"Bu, Ayah sebenarnya punya nazar yang ingin ditunaikan," ucap Pak Burhan di pagi hari yang cerah.Ia sedang duduk santai di meja makan sembari menunggu teh. Istrinya sedang sibuk membuat teh manis kesukaannya. "Wah, nadzar apa, Yah? Kalau untuk kebaikan, nazar yang mendekatkan diri pada Allah tentu Ibu setuju." Bu Fatimah tersenyum. Tangannya mengaduk teh manis untuk sang suami. Rutinitas pagi yang selalu dilakukannya untuk lelaki yang sudah berusia kepala lima itu. Ia selalu mendukung segala hal baik yang dilakukan suaminya. Terlebih hal itu semakin mendekatkan suaminya pada Sang Pencipta. "Tentu, ini adalah sebuah kebaikan yang harus disegerakan. Ayah ingin membantu seseorang." Pak Burhan berkata dengan sumringah. "Memang Ayah nazar apa?" tanya Bu Fatimah sembari meletakan cangkir teh pada piring kecil untuk diserahkan pada suaminya. "Nazar jika Ayah sukses dan mapan akan berpoligami seperti sunnah Rasulullah. Gimana ? Baik kan?!" Pak Burhan berkata dengan begitu entengnya. P
Melihat itu, Farid langsung menahan tangan ayahnya. Bagaimanapun ia tak ingin wanita di rumah itu disakiti. "Dasar anak durhaka!" pekik Pak Farid sembari berontak dari cengkraman tangan anak pertamanya. "Astaghfirullah, Yah, istighfar! Fitri anak kita." Bu Fatimah berusaha mengingatkan suaminya yang hampir kalap dan menampar anak perempuannya. Bahkan sampai mengatakan Fitri anak durhaka."Anak kamu ini, disekolahin tinggi-tinggi malah kurang ajar sama orang tua!" Pak Burhan menatap Fitri nyalang. Fitri sekarang sedang menempuh kuliah, baru semester dua. Perjalanan hidupnya masih sangat panjang. Tapi, sudah dirumitkan dengan masalah seperti ini. "Sudahlah, bagaimanapun tanggapan kalian! Ayah akan tetap menikah lagi, karena itu nadzar Ayah!" Pak Burhan berdiri dengan amarah tergambar jelas di wajahnya. "Nadzar apa nafsu?!" ejek Fitri yang masih tak mau kalah.Pak Burhan melotot, anak bungsunya ini sangat kurang ajar. Padahal biasanya ia sangat manis, meski memang wataknya keras kep
Bang Karmin kemudian lanjut menuju meja prasmanan. Ada banyak makanan yang kelihatan enak di sana. Sepertinya hasil rewang keluarga Bu Melvi atau mungkin catering. Setelah itu, barulah Fitri naik dengan drama menyedihkan. Ia sudah meneteskan obat mata ke kedua matanya. Ia sengaja menahan kedip agar nanti bisa menangis pura-pura. Melihat Fitri naik, Pak Burhan dan Bu Melvi saling lirik. Tapi, tak mungkin mereka mengusirnya tanpa alasan. "Ayah ... !" panggil Fitri setengah berteriak sembari langsung memeluk Pak Burhan. "Fitri, ngapain kamu disini?" bisik Pak Burhan sembari berusaha mengurai pelukan anaknya. "Memangnya Fitri gak boleh, ya, menghadiri pesta Ayah?" tanya Fitri dengan wajah menyedihkan dan suara keras, sontak semua tamu melirik ke pelaminan.Pak Burhan menarik nafas panjang, ia kesal bukan main. "Kamu cepat pulang saja, ngapain juga ke sini? Jangan-jangan disuruh ibumu ya?" tuduhnya tanpa pikir panjang. Orkes dangdut yang ditampilkan seakan tak menarik lagi ketika men
