yang diterimanya pun berbeda.

Kalau santri putri lain yang melanggar aturan dengan pacaran biasanya dihukum harus salat tepat waktu dan berbaris di shaf depan setiap hari, membaca surah at-Taubah di halaman pesantren yang panas setiap hari Jumat, bertanggung jawab membersihkan dan mengumpulkan sampah, maka hukuman Zulfa lain.

Ia harus bangun setiap hari pada pukul dua dini hari untuk mengisi kamar mandi ndalem sampai penuh. Bukan dengan keran atau pompa air yang biasa dipakai, tetapi dengan menimba. Lalu paginya, ia harus membantu santri putri yang hari itu piket membersihkan seisi pondok. Selain itu, ia juga bertanggung jawab mencuci piring bekas makan seluruh santri putri di dapur ndalem. Hukuman yang berat, tetapi Zulfa tetap sepenuh hati menjalaninya.

Zulfa sadar, takziran yang diterimanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Salah satu pembelajaran penting dalam hidupnya. Tidak melulu ia berada di atas. Seperti manusia lainnya ia juga melakukan kesalahan. Dan sebagai orang yang bersalah, ia harus menebus kesalahannya, yaitu dengan menjalani takziran sebagai hukuman.

Banyak nilai positif yang diperoleh Zulfa berkat takziran tersebut. Ia yang dulu jarang salat malam sekarang selalu melakukannya karena harus bangun lebih awal. Selain itu ia juga menjadi semakin giat, tubuhnya juga semakin gesit dan sehat karena banyak bergerak.

Sedang Fatih, Zulfa tahu dari Dewi, Fatih juga menjalani takzirannya sendiri. Fatih harus menggantikan Kiai Adnan sang abah mengajar ngaji kitab di pondok putra setelah Subuh dan Asar.

Ah, Zulfa menepis perasaan yang menyeruak begitu mengingat Fatih. Sejak ditakzir, ia berusaha melupakan putra kiainya itu. Menepis impian untuk menjalin hubungan lebih dengannya.

***

Sebulan berlalu. Zulfa maupun Fatih telah selesai dengan hukuman takzir sirri-nya. Sengaja takziran itu dijalankan secara sembunyi-sembunyi agar tidak mencemarkan nama baik keluarga besar Zulfa maupun Fatih yang merupakan kiai ternama di Kediri dan Jombang.

Selain hukuman yang telah rampung dijalani Zulfa, pemilihan ketua pondok putri pun telah usai. Seperti yang diprediksi banyak santri, Zulfa terbukti terpilih menjadi ketua pondok.

Sebenarnya Zulfa tak berminat, terlebih mengingat kesalahan yang baru diperbuatnya. Zulfa merasa tak pantas. Namun, karena Bu Nyai Fatimah yang mendorongnya agar maju sebagai kandidat, ia pun tidak memiliki pilihan lain selain menurut.

Bu Nyai tampaknya sengaja melakukan itu agar Zulfa bisa belajar bertanggung jawab dan bisa bersikap dewasa. Beliau sangat mafhum, terlepas dari sebutan Neng yang ada pada namanya, Zulfa adalah santri yang memiliki perangai baik yang selaras dengan prestasinya. Reputasinya bagus dan dia juga banyak disenangi oleh santri putri lainnya. Bahkan di kalangan santri putri senior sekalipun yang kebanyakan sudah menjadi ustazah.

Kabar baik juga datang dari lomba lalaran antarpesantren salafiyah tingkat nasional yang diikutinya. Zulfa berhasil mendapat juara dua. Memang bukan juara satu, tetapi prestasinya itu tentu membanggakan dan sangat istimewa untuknya.

Zulfa ingat bagaimana ia terus berusaha keras menghafal bait demi bait nadhom Alfiyah yang berjumlah 1002 itu. Bagaimana ia mengulang menghafal bait-bait nadhom yang pernah dihafalnya tetapi sempat ia lupa, juga usahanya menyempurnakan kekurangan hafalannya yang semula masih 970 bait menjadi 1002 bait.

Ia bersyukur karena mau mendengarkan Dewi untuk menghadap Bu Nyai dan mengakui kesalahan. Kalau tidak mungkin ia tidak akan sampai pada titik ini, meski belum bisa sepenuhnya melupakan perasaannya kepada Fatih.

***

“Neng!” tegur Dewi memghampiri Zulfa yang sibuk memeriksa berkas penting di kantor pondok putri.

“Ada apa?” Zulfa menoleh.

“Itu. Ada abah dan uminya Neng yang datang menjenguk,” terang Dewi. “Bu Nyai meminta Neng Zulfa segera ke ndalem!”

