Nara dengan cemas membolak balik jam di pergelangan tangannya.
“Mas Arka! Tolong tanya mas Ara ini pesanannya jadi diambil apa enggak?” pinta Nara begitu mendengar suara kakaknya. Arka menghela napas, ”Nara Kamila! Jangan karena kamu pikir kami kerja di satu rumah sakit jadi pasti saling ketemu. Sudah kamu tanya sendiri saja! Mas sudah harus masuk ruang operasi.” jawabnya cepat dan segera menutup teleponnya. Beberapa menit kemudian ada pesan masuk di ponsel Nara. Ia pun segera menelepon nomor yang baru saja diberikan oleh kakaknya.# “Mas Ara, ini mas di mana? Pesanan kuenya enggak jadi mau diambil jam sepuluh? Ini sudah mau jam sebelas mas?”tanya Nara datar sambil dengan satu tangan merapikan kotak-kotak berisi kue dan memegang ponsel dengan tangan yang lain. “Ya ampun! Maaf! Aku tiba-tiba ada operasi.”jawab Ara terkejut sambil menepuk dahi. Dirinya lupa untuk mengambil pesanan kue ibunya,”Boleh minta tolong?”ujar Ara pelan karena merasa tidak enak,”Nanti alamatnya tante Winda aku kasih. Kamu tolong antar ya.”katanya lagi. Nara menghela napas panjang sambil memandang ponselnya. Kenapa mereka bekerja di rumah sakit yang banyak operasi sejak pagi? Pikir Nara sambil memutar matanya. Arka, kakak sulung Nara memang berprofesi sebagai seorang dokter bedah di rumah sakit yang sama dengan sahabatnya sejak masa kuliah di Yogyakarta, Nara biasa memanggilnya mas Ara. Jadi setelah satu kali mencoba kue buatan ibu Linda yakni mamanya Nara, hari ini melalui putranya ibu Ratih memesan kue untuk teman arisannya yakni ibu Winda. “Ini di mana?”gumam Nara begitu melihat alamat yang dikirimkan kepadanya. “Jadi kuenya akan diambil kapan?”tanya ibu Linda pada putrinya. “Harus aku antar ma.”jelas Nara sambil mengangkat ponselnya lalu beranjak pergi.# “Iya jeng Winda nanti Nara yang mengantar kuenya.”kata ibu Ratih pada teman arisannya. “Aduh jeng kok repot-repot? Makasih ya.”sahut ibu Winda sambil tersenyum senang,”Sampai anaknya disuruh mengantar padahal Nara pasti sibuk di rumah sakit.”sahutnya lagi. “Soalnya kue ini enak banget jeng. Yang buat itu ibu sahabatnya Nara, sama-sama dokter juga.”jelas ibu Ratih bersemangat.# Ibu Winda memandang Nara dengan wajah bingung yang tetap dihiasi senyuman,”Terima kasih ya. Jadi merepotkan.”katanya. “Enggak apa-apa tante.”katanya Nara,”Tadinya mas Ara yang mau mengantar kemari tapi karena ada operasi jadi aku yang datang.”jelasnya begitu menyadari kebingungan di wajah ibu Winda. “Wah, tante enggak menyangka kalau Nara punya pacar begitu cantik. Jeng Ratih beruntung banget.”ujar ibu Winda tiba-tiba. Mata Nara membesar,”Tante aku bukan.”jawabnya sambil menggerak-gerakkan tangan. Namun belum sempat ia melanjutkan ibu Wnda mendapat panggilan masuk di ponselnya. “Halo jeng Ratih. Iya ini kuenya sudah tak terima.”jawab ibu Winda sambil menatap Nara dengan senyuman,”Kok enggak bilang kalau Nara punya calon cantik begini.”katanya lagi.