Menjelang siang, Bu Melvi dan Pak Burhan kembali ke rumah Bu Melvi. Lokasinya tak jauh dari grosir Pak Burhan. Sehingga dulu mereka sering bertemu.
Baru saja masuk ke ruang tamu, mereka menemukan sebuah kertas. Tulisannya 'Aku pulang ke rumah bapak, Bu.'"Tuh, kan. Kubilang apa, dia pasti milih balik ke rumah bapaknya," gerutu Bu Melvi.Ia heran sendiri, anak perempuan satu-satunya seperti tidak pernah betah bersamanya. Padahal mantan suaminya pun tidak kaya, tapi anak itu selalu betah di sana."Dek, kita kan sudah berduaan nih. Gimana kalau ... belah duren," ucap Pak Burhan sembari mengedipkan sebelah matanya.Ia benar-benar tak sabar untuk segera melakukan itu. Lagipula apalagi tujuannya menikah kalau bukan untuk menikmati kemolekan istri barunya yang masih fresh.Bu Melvi menghembuskan napas berat. Dirinya malah malas melakukannya. Tapi, mau tak mau sebagai istri kedua ia harus bisa memuaskan Pak Burhan."Masih sing loh, Mas. Lihat tuh, matahari masih di atas." Tunjuk Bu Melvi ke luar jendela."Yah elah, Dek. Ngapain aku nikah sama kamu kalau ditunda-tunda terus!" Pak Burhan mulai emosi. Nada suaranya meninggi disertai mata yang melotot.'Gawat, kalau dia marah terus mana ada tambahan uang jajan,' gumam Bu Melvi dalam hati.Akhirnya, ia mendekati suaminya. Menggelayut manja di tangan penuh lemak Pak Burhan."Ya sudah deh, Mas. Yuk, kita ke kamar." Bu Melvi menarik suaminya ke kamar.Seketika Pak Burhan berubah sumringah. Birahi kelelakiannya muncul. Mata keranjangnya dimanjakan oleh pemandangan indah dari tubuh istrinya.Ia seperti singa yang kelaparan. Tak sabar menerkam sang istri. Seketika tubuh besar itu memeluk istrinya seraya menciuminya.Bu Melvi memejamkan matanya. Membalas serangan sang suami dengan kemampuan yang dimilikinya. Lama-lama ia pun terbawa suasana.Mereka mulai menikmati hubungan itu. Pak Burhan pun tanpa ragu berada di atas tubuh istrinya. Keperkasaannya ternyata mampu membuat Bu Melvi merasa dimanjakan setelah lama tak tersentuh."Maaf ya, Dek. Mas gak kuat," ucap Pak Burhan lesu setelah mengeluarkan cairan kenikmatannya."Ah, Mas giliran diturutin kok sebentar banget sih!" gerutu Bu Melvi yang tadi sudah menikmatinya."Habisnya nih pinggang sakit tadi. Kayaknya encok kumat lagi." Pak Burhan mengusap-ngusap punggungnya. Wajar di usianya yang sudah masuk kepala lima itu banyak keluhan soal kesehatan."Tau, ah!" Bu Melvi mengerucutkan bibirnya."Nanti Mas janji bakal kasih yang spesial deh buat kamu. Jangan marah dong." Pak Burhan menjawil hidung istrinya."Kalau gitu, aku minta uang lagi dong, Mas. Mau nge-mall." Tangan Bu Melvi menadah."Masa uang lagi, tadi pagi aja udah habis setengah juta, Dek. Mas, udah gak pegang cash." Pak Burhan nampak keberatan dengan permintaan istrinya."Ya kalau gak ada cash, kartu kredit aja mana."Pak Burhan mengembuskan napas kasar. Terpaksa ia menyerahkan kartu kredit miliknya. Daripada istri barunya marah tak berkesudahan.Bu Melvi seketika tersenyum dan langsung bersiap untuk pergi. Ia ingin senang-senang setelah dikecewakan oleh suaminya di ranjang.