Samantha terdiam sejenak. Memikirkan hal yang mungkin terjadi selanjutnya. Orang yang ada di depannya masih menodongkan senapan kepada rekannya sendiri. Dua pria berkulit gelap menodongkan senapan kepada pria berkumis tebal. Ditodong oleh senapan memang bukan pengalaman pertama bagi gadis itu. Suatu waktu, dia pernah dibegal di tengah jalan ketika pelesiran ke kota Johor. Waktu itu kegelapan malam menyulitkan dia dan kedua orang tuanya untuk mengenali siapa orang yang berani berbuat jahat. Hal yang dia ingat, merasakan betapa dingin moncong senapan berbahan logam bersentuhan dengan pelipis. Namun, keadaan berbeda dengan saat ini kala tiga pria saling berhadapan dengan senapan di tangan mereka masing-masing. Samantha belum bisa memastikan apakah sebenarnya ada diantara mereka yang memihak kepadanya?"Sebaiknya aku menghindar," Samantha bermaksud menjauh. "Tidak. Kau harus tetap diam di sana!" Lelaki berkumis tebal itu bersikukuh dengan keputusannya."Jangan dengarkan orang ini, Non
James tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya fokus memandangi aliran sungai yang beriak ketika haluan kapal memecah gelombang. "Tuan, apakah anda yakin dengan keputusan anda?" Kapten Muhsin bertanya dengan nada sendu."Tentu saja!" James jengkel dengan pertanyaan yang terdengar merajuk.Kru yang tengah mendayung, menoleh ke arah James. Mereka masih berharap lelaki Kaukasian itu mengubah pendiriannya. James melengos.Keputusan dari James untuk mengabaikan Samantha memang terkesan kejam. Andaikan Samantha mendengar sikap James ini, mungkin dia akan membenci lelaki itu. Ketika seorang gadis tanpa teman di tengah hutan, sungguh si raja tega jika ada lelaki tak berperasaan mengabaikannya."Kami mengkhawatirkannya," Kapten Muhsin memang tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir, "ya meskipun dia bukan siapa-siapa saya.""Sudahlah. Kalian jangan lemah seperti ini.""Kami tidak bersikap lemah. Hanya saja, beberapa saat bersama Nona Samantha, membuatku merasa dia sudah menjadi bagian dar
Samantha mulai merasakan kelelahan. Dia bernafas dengan terengah-engah. Matanya mengamati keadaan. Merasa aman, hanya merasa aman walaupun dia tidak bisa memastikan apakah dirinya masih aman dalam beberapa menit ke depan. "Setidaknya, sekarang aku memiliki senapan," gadis itu bergumam. Bicara pada dirinya sendiri untuk meyakinkan hati. "Andaikan mereka mendekat, aku bisa menembaknya."Setelah sekian lama berjalan, Samantha sampai ke area hutan yang tidak terlalu tergenang. Masih ada air yang membasahi tanah namun tidak setinggi sebelumnya. Paku-pakuan tampak menutup tanah. Tumbuh diantara pepohonan sehingga tampak warna hijau diantara batang pohon yang hitam atau kecokelatan. "Ih, bekicot," hampir saja Samantha berteriak karena merasa jijik dengan makhluk bercangkang yang nongkrong di atas daun. "Ya Tuhan, kenapa aku harus berada di tempat seperti ini ...."Jika keadaan begitu tidak menyenangkan, dia ingin sekali mengeluhkan semuanya kepada sang ibu. "oh, ibu. Bagaimana keadaanmu di
"Hari sudah gelap, sebaiknya kita berkemah di sini," Letnan Felix memilih duduk di akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. "Biarkan dia memikirkan akibat dari kelakuannya sendiri."Samantha yang meringkuk di bawah batang pohon menatap kepada si komandan regu. "Padahal, seharusnya kau diam di rumah. Menunggu ayahmu pulang. Namun, kau malah memperkeruh keadaan.""Memperkeruh?"Letnan Felix mengangkat alis."Aku ingin ayahku kembali.""Ahh, kau belum cukup umur untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Samantha terheran-heran."Penculikan ayahmu, bukan hanya tentang menculik seorang lelaki tua tak berguna.""Aku tahu itu.""Lantas, kenapa kau tidak bisa bersabar ....""Bersabar? Sudah sebulan lebih ayahku pergi. Bagaimana bisa aku bersabar!""Tapi, kau bisa menghubungiku orang yang tepat, bukan mencarinya sendiri!""Aku pun bermaksud begitu. Aku berencana pergi ke Pontianak. Tetapi, badai membawaku ke tempat seperti ini ...."Letnan Felix menghela nafas. "Sebenarnya, apa yang t