# “Nara, kamu ini sudah bilang akan ke tempat jeng Winda tapi kok malah suruh pacarmu.”tegur ibu Ratih begitu melihat putra sulungnya baru tiba di rumah,”Dan sejak kapan kamu punya pacar?”tanya ibunya lagi. Ara mengangkat sebelah alisnya karena bingung. Ia baru saja memulai hubungannya dengan Davina. Bagaimana ibunya bisa tahu mengenai hal itu? Jadi kemarin malam Ara dan Davina, yang merupakan teman sesama dokter bedah umum namun bekerja di rumah sakit yang berbeda dengannya sepakat untuk menjadi sepasang kekasih. Mereka sudah cukup sering bertemu waktu masa kuliah dan saling tertarik satu sama lain. “Mama tahu dari mana?”tanya Ara akhirnya. “Jadi benar?”tanya ibu Ratih memastikan. Ara menganggukkan kepala lalu dengan cepat melarikan diri dari ibunya yang sudah terlihat siap untuk menghujaninya dengan sejuta pertanyaan.# “Kemarin jadinya bagaimana?”tanya Arka begitu berpapasan dengan sahabatnya di lorong rumah sakit. “Aku minta tolong Nara.”jawab Ara dengan memasang senyum bodoh,”Kemarin pagi ada pasien tukak lambung di UGD.”jelasnya lagi. “Terus dia mau?”tanya Arka tidak percaya. Sejak kapan adik bungsunya bersedia direpotkan oleh urusan yang muncul tiba-tiba. Setahunya Nara itu paling cepat mengucapkan kata tidak jika ada permintaan yang terjadi di luar rencana. “Terpaksa sih sepertinya. Kemarin itu aku enggak pakai nunggu dia jawab langsung tak kasih alamatnya tante Winda.”jelas Ara dengan perasaan bersalah. “Wah hebat kamu! Memang cuma sifat cuek Nara Baskara bisa membuat seorang Nara Kamila terpaksa turun tangan.”ujar Arka lagi. Ara memutar matanya begitu mendengar kata-kata sahabatnya. Apa yang harus ia lakukan untuk menebus rasa bersalah? Perkara hutang budi. Mentraktir makan? Atau mungkin membelikan sesuatu yang Nara inginkan? # “Kamu kemarin kenapa enggak ke kantor?”tanya Embun begitu melihat Nara tiba di kantor pagi ini. Nara dengan kedua temannya Embun dan Zia sudah sejak tiga tahun yang lalu membuka sebuah kantor yang mengurus keperluan untuk membantu pernikahan. Mereka berkuliah dikampus yang sama namun berada di angkatan yang berbeda. “Iya maaf mbak. Tadinya habis bantu mama selesai bikin kue aku mau langsung ke kantor tapi mas Ara malah minta tolong buat pergi mengantar pesanannya.”jelas Nara dengan wajah merana saat kembali mengingat kejadian kemarin. “Lagi suruh siapa kamu mau? Biasanya juga kan kamu paling anti.”ujar Embun menanggapi. “Orang belum sempat jawab teleponnya sudah keburu ditutup.”jelas Nara dengan mulut mengerucut. “Iya mbak kayak enggak tahu saja kalau jeng satu ini paling anti sama yang namanya jadi bala bantuan dadakan.”timpal Zia yang baru tiba di kantor. “Kamu datang-datang langsung komentar. Memangnya kamu tahu apa yang lagi kami omongin?”tanya Nara tidak terima. “Pasti masalah kemarin. Orang suara kalian itu kedengaran sampai ke depan.”jelas Zia sambil menoleh meminta dukungan ke arah Nadira dan Galang yang tiba bersamanya.# “Kamu lagi di mana?”tanya Ara begitu Nara mengangkat teleponnya. Nara mengerutkan dahi karena bingung tiba-tiba Ara meneleponnya,”Lagi di mal dekat rumah sakit.”jawabnya singkat. Ia baru akan segera kembali ke kantor begitu selesai bertemu dengan klien sore itu. Letak kantor Nara dan rumah sakit tempat Ara juga Arka bekerja saling berdekatan hanya dibatasi sebuah mal yang cukup sering mereka datangi saat jam makan. “Tunggu ya. Aku segera ke sana.”ujar Ara cepat dan langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Nara. “Kenapa enggak pernah nunggu orang jawab sih?”omel Nara menarik napas panjang sambil memandang layar ponselnya.