Samantha tahu jika ada perompak di lautan hanya mendengar dari cerita orang-orang. Tentang kekejaman mereka, penampilan mereka atau perlakuan mereka terhadap wanita. Hal-hal buruk selalu disematkan kepada sekelompok orang tak diakui sebagai bagian dari masyarakat.
Pikiran gadis itu dihantui hal-hal buruk tersebut. Hal wajar jika ketakutan menggelayuti isi kepala."Nona, jika mereka mendekat, kau harus segera masuk ke dalam lambung kapal, bersembunyi." Kapten Muhsin memberi arahan."Tuan, saya siap menghadapi ....""Ini perintah. Aku tidak suka dibantah!" Muhsin bicara dengan nada tinggi. "Ini demi keselamatan dirimu.""Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi beban."Ketika mendengar perkataan dari Samantha, James mengemukakan sebuah alasan. "Itulah alasan kenapa aku tidak kau ikut serta ke dalam kapal ini.""Tuan James, keputusan ada di tanganku. Anda jangan mengungkit lagi masalah itu."Para anak buah kapal hanya memperhatikan percakapan mereka bertiga. Empat lelaki itu hanya menunggu apa perintah selanjutnya. Walaupun sebenarnya mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Menunggu perintah pimpinan lebih baik dibandingkan bertindak gegabah.Samantha tidak selalu berhadapan dengan bahaya. Kehidupan yang menyenangkan menjadi keseharian bagi gadis itu. Situasi bahaya baginya menjadi hal langka.Kala demikian, Samantha kembali mempertanyakan keputusannya untuk mencari sang ayah. Dia berharap ada orang yang bisa menenangkan perasaannya. Biasanya sang ibu menjadi orang yang pertama kali bisa bisa diajak bicara. Sekarang, dia jauh dari ibu dan ayahnya."Nona, bersembunyi sekarang!" Kapten Muhsin membuyarkan lamunan Samantha.Gadis itu tidak bisa membantah. Dia berjalan mundur ke arah pintu yang sejajar dengan lantai buritan.Bersembunyi di dalam lambung kapal.***Di atas geladak, para lelaki jarang mandi bersiap menyambut tamu yang datang. Mata mereka tertuju pada sebuah layar terkembang di cakrawala. Tidak ada lambang tengkorak dan tulang bersilang. Hanya ada layar kusam terkembang."Bagaimana, Tuan? Haruskah kita menghadapi mereka?" James memberi pertimbangan bagi si kapten yang berpikir keras.Muhsin menoleh kepada James dan anak buahnya."Aku pikir, mencari selamat lebih baik daripada menghadapi mereka."Kapten Muhsin menganggukkan kepala. "Jika itu yang ada inginkan, saya akan menuruti keinginan anda, Tuan."Kemudi diarahkan untuk menjauh dari kapal lain yang semakin mendekat. Muhsin yakin jika mereka adalah perompak. Seorang pelaut sepertinya tahu kapal mana yang sekedar lewat dan kapal mana yang berniat jahat."Kapal semakin mendekat, Tuan." Iskandar pun tampaknya gugup."Tenang, Nak. Di sini, mentalmu akan teruji sebagai pelaut."Ali menyeringai."Tampaknya ada sudah siap menghadapi ini, Paman Ali.""Nak, ketika aku seusiamu, aku pernah hampir mati karena seorang perompak mengarahkan pisau ke leherku.""Benarkah?""Untungnya, ada seseorang yang menyelamatkan nyawaku." Ali menoleh kepada Kapten Muhsin yang masih tenang di balik kemudi.Iskandar menatap Kapten Muhsin."Sudahlah, itu hanya cerita lama. Tidak usah dibesar-besarkan." Muhsin berusaha merendah namun siapa yang tahu jika hatinya senantiasa membanggakan kisah itu.Lautan sebenarnya tenang. Orang-orang di dalam kapal itu saja yang tegang. Berusaha tenang, namun kenyataan yang harus dihadapi tidak bisa membuat mereka tenang-tenang saja."Iskandar, siapkan dayung!""Baik, Tuan Kapten!"Iskandar menjadi remaja yang semakin cekatan ketika keadaan mengharuskannya demikian. Dia belajar banyak dalam