Sebulan telah berlalu, namun pencarian belum membuahkan hasil.
"Nona, hari sudah petang, sebaiknya Nona pulang," seseorang mengingatkan Samantha karena dia sudah seharian berada di dermaga."Tidak, Tuan. Saya akan terus menunggu sampai Ayah saya kembali," Samantha menoleh kepada pria yang mengajaknya bicara."Saya mengerti ....""Anda tidak mengerti, Tuan!"Pria itu kaget ketika dibentak oleh seorang gadis remaja."Anda menginginkan saya menyerah?" Samantha bangkit berdiri. "Tentu saja anda senang ketika tahu jika ayah saya menghilang.""Apa maksud, Nona?" Pria itu menatap Samantha dari tempatnya duduk."Karena anda akan naik jabatan."Pria yang diajak bicara tampaknya tidak senang jika Samantha bicara demikian. Wajahnya tampak memerah."Saat ini anda masih menjadi wakil dari Syahbandar Pelabuhan," Samantha mulai menegaskan maksud pembicaraannya, "di kemudian hari anda ingin kan menggantikan ayah saya?"Orang itu pun berdiri dari kursi panjang yang sengaja diletakkan di sana kemudian bicara keras, "jaga mulut anda!"Sontak orang yang sedang lalu-lalang di dermaga memperhatikan percakapan kedua orang itu. Kuli panggul yang tengah memikul karung besar, berhenti sejenak."Hei, kenapa kau melihatku, pergi!" si Wakil Syahbandar tidak senang ketika diperhatikan.Samantha kembali mengarahkan pandangan ke laut lepas. Angin kencang yang berhembus menggoyangkan gaun yang dikenakannya. Topi berpita di kepala pun nyaris lepas karena hembusan angin.Samantha tidak menyadari jika topi itu memang sudah enggan bercokol di kepala. Angin sore itu memang kencang, topi yang dikenakan pun terbang.Samantha tidak terlalu peduli dengan topinya. Dia masih emosi.Namun, mata gadis itu tertuju pada seorang pria bertubuh sedang. Dia laki-laki Eropa satu-satunya diantara kerumunan warga Melayu yang tengah bersiap untuk melepas sauh."Ini, topi milik anda, Nyonya."Samantha menatap lelaki berkulit kemerahan di depannya. Jika dibandingkan dengan si Wakil Syahbandar, kulit orang itu lebih gelap. Walaupun, tidak segelap orang-orang Melayu yang menemaninya."Terima kasih, Tuan ....""James, nama saya James.""Terima kasih, Tuan James. Saya ....""Anda Nona Samantha, kan? Saya tahu siapa anda. Koran menyebutkan nama anda. Kini anda terkenal."Orang yang berada di sisi Samantha nampaknya tidak suka. "Apa maksudmu? Nona Samantha sedang dilanda kemalangan.""Kenapa anda marah, Tuan? Bukankah anda senang ketika Tuan Syahbandar menghilang?""Jaga mulutmu!""Tuan, semua orang di pelabuhan ini ... ah, mungkin semua orang di Singapura tahu isi hatimu ...."Laki-laki berseragam seperti admiral itu pun naik pitam. Dia mendekati James kemudian melayangkan sebuah pukulan.Samantha kaget. Dia hanya bisa berteriak-teriak ketika melihat orang bergumul di depannya.Tubuh James memang tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Eropa. Namun, lebih tinggi dibandingkan rata-rata orang Melayu dan Cina yang menghuni kawasan itu. Terlihat sekali James kewalahan menghadapi si Wakil Syahbandar."Bajingan! Seenaknya saja kau menuduhku sembarangan!""Aku tidak menuduhmu!" seraya menahan pukulan."Seharusnya kau enyah dari tempat ini. Dasar pemburu serangga!"Samantha agak heran dengan umpatan dari si Wakil Syahbandar, 'pemburu serangga'. Batin gadis itu sempat mempertanyakan julukan itu. Memang terdengar aneh dan merendahkan. Bagaimana pun 'pemburu harimau' lebih bergengsi dibandingkan 'pemburu serangga'."Hiaaa!" orang-orang menyoraki perkelahian