"Hah, Nona. Anda tidak boleh ikut." James memasang wajah kesal.
"Jika begitu, aku akan meminta para serdadu itu untuk menangkapmu, Tuan." Samantha pun memasang wajah tegas."Berani sekali anda mengancam saya, Nona.""Hei, anak buahmu yang memintaku untuk membebaskanmu." Samantha menjelaskan sebuah alasan.Ketika dikatakan jika para kru kapal itu sebagai 'anak buah' maka mereka serentak menjawab, "kami bukan anak buah, Nona. Kami mitra." seorang pria yang tadi memohon kepada Samantha memberi penjelasan. "Kami bermitra dengan perjanjian kontrak."Samantha menatap pria Melayu bertubuh agak gemuk. Sekarang dia terlihat lebih percaya diri dibandingkan tadi. Mungkin karena dia senang jika sumber uang tidak jadi melayang."Aku tetap tidak ingin ada wanita ikut dalam pelayaran," James bersikukuh."Kenapa? Anda menganggap saya lemah?""Nona. Rencana kami ke Borneo demi mencari sesuatu ke hutan belantara. Kami tidak berencana singgah di kota.""Anda bisa merubah rencana, Tuan."Samantha menyilangkan tangan di dada. James tetap menggelengkan kepala."Baiklah, aku akan membayar kalian.""Anda bisa ikut kapal lain.""Kapal lain baru tiba esok lusa.""Anda bisa menunggu ....""Tidak bisa! Jika aku menunggu lebih lama lagi, aku takut terjadi sesuatu kepada ayahku!""Tidak akan, ayah anda akan baik-baik saja.""Kau tidak akan mengerti! Karena, tidak pernah merasakan apa yang tengah aku rasakan ....," Samantha bicara lirih."Anda salah, saya pernah kehilangan kedua orang tua saya. Dua-duanya. Anda beruntung karena masih memiliki ibu yang menunggu di rumah. Pulanglah, ibu anda pasti mengkhawatirkan anda.""Ibuku sudah ada yang menjaga.""Ayah anda pun sedang dicari ....""Tidak. Aku harus bertemu ayahku, apa pun keadaannya. Kau tidak mengerti.""Justru saya mengerti.""Kau berpura-pura mengerti demi menolakku untuk turut pergi.""Nona, aku tidak bohong. Orang tuaku hilang dan aku tidak pernah melihat mereka untuk terakhir kalinya .... bahkan sekedar melihat jenazahnya."Samantha menatap James. Samantha berpikir jika, kali ini orang itu memang serius.James memilih untuk memeriksa perlengkapan di dalam kapal layar yang tengah berlabuh. Pria itu enggan menanggapi Samantha yang terkesan merajuk. Sedangkan para kru kapal hanya berdiri menanti sikap James yang jelas berbeda dengan keputusan yang mereka pilih."Hei, cepat naikkan jangkar. Kita berlayar!" James sebenarnya ingin marah kepada Samantha tetapi memuntahkan kemarahan itu kepada kru kapal.Orang-orang itu hanya terdiam."Cepat!" James membentak.Orang yang dibentak tidak ingin menuruti saja keinginan James."Tuan James, kita sepakat jika di atas kapal, aku yang memimpin," seorang pria bertubuh agak gemuk tampaknya enggan diberi perintah. "Anda tidak lupa itu kan, Tuan?"Samantha tersenyum. Dia merasa ada yang lucu dengan situasi yang ada di hadapannya. James tidak ingin gadis itu turut serta. Padahal, sebaliknya dia diperbolehkan untuk turut serta oleh si pemilik kapal."Akhh! Ya, ya, ya, aku tidak bisa melarang." James menatap Samantha. "Tapi, kau jangan menyusahkanku."Mata Samantha mendelik."Hei, hei, engkau sudah membawa perbekalan?" James heran karena Samantha membawa sebuah koper. Dia mengambil koper yang semula tersembunyi di dalam pos jaga."Aku tidak ingin ibuku tahu jika aku pergi. Koper ini sudah dipersiapkan sejak kemarin. Andaikan ada kapal yang siap membawaku, aku bisa langsung pergi."Semua orang yang mendengar penjelasan Samantha, memasang wajah terheran-heran sekaligus kagum. Diantara mereka ada yang mengacungkan jempol. Memuji kecerdasan gadis itu."Ternyata kau memang sudah menyiapkan semuanya, Nona." pria bertubuh agak gemuk _belakangan diketahui jika dia pemilik kapal_ memuji Samantha. "Ah, selamat