Zulfa dan Dewi pun segera bertandang ke ndalem. Dewi menemani Zulfa sampai di depan ruang pertemuan lalu kembali ke dapur, melakukan tugas-tugas dapur bersama abdi ndalem lainnya. Sepeninggal sahabatnya, Zulfa merasakan detak jantungnya menggila, keringat dingin mulai mengguyur tubuhnya.

Mendadak Zulfa gugup. Tidak biasanya abah dan uminya datang menjenguk. Biasanya yang datang adalah seorang khodam atau paling banter saudara-saudara lelakinya. Abah dan uminya baru akan pergi ke pondoknya saat mengantar Zulfa kembali mondok setelah liburan atau menjemputnya pulang waktu libur, tidak lebih.

Setelah mengambil napas beberapa kali, Zulfa memutar kenop pintu ruangan yang ada di depannya perlahan. Ruangan besar yang juga menjadi saksi bisu sidangnya dan Fatih beberapa minggu lalu.

“Assalamualaikum.” Hati-hati Zulfa mengucap salam.

“Waalaikumussalam,” jawab seisi ruangan itu serempak.

Di dalam Zulfa mendapati Abah dan Uminya duduk berdampingan dengan Kiai Adnan dan Bu Nyai Fatimah, Kiai juga Bu Nyainya. Mendengar jawaban ramah mereka, Zulfa merasa sedikit lebih tenang.

Baru ia akan menghela napas, jantungnya kembali dibuat berpacu kencang mendapati kehadiran seseorang yang sedang berusaha dilupakannya di situ, Fatih.

“Zulfa, ada yang ingin kami sampaikan padamu, Nak,” ujar Kiai Adnan setelah Zulfa duduk. Zulfa bisa melihat kiainya itu melihat sekilas ke arah Kiai Hisyam, abahnya.

Zulfa juga bisa melihat bagaimana Kiai Hisyam tersenyum, mengangguk seperti memberikan suatu kode kepada Kiai Adnan yang kemudian langsung diutarakan maksudnya oleh Kiai Adnan sendiri, sebuah kesepakatan.

“Hal ini sudah kami sampaikan pada Fatih, Nduk,” terang Kiai Adnan lembut.

Zulfa pun tidak memiliki pilihan lain lagi selain menyimak tanpa berani melihat ke arah Kiai Adnan maupun abahnya seperti sebelumnya, terlebih ke arah Fatih. Ia hanya bisa mempertajam indra pendengarnya siap menangkap apa yang akan disampaikan. Sesekali ia hanya bisa melirik sebentar ke Uminya yang duduk tidak jauh darinya.

“Hal ini mengenai kamu dan Fatih.”

Zulfa hanya bisa menahan napas dengan dada yang bergemuruh mendengar namanya disebut bersamaan dengan nama Fatih.

Apakah dia akan mendapat hukuman tambahan? pikirnya.

Belum Zulfa menghilangkan pikiran-pikiran buruknya mengenai hukuman tambahan yang mungkin akan diterimanya lagi dengan Fatih, Kiai Adnan menyambung kalimatnya yang langsung membuat Zulfa terbelalak tak percaya.

“Kami sepakat untuk segera menunangkanmu dengan putraku, Fatih, Nduk,” kata Kiai Adnan.

“Setelah apa yang terjadi, kami pikir akan lebih baik jika kalian dijodohkan,” tambah Kiai Hisyam. “Kalian harus segera diikat, Nduk. Gus Fatih juga sudah siap menikah. Kami hanya tinggal menunggu kesediaan kamu sekarang.”

Zulfa benar-benar terkejut sampai seolah-olah terasa ingin pingsan.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Puput Pelangi
Terima kasiih sudah mampir kak. Semoga betah dan suka ;)
goodnovel comment avatar
braxss
soswettttt:)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Neng Zulfa   Bab 1 - Pengantin Baru

    Zulfa Zahra El-FazaSudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang.Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai—yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat—para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku.Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesant

    Last Updated : 2023-12-02
  • Neng Zulfa   Bab 2 - Soal Cucu

    Zulfa Zahra El-Faza“Neng? Neng?!”Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.“Iya?” kataku mengambil piring itu.“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan

    Last Updated : 2023-12-02
  • Neng Zulfa   Bab 3 - Cuma Mimpi

    Zulfa Zahra El-FazaLamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam peluk

    Last Updated : 2023-12-07
  • Neng Zulfa   Bab 4 - Amin Paling Serius

    Zulfa Zahra El-FazaPagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.Aku mer

    Last Updated : 2023-12-07
  • Neng Zulfa   Bab 5 - Sepucuk Surat Cinta

    Assalamu'alaikum,Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu.Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu.Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama.Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku.Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya.Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam set