# Sekitar lima belas menit Nara berdiri di depan salah satu gerai sambil melihat-lihat. “Makasih ya sudah mau nunggu.”sapa Ara dengan napas terengah-engah begitu tiba di hadapan Nara. “Siapa yang nunggu? Orang mas nutup telepon enggak pakai nunggu aku jawab.”gerutu Nara setengah mencibir. Ara dengan cuek menarik lengan Nara berjalan masuk ke salah satu toko,”Ayo ikut aku!”ajaknya. “Mau ke mana mas? Aku tuh masih harus balik kantor.”sahut Nara bingung. “Cuma sebentar. Aku mau bayar hutang.”ujar Ara sambil menunjuk jam di tangannya. Nara mengangkat sebelah alisnya menatap sahabat kakaknya itu dengan wajah yang semakin bingung,”Bayar hutang apa mas?”tanyanya. “Hutang kemarin.”jawab Ara mengangkat sebelah bahunya lalu menunjuk barang-barang di dalam toko,”Enggak ada barang yang lagi kamu cari?”tanyanya. Nara menggeleng dengan cepat,”Kan kue pesanan semua sudah mas bayar.”jawabnya semakin bingung. “Ini biaya kurir.”sahut Ara mengedipkan sebelah matanya. “Mana ada kurir yang di bayar pakai barang-barang bermerek?”tanya Nara heran sambil menunjuk nama toko yang mereka masuki. “Selalu ada alasan untuk menjadi yang petama.”kata Ara dengan yakin,”Pasti ada barang yang menarik perhatian.”ujarnya lagi. Dan lagi-lagi Nara menggelengkan kepalanya.# “Mas itu gaji sebulan mana cukup?”tanya Nara menunjuk kantong-kantong belanjaan yang ada di tangan Ara. Mereka berkeliling sampai malam dan berhasil membuat Ara sibuk berbelanja di hampir semua toko yang mereka masuki. Ara hanya mengangkat alisnya santai,”Maklum jarang-jarang bisa punya waktu buat belanja.”ujarnya membela diri. Nara mencibir pelan,”Memang yang sibuk mas doang. Aku kan juga pengen pulang terus tidur.”gerutunya nyaris tanpa suara. “Kita pulang yuk! Aku juga perlu ketemu Arka.”ajak Ara ringan tanpa peduli dengan perubahan raut wajah gadis yang berdiri di sampingnya# “Adikmu itu luar biasa.”kata Ara begitu menerobos masuk ke dalam kamar Arka,”Jadi aku yang belanja.”katanya lagi sambil menghela napas karena setelah berjam-jam di mal ia tetap tidak berhasil untuk membuat Nara membeli sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya.. “Kan sudah kubilang kamu enggak akan berhasil.”sahut Arka menanggapi,”Aku saja yang sudah hidup sama-sama sejak itu anak lahir enggak pernah berhasil. Anak itu enggak suka minta, pasti bilangnya enggak mau.”katanya lagi. “Memang kamu enggak pernah kasih kado untuk Nara?”tanya Ara heran. “Kalau mau kasih kado itu jangan ditanya harus langsung kasih.”jelas Arka lagi menanggapi sahabatnya.