Kapal Bintang Timur meneruskan perjalanan menyusuri sungai. Samantha tidak tahu nama sungai itu serta hendak menuju ke mana. Hal yang disimpulkan dalam pikirannya, sungai ini begitu sepi. "Perompak tadi membuat kehidupan di sini benar-benar mati." Kapten Muhsin seakan tahu isi pikiran Samantha. "Tidak adakah suku asli atau pendatang yang tertarik ....""Awalnya ada. Tetapi mereka memilih pergi menjauh.""Lalu, anda sekalian ....?""Tuan James memaksa kami untuk mendatangi tempat ini."Percakapan keduanya didengar oleh James. "Hei, aku tidak memaksa kalian. Kalian yang menyanggupinya."Samantha mengerti. Sepertinya James membayar mahal pemilik kapal ini. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berani mendatangi teluk yang jelas-jelas dihuni oleh perompak. "Tuan James, seberapa penting benda yang anda cari, sehingga mengeluarkan begitu banyak biaya?"James tidak langsung menjawab pertanyaan dari Samantha. Laki-laki itu memilih mengeluarkan cerutu dari kotaknya. "Sangat penting, Nona.""Mun
"Tuan, bukankah orang-orang tidak berani menyusuri sungai ini karena takut kepada perompak?" Samantha bertanya kepada Muhsin."Ya. Saya juga berpikir demikian.""Lantas, kenapa ada kapal yang menyusuri sungai saat malam seperti ini?""Pertanyaan bagus," Kapten Muhsin menoleh kepada Samantha. "Ada dua kemungkinan.""Apakah itu?""Dia memang pemberani atau ... dia berhasil lolos dari perompak."Samantha tidak terlalu mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi. Apakah bahaya atau keadaan biasa saja? Gadis itu hanya memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. Satu hal yang dipelajarinya, jika tidak menyepelekan hal-hal sepele menjadi sangat penting."Semuanya bersiap," Kapten Muhsin memberi aba-aba. "Iskandar, ambil senapan!"Ketika mendengar sang kapten bicara demikian, Samantha terheran-heran. Apakah keadaan begitu bahaya sehingga harus menyiapkan senapan. Padahal, hanya melihat cahaya lampu kerlap-kerlip nan jauh di sana. "Ini bagianmu, Nona." Iskandar menyerahk
"Letnan Felix, apa yang ada dalam pikiran anda?" James menggelengkan kepala. "Diaam! Aku tidak membutuhkan komentarmu!" James ingin sekali menertawakan si serdadu berkumis melengkung yang tengah berdiri di tepi geladak. Apa daya, dia hanya menjadi tawanan yang terikat. James hanya mampu tersenyum kecut. "Aku bertanya sekali lagi," Felix sepertinya naik pitam, "di mana Edmund Anderson?""Kami tidak tahu! Gadis itu pun tidak tahu. Justru dia menumpang kapal ini untuk mencari ayahnya." James bersikukuh dengan jawaban yang sama. "Kenapa kau berpikir kami menyembunyikan orang tua itu?""Dia belum terlalu tua.""Terserah. Hal yang pasti, kami datang ke hutan ini bukan untuk menyembunyikan dia.""Bagaimana bisa aku percaya. Sungguh aneh jika gadis itu bersama kalian ... mencari hingga ke tengah hutan?""Kami diterjang badai. Awalnya, dia meminta untuk diantarkan ke pelabuhan Pontianak. Kami setuju untuk singgah di sana. Tapi, badai malah membawa kami ke teluk Perompak."Felix menatap Jame
Samantha kesulitan bernafas ketika harus membenamkan diri dalam rawa. Tidak ada cara lain untuk menghindari kejaran para tentara anak buah Letnan Felix. Hutan di sana terendam air hingga setinggi pinggang. Andaikan gadis itu terus berjalan maka riak air yang ditimbulkan mudah terdengar. Jika harus bersembunyi di balik pohon, terlalu mudah dikenali karena dia mengenakan baju putih yang kontras dengan alam sekitarnya.Cukup lama Samantha terbenam dalam air. Sesekali dia menghirup udara melalui permukaan air. Satu hal yang dia lupakan jika tempat itu merupakan tempat bekantan atau monyet liar berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya. Mata Samantha tidak memperhatikan mereka. Air rawa yang berwarna kehitaman mengharuskan matanya senantiasa terpejam. "Wakkk! Wakkk!"Samantha mulai menyadari jika keberadaannya di sana diketahui oleh monyet-monyet liar. Bulu abu di tubuhnya berdiri menjadi penanda jika segerombolan primata berekor tersebut ketakutan. Gigi makhluk itu tampak putih ketika dip
