Home / Pernikahan / Nazar Poligami / Malam Pertama Gagal

Share

Malam Pertama Gagal

Author: Annisa DM
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ya sudah, kalau gak mau dibandingkan, ambil makanan. Cepat!" titah Pak Burhan dengan emosi. Ditambah dengan perutnya yang keroncongan.

"Iya, iya!" Bu Melvi akhirnya menurut dengan berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya seperti anak kecil.

"Kenapa kamu? Masih pengantin baru udah cemberut aja!" Bu Tuti bertanya dengan wajah ketus.

"Tahu tuh, punya suami baru satu hari udah nyusahin!" ketus Bu Melvi pada ibunya.

"Layani suami itu yang bener. Biar kalau dia senang, duitnya gak akan kemana," ujar Bu Tuti dengan santainya.

Bu Melvi berdecih kesal dan langsung menuju ke dapur mengambil makanan. Ia menambahkan lauk sisa prasmanan yang masih menumpuk. Malas membuat lauk baru.

"Melvi, itu lauk mau digimanain? Masih numpuk gitu!" tanya Bu Tuti saat anaknya hendak kembali ke kamarnya.

"Bagi-bagi tetangga ajalah, Bu! Ribet banget. Biasanya kan makanan sisa prasmanan emang dibagiin." Bu Melvi kemudian masuk ke dalam kamar setelah menjawab.

Sementara para saudara yang melihat kelakuan ibu dan anak itu hanya geleng-geleng kepala.

"Ibu sama anak kelakuannya sama, sebelas dua belas!" bisik salah satu saudara yang dibenarkan saudara lainnya.

Bu Melvi tak mempedulikan bisikan itu. Ia melanjutkan langkahnya menuju ke kamar.

"Nih, makanannya!" ucap Bu Melvi ketus saat menyodorkan sepiring makanan pada Pak Burhan.

"Loh, kok, lauk sisa prasmanan sih, Dek? Kan, tadi ada kecoanya!" protes Pak Burhan.

"Makan aja yang ada! Daripada kelaparan di sini," jawab Bu Melvi santai sambil kembali berbaring di kasur.

Pak Burhan akhirnya menerima piring itu dengan sangat terpaksa. Cacing-cacing sudah berdemo di perutnya. Mau tak mau ia siapkan juga makanan itu ke mulut.

Baru satu suap, kerongkongannya serasa menolak makanan itu masuk. Berkali-kali ia coba menahan untuk tidak muntah. Tapi, membayangkan kecoa, tikus, dan binatang menjijikan lainnya membuatnya semakin mual.

Pak Burhan berlari keluar kamar. Ia menuju ke kamar mandi dan memuntahkan cairan putih kekuningan. Karena sedari pagi belum makan apapun.

"Nasib ... nasib." Pak Burhan bergidik ngeri membayangkan tumpukan makanan menjijikan itu.

"Loh, Pak Burhan kok muntah-muntah?" tanya Bu Tuti yang notabene sekarang jadi mertuanya.

"Iya, saya jijik Bu makan makanan sisa prasmanan," jawab Pak Burhan dengan lemas.

"Owalah ... dasar Melvi. Ya sudah, beli nasi Padang aja, Pak. Kebetulan, kami semua juga lapar," ujar Bu Tuti yang meminta ditraktir pada menantunya.

"A-apa?!" Pak Burhan melihat semua keluarga istri barunya.

Ruangan tengah dan dapur penuh dengan keluarganya. Belum lagi anak-anak yang sedang bermain di luar.

"Y-ya sudah, Bu. Beli aja, saya ambil uang dulu." Pak Burhan pun kembali ke kamar dengan sangat terpaksa.

Ia mengambil beberapa lembar uang merah untuk mentraktir semua keluarga Bu Melvi.

'Ibu sama anak sama aja. Mata duitan,' gerutu Pak Burhan dalam hati.

Ia keluar dan meminta salah satu pemuda untuk membelikan nasi Padang. Tak tanggung-tanggung sampai lima puluh porsi untuk semua keluarga Bu Melvi.

Pak Burhan masuk ke dalam kamar. Ada Bu Melvi yang sedang asik memainkan ponsel di sana.

"Dek, harusnya kamu pilih katering itu yang bener. Jadi, aku yang harus traktir semua keluargamu makan nasi padang," ucap Pak Burhan dengan wajah cemberut.

"Biarinlah, Mas. Sekali-kali juga!" Bu Melvi membalas dengan ketus.