dua pria kulit putih itu.Samantha tidak habis pikir dengan cara berpikir para lelaki. Ketika ada orang yang berkelahi, malah diteriaki. Bagi mereka, tampaknya ini menjadi hiburan langka di tengah kejenuhan bekerja."Hentikan!"Ketika ada petugas keamanan datang, penonton kecewa. Artinya, belum bisa ditentukan siapa pemenangnya."Ah, tidak seru," ujar seorang pria Cina yang nyaris saja memasang uang taruhan.Petugas keamanan meringkus James. Orang-orang yang semula menyertainya tidak bisa berbuat banyak. Samantha mengerti kenapa petugas keamanan akan menjadikan pria berkemeja putih nan lusuh itu sebagai tersangka, 'padahal dia hanya membela diri', pikir Samantha.James pun memilih menuruti keinginan petugas keamanan untuk membawanya ke Pos Keamanan. Sebuah bangunan kecil yang dibangun tidak jauh dari bibir dermaga.Samantha tidak tahu harus berbuat apa."Nona, tolong Tuan James, dia harus segera berangkat," seseorang menyadarkan apa yang harus dia lakukan.Samantha terdiam."Nona, saya mohon. Kami tidak punya banyak waktu." Mereka yang semula berkerumun, kini mendekati Samantha satu per satu.Mata mereka terkesan memelas. Bahkan ada diantara mereka merunduk, nyaris bersujud untuk memohon."Hei, tidak usah melakukan itu," Samantha memegang bahu orang tersebut.Hal yang membingungkan bagi Samantha. Satu sisi dia tidak ingin turut campur urusan orang lain. Terlebih orang yang baru dikenalnya."Tapi, aku memiliki syarat," Samantha menatap sekumpulan laki-laki Melayu itu."Apa pun itu, karena kami bisa kehilangan pekerjaan jika Tuan James batal berangkat ke Borneo.""Borneo?""Ya, kami hendak ke sana."Samantha menoleh ke arah pos penjagaan. James masih tertahan di sana."Baiklah, aku akan meminta mereka untuk membebaskan laki-laki itu."Samantha datang ke pos pengamanan. Petugas jaga berdiri menyambut Samantha. Orang-orang itu tampaknya menghormati Samantha karena gadis itu putri dari syahbandar. Para pekerja pelabuhan tampaknya tidak bisa melupakan begitu saja jika orang tua Samantha adalah orang nomor satu di tempat itu."Saya menjadi jaminan orang ini. Tolong bebaskan dia."James menoleh kepada Samantha. "Anda tidak perlu repot-repot melakukan ....""Anda jangan berpikir jika ini cuma-cuma."James terheran-heran."Aku ingin ikut bersama kalian.""Hah, Nona. Anda tidak boleh ikut." James memasang wajah kesal."Jika begitu, aku akan meminta para serdadu itu untuk menangkapmu, Tuan." Samantha pun memasang wajah tegas."Berani sekali anda mengancam saya, Nona.""Hei, anak buahmu yang memintaku untuk membebaskanmu." Samantha menjelaskan sebuah alasan.Ketika dikatakan jika para kru kapal itu sebagai 'anak buah' maka mereka serentak menjawab, "kami bukan anak buah, Nona. Kami mitra." seorang pria yang tadi memohon kepada Samantha memberi penjelasan. "Kami bermitra dengan perjanjian kontrak."Samantha menatap pria Melayu bertubuh agak gemuk. Sekarang dia terlihat lebih percaya diri dibandingkan tadi. Mungkin karena dia senang jika sumber uang tidak jadi melayang. "Aku tetap tidak ingin ada wanita ikut dalam pelayaran," James bersikukuh."Kenapa? Anda menganggap saya lemah?""Nona. Rencana kami ke Borneo demi mencari sesuatu ke hutan belantara. Kami tidak berencana singgah di kota.""Anda bisa merubah rencana, Tuan."Samantha menyila