***Sementara itu, di rumah Bu Fatimah, anak-anak dan menantunya masih berkumpul. Mereka sengaja menemani ibunya agar sedikit terhibur dan tidak terus memikirkan Pak Burhan."Coba aja Kak Farid sama Mbak Qintan dah punya anak pasti lucu. Bakal ada yang ngeramein rumah juga," celetuk Fitri yang sedang berkumpul bersama keluarganya.Ia selalu berusaha menghibur ibunya. Bu Fatimah masih sering terlihat sedih, meskipun selalu tersenyum."Do'ain aja, usaha jalan terus kok!" balas Farid yang sedang memainkan ponselnya.Di usia pernikahan yang menginjak satu tahun, belum ada tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Sebenarnya mereka pun sangat menginginkannya. Namun, apa daya Allah belum berkehendak."Gak apa-apa juga sih. Baru setahun, asal setia terus ya, Kak!" sindir Fitri pada Farid. Ia tak ingin kakaknya itu mengulang kesalahan ayah mereka.Qintan tertawa pelan. Lucu saja kalau sudah melihat adik kakak itu bertengkar. Padahal Farid sedingin es."Tenang ... kalau yang ini aku ikat kuat-kuat pokoknya!" timpal Qintan yang langsung merangkul Farid.Mereka pun tertawa bersama. Candaan sederhana itu juga berhasil membuat Bu Fatimah tersenyum senang."Semoga kalian bahagia terus," ucap BuFatimah yang lumayan terhibur dengan candaan anak-anaknya.Mereka telah sepakat tak membahas Pak Burhan saat ini. Terutama Fitri yang sudah malas bertemu dengan ayahnya itu. Bahkan jika boleh memilih, ia lebih rela ayahnya meninggal daripada poligami."Kak Farid, gak kerja?" tanya Fitri yang melihat kakaknya masih santai."Cuti," jawab Farid pendek."Toko dijaga siapa?""Tutup dulu barang sehari gak masalah kali, Dek. Lagian lagi berduka diatas kebahagiaan," jawab Qintan dengan nada bercanda."Hush, kalian ini ngomongnya," tegur Farid.Toko grosir milik Pak Burhan ada tiga. Satu dijaga Pak Burhan yang letaknya di kampung sebelah, dekat dengan rumah Bu Melvi. Kedua, di pinggir jalan besar, masih di desa ini dan dijaga oleh Farid. Ketiga, di pasar yang dijaga oleh Mang Ujang.Sekarang terungkap mengapa Pak Burhan sangat betah menjaga toko yang di desa sebelah. Alasannya dulu karena paling dekat dan jalan kampung. Nyatanya itu hanya alasan belaka.Fitri duduk termenung. Tiba-tiba ia memikirkan cara yang akan dilakukan selanjutnya untuk membuat istri baru ayahnya menderita. Tidak rela saja melihat mereka bahagia setelah menyakiti ibunya."Fitri ke kamar dulu, ada tugas kampus," pamit Fitri yang mulai pusing memikirkan ide.Qintan yang melihat itu menyusul Fitri ke kamar. "Fit, Mbak masuk," ucapnya sembari membuka pintu kamar adik iparnya."Mbak tahu, kamu bukan ada tugas kan," ucap Qintan setelah memasuki kamar."Tahu aja, Mbak. Kira-kira apalagi yang bisa bikin mereka menderita, tersakiti, dan hancur berkeping-keping!" Fitri merobek-robek selembar kertas saking kesalnya.Kertas robek itu bagaikan hatinya yang sudah hancur. Rasanya tidak mungkin kembali utuh seperti sedia kala. Keluarganya sudah tidak sama seperti dulu."Hmm, gimana ya?" Qintan juga nampak berpikir.Dia dan adik iparnya memang selalu klop. Mereka bahkan sudah seperti saudara kandung."Ayo dong, Mbak bantuin mikir," rengek Fitri sembari tiduran di paha kakak iparnya.Ia selalu bersyukur punya kakak ipar yang baik. Sehingga rasanya seperti kakak kandung perempuan."Ini juga lagi mikir, Fit ...." Qintan menatap langit-langit kamar. Berusaha menemukan ide brilian di sana.Setelah seminggu di rumah Bu Melvi, Pak Burhan pulang ke rumah Bu Fatimah. Sepanjang perjalanan ia berdendang ria. "Oh, senangnya dalam hati kalau beristri dua ... nanana ...." Suara agak keras dengan senyum mengembang. Beberapa orang menatapnya sembari menggeleng. Ikut miris dengan kehidupan rumah tangganya. Padahal