Singapura, 1860.
Samantha terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik. Lilin yang menyala di atas meja sudah habis separuhnya, hampir habis, menandakan jika waktu menunjukkan dini hari. Cahaya redup lilin itu menjadi satu-satunya sumber cahaya. Dia meraih tempat lilin berbahan logam. Memegang dasarnya kemudian mengarahkan cahaya lilin ke arah pintu. Membuka pintu itu hingga tampak ruang tengah yang agak gelap."Ibu! Ayah!" Samantha bicara sedikit keras, "oh, kenapa berantakan?"Cahaya lilin perlahan memperlihatkan suasana ruang tengah yang berbeda ketika sebelumnya terlihat. Gadis bergaun putih itu bisa melihat, betapa ruang tengah menjadi tempat yang tidak sedap dipandang. "Ayah! Ibu! Kenapa rumah menjadi berantakan?!"Teriakan dari Samantha tidak mendapatkan tanggapan. Tentu saja rasa heran ketika mendapati rumah berantakan berubah menjadi rasa takut. Samantha berhenti melangkah. Tubuhnya berputar. Lilin yang dipegang tangan kanan diarahkan ke jam lemari di sudut ruangan. Jarum pendek menunjukkan angka mendekati 3. Jarum panjang menunjukkan angka 6."Aaahhh!" Samantha refleks berteriak ketika melihat bercak darah di kaca jam lemari.Kaca jam itu pecah. Mungkin sesuatu telah dibenturkan ke sana. Atau, seseorang yang terbentur hingga membuat kaca pecah. Samantha belum bisa memastikan.Tanpa terencana, mata gadis berambut pirang itu tertuju ke pintu kamar orang tuanya. Pintu itu sudah terbuka setengahnya. Di sana gelap, tak ada lilin yang menyala. "Ayah! Ibu!" Samantha berlari ke kamar nan gelap itu. Menjadikan pintu terbuka lebar.Cahaya lilin bisa memberi jawaban kenapa tidak ada orang menyahut ketika Samantha berteriak. Tempat lilin diletakkan di lantai. Samantha pun berjongkok karena menyaksikan seseorang yang terbaring di lantai. Tepat di tepi bawah ranjang."Ibu!"Bukan terbaring, Samantha bisa memastikan jika ibunya meringkuk."Ibu kenapa? Kenapa tangan dan kaki Ibu diikat? Siapa yang melakukan ini?"Tentu sang ibu tidak bisa menjawab karena mulutnya diikat seutas kain. Samantha pun tergerak untuk melepaskan belenggu."Aahh!" wanita gemuk itu menghirup nafas dalam-dalam, "ayahmu ... ayahmu ....""Kenapa dengan ayah?""Diculik ... ayahmu diculik."Samantha bertambah terkejut."Mereka membawa ayahmu, entah ke mana.""Ibu tahu siapa mereka?"Sang Ibu menggelengkan kepala."Ibu melihat wajah mereka?""Tidak." Si Nyonya menghela nafas lagi. "Wajah mereka ditutup kain serba hitam.""Arghh, ke mana para petugas keamanan?Apakah mereka tidur?! Bagaimana bisa ada perampok masuk!""Tidak, mereka bukan perampok."Samantha mengerutkan dahi."Terang-terangan mereka hanya menculik ayahmu. Perhiasan milik Ibu di lemari pun tidak mereka ambil. Bahkan, uang di peti, di bawah ranjang, tidak mereka bawa.""Mereka tidak membutuhkan uang?""Sepertinya begitu.""Lalu, apa yang mereka inginkan dari Ayah?""Entahlah. Ibu tidak tahu. Mereka tidak bicara sepatah kata pun.""Mungkin karena suara mereka tidak ingin dikenali."Si wanita berbadan subur menganggukkan kepala.Samantha pun kembali meraih tempat lilin. Dia bangkit berdiri. "Ibu jangan ke mana-mana.""Sayang, kau mau ke mana? Jangan ke mana-mana, bahaya."Samantha tidak menggubris perkataan ibunya. Dia berbalik badan kemudian melangkah keluar kamar."Samantha, Samantha! Jangan! Kau jangan pergi!"Samantha enggan membuat ibunya khawatir. Tetapi, dia pun tidak mau jika nyawa sang ayah dipertaruhkan begitu saja. Dia harus memastikan keadaan rumahnya. Sungguh aneh jika ada orang masuk ke dalam rumah padahal penjagaan begitu ketat.Gadis bergaun putih itu meraih senapan yang tergantung di dinding. Mengalungkan talinya ke pundak."Samantha! Jangan!" suara