"Kenapa Nona, nyalimu ciut?" James meledek Samantha."Hei, jaga ucapan anda, Tuan!"James meledek Samantha karena melihat gadis itu tengah menatap jauh ke depan. Dia berdiri tanpa bicara sedikit pun. Wajahnya memang terlihat cemas ketika memperhatikan awan comulonimbus yang semakin membesar. Sesekali terlihat kilatan cahaya diantara gulungan hitam. Memang cukup membuat khawatir setelah Kapten Muhsin memberitahu jika hal demikian menjadi pertanda akan adanya badai. Kapten Muhsin tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan Samantha dan James. "Kenapa, adakah hal lucu, Tuan?""Tidak ada, Nona. Saya hanya ingat putri saya.""Dia seusia saya?""Justru tidak. Dia masih balita. Tetapi, kelakuannya sama persis seperti Nona.""Maksudmu? Saya seperti anak balita?""Oh, bukan begitu." Si Kapten bersemangat ketika menceritakan putrinya. "Dia senantiasa merajuk ingin ikut melaut denganku."Samantha tertarik mendengar cerita si Kapten yang berdiri di balik kemudi. Meskipun pandangannya jauh ke de
Samantha tahu jika ada perompak di lautan hanya mendengar dari cerita orang-orang. Tentang kekejaman mereka, penampilan mereka atau perlakuan mereka terhadap wanita. Hal-hal buruk selalu disematkan kepada sekelompok orang tak diakui sebagai bagian dari masyarakat. Pikiran gadis itu dihantui hal-hal buruk tersebut. Hal wajar jika ketakutan menggelayuti isi kepala. "Nona, jika mereka mendekat, kau harus segera masuk ke dalam lambung kapal, bersembunyi." Kapten Muhsin memberi arahan."Tuan, saya siap menghadapi ....""Ini perintah. Aku tidak suka dibantah!" Muhsin bicara dengan nada tinggi. "Ini demi keselamatan dirimu.""Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi beban."Ketika mendengar perkataan dari Samantha, James mengemukakan sebuah alasan. "Itulah alasan kenapa aku tidak kau ikut serta ke dalam kapal ini.""Tuan James, keputusan ada di tanganku. Anda jangan mengungkit lagi masalah itu."Para anak buah kapal hanya memperhatikan percakapan mereka bertiga. Empat lelaki itu hanya me
Samantha bisa merasakan hentakan keras.Dia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Rasa penasaran mendorong gadis itu untuk mengetahui kejadian apa di luar sana. Dia pun membuka pintu walaupun hanya membentuk celah. Sekedar untuk memberi keleluasaan pandangan. Dia terkejut kala tahu ada sekomplotan orang tak dikenal melompat ke atas geladak. Memang benar apa yang dikatakan Kapten Muhsin, nampaknya mereka memang perompak. "Serahkan harta kalian!" Menyampaikan maksud tanpa basa-basi, apakah memang demikian cara mereka? Orang yang berteriak tadi sungguh manusia tanpa tata krama."Kalau kami menolak, bagaimana?" suara Kapten Muhsin lebih lantang menjawab.Samantha mulai merasa jika situasi timpang. Jumlah mereka yang menyergap lebih banyak daripada kru kapal Bintang Timur. Samantha merasa serba salah ketika harus terus bersembunyi di sana. Namun, membantah perintah Kapten Muhsin juga bukan hal yang baik. "Jika kalian menolak, maka nyawa kalian akan melayang!"Samantha mendengar suara gad
Kapal Bintang Timur meneruskan perjalanan menyusuri sungai. Samantha tidak tahu nama sungai itu serta hendak menuju ke mana. Hal yang disimpulkan dalam pikirannya, sungai ini begitu sepi. "Perompak tadi membuat kehidupan di sini benar-benar mati." Kapten Muhsin seakan tahu isi pikiran Samantha. "Tidak adakah suku asli atau pendatang yang tertarik ....""Awalnya ada. Tetapi mereka memilih pergi menjauh.""Lalu, anda sekalian ....?""Tuan James memaksa kami untuk mendatangi tempat ini."Percakapan keduanya didengar oleh James. "Hei, aku tidak memaksa kalian. Kalian yang menyanggupinya."Samantha mengerti. Sepertinya James membayar mahal pemilik kapal ini. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berani mendatangi teluk yang jelas-jelas dihuni oleh perompak. "Tuan James, seberapa penting benda yang anda cari, sehingga mengeluarkan begitu banyak biaya?"James tidak langsung menjawab pertanyaan dari Samantha. Laki-laki itu memilih mengeluarkan cerutu dari kotaknya. "Sangat penting, Nona.""Mun