jika dilihat tak ada yang kurang dari Bu Fatimah. Tapi, tetap saja diduakan. Pak Burhan yang sedang bahagia tak memedulikan tatapan para warga. Saat ini terpenting ia bahagia. "Spada ... siang ... ada orang di rumah?" ujar Pak Burhan saat memasuki rumah dengan setengah berteriak."Yah, baru pulang. Kok, gak baca salam yang assalamualaikum?" sambut Bu Fatimah sambil mencium punggung tangan suaminya. Bibirnya tetap tersenyum menyambut sang suami. Meskipun sebenarnya di setiap malamnya kini ia menangis. Dirinya bukan malaikat, melainkan hanya manusia biasa yang memiliki perasaan."Iya dong. Pengantin baru. Kamu juga kan pernah dulu berduaan sama aku. Jadi, gak usah siri
Fitri terlonjak dan langsung duduk. Sejenak ia kepikiran dengan mimpi yang baru saja dialami. Netranya lalu melirik jam, rupanya sudah pukul lima sore dan ia belum sholat asar.Segera Fitri ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia kembali bersandar pada Sang Kuasa. Mengadukan semua masalah yang sekarang sedang dialaminya. Selesai sholat, rasanya malas untuk keluar kamar. Apalagi jika melihat ayahnya yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari sebelumnya. Pernikahan kedua benar-benar mengubah Pak Burhan menjadi asing baginya. 'Ya Allah ... kenapa ini semua harus terjadi pada keluargaku?' Relung hatinya kembali mempertanyakan takdir yang telah terjadi. "Mau bagaimana lagi? Penghasilan toko berkurang drastis! Tahu sendiri kemarin aku pakai modal nikah juga. Lagian kamu jadi perempuan harusnya berguna sedikit! Cari duit kek!" Lirih, Fitri mendengar suara bentakan ayahnya. Kata-katanya begitu menyakitkan. Takut ibunya kenapa-napa, ia segera menuju ke dapur. Orang tuanya sedang ber
Fitri dan Qintan membuat berbagai rencana. Dari yang serius sampai yang hanya bercanda. Sesekali mereka tertawa bersama. "Duh, makasih banyak ya, Mbak. Aku jadi terhibur nih," ujar Fitri dengan sumringah. Ia semakin merasa beruntung punya kakak ipar seperti Qintan. "Sama-sama, Fit. Tenang aja, Mbak bakal selalu dukung kamu kok!" seru Qintan dengan yakin. Setelah mengobrol kesana-kemari, malam semakin larut. Fitri dan Qintan pun sudah mengantuk. Mereka memutuskan untuk tidur malam itu. Dini hari, keduanya sudah bangun untuk salat subuh. Qintan segera membuat sarapan untuk keluarga kecilnya. "Fit, ayo sarapan dulu. Aku bangunin Mas Farid dulu, pulang subuh tadi." Qintan berlalu ke kamarnya setelah mengatakan itu. Fitri segera ke ruang makan yang ada di dapur. Ternyata kakak iparnya sudah menyediakan berbagai jenis makanan untuk sarapan. "Kak, Mbak aku pulang dulu ya. Ada jadwal kuliah soalnya," pamit Fitri seusai sarapan. "Hati-hati di jalan," pesan Qintan pada adik iparnya itu
Semua aset yang mereka miliki adalah milik Bu Fatimah. Ia mendapatkannya dari warisan orang tuanya yang telah meninggal. Dirinya merupakan anak bungsu dari lima bersaudara yang semuanya sukses.Bu Fatimah menelepon kakak pertama yang dituakan keluarga. Ia tak ingin bertindak gegabah dan membuatnya celaka sendiri."Bang, insyaallah besok aku ke rumah ya, ada yang mesti aku bicarakan," ucap Bu Fatimah setelah telepon terhubung.'iya, kebetulan besok Abang libur, Dek. Mainlah ke sini, sudah lama tak berjumpa,' jawab Bang Furqon dari seberang telepon.Bang Furqon tidak banyak bertanya apa yang terjadi dengan adiknya. Hanya saja firasatnya mengatakan memang ada yang tidak beres. Mereka berbincang-bincang selayaknya kakak adik. Baru setelah itu, panggilan telepon diakhiri. "Alhamdulillah, agak sedikit lega setelah ngobrol dengan Bang Furqon. Padahal aku belum menceritakan masalahnya," gumam Bu Fatimah lirih. Beruntung, dirinya memiliki kakak yang bijak dan dapat diandalkan. Meskipun kedu