sang ibu terdengar parau demi melarang putri satu-satunya untuk bertindak sendirian.Samantha tidak menoleh ke arah kamar sang ibu. Dia memilih mengarahkan senapan dengan tangan kanan. Lilin dipegang oleh tangan kiri sebagai penerangan."Sialan, ternyata pintu sudah terbuka," batin Samantha geram.Ketika dia keluar rumah, ternyata para petugas jaga sudah bergeletakkan di selasar. Darah membasahi lantai. Kaki kecil gadis remaja itu bersentuhan dengan cairan lengket. Ketika cahaya lilin didekatkan, ternyata darah mengenai kakinya."Dasar orang-orang tak berguna," dia bicara sendiri. Kesal kepada orang-orang berseragam dan bersenapan namun tidak sanggup mengamankan rumah. "Padahal kalian sudah dibayar mahal.""Maaf, Nona." Ternyata ada orang yang menyahut."Kau masih hidup?""Mereka membawa Tuan ....""Ke mana?""Ah, saya tidak tahu. Mereka berkuda ke arah selatan.""Selatan?"Samantha berlari ke tepian jalan raya. Jejak langkah kaki kuda memang mengarah ke arah selatan. Menyusuri jalan raya yang menghubungkan rumah besar itu dengan pusat kota. Namun, dini hari sebagaimana saat itu jalanan masih sepi. Tidak ada orang yang bisa ditanyai.Udara agak dingin. Angin yang berhembus dari laut lepas membawa serta suhu dingin karena pergantian musim. Kulit Samantha merasakan itu. Tetapi, dia tidak peduli.Dia melihat seseorang yang tengah berjalan sempoyongan. Orang itu sepertinya mabuk. Dia jauh dari tempat Samantha berdiri tetapi gerak tubuhnya mudah dikenali karena orang itu berjalan tepat di bawah lampu jalan.Samantha pun berlari ke arah orang yang dimaksud."Hei, Nona cantik ....""Paman, apakah Paman melihat orang, segerombolan orang lewat sini.""Ahh, tidak." Orang itu masih bisa diajak bicara."Mereka berkuda.""Kuda?" Laki-laki berbaju changsan itu menatap Samantha. "Kuda, kuda-kuda berlari ke arah sana!" seraya menunjuk ujung jalan.Samantha pun berlari ke arah yang dimaksud.Namun, dia berhenti berlari. Ada alasan baginya untuk melakukan hal itu.Dari arah berlawanan, datang dua pria berkuda. Mereka membawa lentera di tangan. Jika dilihat dari pakaiannya, Samantha bisa menerka dua orang itu serdadu yang tengah berpatroli."Nona, Nona hendak pergi ke mana?""Sebaiknya, Nona pulang," kawannya menambahkan.Samantha menatap orang itu agak lama."Ada apa? Sesuatu terjadi?""Ya. Ada orang yang menyatroni rumahku.""Benarkah?""Ayahku diculik."Kedua orang itu saling pandang."Tuan Syahbandar Pelabuhan?"Samantha tidak heran kenapa mereka berdua mengenal dirinya. Bagaimana pun wajah Samantha dikenali banyak pemuda karena gadis itu lahir dari kalangan terpandang. Pejabat penting seperti ayah Samantha senantiasa menjadi pusat perhatian warga kota. Terlebih, petugas keamanan seperti dua pria itu memang diharuskan mengenali orang-orang penting yang harus dilindungi."Aku ingin mencari ayahku.""Jangan, Nona.""Tidak, aku ingin mereka ....""Bagaimana dengan ibu anda?"Samantha teringat ibunya.Sebulan telah berlalu, namun pencarian belum membuahkan hasil."Nona, hari sudah petang, sebaiknya Nona pulang," seseorang mengingatkan Samantha karena dia sudah seharian berada di dermaga. "Tidak, Tuan. Saya akan terus menunggu sampai Ayah saya kembali," Samantha menoleh kepada pria yang mengajaknya bicara. "Saya mengerti ....""Anda tidak mengerti, Tuan!"Pria itu kaget ketika dibentak oleh seorang gadis remaja. "Anda menginginkan saya menyerah?" Samantha bangkit berdiri. "Tentu saja anda senang ketika tahu jika ayah saya menghilang.""Apa maksud, Nona?" Pria itu menatap Samantha dari tempatnya duduk. "Karena anda akan naik jabatan."Pria yang diajak bicara tampaknya tidak senang jika Samantha bicara demikian. Wajahnya tampak memerah."Saat ini anda masih menjadi wakil dari Syahbandar Pelabuhan," Samantha mulai menegaskan maksud pembicaraannya, "di kemudian hari anda ingin kan menggantikan ayah saya?"Orang itu pun berdiri dari kursi panjang yang sengaja diletakkan di sana kemud