Sementara itu, Fitri dan Bang Karmin cekikikan. Mereka senang melihat para tamu berhamburan keluar pesta dengan umpatan-umpatan pedas dan wajah marah."Udah, Neng. Kita pulang ya?" tanya Bang Karmin setelah semua tamu di pesta pulang. "Iya, Bang!" jawab Fitri sumringah. Meskipun sempat sedih, tapi sekarang ia senang. Rencananya berhasil dan berjalan mulus. 'Ini baru awal, kita buat permainan selanjutnya, hingga kau menyesal menyakiti hati ibuku!' gumam Fitri dalam hati. Tekadnya sudah bulat. Jika bukan dirinya siapa lagi yang berani membalaskan sakit hati ibunya. Karma tidak harus selalu datang mandiri, bisa juga diundang. Bang Karmin kemudian melajukan motornya ke arah jalan pulang. Ia mengendarai dengan kecepatan sedang. "Bang, berhentinya di pangkalan ojek aja ya," ujar Fitri saat hampir sampai pangkalan ojek."Enggak sekalian sampai rumah aja, Neng?" tanya Bang Karmin heran."Gak usah, Bang!" cegah Fitri sedikit keras. Ia takut ketahuan ibunya kalau kabur dari rumah. Walaupu
"Ya sudah, kalau gak mau dibandingkan, ambil makanan. Cepat!" titah Pak Burhan dengan emosi. Ditambah dengan perutnya yang keroncongan. "Iya, iya!" Bu Melvi akhirnya menurut dengan berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya seperti anak kecil."Kenapa kamu? Masih pengantin baru udah cemberut aja!" Bu Tuti bertanya dengan wajah ketus."Tahu tuh, punya suami baru satu hari udah nyusahin!" ketus Bu Melvi pada ibunya. "Layani suami itu yang bener. Biar kalau dia senang, duitnya gak akan kemana," ujar Bu Tuti dengan santainya. Bu Melvi berdecih kesal dan langsung menuju ke dapur mengambil makanan. Ia menambahkan lauk sisa prasmanan yang masih menumpuk. Malas membuat lauk baru. "Melvi, itu lauk mau digimanain? Masih numpuk gitu!" tanya Bu Tuti saat anaknya hendak kembali ke kamarnya. "Bagi-bagi tetangga ajalah, Bu! Ribet banget. Biasanya kan makanan sisa prasmanan emang dibagiin." Bu Melvi kemudian masuk ke dalam kamar setelah menjawab. Sementara para saudara yang melihat kelakuan i
Matahari sudah mulai meninggi. Burung berkicau sejak pagi. Bu Melvi bangun lebih dulu dari Pak Burhan, yaitu pukul tujuh pagi."Ah, senangnya bisa bangun jam segini, biasanya sibuk bikin nasi kuning!" ujar Bu Melvi saat bangun tidur. Sebelum menikah dengan Pak Burhan dirinya memang berjualan nasi kuning. Masakannya enak dan cukup terkenal di kampung itu. Sehingga punya banyak pelanggan terutama bapak-bapak. "Mas, Mas!" Bu Melvi membangunkan Pak Burhan, tangannya mengguncang tubuh suaminya dengan kasar. "Ada apa, Dek? Masih pagi ini!" Pak Burhan masih sangat mengantuk. Efek semalam uring-uringan sebelum tidur hingga tengah malam. "Minta uang belanja dong, Mas. Aku mau ke warung cari sayuran buat makan," pinta Bu Melvi dengan suara yang dibuat-buat dan menggelayut manja di lengan suaminya.Melihat istrinya bersikap manja, Pak Burhan beranjak menuju ke belakang pintu. Ada celana panjangnya yang digantung di sana. Ia pun mengambil dompet kesayangannya yang cukup tebal. "Ini, cukup?"