Tak lama kemudian, mobil terparkir di halaman rumah mewah bertingkat dua. Rumah itu miliknya dan istri mudanya. Rumah itu dibeli beberapa waktu lalu. Tentu saja menggunakan uangnya sepenuhnya. Tapi, dibalik nama langsung dengan nama Bu Melvi. Pak Burhan masuk ke dalam rumah dengan menahan nyeri di pipi dan matanya. Kedua bagian wajah itu lebam parah sampai membiru. Nyerinya jangan ditanya, rasanya sampai ke semua syaraf tubuh. "Mas, Mas kenapa?!" tanya Bu Melvi panik, saat melihat suaminya. Ia langsung menghampiri dan melihat wajah sang suami lebih jelas. "Dipukulin, sama anak buah si Rahmat sialan!" gerutu Pak Burhan yang masih kesal dengan kejadian tadi. "Makanya jangan cari masalah. Pegawai Pak Rahmat kan banyak. Pasti kamu yang mulai duluan cari masalah! Udahlah wajah pas-pasan malah kena puku," omel Bu Melvi kesal. Meskipun begitu, ia bahkan tidak beranjak sama sekali untuk mengambilkan obat atau apa. Membuat hati Pak Burhan semakin panas dan terbakar. "Kamu bukannya obati
Fitri membereskan bajunya. Sebenarnya ia malas untuk melakukannya. Tapi, ini semua demi misinya untuk menyelamatkan sang ibu. "Fit, Ibu masuk ya," ucap Bu Fatimah saat memasuki kamar putri bungsunya. "Silahkan aja, Bu. Kayak sama siapa aja," jawab Fitri yang masih sibuk memilah barang yang sekiranya diperlukan. Bu Fatimah menatap anaknya dengan lekat. Sebenarnya ia khawatir melepaskan Fitri ke kandang singa. "Fit, yakin berani? Ibu khawatir tar kamu berantem lagi sama ayah terus kenapa-napa," ungkap Bu Fatimah mengutarakan kekhawatirannya. "Berani, Bu. Aku bakal jadi anak baik di sana, tenang aja." Fitri menyunggingkan senyum terbaiknya. Tak ingin membuat ibunya cemas. "Hati-hati ya, jangan lupa salat dan minta perlindungan sama Allah," ujar Bu Fatimah yang masih setengah hati untuk melepasnya. Setelah semua siap, Fitri pun pamit. Ia harus segera menjalankan misi penting. Ia akan pergi dengan menggunakan ojek seperti biasa. Fitri turun dari motor Mang Karmin. Toko ayahnya seda
"Astaghfirullah, ini kenapa sakit kepalanya tak seperti biasa ya, pusing sekali," ucap Bu Fatimah sambil meringis pelan. Satu tangannya memegang kepala yang terasa begitu berat. 'Kenapa dengan Ibu? Apa jangan-jangan ... ulah orang usil,' gumam Qintan dalam hati. Entah kenapa tiba-tiba ia berpikiran seperti itu. Qintan terus memijit pelipis Bu Fatimah. Lirih suara dzikir terdengar dari mulut ibu mertuanya itu. Kemudian, ia tak sadarkan diri."Astaghfirullah, Mas!" teriak Qintan dengan begitu panik. Ia memanggil Farid yang sedang istirahat di kamar. Suaminya kelelahan karena tadi siang datang barang ke toko yang dijaganya."Ada apa, Dek?!" tanya Farid panik dan segera berlari ke sofa ruang tengah."I ... Ibu, Mas. Pingsan!""Tak biasanya Ibu sampai pingsan jika sakit," gumam Farid heran. Ia kemudian mengangkat tubuh ibunya untuk dibaringkan di kamar. Qintan berusaha membantu di bagian kaki. Qintan menghirupkan minyak kayu putih ke hidung ibu mertuanya agar segera sadar. "Mas, g