Pak Burhan hanya menghela napas panjang. Seumur pernikahan dengan Bu Fatimah rasanya ia tak pernah merasa direndahkan seperti itu.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Pak Burhan bergegas membukanya. Ia harap makanan yang dipesan segera datang.

"Ayo, Pak. Ini nasinya udah datang," ajak Bu Tuti dengan sumringah.

Pak Burhan pun keluar kamar bersama istrinya. Mereka mengambil jatah makanan yang ada.

"Bukannya kamu dah makan, Dek?" tanya Pak Burhan heran.

"Tadi cuma dikit. Orang lauknya cuma telor. Kalau ini kan enak," jawab Bu Melvi sembari makan dengan lahap.

***

"Dek, keluargamu kapan pulang?" tanya Pak Burhan sehabis makan.

"Sore ini juga paling pada pulang, setelah bagiin makanan," jawab Bu Melvi yang masih sibuk dengan makanannya.

"Oh, syukurlah." Pak Burhan segera berdiri untuk cuci tangan.

Bisa bangkrut dirinya kalau semua keluarga istri barunya di sana terus. Pasti ibu mertuanya akan minta traktir makanan lagi.

Menjelang sore, semua keluarga Bu Melvi mulai pulang. Makanan prasmanan habis dibagikan ke tetangga. Kebanyakan dari mereka langsung membuang makanan itu.

Berita soal kehebohan pernikahan Bu Melvi tersebar kemana-mana. Sehingga semua orang jijik untuk makan makanan sisa prasmanan itu. Tak sedikit juga yang malah nyinyir.

Malam tiba, rumah sudah kembali kosong. Hanya tersisa Bu Tuti yang juga sudah tidur di kamarnya. Rumah itu tak begitu luas. Hanya ada dua kamar di sana. Itulah sebabnya anak Bu Melvi memilih untuk tidur di rumah ibunya.

Pak Burhan keluar dari kamar mandi dengan wajah dan tubuh yang segar. Tak sabar belah duren ke istri mudanya.

"Dek, waktunya malam pertama!" seru Pak Burhan sembari berjoget saat masuk kamar. Terlihat sekali kalau ia begitu sumringah.

Bu Melvi menatap suaminya dari atas ke bawah. Badan gempal, kulit sudah sedikit kendor, dan wajahnya pun sudah kelihatan menua. Hal itu membuatnya malas untuk melayani suaminya.

"Aku masih kesel sama kejadian tadi siang, jadi gak mood. Sudahlah tidur aja sana!" bentak Bu Melvi yang langsung tidur dengan menghadap tembok kamar.

"Loh, loh, gak bisa gitu dong, Dek! Aku udah keluar uang banyak buat pernikahan kita. Masa mau belah duren aja gak boleh!" protes Pak Burhan tak terima. Padahal nafsunya sudah di ubun-ubun.

"Gak mau! Pergi sana, tidur di luar kalau masih maksa!" usir Bu Melvi dengan sengit.

"Kamu jadi istri yang nurut dong, Dek! Fatimah mana ada nolak pas aku kepengen," sahut Pak Burhan tak terima.

"Ya sudah, sana balik ke rumah istri pertamamu!" usir Bu Melvi dengan penuh emosi. Matanya nyalang menatap Pak Burhan.

"Ya, maksudnya gak gitu, Dek ...." Pak Burhan keceplosan menyebut nama istri pertamanya.

Bu Melvi pun tidur menghadap tembok. Tak peduli dengan suaminya yang sudah tidak sabar untuk menikmati malam pertama.

Pak Burhan menghela napas panjang. Hari sudah larut. Malu kalau terus bertengkar dengan istrinya. Bisa-bisa didatangi warga. Apalagi mereka tinggal di kampung.

"Ah, gagal! Sabar Jon, ya," ucap Pak Burhan dengan wajah memelas. Ia menatap ke bagian bawah tubuhnya. Si Jhon pun ikut lemas menerima kenyataan itu.

Pak Burhan yang masih dilanda nafsu belum bisa tidur. Ia hanya duduk termenung sembari sesekali menatap ke arah istrinya.

Sayangnya, tak ada respon lagi dari Bu Melvi. Akhirnya, Pak Burhan pun ikut tidur dengan saling memunggungi dengan istri barunya. Malam pertama yang naas.