    Last Updated : 2024-01-09
  • Neng Zulfa   Bab 6 - Memorabilia Wisuda

    Fatih Thoriqul FirdausHari ini suasana pesantren begitu ramai, semarak sekaligus meriah.Panggung besar didirikan di halaman utama yayasan dengan kursi-kursi berjajar memanjang sepanjang timur ke barat, menghadap panggung yang kebetulan—dan bisa dibilang selalu berada sejajar dengan pintu utama ndalem.Aku berdiri di belakang jendela kantor madrasah diniyah. Terpaku melihat seorang gadis yang duduk di bangku wisudawati dengan ratusan santri putri lain yang rencananya hari ini akan diwisuda.Ia tampak memesona dengan balutan gamis biru tua dan pashmina senada yang melekat sempurna di tubuhnya, dresscode yang sama dengan para wisudawati lainnya.Sesekali gadis itu tertawa dengan teman-temannya. Salah satunya kukenali menjadi khodimah di ndalem pondok, Dewi, kata Ibu dia santri putri yang sejak lama bersahabat dengan gadis yang sedang menyedot perhatianku kini.Entah, sudah berapa lama aku memperhatikannya dari sini. Acaranya bahkan sudah dimulai, meski belum ke inti tetapi aku tidak bo

    Last Updated : 2024-01-09
  • Neng Zulfa   Bab 7 - Bulan Madu

    Zulfa Zahra El-FazaBulan madu?Aku menertawakan diriku. Bagaimana tidak? Kata-kata Ibu itu terus terngiang-ngiang di telingaku setibanya aku dan Gus Fatih di Kediri, seperti ada yang menekan tombol repeat di kepalaku berkali-kali.Tentu saja, aku dipenuhi harapan saat ini. Pondok orang tuaku memang menyediakan tempat privat untuk pasangan yang baru menikah, khususnya para santri yang dulunya menjadi bagian pesantren ini. Entah ide siapa, sejak aku kecil tempat itu memang sudah ada.Aku tidak pernah tertarik mengetahui sejarahnya.Tempat itu masih berada di area dekat ndalem yang sekelilingnya dibangun dinding dari batako. Aku hanya pernah dua kali masuk ke sana. Dalamnya seperti taman dengan berbagai tanaman hias dan bunga. Dan, ya, sebuah gazebo berdiri agung di tengahnya, dan aku tidak pernah memasukinya selain melihat ikan hias cantik yang ada di kolam besar sampingnya.Aku tidak tahu harus menuruti Umi yang menyuruhku bermalam di gazebo itu atau menolaknya lagi kali ini.Dulu seu

    Last Updated : 2024-01-09
  • Neng Zulfa   Bab 8 - Mutiara Mesir

    Zulfa Zahra El-Faza“Sugeng dalu, Cah Ayu.”Tepat setelah kata itu berbisik di telingaku, buyar sudah rasa kantukku.Tenggorokanku rasanya tercekat dan hidungku kehilangan fungsinya menghirup udara. Aku sampai membuka mulutku menarik masuk udara cukup banyak, jantungku menggila dan aku ingin menenangkannya.Ya Allah …. Ini pertama kalinya aku dan Gus Fatih dekat sedekat ini, tidak dalam mimpi.Darahku rasanya berdesir hebat sekarang. Apalagi bulu romaku, pasti sudah berdiri semua. Udara AC yang tadi sudah kusetel sedemikian rupa tidak terasa, suhu jadi gerah.Sungguh, saat ini aku ingin membalikkan badanku tapi tidak bisa.Tubuhku benar-benar membeku.“Mas?” Sangat lirih aku akhirnya berhasil bersuara. Entahlah, sudah berapa kali tadi aku menelan saliva.Tidak ada sahutan. Hanya ada kebisuan.Aku menghela napas. Mungkin Gus Fatih sudah tidur.“Kenapa, Fa?”Suara bass yang sedikit mulai serak itu berhasil membuat sekujur tubuhku menegang lagi. Susah payah aku menelan air ludahku sendir

    Last Updated : 2024-01-09

Latest chapter

  • Neng Zulfa   Part 94

    Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.

  • Neng Zulfa   Part 93

    Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru

  • Neng Zulfa   Part 92

    Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja

  • Neng Zulfa   Part 91

    Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.

  • Neng Zulfa   Part 90

    "Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.

  • Neng Zulfa   Part 89

    "Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.

  • Neng Zulfa   Part 88

    Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu

  • Neng Zulfa   Part 87

    Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa

  • Neng Zulfa   Part 86

    "Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-

DMCA.com Protection Status