Mendengar keributan semakin keras, Pak Burhan bangun dan langsung menuju ke dapur. Ia mendapati istrinya yang terduduk di lantai sedang memaki Fitri."Ada apa, sih?! Pagi-pagi sudah berisik aja!" bentak Pak Burhan sembari melirik ke anak dan istrinya bergantian."Itu Yah, Bunda jatuh kepleset lantai yang baru dipel. Tapi, malah nyalahin aku. Padahal niatku baik, supaya lantainya bersih," jawab Fitri santai. Bu Melvi cemberut mendengar penjelasan Fitri. Tapi, malas menimpali karena ia sedang ada urusan."Mas, bantuin dong! Terserah dia mau ngomong apa." Bu Melvi mengulurkan tangannya."Berdiri aja sendiri," jawab Pak Burhan yang masih kesal pada istrinya tadi malam.Ia langsung melenggang santai ke kamar mandi. Meskipun terdengar istrinya menggerutu karena ulahnya. "Bapak sama anak sama aja. Sama-sama nyebelin," gerutu Bu Melvi sembari bangun sendiri. Fitri menahan tawa, melihat Bu Melvi dicuekin ayahnya. "Sukurin!" ucapnya pelan.Bu Melvi tidak mendengarnya. Ia masuk ke kamar untu
31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn
Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di
Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k
"Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de
Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.
"Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j
Flash back.Waktu mondok."Dek Fatimah, aku mencintaimu," ucap Rahmat yang sedang piket di dapur umum belakang rumah salah satu dewan pondok.Kebetulan Fatimah sedang piket beberes di rumah dewan tersebut. Sementara Rahmat sedang piket masak nasi untuk santri. "Kalau benar, datang ke orang tuaku. Karena ... aku tak berniat pacaran," ujar Bu Fatimah kala itu."Baik, tunggu aku, nanti aku akan langsung bertemu orang tuamu!" Rahmat kemudian pergi melanjutkan masak di dapur umum tersebut.Rahmat adalah sosok santri sederhana dan mau bekerja keras. Disela kegiatan mengaji ia juga menjadi seksi usaha pondok, yang memajukan usaha koperasi di tempatnya menimba ilmu.Seminggu setelah kejadian itu, Rahmat pulang ke kampungnya karena ayahnya meninggal. Kemudian, ia tak kembali lagi ke pondok.Hati Fatimah sebenarnya telah dicuri Rahmat sejak lama. Bahkan sebelum kejadian itu. Merasakan rindu dan sakit dengan perginya pencuri hati.'Kemana kamu, Mas Rahmat. Andai saja aku bisa memilih, lebih bai
Fitri sedang menyuapi Bu Fatimah makan siang. Keadaan Bu Fatimah sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja ia yang memaksa untuk menyuapi. Alasannya kalau dirinya sakit, ibunya juga selalu perhatian dan menyuapinya makan."Ibu harus makan yang banyak. Biar cepat sembuh," ucap Fitri disela-sela menyuapi makan ibunya. Bu Fatimah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan putrinya. Walaupun ia diberi ujian suami yang selingkuh, untungnya anak-anaknya sangatlah baik. "Makasih ya, Fit," ucap Bu Fatimah setelah selesai makan. Suaranya masih terdengar lesu karena masih sakit. "Sama-sama, Bu," jawab Fitri dengan senyum manis. Farid telah berangkat ke toko sejak pagi tadi. Sementara Qintan masih ada di rumah Bu Fatimah untuk menjaganya dikala Fitri kuliah."Bu, boleh aku tanya?" tanya Fitri ragu."Tentu, kalau bisa akan Ibu jawab," jawab Bu Fatimah yang juga penasaran dengan pertanyaan putrinya. "Soal surat-surat berharga Ibu, gimana? Dengar-dengar Ayah menggadaikan tanah di desa sebelah ke
"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B