Related chapters

  • Nazar Poligami    Pamer Suami Kaya

    Matahari sudah mulai meninggi. Burung berkicau sejak pagi. Bu Melvi bangun lebih dulu dari Pak Burhan, yaitu pukul tujuh pagi."Ah, senangnya bisa bangun jam segini, biasanya sibuk bikin nasi kuning!" ujar Bu Melvi saat bangun tidur. Sebelum menikah dengan Pak Burhan dirinya memang berjualan nasi kuning. Masakannya enak dan cukup terkenal di kampung itu. Sehingga punya banyak pelanggan terutama bapak-bapak. "Mas, Mas!" Bu Melvi membangunkan Pak Burhan, tangannya mengguncang tubuh suaminya dengan kasar. "Ada apa, Dek? Masih pagi ini!" Pak Burhan masih sangat mengantuk. Efek semalam uring-uringan sebelum tidur hingga tengah malam. "Minta uang belanja dong, Mas. Aku mau ke warung cari sayuran buat makan," pinta Bu Melvi dengan suara yang dibuat-buat dan menggelayut manja di lengan suaminya.Melihat istrinya bersikap manja, Pak Burhan beranjak menuju ke belakang pintu. Ada celana panjangnya yang digantung di sana. Ia pun mengambil dompet kesayangannya yang cukup tebal. "Ini, cukup?"

  • Nazar Poligami    Menyusun Rencana

    Menjelang siang, Bu Melvi dan Pak Burhan kembali ke rumah Bu Melvi. Lokasinya tak jauh dari grosir Pak Burhan. Sehingga dulu mereka sering bertemu. Baru saja masuk ke ruang tamu, mereka menemukan sebuah kertas. Tulisannya 'Aku pulang ke rumah bapak, Bu.' "Tuh, kan. Kubilang apa, dia pasti milih balik ke rumah bapaknya," gerutu Bu Melvi. Ia heran sendiri, anak perempuan satu-satunya seperti tidak pernah betah bersamanya. Padahal mantan suaminya pun tidak kaya, tapi anak itu selalu betah di sana. "Dek, kita kan sudah berduaan nih. Gimana kalau ... belah duren," ucap Pak Burhan sembari mengedipkan sebelah matanya.Ia benar-benar tak sabar untuk segera melakukan itu. Lagipula apalagi tujuannya menikah kalau bukan untuk menikmati kemolekan istri barunya yang masih fresh. Bu Melvi menghembuskan napas berat. Dirinya malah malas melakukannya. Tapi, mau tak mau sebagai istri kedua ia harus bisa memuaskan Pak Burhan. "Masih sing loh, Mas. Lihat tuh, matahari masih di atas." Tunjuk Bu Melv

  • Nazar Poligami    Kenangan Pahit

    Setelah seminggu di rumah Bu Melvi, Pak Burhan pulang ke rumah Bu Fatimah. Sepanjang perjalanan ia berdendang ria. "Oh, senangnya dalam hati kalau beristri dua ... nanana ...." Suara agak keras dengan senyum mengembang. Beberapa orang menatapnya sembari menggeleng. Ikut miris dengan kehidupan rumah tangganya. Padahal jika dilihat tak ada yang kurang dari Bu Fatimah. Tapi, tetap saja diduakan. Pak Burhan yang sedang bahagia tak memedulikan tatapan para warga. Saat ini terpenting ia bahagia. "Spada ... siang ... ada orang di rumah?" ujar Pak Burhan saat memasuki rumah dengan setengah berteriak."Yah, baru pulang. Kok, gak baca salam yang assalamualaikum?" sambut Bu Fatimah sambil mencium punggung tangan suaminya. Bibirnya tetap tersenyum menyambut sang suami. Meskipun sebenarnya di setiap malamnya kini ia menangis. Dirinya bukan malaikat, melainkan hanya manusia biasa yang memiliki perasaan."Iya dong. Pengantin baru. Kamu juga kan pernah dulu berduaan sama aku. Jadi, gak usah siri

  • Nazar Poligami    Menyusun Rencana

    Fitri terlonjak dan langsung duduk. Sejenak ia kepikiran dengan mimpi yang baru saja dialami. Netranya lalu melirik jam, rupanya sudah pukul lima sore dan ia belum sholat asar.Segera Fitri ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia kembali bersandar pada Sang Kuasa. Mengadukan semua masalah yang sekarang sedang dialaminya. Selesai sholat, rasanya malas untuk keluar kamar. Apalagi jika melihat ayahnya yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari sebelumnya. Pernikahan kedua benar-benar mengubah Pak Burhan menjadi asing baginya. 'Ya Allah ... kenapa ini semua harus terjadi pada keluargaku?' Relung hatinya kembali mempertanyakan takdir yang telah terjadi. "Mau bagaimana lagi? Penghasilan toko berkurang drastis! Tahu sendiri kemarin aku pakai modal nikah juga. Lagian kamu jadi perempuan harusnya berguna sedikit! Cari duit kek!" Lirih, Fitri mendengar suara bentakan ayahnya. Kata-katanya begitu menyakitkan. Takut ibunya kenapa-napa, ia segera menuju ke dapur. Orang tuanya sedang ber