Samantha terdiam sejenak. Memikirkan hal yang mungkin terjadi selanjutnya. Orang yang ada di depannya masih menodongkan senapan kepada rekannya sendiri. Dua pria berkulit gelap menodongkan senapan kepada pria berkumis tebal. Ditodong oleh senapan memang bukan pengalaman pertama bagi gadis itu. Suatu waktu, dia pernah dibegal di tengah jalan ketika pelesiran ke kota Johor. Waktu itu kegelapan malam menyulitkan dia dan kedua orang tuanya untuk mengenali siapa orang yang berani berbuat jahat. Hal yang dia ingat, merasakan betapa dingin moncong senapan berbahan logam bersentuhan dengan pelipis. Namun, keadaan berbeda dengan saat ini kala tiga pria saling berhadapan dengan senapan di tangan mereka masing-masing. Samantha belum bisa memastikan apakah sebenarnya ada diantara mereka yang memihak kepadanya?"Sebaiknya aku menghindar," Samantha bermaksud menjauh. "Tidak. Kau harus tetap diam di sana!" Lelaki berkumis tebal itu bersikukuh dengan keputusannya."Jangan dengarkan orang ini, Non
James tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya fokus memandangi aliran sungai yang beriak ketika haluan kapal memecah gelombang. "Tuan, apakah anda yakin dengan keputusan anda?" Kapten Muhsin bertanya dengan nada sendu."Tentu saja!" James jengkel dengan pertanyaan yang terdengar merajuk.Kru yang tengah mendayung, menoleh ke arah James. Mereka masih berharap lelaki Kaukasian itu mengubah pendiriannya. James melengos.Keputusan dari James untuk mengabaikan Samantha memang terkesan kejam. Andaikan Samantha mendengar sikap James ini, mungkin dia akan membenci lelaki itu. Ketika seorang gadis tanpa teman di tengah hutan, sungguh si raja tega jika ada lelaki tak berperasaan mengabaikannya."Kami mengkhawatirkannya," Kapten Muhsin memang tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir, "ya meskipun dia bukan siapa-siapa saya.""Sudahlah. Kalian jangan lemah seperti ini.""Kami tidak bersikap lemah. Hanya saja, beberapa saat bersama Nona Samantha, membuatku merasa dia sudah menjadi bagian dar
Samantha mulai merasakan kelelahan. Dia bernafas dengan terengah-engah. Matanya mengamati keadaan. Merasa aman, hanya merasa aman walaupun dia tidak bisa memastikan apakah dirinya masih aman dalam beberapa menit ke depan. "Setidaknya, sekarang aku memiliki senapan," gadis itu bergumam. Bicara pada dirinya sendiri untuk meyakinkan hati. "Andaikan mereka mendekat, aku bisa menembaknya."Setelah sekian lama berjalan, Samantha sampai ke area hutan yang tidak terlalu tergenang. Masih ada air yang membasahi tanah namun tidak setinggi sebelumnya. Paku-pakuan tampak menutup tanah. Tumbuh diantara pepohonan sehingga tampak warna hijau diantara batang pohon yang hitam atau kecokelatan. "Ih, bekicot," hampir saja Samantha berteriak karena merasa jijik dengan makhluk bercangkang yang nongkrong di atas daun. "Ya Tuhan, kenapa aku harus berada di tempat seperti ini ...."Jika keadaan begitu tidak menyenangkan, dia ingin sekali mengeluhkan semuanya kepada sang ibu. "oh, ibu. Bagaimana keadaanmu di
"Hari sudah gelap, sebaiknya kita berkemah di sini," Letnan Felix memilih duduk di akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. "Biarkan dia memikirkan akibat dari kelakuannya sendiri."Samantha yang meringkuk di bawah batang pohon menatap kepada si komandan regu. "Padahal, seharusnya kau diam di rumah. Menunggu ayahmu pulang. Namun, kau malah memperkeruh keadaan.""Memperkeruh?"Letnan Felix mengangkat alis."Aku ingin ayahku kembali.""Ahh, kau belum cukup umur untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Samantha terheran-heran."Penculikan ayahmu, bukan hanya tentang menculik seorang lelaki tua tak berguna.""Aku tahu itu.""Lantas, kenapa kau tidak bisa bersabar ....""Bersabar? Sudah sebulan lebih ayahku pergi. Bagaimana bisa aku bersabar!""Tapi, kau bisa menghubungiku orang yang tepat, bukan mencarinya sendiri!""Aku pun bermaksud begitu. Aku berencana pergi ke Pontianak. Tetapi, badai membawaku ke tempat seperti ini ...."Letnan Felix menghela nafas. "Sebenarnya, apa yang t