# “Kamu kok jadi enggak balik ke kantor?”tanya Embun begitu Nara mengangkat teleponnya. Sudah sejak tiga tahun yang lalu Nara dan kedua temannya semasa kuliah, Embun yang merupakan kakak tingkat juga Zia teman satu angkatan dengan Nara membuka usaha untuk mengurus foto dan video pernikahan juga foto prewedding. Awalnya mereka mengurus semuanya bertiga tapi kini mereka sudah menambah dua orang pegawai yakni Galang dan Nadira. “Tiba-tiba mas Ara minta ditunggu.”jawab Nara sambil meletakkan tasnya. Embun mengerutkan dahi,”Kok sejak kemarin hidupmu penuh acara tak terduga?”tanyanya sambil tertawa. “Iya nih mbak! Sebel! Mana aku tuh paling anti dadakan.”gerutu Nara sambil menghela napas. “Terus kenapa enggak kamu tolak?”tanya Embun heran, karena biasanya gadis satu itu paling cepat mengucap kata tidak setiap kali ada yang mendadak mengajaknya pergi. “Mas Ara itu selalu menutup telepon tiba-tiba, menghubungi tiba-tiba, mengajak pergi tiba-tiba. Semuanya serba mendadak.”omel Nara kesal. “Wah kamu akhirnya dapat lawan juga ya? Si anti dadakan ketemu tukang tiba-tiba.”ejek Embun sambil tertawa. “Ih, mbak apaan sih. Memangnya perlombaan pakai ketemu lawan segala.”protes Nara lagi. “Lomba sih enggak tapi kamu sudah kalah dua kali.”goda Embun lagi. Nara sudah tidak lagi menjawab bibir mengerucut karena kesal.
Nara sedang sibuk melihat daftar klien yang akan menikah bulan ini.“Bulan ini kita ada beberapa jadwal foto ya?”tanya Embun memastikan.“Kamu sudah menghubungi pihak studio?”tanya Nara pada Galang untuk memastikan.Galang menganggukkan kepala,”Minggu depan dan akhir bulan.”tambahnya.“Ini kamu yang mau pergi?”tanya Embun pada Nara sambil melambaikan selembar kertas berisi kontrak dengan salah satu klien.Mata Nara langsung membesar begitu melihat nama pasangan yang tertulis di lembar kertas itu,”Alya dan Devian? Ya ampun harusnya kan aku ketemu hari ini. Jam berapa sekarang?”tanyanya panik.“Hampir jam empat.”sahut Nadira sambil menunjuk jam dindingNara segera menghela napas lega,”Untung janjiannya cuma di mal sebelah.”katanya sambil meletakkan kepala di atas meja.“Tenang masih ada satu jam.”kata Embun sambil tertawa karena melihat tingkah Nara,”Tunggu kamu sudah bilang belum sama Ara soal salah p
“Kamu tadi malam pulang diantar Nara?”tanya Arka pada adik bungsunya saat mereka duduk di meja makan untuk sarapan pagi ini.“Iya semalam kebetulan ketemu mas Ara.”jawab Nara singkat. Meski sudah bertahun-tahun tetap saja rasanya aneh kalau harus menyebut namanya sendiri untuk memanggil orang lain. Bagaimana bisa orangtuanya memberi ia sebuah nama yang cocok untuk anak laki-laki? Geruttu Nara dalam hati.Arka menganggukkan kepalanya dengan perlahan,”Kenapa dari kemarin kalian sering sekali kebetulan bertemu?”gumanya heran.“Hanya dua kali mas dan cukup dua kali.”sahut Nara cepat.“Memang kebetulan kamu yang mengatur?”tanya Arka tidak mengerti maksud adiknya yang tiba-tiba mengomel.“Ya soalnya kalau keseringan itu bukan kebetulan tapi takdir.”sahut ibu Linda tiba-tiba menimpali perbicaraan anak-anaknya.“Mama lagi pagi-pagi pakai bawa-
Mata Embun membesar begitu selesai mendengar cerita Nara.“Kamu makan malam sama mamanya Ara?”tanyanya memastikan.Nara hanya bisa menghela napas dengan wajah merana,”Kayaknya enggak cukup kacau dengan aku terus-terusan kebetulan ketemu sama mas Ara. Kemarin harus banget ditambah sama ketemu tante Ratih.”gumamnya tak berdaya.“Kamu enggak minta Ara untuk kasih tahu mamanya?”tanya Embun lagi,”Terus kata kamu kemarin itu Ara sudah punya pacar. Kalau tiba-tiba kalian enggak sengaja ketemu apa tidak jadi runyam?”tambahnya mengingatkan.#“Sayang, kita hari ini jadi ketemu?”tanya Ara memastikan saat menelepon Davina pagi ini.“Jadwal operasiku sampai jam tiga sore.”jawab Davina yang sedang melangkah menuju ruang prakteknya.“Aku praktek sampai jam empat hari ini. Kalau begitu kita ketemu waktu jam makan malam.”kata Ara memutuskan.Davina memutar matanya,”Sayang, tapi jangan terlalu malam ya pulangnya. Soalnya aku har