  • Nazar Poligami    Aset Berkurang

    Fitri dan Qintan membuat berbagai rencana. Dari yang serius sampai yang hanya bercanda. Sesekali mereka tertawa bersama. "Duh, makasih banyak ya, Mbak. Aku jadi terhibur nih," ujar Fitri dengan sumringah. Ia semakin merasa beruntung punya kakak ipar seperti Qintan. "Sama-sama, Fit. Tenang aja, Mbak bakal selalu dukung kamu kok!" seru Qintan dengan yakin. Setelah mengobrol kesana-kemari, malam semakin larut. Fitri dan Qintan pun sudah mengantuk. Mereka memutuskan untuk tidur malam itu. Dini hari, keduanya sudah bangun untuk salat subuh. Qintan segera membuat sarapan untuk keluarga kecilnya. "Fit, ayo sarapan dulu. Aku bangunin Mas Farid dulu, pulang subuh tadi." Qintan berlalu ke kamarnya setelah mengatakan itu. Fitri segera ke ruang makan yang ada di dapur. Ternyata kakak iparnya sudah menyediakan berbagai jenis makanan untuk sarapan. "Kak, Mbak aku pulang dulu ya. Ada jadwal kuliah soalnya," pamit Fitri seusai sarapan. "Hati-hati di jalan," pesan Qintan pada adik iparnya itu

  • Nazar Poligami    Kehilangan Supplier

    Semua aset yang mereka miliki adalah milik Bu Fatimah. Ia mendapatkannya dari warisan orang tuanya yang telah meninggal. Dirinya merupakan anak bungsu dari lima bersaudara yang semuanya sukses.Bu Fatimah menelepon kakak pertama yang dituakan keluarga. Ia tak ingin bertindak gegabah dan membuatnya celaka sendiri."Bang, insyaallah besok aku ke rumah ya, ada yang mesti aku bicarakan," ucap Bu Fatimah setelah telepon terhubung.'iya, kebetulan besok Abang libur, Dek. Mainlah ke sini, sudah lama tak berjumpa,' jawab Bang Furqon dari seberang telepon.Bang Furqon tidak banyak bertanya apa yang terjadi dengan adiknya. Hanya saja firasatnya mengatakan memang ada yang tidak beres. Mereka berbincang-bincang selayaknya kakak adik. Baru setelah itu, panggilan telepon diakhiri. "Alhamdulillah, agak sedikit lega setelah ngobrol dengan Bang Furqon. Padahal aku belum menceritakan masalahnya," gumam Bu Fatimah lirih. Beruntung, dirinya memiliki kakak yang bijak dan dapat diandalkan. Meskipun kedu

  • Nazar Poligami    Konsultasi

    Tak lama kemudian, mobil terparkir di halaman rumah mewah bertingkat dua. Rumah itu miliknya dan istri mudanya. Rumah itu dibeli beberapa waktu lalu. Tentu saja menggunakan uangnya sepenuhnya. Tapi, dibalik nama langsung dengan nama Bu Melvi. Pak Burhan masuk ke dalam rumah dengan menahan nyeri di pipi dan matanya. Kedua bagian wajah itu lebam parah sampai membiru. Nyerinya jangan ditanya, rasanya sampai ke semua syaraf tubuh. "Mas, Mas kenapa?!" tanya Bu Melvi panik, saat melihat suaminya. Ia langsung menghampiri dan melihat wajah sang suami lebih jelas. "Dipukulin, sama anak buah si Rahmat sialan!" gerutu Pak Burhan yang masih kesal dengan kejadian tadi. "Makanya jangan cari masalah. Pegawai Pak Rahmat kan banyak. Pasti kamu yang mulai duluan cari masalah! Udahlah wajah pas-pasan malah kena puku," omel Bu Melvi kesal. Meskipun begitu, ia bahkan tidak beranjak sama sekali untuk mengambilkan obat atau apa. Membuat hati Pak Burhan semakin panas dan terbakar. "Kamu bukannya obati