"Hah, Nona. Anda tidak boleh ikut." James memasang wajah kesal."Jika begitu, aku akan meminta para serdadu itu untuk menangkapmu, Tuan." Samantha pun memasang wajah tegas."Berani sekali anda mengancam saya, Nona.""Hei, anak buahmu yang memintaku untuk membebaskanmu." Samantha menjelaskan sebuah alasan.Ketika dikatakan jika para kru kapal itu sebagai 'anak buah' maka mereka serentak menjawab, "kami bukan anak buah, Nona. Kami mitra." seorang pria yang tadi memohon kepada Samantha memberi penjelasan. "Kami bermitra dengan perjanjian kontrak."Samantha menatap pria Melayu bertubuh agak gemuk. Sekarang dia terlihat lebih percaya diri dibandingkan tadi. Mungkin karena dia senang jika sumber uang tidak jadi melayang. "Aku tetap tidak ingin ada wanita ikut dalam pelayaran," James bersikukuh."Kenapa? Anda menganggap saya lemah?""Nona. Rencana kami ke Borneo demi mencari sesuatu ke hutan belantara. Kami tidak berencana singgah di kota.""Anda bisa merubah rencana, Tuan."Samantha menyila
"Kenapa Nona, nyalimu ciut?" James meledek Samantha."Hei, jaga ucapan anda, Tuan!"James meledek Samantha karena melihat gadis itu tengah menatap jauh ke depan. Dia berdiri tanpa bicara sedikit pun. Wajahnya memang terlihat cemas ketika memperhatikan awan comulonimbus yang semakin membesar. Sesekali terlihat kilatan cahaya diantara gulungan hitam. Memang cukup membuat khawatir setelah Kapten Muhsin memberitahu jika hal demikian menjadi pertanda akan adanya badai. Kapten Muhsin tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan Samantha dan James. "Kenapa, adakah hal lucu, Tuan?""Tidak ada, Nona. Saya hanya ingat putri saya.""Dia seusia saya?""Justru tidak. Dia masih balita. Tetapi, kelakuannya sama persis seperti Nona.""Maksudmu? Saya seperti anak balita?""Oh, bukan begitu." Si Kapten bersemangat ketika menceritakan putrinya. "Dia senantiasa merajuk ingin ikut melaut denganku."Samantha tertarik mendengar cerita si Kapten yang berdiri di balik kemudi. Meskipun pandangannya jauh ke de
Samantha tahu jika ada perompak di lautan hanya mendengar dari cerita orang-orang. Tentang kekejaman mereka, penampilan mereka atau perlakuan mereka terhadap wanita. Hal-hal buruk selalu disematkan kepada sekelompok orang tak diakui sebagai bagian dari masyarakat. Pikiran gadis itu dihantui hal-hal buruk tersebut. Hal wajar jika ketakutan menggelayuti isi kepala. "Nona, jika mereka mendekat, kau harus segera masuk ke dalam lambung kapal, bersembunyi." Kapten Muhsin memberi arahan."Tuan, saya siap menghadapi ....""Ini perintah. Aku tidak suka dibantah!" Muhsin bicara dengan nada tinggi. "Ini demi keselamatan dirimu.""Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi beban."Ketika mendengar perkataan dari Samantha, James mengemukakan sebuah alasan. "Itulah alasan kenapa aku tidak kau ikut serta ke dalam kapal ini.""Tuan James, keputusan ada di tanganku. Anda jangan mengungkit lagi masalah itu."Para anak buah kapal hanya memperhatikan percakapan mereka bertiga. Empat lelaki itu hanya me