“Itu muka kenapa?”tanya Arka begitu melihat wajah sahabatnya pagi ini.Ara mengusap wajahnya sendiri dengan salah satu tangan,”Davina tiba-tiba minta dijemput.”jawabnya tak bertenaga.“Tadi malam?”tanya Arka heran dengan salah satu alis terangkat.“Sekitar lima jam yang lalu.”sahut Ara memutar matanya.“Dia pulang jam tiga pagi?!”suara Arka terdengar meninggi begitu menyadari penyebab sahabatnya kurang tidur,”Terus dia bisa ke rumah sakit pagi ini?”tanyanya kemudian dengan suara yang tiba-tiba berbisik.Ara langsung tertawa begitu mendengar perubahan cara bicara sahabatnya itu,”Pertanyaannya kita juga sebelumnya enggak pernah tahukan kalau ternyata dia suka banget keluar malam?”jawabnya sambil memiringkan kepala.Arka mengangguk,”Benar juga ya. Mukanya betul-betul enggak ada bedanya. Kurang tidur apa enggak sama saja.”gumamnya membenarkan.#“Kamu nanti sore ada janji sama Alya dan Devan?”tanya Zia pada Nara ya
“Pasien infeksi hati?”tanya Arka saat melihat sahabatnya sedang membaca berkas salah satu pasien.Ara mengangguk tanpa mengalihkan padangannya,”Sudah sampai bolak balik demam tapi tidak langsung diperiksa sudah sampai kuning kulitnya. Hari ini sudah langsung periksa laboratorium lengkap dan MRI.”jelasnya.“Padahal kalau sakit tinggal ke dokter. Kenapa harus tunggu sampai parah?”gerutu Arka sambil memasukkan kedua tangan di kedua kantong pada sisi jas kerjanya.“Sibuk dok. Enggak tahu kalau zaman sekarang waktu itu berharga?”sahut Ara singkat.“Kenapa orang enggak pernah sadar kalau sampai sakit waktu bakal terbuang dengan sia-sia?”gumam Arka lagi.Ara tertawa mendengar sahabatnya yang mengerutu pagi-pagi,”Karena kalau sampai enggak ada orang yang sakit, kita bakal sibuk main ponsel pak dokter.”sahutnya sambil menepuk bahu Arka lalu berjalan perg
“Nara kamu masak mi instan pakai air satu panci?”tanya ibu Linda sambil menunjuk ke arah wastafel tempat putrinya sedang mengisi air,”Itu sampai luber.”katanya lagi.Nara terkejut dengan cepat iya mematikan keran air lalu menuang setengah isinya,”Maaf ma.”gumamnya.“Kenapa kamu minta maaf sama mama? Orang yang bayar tagihan airkan kamu juga.”sahut ibu Linda santai lalu berjalan menuju kamarnya.“Mama bisa saja.”kata Nara sambil tertawa lalu mengambil sebungkus mi instan.#Arka agak malam baru tiba di rumah ia masuk tanpa suara dan melihat adik bungsunya sedang duduk di meja makan, melamun dengan sepiring mi goreng yang belum disentuh. Perlahan Arka mengambil sesuap lalu suapan kedua kemudian suapan berikutnya namun karena makan terlalu cepat ia tersedak.“Mas Arka!”panggil Nara terkejut dan baru menyadari kehadiran kakaknya. Mata Nara membesar saat melihat piring di hadapannya hampir kosong,”Kenapa dihabisin?!”omelnya.