Menjelang siang, Bu Melvi dan Pak Burhan kembali ke rumah Bu Melvi. Lokasinya tak jauh dari grosir Pak Burhan. Sehingga dulu mereka sering bertemu. Baru saja masuk ke ruang tamu, mereka menemukan sebuah kertas. Tulisannya 'Aku pulang ke rumah bapak, Bu.' "Tuh, kan. Kubilang apa, dia pasti milih balik ke rumah bapaknya," gerutu Bu Melvi. Ia heran sendiri, anak perempuan satu-satunya seperti tidak pernah betah bersamanya. Padahal mantan suaminya pun tidak kaya, tapi anak itu selalu betah di sana. "Dek, kita kan sudah berduaan nih. Gimana kalau ... belah duren," ucap Pak Burhan sembari mengedipkan sebelah matanya.Ia benar-benar tak sabar untuk segera melakukan itu. Lagipula apalagi tujuannya menikah kalau bukan untuk menikmati kemolekan istri barunya yang masih fresh. Bu Melvi menghembuskan napas berat. Dirinya malah malas melakukannya. Tapi, mau tak mau sebagai istri kedua ia harus bisa memuaskan Pak Burhan. "Masih sing loh, Mas. Lihat tuh, matahari masih di atas." Tunjuk Bu Melv
Setelah seminggu di rumah Bu Melvi, Pak Burhan pulang ke rumah Bu Fatimah. Sepanjang perjalanan ia berdendang ria. "Oh, senangnya dalam hati kalau beristri dua ... nanana ...." Suara agak keras dengan senyum mengembang. Beberapa orang menatapnya sembari menggeleng. Ikut miris dengan kehidupan rumah tangganya. Padahal jika dilihat tak ada yang kurang dari Bu Fatimah. Tapi, tetap saja diduakan. Pak Burhan yang sedang bahagia tak memedulikan tatapan para warga. Saat ini terpenting ia bahagia. "Spada ... siang ... ada orang di rumah?" ujar Pak Burhan saat memasuki rumah dengan setengah berteriak."Yah, baru pulang. Kok, gak baca salam yang assalamualaikum?" sambut Bu Fatimah sambil mencium punggung tangan suaminya. Bibirnya tetap tersenyum menyambut sang suami. Meskipun sebenarnya di setiap malamnya kini ia menangis. Dirinya bukan malaikat, melainkan hanya manusia biasa yang memiliki perasaan."Iya dong. Pengantin baru. Kamu juga kan pernah dulu berduaan sama aku. Jadi, gak usah siri
31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn
Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di
Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k
"Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de
Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.
"Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j
Flash back.Waktu mondok."Dek Fatimah, aku mencintaimu," ucap Rahmat yang sedang piket di dapur umum belakang rumah salah satu dewan pondok.Kebetulan Fatimah sedang piket beberes di rumah dewan tersebut. Sementara Rahmat sedang piket masak nasi untuk santri. "Kalau benar, datang ke orang tuaku. Karena ... aku tak berniat pacaran," ujar Bu Fatimah kala itu."Baik, tunggu aku, nanti aku akan langsung bertemu orang tuamu!" Rahmat kemudian pergi melanjutkan masak di dapur umum tersebut.Rahmat adalah sosok santri sederhana dan mau bekerja keras. Disela kegiatan mengaji ia juga menjadi seksi usaha pondok, yang memajukan usaha koperasi di tempatnya menimba ilmu.Seminggu setelah kejadian itu, Rahmat pulang ke kampungnya karena ayahnya meninggal. Kemudian, ia tak kembali lagi ke pondok.Hati Fatimah sebenarnya telah dicuri Rahmat sejak lama. Bahkan sebelum kejadian itu. Merasakan rindu dan sakit dengan perginya pencuri hati.'Kemana kamu, Mas Rahmat. Andai saja aku bisa memilih, lebih bai
Fitri sedang menyuapi Bu Fatimah makan siang. Keadaan Bu Fatimah sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja ia yang memaksa untuk menyuapi. Alasannya kalau dirinya sakit, ibunya juga selalu perhatian dan menyuapinya makan."Ibu harus makan yang banyak. Biar cepat sembuh," ucap Fitri disela-sela menyuapi makan ibunya. Bu Fatimah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan putrinya. Walaupun ia diberi ujian suami yang selingkuh, untungnya anak-anaknya sangatlah baik. "Makasih ya, Fit," ucap Bu Fatimah setelah selesai makan. Suaranya masih terdengar lesu karena masih sakit. "Sama-sama, Bu," jawab Fitri dengan senyum manis. Farid telah berangkat ke toko sejak pagi tadi. Sementara Qintan masih ada di rumah Bu Fatimah untuk menjaganya dikala Fitri kuliah."Bu, boleh aku tanya?" tanya Fitri ragu."Tentu, kalau bisa akan Ibu jawab," jawab Bu Fatimah yang juga penasaran dengan pertanyaan putrinya. "Soal surat-surat berharga Ibu, gimana? Dengar-dengar Ayah menggadaikan tanah di desa sebelah ke
"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B