perjalanan kali ini. Meskipun ini bukan pelayaran pertamanya, Iskandar bisa tahu jika keadaannya saat ini berbeda dengan pelayaran-pelayaran sebelumnya. Kali ini, ada sesuatu yang dipertaruhkan."Tuan James, bersiaplah dengan senapan yang anda miliki! Sepertinya senapan ini akan banyak berguna." Muhsin menugaskan James untuk menjadi penembak.James tidak menyahut tetapi dia tahu harus melakukan hal apa. Dia segera masuk ke dalam lambung kapal, mengambil senapan yang tersimpan di sana."Kau takut?""Tidak. Aku merasa pengap lama-lama di sini.""Bagaimana, apakah kau menyesal turut serta dalam perjalanan ini?"James mendapati Samantha tengah meringkuk di dalam lambung kapal bersama barang-barang perbekalan. Tertumpuk rapi sehingga mudah memastikan jika harus mengambil barang yang diperlukan. Dalam hal kerapihan menata barang bawaan, maka Iskandar adalah orang yang layak diberi pujian."Ya, sudahlah. Nanti kita bicarakan lagi."James menutup pintu dan kembali ke geladak.Kapal melaju lebih kencang. Angin pun memihak kepada Bintang Timur. Kapten Muhsin menyeringai. James bisa mengerti arti senyuman demikian."Kapten, kita terdesak!" lagi-lagi Iskandar mengingatkan."Aku tahu, Nak. Di sebelah kiri kita adalah daratan. Mereka datang dari arah kanan. Kau tahu apa artinya?"Iskandar berpikir sejenak. "Mereka ingin kita menepi!""Aha, kau anak cerdas. Tidak percuma aku membawamu."Iskandar tersenyum. "Lantas, apakah kita akan menepi?""Menurutmu?""Tentu tidak, Tuan."Kapten Muhsin menganggukkan kepala. "Tuan James, kau mengenal kawasan ini?"James menggelengkan kepala. "Aku pertama kali datang ke sini.""Bukankah kita sudah membicarakan tempat ini tempo hari?"James menoleh kepada Muhsin."Ada di peta, Tuan!""Ya. Aku ingat. Ada muara sungai tidak jauh dari sini.""Benar! Kita harus segera ke sana!"Iskandar kembali menyahut, "Saya mengerti. Kita masuk menyusuri sungai agar kapal besar itu enggan masuk ke sana!"Semua kru kapal mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh si kapten. Mereka menganggukkan kepala. Rona wajah mereka ternyata berubah. Ada harapan ketika keadaan sedang genting. Ikat kepala yang dikenakan orang-orang itu tidak "layu" lagi. Terkesan menjadi lebih tegak lurus menyongsong masa depan. Sikap yang dibutuhkan oleh para pelaut kala jiwa kalut.Mata James tertuju kepada lautan yang tenang bergelombang. Tidak ada lumba-lumba apalagi paus yang muncul ke permukaan. Tidak ada pula sampan nelayan yang kebetulan lewat di pandangan. Hanya ada satu kapal besar yang semakin mendekat seakan ingin menabrak kapal kecil yang ditumpangi si pria Eropa."Kawasan ini benar-benar sepi, tidak kapal lain.""Itulah yang dahulu saya katakan Tuan James. Sebaiknya kita tidak melewati kawasan ini. Terlalu jauh dari perkotaan.""Apa daya, badai telah membawa kita ke tempat ini, Tuan Muhsin."Kapten Muhsin segera meyakinkan anak buahnya untuk segera bersiap menghadapi berbagai kemungkinan. Terjadi percakapan dengan isyarat diantara mereka. James tidak mengerti maksud isyarat itu. Namun, mereka semua mengangguk."Bersiap!"Dayung dipasang. Layar kemudi diarahkan ke sisi kiri agar angin membawa kapal itu mendekat dengan daratan."Dayung, sekarang!"Semua kru bersemangat mendayung. Empat buah dayung terpasang dari dua sisi. Dua dayung pada setiap sisinya."Kecepatan maksimal!"Aba-aba 'kecepatan maksimal' yang dimaksud sebenarnya tidak terlalu dipahami oleh James. Hal yang dia lihat, perpaduan antara layar yang terkembang dan dayung sudah menjadi cara terbaik yang bisa dilakukan. Kapal layar tidak