“Kamu kenapa pagi-pagi ada di sini?”tanya Arka heran begitu melihat sahabatnya muncul di depan pintu rumahnya.Mata Ara berputar berusaha untuk membuat alasan bodoh yang bisa terdengar masuk akal.“Aku kebetulan lewat.”jawab Ara sambil membasahi bibirnya. Tadi malam ia tidak berhasil menjelaskan kepada Nara tentang acara keluarga yang harus mereka hadiri minggu depan dan gadis itu tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya.Arka mengangkat sebelah alisnya karena bingung,”Kamu dari mana sampai bisa lewat daerah sini?”tanyanya.Ara memasang wajah bodoh,”Kita cari sarapan saja yuk! Aku enggak sempat makan pagi nih.”pintanya tanpa menjawab pertanyaan yang Arka ajukan.#“Siapa yang datang?”tanya ibu Linda dari dalam rumah.Mendengar suara panggilan dari dalam rumah Ara menarik napas lega.“Itu dipanggil tante Linda.”kata Ara sembari menunjuk ke arah dalam rumah,”Aku tante!”jawabnya sambil berjalan masuk melewati
“Kamu sakit?”tanya Nara yang baru tiba di kantor saat melihat wajah pegawainya yang pucat.Nadira mengejap pelan lalu mengatur napasnya,”Mbak fotonya Lili dan Roni kena rembesan dari plafon yang bocor.”jelasnya panik.Nara berusaha memahami situasi,”Seberapa parah? Mbak Embun sudah datang?”tanyanya pelan.“Belum ada yang datang mbak.”jawab Nadira.“Kapan fotonya mau diambil?”tanya Nara memastikan.Nadira Kembali memasang wajah panik,”Harusnya sore ini.”jelasnya.“Coba aku lihat dulu.”ajak Nara sambil berjalan masuk ke dalam kantor.Noda cokelat yang menghiasi foto klien mereka terlihat begitu jelas dan karena permukaan kain yang digunakan sebagai media untuk mencetak foto, noda itu bisa menyerap dengan sempurna. Nara memutar matanya,”Kamu coba hubungi pihak studio untuk minta mereka cetak lagi lalu tanya kapan bisa selesai. Biar Lili dan Roni nanti aku yang hubungi.”katanya pada Nadira.#Embun dan Zia
“Mas dokter!” panggil pak Asep begitu melihat Ara.“Pak Asep? Apa kabar pak?” sahut Ara sambil tersenyum ramah, ”Sama siapa pak?” tanyanya.Pak Asep ikut tersenyum, ”Baik mas dokter.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang punggung Ara, ”Menemani Indah bawa si kembar periksa.” jelasnya.Begitu menoleh Ara melihat sepasang anak berusia empat tahun sedang berlari ke arah mereka.“Siang mas dokter, sudah lama sekali. Apa kabar?” sapa Indah.Ara tersenyum begitu melihat Indah, ”Wah mereka sudah besar ya.” ujarnya sambil berjongkok menyapa si kembar, ”Kalian Nara kan?” tanyanya sambil tertawa.#“Nara belum datang?” tanya Arka sambil menganggukkan kepala begitu melihat pak Asep dan Indah.Ara melirik jam di pergelangan tangannya, ”Harusnya sudah di sini.” jawabnya sambil mencari, ”Itu dia.” katanya sambil menunjuk ke arah lift.#“Jalanan macet banget tadi.” jelas Nara napas terengah-engah.“Y