  • Nazar Poligami    Tinggal di Rumah Mama Tiri

    Fitri membereskan bajunya. Sebenarnya ia malas untuk melakukannya. Tapi, ini semua demi misinya untuk menyelamatkan sang ibu. "Fit, Ibu masuk ya," ucap Bu Fatimah saat memasuki kamar putri bungsunya. "Silahkan aja, Bu. Kayak sama siapa aja," jawab Fitri yang masih sibuk memilah barang yang sekiranya diperlukan. Bu Fatimah menatap anaknya dengan lekat. Sebenarnya ia khawatir melepaskan Fitri ke kandang singa. "Fit, yakin berani? Ibu khawatir tar kamu berantem lagi sama ayah terus kenapa-napa," ungkap Bu Fatimah mengutarakan kekhawatirannya. "Berani, Bu. Aku bakal jadi anak baik di sana, tenang aja." Fitri menyunggingkan senyum terbaiknya. Tak ingin membuat ibunya cemas. "Hati-hati ya, jangan lupa salat dan minta perlindungan sama Allah," ujar Bu Fatimah yang masih setengah hati untuk melepasnya. Setelah semua siap, Fitri pun pamit. Ia harus segera menjalankan misi penting. Ia akan pergi dengan menggunakan ojek seperti biasa. Fitri turun dari motor Mang Karmin. Toko ayahnya seda

Latest chapter

  • Nazar Poligami    Pencarian Bu Melvi

    31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn

  • Nazar Poligami    Bu Melvi ditawan

    Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di

  • Nazar Poligami    Pak Bastoni (Selingkuhan Bu Melvi)

    Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k

  • Nazar Poligami    Komisaris

    "Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de

  • Nazar Poligami    Orang Pintar

    Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.

  • Nazar Poligami    Perjalanan Panjang

    "Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j

  • Nazar Poligami    Siapa Pak Rahmat?

    Flash back.Waktu mondok."Dek Fatimah, aku mencintaimu," ucap Rahmat yang sedang piket di dapur umum belakang rumah salah satu dewan pondok.Kebetulan Fatimah sedang piket beberes di rumah dewan tersebut. Sementara Rahmat sedang piket masak nasi untuk santri. "Kalau benar, datang ke orang tuaku. Karena ... aku tak berniat pacaran," ujar Bu Fatimah kala itu."Baik, tunggu aku, nanti aku akan langsung bertemu orang tuamu!" Rahmat kemudian pergi melanjutkan masak di dapur umum tersebut.Rahmat adalah sosok santri sederhana dan mau bekerja keras. Disela kegiatan mengaji ia juga menjadi seksi usaha pondok, yang memajukan usaha koperasi di tempatnya menimba ilmu.Seminggu setelah kejadian itu, Rahmat pulang ke kampungnya karena ayahnya meninggal. Kemudian, ia tak kembali lagi ke pondok.Hati Fatimah sebenarnya telah dicuri Rahmat sejak lama. Bahkan sebelum kejadian itu. Merasakan rindu dan sakit dengan perginya pencuri hati.'Kemana kamu, Mas Rahmat. Andai saja aku bisa memilih, lebih bai

  • Nazar Poligami    Pak Rahmat Menjenguk

    Fitri sedang menyuapi Bu Fatimah makan siang. Keadaan Bu Fatimah sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja ia yang memaksa untuk menyuapi. Alasannya kalau dirinya sakit, ibunya juga selalu perhatian dan menyuapinya makan."Ibu harus makan yang banyak. Biar cepat sembuh," ucap Fitri disela-sela menyuapi makan ibunya. Bu Fatimah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan putrinya. Walaupun ia diberi ujian suami yang selingkuh, untungnya anak-anaknya sangatlah baik. "Makasih ya, Fit," ucap Bu Fatimah setelah selesai makan. Suaranya masih terdengar lesu karena masih sakit. "Sama-sama, Bu," jawab Fitri dengan senyum manis. Farid telah berangkat ke toko sejak pagi tadi. Sementara Qintan masih ada di rumah Bu Fatimah untuk menjaganya dikala Fitri kuliah."Bu, boleh aku tanya?" tanya Fitri ragu."Tentu, kalau bisa akan Ibu jawab," jawab Bu Fatimah yang juga penasaran dengan pertanyaan putrinya. "Soal surat-surat berharga Ibu, gimana? Dengar-dengar Ayah menggadaikan tanah di desa sebelah ke

  • Nazar Poligami    Kedatangan Tiana

    "Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B

DMCA.com Protection Status