datang di kapal Bintang Timur, Nona.""Tuan, bisakah kita berangkat lebih cepat?" Samantha mengajukan permintaan."Tentu saja, Nona. Kenapa pula harus terburu-buru?"Jawaban dari pertanyaan itu segera diperoleh karena dari kejauhan tengah berlari dua orang laki-laki ke arah tepi dermaga. Mereka mengarah tepat ke kapal yang ditumpangi Samantha.Bagi Samantha, kedua orang itu bisa menjadi penghalang akan niatnya. Dia tahu jika sang ibu mengirimkan orang untuk memantau gadis itu meskipun dari kejauhan. Dia menyadari hal itu sejak beberapa saat lalu.Kini, ketika kedua orang itu mendekat maka Samantha segera meminta si kapten kapal untuk menarik sauh dan segera menjauh dari dermaga. Mata gadis itu menatap ke arah dua laki-laki tersebut yang terlihat kecewa. Mereka berdua tertunduk lesu. Mungkin saja majikannya akan memarahi mereka karena tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik."Sampaikan kepada ibuku, tidak usah khawatir! Aku hanya pergi sebentar!"Percuma saja Samantha berusaha untuk dicegah. Gadis itu telah membuat keputusan sehingga sulit rasanya bagi dia untuk dicegah. Sungguh sia-sia saja mencegah Samantha untuk menarik kembali keputusannya.***Kapal Bintang Timur semakin menjauh dari Pelabuhan Singapura. Meninggalkan kapal-kapal berbagai ukuran yang berjejer di dermaga. Meninggalkan pula apa yang telah tersedia di sana. Kemudahan hidup sekaligus kesulitan yang pernah dialami."Nona, mumpung belum jauh ...," James mendekati Samantha yang berdiri di buritan."Kenapa? Anda masih berharap saya membatalkan niat saya, Tuan James?""Perjalanan ini penuh resiko.""Saya tahu, Tuan. Anda tidak usah memberitahu saya akan hal demikian."Samantha berlalu meninggalkan James yang belum rela jika di kapal itu ada penumpang seorang wanita. Semua kru saling lirik. James menggelengkan kepala karena masih sulit menerima karena dia harus mengubah rencana."Oh, Nona. Tampaknya anda sudah siap menjadi seorang pelaut," si Kapten Kapal memuji penampilan baru dari Samantha yang keluar dari lambung kapal.Samantha mengedipkan sebelah matanya."Tuan-tuan, anda jangan lupa jika saya putri seorang pelaut.""Ya ya ya. Jika begitu, bersedia saya rekrut menjadi kru Bintang Timur?""Kenapa tidak.""Oh, baiklah. Mulai petang ini, saya angkat Nona Samantha menjadi anak buah kapal Bintang Timur.""Aha, saya bersedia menerima perintah, Kapten ... Kapten, siapa nama anda?""Muhsin, Panggil saya Kapten Muhsin." Orang yang bertubuh agak gemuk itu memperkenalkan diri sembari memegang kemudi. "Nah, dia si jangkung, Ali. Itu Luqman, Faisal dan Iskandar."Mereka yang disebut namanya memberi salam hormat."Senang bekerja dengan anda, Tuan-tuan."James menggelengkan kepala. Samantha malah semakin banyak bertingkah. Gadis itu naik ke tiang layar. Celana panjang dan kemeja putih yang dikenakannya memudahkan dia untuk bergerak. Samantha memicingkan mata. Memandangi cakrawala yang gelap tanpa semburat cahaya."Kapten, langit di sana gelap!" Samantha berteriak memberitahu Kapten Muhsin."Oh, itu pertanda akan ada badai, Nak. Bersiaplah!""Kenapa Nona, nyalimu ciut?" James meledek Samantha."Hei, jaga ucapan anda, Tuan!"James meledek Samantha karena melihat gadis itu tengah menatap jauh ke depan. Dia berdiri tanpa bicara sedikit pun. Wajahnya memang terlihat cemas ketika memperhatikan awan comulonimbus yang semakin membesar. Sesekali terlihat kilatan cahaya diantara gulungan hitam. Memang cukup membuat khawatir setelah Kapten Muhsin memberitahu jika hal demikian menjadi pertanda akan adanya badai. Kapten Muhsin tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan Samantha dan James. "Kenapa, adakah hal lucu, Tuan?""Tidak ada, Nona. Saya hanya ingat putri saya.""Dia seusia saya?""Justru tidak. Dia masih balita. Tetapi, kelakuannya sama persis seperti Nona.""Maksudmu? Saya seperti anak balita?""Oh, bukan begitu." Si Kapten bersemangat ketika menceritakan putrinya. "Dia senantiasa merajuk ingin ikut melaut denganku."Samantha tertarik mendengar cerita si Kapten yang berdiri di balik kemudi. Meskipun pandangannya jauh ke de