Samantha tidak bisa tidur. Memang tidak berniat untuk tertidur. Terlebih, dia mendengar seseorang berteriak dari arah belakang Letnan Felix. Bertepatan di seberang api unggun, Samantha tidak bisa melihat jelas siapa yang berteriak. Matanya tidak sanggup memandangi hutan yang gelap karena cahaya api unggun tidak sanggup menggapai sumber suara.Sontak, semua prajurit berlari ke sumber suara.Kecuali, dua orang yang diberi tugas menjaga Samantha sebagai tawanan."Hei Nona, jangan berpikir untuk melarikan diri," si prajurit penjaga tampaknya punya firasat buruk."Bila kau kabur, jangan salahkan kami jika bersikap tidak sopan." Temannya menatap Samantha dengan mata menyala. "Ya, komandan memerintahkan kami untuk sopan kepadamu. Itu pun kalau dirimu bisa diajak kerjasama."Mata menyala dalam arti sesungguhnya. Cahaya api unggun yang berkobar memantul di lensa mata lelaki berkulit gelap itu. Tentu saja sang gadis tidak bisa menatap balik. Samantha tahu jika gerak matanya sedang diperhatika
Letnan Felix benar-benar murka. "Kejar mereka!"Lelaki itu menendang gundukan bara api unggun yang tercecer. Bara itu seketika berubah menjadi abu ketika tersentuh oleh sepatu but. Dia berniat menggunakan kaki kirinya untuk melakukan hal yang sama, namun itu urung dilakukan. Cahaya api unggun menunjukkan sesuatu yang dianggap berharga bagi Felix. "Aha, ternyata benda ini ada gunanya," seraya merunduk kemudian meraih sebuah pulpen yang tergeletak bersama dengan kantung uang dan pisau belati. "Dia lupa tidak membawa barang miliknya. Nona, kau terburu-buru ingin pergi."Pria berseragam warna khaki itu tertawa sendiri. Untungnya tidak ada anak buahnya yang memperhatian. Jika dilihat, orang akan mengira jika dia sudah gila. Sungguh aneh, ketika kegagalan menghampiri dia malah tertawa. Orang juga akan sulit menerka alasan dia tertawa apalagi binatang liar yang ada di sana. Dia memperhatikan ke sekelilingnya. Berpikir keras. "Bagaimana?" lelaki itu berjalan ke arah para prajurit yang seda
"Faisal," Samantha berhenti melangkah."Ayo, Nona. Mereka tidak berhenti mengejar kita.""Terima kasih," Samantha memegang pundak Faisal."Aiss, sekarang bukan waktunya bicara demikian."Faisal menatap gadis itu. Samantha menggelengkan kepala. "Aku sudah tidak sanggup lagi.""Mereka akan menangkapmu ....""Biar saja. Toh, mereka tidak akan membunuhku.""Kami tidak yakin dengan hal itu.""Dia membutuhkan aku untuk menemui ayahku.""Setelah itu? Setelah mereka tidak membutuhkanmu, apakah mereka akan tetap membiarkanmu hidup?"Samantha berpikir ulang tentang janji Letnan Felix yang tidak akan membunuhnya. "Benar juga apa katamu.""Ayolah, Tuan Muhsin sudah mengangkatmu menjadi anak buahnya. Dia merasa bertanggungjawab akan keselamatanmu. Jadi, biarkan saya menyelesaikan tugas. Menjemputmu dan kembali ke kapal Bintang Timur."Hutan itu benar-benar gelap. Mereka berdua tidak sanggup menentukan arah pulang. Terlebih, langit tertutup awan sehinggga tidak ada bintang yang bisa dijadikan petun
Jika tiga anak buah Letnan Felix telah lumpuh, maka hanya tersisa dua belas prajurit yang melindungi dirinya. Mereka membentuk formasi melingkar dimana si Komandan berada di tengah. Masih bermodalkan dua lentera yang menyala, para serdadu itu berusaha mencari seseorang yang menyerang mereka di tengah kegelapan hutan."Perhatikan, di dahan pohon atau di bawah air!" Perintah dari Letnan Felix cukup jelas dan mudah diterjemahkan dalam tindakan oleh sisa serdadu yang ada. Mereka bukan pemburu namun diharuskan berpikir seperti seorang pemburu yang siap menembak mangsanya. "Berjalan perlahan, terus perhatikan sekitar!"Formasi melingkar itu bergerak ke arah depan. Sebagian berjalan mundur mengikuti rekannya yang memandu arah. "Berhenti!"Temaram cahaya tidak cukup menegaskan siapa atau apa yang ada. Jika sinar lampu petromak tidak sanggup menjangkau maka hanya siluet yang tampak. Begitupula monyet-monyet yang merasa terganggu dengan kehadiran manusia terlihat bergerak-gerak. Siluet merek