Samantha bisa merasakan hentakan keras.Dia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Rasa penasaran mendorong gadis itu untuk mengetahui kejadian apa di luar sana. Dia pun membuka pintu walaupun hanya membentuk celah. Sekedar untuk memberi keleluasaan pandangan. Dia terkejut kala tahu ada sekomplotan orang tak dikenal melompat ke atas geladak. Memang benar apa yang dikatakan Kapten Muhsin, nampaknya mereka memang perompak. "Serahkan harta kalian!" Menyampaikan maksud tanpa basa-basi, apakah memang demikian cara mereka? Orang yang berteriak tadi sungguh manusia tanpa tata krama."Kalau kami menolak, bagaimana?" suara Kapten Muhsin lebih lantang menjawab.Samantha mulai merasa jika situasi timpang. Jumlah mereka yang menyergap lebih banyak daripada kru kapal Bintang Timur. Samantha merasa serba salah ketika harus terus bersembunyi di sana. Namun, membantah perintah Kapten Muhsin juga bukan hal yang baik. "Jika kalian menolak, maka nyawa kalian akan melayang!"Samantha mendengar suara gad
Kapal Bintang Timur meneruskan perjalanan menyusuri sungai. Samantha tidak tahu nama sungai itu serta hendak menuju ke mana. Hal yang disimpulkan dalam pikirannya, sungai ini begitu sepi. "Perompak tadi membuat kehidupan di sini benar-benar mati." Kapten Muhsin seakan tahu isi pikiran Samantha. "Tidak adakah suku asli atau pendatang yang tertarik ....""Awalnya ada. Tetapi mereka memilih pergi menjauh.""Lalu, anda sekalian ....?""Tuan James memaksa kami untuk mendatangi tempat ini."Percakapan keduanya didengar oleh James. "Hei, aku tidak memaksa kalian. Kalian yang menyanggupinya."Samantha mengerti. Sepertinya James membayar mahal pemilik kapal ini. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berani mendatangi teluk yang jelas-jelas dihuni oleh perompak. "Tuan James, seberapa penting benda yang anda cari, sehingga mengeluarkan begitu banyak biaya?"James tidak langsung menjawab pertanyaan dari Samantha. Laki-laki itu memilih mengeluarkan cerutu dari kotaknya. "Sangat penting, Nona.""Mun
"Tuan, bukankah orang-orang tidak berani menyusuri sungai ini karena takut kepada perompak?" Samantha bertanya kepada Muhsin."Ya. Saya juga berpikir demikian.""Lantas, kenapa ada kapal yang menyusuri sungai saat malam seperti ini?""Pertanyaan bagus," Kapten Muhsin menoleh kepada Samantha. "Ada dua kemungkinan.""Apakah itu?""Dia memang pemberani atau ... dia berhasil lolos dari perompak."Samantha tidak terlalu mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi. Apakah bahaya atau keadaan biasa saja? Gadis itu hanya memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. Satu hal yang dipelajarinya, jika tidak menyepelekan hal-hal sepele menjadi sangat penting."Semuanya bersiap," Kapten Muhsin memberi aba-aba. "Iskandar, ambil senapan!"Ketika mendengar sang kapten bicara demikian, Samantha terheran-heran. Apakah keadaan begitu bahaya sehingga harus menyiapkan senapan. Padahal, hanya melihat cahaya lampu kerlap-kerlip nan jauh di sana. "Ini bagianmu, Nona." Iskandar menyerahk
"Letnan Felix, apa yang ada dalam pikiran anda?" James menggelengkan kepala. "Diaam! Aku tidak membutuhkan komentarmu!" James ingin sekali menertawakan si serdadu berkumis melengkung yang tengah berdiri di tepi geladak. Apa daya, dia hanya menjadi tawanan yang terikat. James hanya mampu tersenyum kecut. "Aku bertanya sekali lagi," Felix sepertinya naik pitam, "di mana Edmund Anderson?""Kami tidak tahu! Gadis itu pun tidak tahu. Justru dia menumpang kapal ini untuk mencari ayahnya." James bersikukuh dengan jawaban yang sama. "Kenapa kau berpikir kami menyembunyikan orang tua itu?""Dia belum terlalu tua.""Terserah. Hal yang pasti, kami datang ke hutan ini bukan untuk menyembunyikan dia.""Bagaimana bisa aku percaya. Sungguh aneh jika gadis itu bersama kalian ... mencari hingga ke tengah hutan?""Kami diterjang badai. Awalnya, dia meminta untuk diantarkan ke pelabuhan Pontianak. Kami setuju untuk singgah di sana. Tapi, badai malah membawa kami ke teluk Perompak."Felix menatap Jame