Samantha tahu jika ada perompak di lautan hanya mendengar dari cerita orang-orang. Tentang kekejaman mereka, penampilan mereka atau perlakuan mereka terhadap wanita. Hal-hal buruk selalu disematkan kepada sekelompok orang tak diakui sebagai bagian dari masyarakat. Pikiran gadis itu dihantui hal-hal buruk tersebut. Hal wajar jika ketakutan menggelayuti isi kepala. "Nona, jika mereka mendekat, kau harus segera masuk ke dalam lambung kapal, bersembunyi." Kapten Muhsin memberi arahan."Tuan, saya siap menghadapi ....""Ini perintah. Aku tidak suka dibantah!" Muhsin bicara dengan nada tinggi. "Ini demi keselamatan dirimu.""Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi beban."Ketika mendengar perkataan dari Samantha, James mengemukakan sebuah alasan. "Itulah alasan kenapa aku tidak kau ikut serta ke dalam kapal ini.""Tuan James, keputusan ada di tanganku. Anda jangan mengungkit lagi masalah itu."Para anak buah kapal hanya memperhatikan percakapan mereka bertiga. Empat lelaki itu hanya me
Samantha bisa merasakan hentakan keras.Dia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Rasa penasaran mendorong gadis itu untuk mengetahui kejadian apa di luar sana. Dia pun membuka pintu walaupun hanya membentuk celah. Sekedar untuk memberi keleluasaan pandangan. Dia terkejut kala tahu ada sekomplotan orang tak dikenal melompat ke atas geladak. Memang benar apa yang dikatakan Kapten Muhsin, nampaknya mereka memang perompak. "Serahkan harta kalian!" Menyampaikan maksud tanpa basa-basi, apakah memang demikian cara mereka? Orang yang berteriak tadi sungguh manusia tanpa tata krama."Kalau kami menolak, bagaimana?" suara Kapten Muhsin lebih lantang menjawab.Samantha mulai merasa jika situasi timpang. Jumlah mereka yang menyergap lebih banyak daripada kru kapal Bintang Timur. Samantha merasa serba salah ketika harus terus bersembunyi di sana. Namun, membantah perintah Kapten Muhsin juga bukan hal yang baik. "Jika kalian menolak, maka nyawa kalian akan melayang!"Samantha mendengar suara gad
Kapal Bintang Timur meneruskan perjalanan menyusuri sungai. Samantha tidak tahu nama sungai itu serta hendak menuju ke mana. Hal yang disimpulkan dalam pikirannya, sungai ini begitu sepi. "Perompak tadi membuat kehidupan di sini benar-benar mati." Kapten Muhsin seakan tahu isi pikiran Samantha. "Tidak adakah suku asli atau pendatang yang tertarik ....""Awalnya ada. Tetapi mereka memilih pergi menjauh.""Lalu, anda sekalian ....?""Tuan James memaksa kami untuk mendatangi tempat ini."Percakapan keduanya didengar oleh James. "Hei, aku tidak memaksa kalian. Kalian yang menyanggupinya."Samantha mengerti. Sepertinya James membayar mahal pemilik kapal ini. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berani mendatangi teluk yang jelas-jelas dihuni oleh perompak. "Tuan James, seberapa penting benda yang anda cari, sehingga mengeluarkan begitu banyak biaya?"James tidak langsung menjawab pertanyaan dari Samantha. Laki-laki itu memilih mengeluarkan cerutu dari kotaknya. "Sangat penting, Nona.""Mun