digerakkan oleh mesin. Sepenuhnya memanfaatkan alam dan kecerdasan manusia. James hanya berusaha percaya kepada orang-orang yang disewanya. Tentu saja tidak sedikit uang yang diberikan kepada pelaut-pelaut berkulit cokelat tersebut."Tuan James," Kapten Muhsin masih berusaha tenang, "jika anda dihadapkan kepada keadaan serba terjepit, apa yang anda lakukan?"James mempertanyakan arti penting pertanyaan dari si kapten. Namun, belakangan dia mengerti jika begitulah cara berkomunikasi pemilik kapal ini. "Saya akan memutuskan untuk bertindak.""Tindakan apa?""Menghindari atau menghadapi.""Aha, sebuah jawaban yang cerdas."James mengangkat alis sambil tersenyum."Sepertinya, aku memutuskan jika kita harus menghadapi mereka."Anak buah kapal yang sedang mendayung, menengok ke belakang. Kapten Muhsin mulai merasakan jika mereka diliputi ketakutan."Ini resiko pekerjaan, Saudaraku!"Mendengar Kapten Muhsin bicara agak sopan menjadi pertanda jika laki-laki itu benar-benar peduli dengan nasib anak buahnya. Dia seakan sedang memberikan pidato perpisahan. James sering mendengar hal itu ketika dia bergabung dengan militer. Seorang komandan akan menyemangati prajuritnya sekaligus menyampaikan kata-kata perpisahan."Mereka mencegah kita masuk ke muara sungai, Tuan!" Iskandar selalu menjadi informan yang baik."Berarti, keputusanku tepat. Kita hadapi mereka!"James bersiap untuk menembak. Dia berjongkok di tepi geladak. Membidik seseorang atau siapa pun yang bisa dilumpuhkan."Kita hampir mencapai muara!" Iskandar kembali memberi kabar. Matanya masih tajam wajar jika dia selalu ditugaskan untuk memantau keadaan. "Ada lima orang yang membidik kapal kita, Tuan."Apa yang dikatakan oleh Iskandar memang benar. Ketika dua kapal itu semakin berdekatan, James bisa melihat cukup jelas jika kru kapal itu benar-benar berniat merompak. Terbukti, senapan diarahkan ke kapal Bintang Timur."Mereka punya meriam!" Iskandar masih mampu menjadi pengamat meskipun tangannya sibuk mendayung."Sialan!"Sebuah bendera hitam dikibarkan. Dipasang di tiang layar. Pertanda celaka bagi para pelaut."Dayung lebih kencang!"Percuma, sekencang apa pun mendayung, kapal perompak itu sudah lebih dekat dengan muara.Dor!Suara tembakan peringatan melambung ke udara."Tahan tembakan, Tuan James." Muhsin tahu jika tangan James sudah gatal.James membidik seseorang yang berdiri di geladak kapal perompak. Dia berdiri dengan berkacak pinggang."Sekarang!"Aba-aba itu tampaknya telat. Kapal mereka lebih dahulu bertabrakan dibandingkan letupan senapan.Braakk!Samantha bisa merasakan hentakan keras.Dia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Rasa penasaran mendorong gadis itu untuk mengetahui kejadian apa di luar sana. Dia pun membuka pintu walaupun hanya membentuk celah. Sekedar untuk memberi keleluasaan pandangan. Dia terkejut kala tahu ada sekomplotan orang tak dikenal melompat ke atas geladak. Memang benar apa yang dikatakan Kapten Muhsin, nampaknya mereka memang perompak. "Serahkan harta kalian!" Menyampaikan maksud tanpa basa-basi, apakah memang demikian cara mereka? Orang yang berteriak tadi sungguh manusia tanpa tata krama."Kalau kami menolak, bagaimana?" suara Kapten Muhsin lebih lantang menjawab.Samantha mulai merasa jika situasi timpang. Jumlah mereka yang menyergap lebih banyak daripada kru kapal Bintang Timur. Samantha merasa serba salah ketika harus terus bersembunyi di sana. Namun, membantah perintah Kapten Muhsin juga bukan hal yang baik. "Jika kalian menolak, maka nyawa kalian akan melayang!"Samantha mendengar suara gad