“Ya ampun ini jeng satu.” ujar Zia begitu tiba di kantor,”Ponsel kok ditinggal di kantor.”katanya sambil mengangkat ponsel milik Nara yang ada di atas meja.“Mbak Nara sudah pulang?” tanya Galang, ”Apa kalau enggak kita titip ke mas Arka saja? Mungkin mas Arka belum pulang.” sarannya sambil menunjuk ke arah bangunan sebelah.“Tapi teleponnya mas Arka enggak diangkat nih.” kata Zia saat mencoba menelepon Arka dengan menggunakan ponsel milik sahabatnya itu.#“Arka belum selesai ya.” gumam Ara begitu keluar dari ruang operasi, ”Mau pulang? Apa makan dulu ya? Kenapa aku jadi bingung begini.” ujarnya pada dirinya sendiri, ”Itu anak lagi ngapain ya? Kok bisa sih sudah seminggu dia benar-benar enggak nyariin aku.” keluh Ara tanpa sadar sambil menatap ponselnya.#“Halo?” jawab Ara tanpa sadar malah tersenyum lebar begitu melihat siapa yang meneleponnya.“Halo mas!” balas Zia cepat.Begitu mendengar suara Zia yang menjawab,
“Kok kamu enggak tanya apa-apa?” tanya Ara begitu duduk berhadapan dengan Davina.“Memang ada apa lagi yang bisa aku tanya?” balas Davina sedikit ketus, ”Bisa-bisanya dirimu enggak cerita sama sekali.” omelnya lagi.“Maaf aku juga bingung harus bagaimana ceritanya.” jelas Ara memberi alasan.“Kamu sih benar-benar bikin aku malu di depan keluargamu. Mana baru pertama kali ketemu lagi.” keluh Davina sambil menahan senyum.Melihat kekasihnya itu tidak jadi marah Ara pun menghela napas lega.#“Kamu benaran mau pergi?” tanya Embun begitu melihat Nara menutup teleponnya.Nara menghela napas panjang, ”Memang aku punya pilihan untuk enggak pergi?” jawabnya.“Kayaknya tante Ratih tahu apa enggak, enggak banyak pengaruhnya.” komentar Zia menanggapi.#“Mama yang benar saja? Kalau mas tahu bagaimana?” oceh Nathan begitu tahu kalau ibu Ratih habis menelepon Nara.“Mama kan kangen sama Nara.” kata ibu Ratih m
“Mbak! Itu tante Ratih datang.” ujar Nadira sambil berlari ke arah dalam kedai.“Ini kedai punya anaknya, sudah jelas tante Ratih pasti datang.” jawab Nara berusaha terdengar setenang mungkin padahal jantungnya tidak berhenti berdegup, apa lagi saat mendengar kalau kedua orangtuanya begitu bersemangat untuk menerima undangan dari Nathan.“Mbak! Tante Linda sama om Yono balik ke sini lagi sama mas Arka kapan?” kata Galang yang muncul dengan wajah panik beberapa saat kemudian, ”Itu tante Ratih sudah di depan.” katanya lagi tiba-tiba dengan suara berbisik.“Kamu telat.” balas Nadira cepat.#“Kok kalian masih di sini?” tanya Ara begitu melihat Zia sambil menunjuk penghuni kantor Nara yang lainnya.“Kami di sini sih enggak masalah mas.” jawab Zia dengan wajah cemas, ”Yang repot itu nanti tante Linda sama om Yono balik lagi sama mas Arka.” jelasnya cepat.Mendengar itu dalam hitungan detik Ara segera menghilang dari hadapan Z
“Kamu serius?” tanya Nathan memastikan begitu mendapat kabar dari Zinnia, rekan usahanya yang juga merupakan adik teman baiknya sejak masa SMA.“Iya mas. Bagaimana nih? Acaranya kan tinggal tiga hari lagi.” Jawab Zin cemas.Nathan mengetuk bagian belakang ponselnya sambil berpikir, ”Nanti biar aku yang coba cari gantinya.” kata Nathan akhirnya.#Ara dan Nara cukup lama saling berpandangan, keduanya tidak bisa langsung menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Arka. Untung saja Dewi dengan cepat membaca kepanikkan dua Nara itu, ”Sayang, sudah malam nih. Besok kan kamu juga ada jadwal operasi pagi.” katanya sambil mengapit lengan Arka, “Ayo kita pulang.” ajak Dewi dengan setengah memaksa sambil memberi isyarat pada Nara dengan menggerakkan kepalanya.“Iya mas sudah malam. Kami juga pulang dulu ya.” ujar Nara cepat segera menarik lengan Ara yang masih berdiri mematung dengan wajah kaku.#“Mas! Mas