"Tuan, bukankah orang-orang tidak berani menyusuri sungai ini karena takut kepada perompak?" Samantha bertanya kepada Muhsin."Ya. Saya juga berpikir demikian.""Lantas, kenapa ada kapal yang menyusuri sungai saat malam seperti ini?""Pertanyaan bagus," Kapten Muhsin menoleh kepada Samantha. "Ada dua kemungkinan.""Apakah itu?""Dia memang pemberani atau ... dia berhasil lolos dari perompak."Samantha tidak terlalu mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi. Apakah bahaya atau keadaan biasa saja? Gadis itu hanya memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. Satu hal yang dipelajarinya, jika tidak menyepelekan hal-hal sepele menjadi sangat penting."Semuanya bersiap," Kapten Muhsin memberi aba-aba. "Iskandar, ambil senapan!"Ketika mendengar sang kapten bicara demikian, Samantha terheran-heran. Apakah keadaan begitu bahaya sehingga harus menyiapkan senapan. Padahal, hanya melihat cahaya lampu kerlap-kerlip nan jauh di sana. "Ini bagianmu, Nona." Iskandar menyerahk
"Letnan Felix, apa yang ada dalam pikiran anda?" James menggelengkan kepala. "Diaam! Aku tidak membutuhkan komentarmu!" James ingin sekali menertawakan si serdadu berkumis melengkung yang tengah berdiri di tepi geladak. Apa daya, dia hanya menjadi tawanan yang terikat. James hanya mampu tersenyum kecut. "Aku bertanya sekali lagi," Felix sepertinya naik pitam, "di mana Edmund Anderson?""Kami tidak tahu! Gadis itu pun tidak tahu. Justru dia menumpang kapal ini untuk mencari ayahnya." James bersikukuh dengan jawaban yang sama. "Kenapa kau berpikir kami menyembunyikan orang tua itu?""Dia belum terlalu tua.""Terserah. Hal yang pasti, kami datang ke hutan ini bukan untuk menyembunyikan dia.""Bagaimana bisa aku percaya. Sungguh aneh jika gadis itu bersama kalian ... mencari hingga ke tengah hutan?""Kami diterjang badai. Awalnya, dia meminta untuk diantarkan ke pelabuhan Pontianak. Kami setuju untuk singgah di sana. Tapi, badai malah membawa kami ke teluk Perompak."Felix menatap Jame
Samantha kesulitan bernafas ketika harus membenamkan diri dalam rawa. Tidak ada cara lain untuk menghindari kejaran para tentara anak buah Letnan Felix. Hutan di sana terendam air hingga setinggi pinggang. Andaikan gadis itu terus berjalan maka riak air yang ditimbulkan mudah terdengar. Jika harus bersembunyi di balik pohon, terlalu mudah dikenali karena dia mengenakan baju putih yang kontras dengan alam sekitarnya.Cukup lama Samantha terbenam dalam air. Sesekali dia menghirup udara melalui permukaan air. Satu hal yang dia lupakan jika tempat itu merupakan tempat bekantan atau monyet liar berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya. Mata Samantha tidak memperhatikan mereka. Air rawa yang berwarna kehitaman mengharuskan matanya senantiasa terpejam. "Wakkk! Wakkk!"Samantha mulai menyadari jika keberadaannya di sana diketahui oleh monyet-monyet liar. Bulu abu di tubuhnya berdiri menjadi penanda jika segerombolan primata berekor tersebut ketakutan. Gigi makhluk itu tampak putih ketika dip
Samantha terdiam sejenak. Memikirkan hal yang mungkin terjadi selanjutnya. Orang yang ada di depannya masih menodongkan senapan kepada rekannya sendiri. Dua pria berkulit gelap menodongkan senapan kepada pria berkumis tebal. Ditodong oleh senapan memang bukan pengalaman pertama bagi gadis itu. Suatu waktu, dia pernah dibegal di tengah jalan ketika pelesiran ke kota Johor. Waktu itu kegelapan malam menyulitkan dia dan kedua orang tuanya untuk mengenali siapa orang yang berani berbuat jahat. Hal yang dia ingat, merasakan betapa dingin moncong senapan berbahan logam bersentuhan dengan pelipis. Namun, keadaan berbeda dengan saat ini kala tiga pria saling berhadapan dengan senapan di tangan mereka masing-masing. Samantha belum bisa memastikan apakah sebenarnya ada diantara mereka yang memihak kepadanya?"Sebaiknya aku menghindar," Samantha bermaksud menjauh. "Tidak. Kau harus tetap diam di sana!" Lelaki berkumis tebal itu bersikukuh dengan keputusannya."Jangan dengarkan orang ini, Non