Kapal Bintang Timur meneruskan perjalanan menyusuri sungai. Samantha tidak tahu nama sungai itu serta hendak menuju ke mana. Hal yang disimpulkan dalam pikirannya, sungai ini begitu sepi. "Perompak tadi membuat kehidupan di sini benar-benar mati." Kapten Muhsin seakan tahu isi pikiran Samantha. "Tidak adakah suku asli atau pendatang yang tertarik ....""Awalnya ada. Tetapi mereka memilih pergi menjauh.""Lalu, anda sekalian ....?""Tuan James memaksa kami untuk mendatangi tempat ini."Percakapan keduanya didengar oleh James. "Hei, aku tidak memaksa kalian. Kalian yang menyanggupinya."Samantha mengerti. Sepertinya James membayar mahal pemilik kapal ini. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berani mendatangi teluk yang jelas-jelas dihuni oleh perompak. "Tuan James, seberapa penting benda yang anda cari, sehingga mengeluarkan begitu banyak biaya?"James tidak langsung menjawab pertanyaan dari Samantha. Laki-laki itu memilih mengeluarkan cerutu dari kotaknya. "Sangat penting, Nona.""Mun
"Tuan, bukankah orang-orang tidak berani menyusuri sungai ini karena takut kepada perompak?" Samantha bertanya kepada Muhsin."Ya. Saya juga berpikir demikian.""Lantas, kenapa ada kapal yang menyusuri sungai saat malam seperti ini?""Pertanyaan bagus," Kapten Muhsin menoleh kepada Samantha. "Ada dua kemungkinan.""Apakah itu?""Dia memang pemberani atau ... dia berhasil lolos dari perompak."Samantha tidak terlalu mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi. Apakah bahaya atau keadaan biasa saja? Gadis itu hanya memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. Satu hal yang dipelajarinya, jika tidak menyepelekan hal-hal sepele menjadi sangat penting."Semuanya bersiap," Kapten Muhsin memberi aba-aba. "Iskandar, ambil senapan!"Ketika mendengar sang kapten bicara demikian, Samantha terheran-heran. Apakah keadaan begitu bahaya sehingga harus menyiapkan senapan. Padahal, hanya melihat cahaya lampu kerlap-kerlip nan jauh di sana. "Ini bagianmu, Nona." Iskandar menyerahk
"Letnan Felix, apa yang ada dalam pikiran anda?" James menggelengkan kepala. "Diaam! Aku tidak membutuhkan komentarmu!" James ingin sekali menertawakan si serdadu berkumis melengkung yang tengah berdiri di tepi geladak. Apa daya, dia hanya menjadi tawanan yang terikat. James hanya mampu tersenyum kecut. "Aku bertanya sekali lagi," Felix sepertinya naik pitam, "di mana Edmund Anderson?""Kami tidak tahu! Gadis itu pun tidak tahu. Justru dia menumpang kapal ini untuk mencari ayahnya." James bersikukuh dengan jawaban yang sama. "Kenapa kau berpikir kami menyembunyikan orang tua itu?""Dia belum terlalu tua.""Terserah. Hal yang pasti, kami datang ke hutan ini bukan untuk menyembunyikan dia.""Bagaimana bisa aku percaya. Sungguh aneh jika gadis itu bersama kalian ... mencari hingga ke tengah hutan?""Kami diterjang badai. Awalnya, dia meminta untuk diantarkan ke pelabuhan Pontianak. Kami setuju untuk singgah di sana. Tapi, badai malah membawa kami ke teluk Perompak."Felix menatap Jame
Samantha kesulitan bernafas ketika harus membenamkan diri dalam rawa. Tidak ada cara lain untuk menghindari kejaran para tentara anak buah Letnan Felix. Hutan di sana terendam air hingga setinggi pinggang. Andaikan gadis itu terus berjalan maka riak air yang ditimbulkan mudah terdengar. Jika harus bersembunyi di balik pohon, terlalu mudah dikenali karena dia mengenakan baju putih yang kontras dengan alam sekitarnya.Cukup lama Samantha terbenam dalam air. Sesekali dia menghirup udara melalui permukaan air. Satu hal yang dia lupakan jika tempat itu merupakan tempat bekantan atau monyet liar berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya. Mata Samantha tidak memperhatikan mereka. Air rawa yang berwarna kehitaman mengharuskan matanya senantiasa terpejam. "Wakkk! Wakkk!"Samantha mulai menyadari jika keberadaannya di sana diketahui oleh monyet-monyet liar. Bulu abu di tubuhnya berdiri menjadi penanda jika segerombolan primata berekor tersebut ketakutan. Gigi makhluk itu tampak putih ketika dip