"Tuan, bukankah orang-orang tidak berani menyusuri sungai ini karena takut kepada perompak?" Samantha bertanya kepada Muhsin."Ya. Saya juga berpikir demikian.""Lantas, kenapa ada kapal yang menyusuri sungai saat malam seperti ini?""Pertanyaan bagus," Kapten Muhsin menoleh kepada Samantha. "Ada dua kemungkinan.""Apakah itu?""Dia memang pemberani atau ... dia berhasil lolos dari perompak."Samantha tidak terlalu mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi. Apakah bahaya atau keadaan biasa saja? Gadis itu hanya memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. Satu hal yang dipelajarinya, jika tidak menyepelekan hal-hal sepele menjadi sangat penting."Semuanya bersiap," Kapten Muhsin memberi aba-aba. "Iskandar, ambil senapan!"Ketika mendengar sang kapten bicara demikian, Samantha terheran-heran. Apakah keadaan begitu bahaya sehingga harus menyiapkan senapan. Padahal, hanya melihat cahaya lampu kerlap-kerlip nan jauh di sana. "Ini bagianmu, Nona." Iskandar menyerahk
"Letnan Felix, apa yang ada dalam pikiran anda?" James menggelengkan kepala. "Diaam! Aku tidak membutuhkan komentarmu!" James ingin sekali menertawakan si serdadu berkumis melengkung yang tengah berdiri di tepi geladak. Apa daya, dia hanya menjadi tawanan yang terikat. James hanya mampu tersenyum kecut. "Aku bertanya sekali lagi," Felix sepertinya naik pitam, "di mana Edmund Anderson?""Kami tidak tahu! Gadis itu pun tidak tahu. Justru dia menumpang kapal ini untuk mencari ayahnya." James bersikukuh dengan jawaban yang sama. "Kenapa kau berpikir kami menyembunyikan orang tua itu?""Dia belum terlalu tua.""Terserah. Hal yang pasti, kami datang ke hutan ini bukan untuk menyembunyikan dia.""Bagaimana bisa aku percaya. Sungguh aneh jika gadis itu bersama kalian ... mencari hingga ke tengah hutan?""Kami diterjang badai. Awalnya, dia meminta untuk diantarkan ke pelabuhan Pontianak. Kami setuju untuk singgah di sana. Tapi, badai malah membawa kami ke teluk Perompak."Felix menatap Jame
Samantha kesulitan bernafas ketika harus membenamkan diri dalam rawa. Tidak ada cara lain untuk menghindari kejaran para tentara anak buah Letnan Felix. Hutan di sana terendam air hingga setinggi pinggang. Andaikan gadis itu terus berjalan maka riak air yang ditimbulkan mudah terdengar. Jika harus bersembunyi di balik pohon, terlalu mudah dikenali karena dia mengenakan baju putih yang kontras dengan alam sekitarnya.Cukup lama Samantha terbenam dalam air. Sesekali dia menghirup udara melalui permukaan air. Satu hal yang dia lupakan jika tempat itu merupakan tempat bekantan atau monyet liar berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya. Mata Samantha tidak memperhatikan mereka. Air rawa yang berwarna kehitaman mengharuskan matanya senantiasa terpejam. "Wakkk! Wakkk!"Samantha mulai menyadari jika keberadaannya di sana diketahui oleh monyet-monyet liar. Bulu abu di tubuhnya berdiri menjadi penanda jika segerombolan primata berekor tersebut ketakutan. Gigi makhluk itu tampak putih ketika dip