Samantha terdiam sejenak. Memikirkan hal yang mungkin terjadi selanjutnya. Orang yang ada di depannya masih menodongkan senapan kepada rekannya sendiri. Dua pria berkulit gelap menodongkan senapan kepada pria berkumis tebal. Ditodong oleh senapan memang bukan pengalaman pertama bagi gadis itu. Suatu waktu, dia pernah dibegal di tengah jalan ketika pelesiran ke kota Johor. Waktu itu kegelapan malam menyulitkan dia dan kedua orang tuanya untuk mengenali siapa orang yang berani berbuat jahat. Hal yang dia ingat, merasakan betapa dingin moncong senapan berbahan logam bersentuhan dengan pelipis. Namun, keadaan berbeda dengan saat ini kala tiga pria saling berhadapan dengan senapan di tangan mereka masing-masing. Samantha belum bisa memastikan apakah sebenarnya ada diantara mereka yang memihak kepadanya?"Sebaiknya aku menghindar," Samantha bermaksud menjauh. "Tidak. Kau harus tetap diam di sana!" Lelaki berkumis tebal itu bersikukuh dengan keputusannya."Jangan dengarkan orang ini, Non
James tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya fokus memandangi aliran sungai yang beriak ketika haluan kapal memecah gelombang. "Tuan, apakah anda yakin dengan keputusan anda?" Kapten Muhsin bertanya dengan nada sendu."Tentu saja!" James jengkel dengan pertanyaan yang terdengar merajuk.Kru yang tengah mendayung, menoleh ke arah James. Mereka masih berharap lelaki Kaukasian itu mengubah pendiriannya. James melengos.Keputusan dari James untuk mengabaikan Samantha memang terkesan kejam. Andaikan Samantha mendengar sikap James ini, mungkin dia akan membenci lelaki itu. Ketika seorang gadis tanpa teman di tengah hutan, sungguh si raja tega jika ada lelaki tak berperasaan mengabaikannya."Kami mengkhawatirkannya," Kapten Muhsin memang tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir, "ya meskipun dia bukan siapa-siapa saya.""Sudahlah. Kalian jangan lemah seperti ini.""Kami tidak bersikap lemah. Hanya saja, beberapa saat bersama Nona Samantha, membuatku merasa dia sudah menjadi bagian dar
Samantha mulai merasakan kelelahan. Dia bernafas dengan terengah-engah. Matanya mengamati keadaan. Merasa aman, hanya merasa aman walaupun dia tidak bisa memastikan apakah dirinya masih aman dalam beberapa menit ke depan. "Setidaknya, sekarang aku memiliki senapan," gadis itu bergumam. Bicara pada dirinya sendiri untuk meyakinkan hati. "Andaikan mereka mendekat, aku bisa menembaknya."Setelah sekian lama berjalan, Samantha sampai ke area hutan yang tidak terlalu tergenang. Masih ada air yang membasahi tanah namun tidak setinggi sebelumnya. Paku-pakuan tampak menutup tanah. Tumbuh diantara pepohonan sehingga tampak warna hijau diantara batang pohon yang hitam atau kecokelatan. "Ih, bekicot," hampir saja Samantha berteriak karena merasa jijik dengan makhluk bercangkang yang nongkrong di atas daun. "Ya Tuhan, kenapa aku harus berada di tempat seperti ini ...."Jika keadaan begitu tidak menyenangkan, dia ingin sekali mengeluhkan semuanya kepada sang ibu. "oh, ibu. Bagaimana keadaanmu di