“Mas Arka! Kok baru pulang?” tanya Nara saat keluar dari mobil dan berpapasan dengan kakaknya itu.“Habis seminar.” jawab Arka singkat, ”Kalian kenapa bisa sama-sama?” tanyanya heran.Ara yang tidak turun dari mobil hanya menurutkan kaca mobilnya, ”Mana ada seminar sampai jam sebelas malam?” tanyanya curiga.Arka tidak langsung menjawab mata-matanya bergerak-gerak cemas.“Mas kenapa malah kayak orang bingung begitu?” tanya Nara ikut menimpali.“Macet! Macet!” jawab Arka akhirnya, ”Jadi kenapa kalian bisa sama-sama?” ulangnya sengaja mengalihkan.”Terpaksa ketemu mas.” jawab Nara singkat.“Mustinya diriku yang bilang begitu.” balas Ara tidak terima, ”Tahu begitu tadi harusnya aku biarin kamu pulang sendiri.” gerutunya sebal.“Memang siapa yang suka diantarin pulang sama mas!” omel Nara dengan suara meninggi.Arka yang awalnya sempat panik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ara kini menarik
“Mbak! Hasil video minggu kemarin enggak bisa dibuka!” seru Galang panik langsung menerobos masuk ke dalam ruang kerja ketiga mbak bosnya itu.Sontak ketiganya langsung menoleh menatap satu-satunya pria di kantor mereka itu.“Bagaimana bisa? Punya Alya dan Devan kan kemarin semua sudah di cek. Baik-baik saja kok.” ujar Embun yakin.Galang menunjuk ke arah luar ruangan, “Yang bermasalah itu punya Lusi dan Bima mbak.” terangnya dengan wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Mendengar itu mata Nara langsung membesar, ”Kok bisa? Kamu yakin kemarin enggak ada salah?” tanyanya memastikan.“Yakin mbak!” jawab Galang yakin.“Kamun coba cek lagi, kalau masih enggak bisa segera pergi ambil lagi video mentahannya ke tempat mas Baro.” ujar Zia cepat.“Nanti aku yang akan kasih tahu kantor mas Baro.” tambah Nara lagi.#“Ma aku sudah bilang kan dari kemarin. Itu bukan urusan kita.” jelas Ara untuk kesekian kalinya.
“Wah! Ini hadiah ulang tahun buat mama?” tanya ibu Linda dengan mata berbinar begitu melihat batu kecil yang menghiasi kalung pemberian ke dua anaknya.Arka tanpa sadar tersenyum senang begitu melihat reaksi ibu Linda, ”Nara yang pilih ma. Terus Nara yang satu lagi kasih ide untuk kasih mama perhiasan.” jelasnya, “Wah! Aku baru tahu kalau mama suka sama benda yang satu ini.” komentar Arka yang tidak menyangka kalau ibunya akan sesenang ini.Ibu Linda yang masih memasang senyum lebar sibuk mengenakan kalung barunya, “Cuma wanita aneh yang menolak benda cantik begini.” katanya ringan.Nara yang mendengar kata-kata ibunya mau tidak mau mengingat dua kejadian waktu di mana dirinya ribut menolak pemberian Ara juga ibu Ratih.“Kamu kok malah bengong?” tegur ibu Linda sambil menyenggol lengan putrinya itu.#“Ini bagaimana dong?” keluh Zia sambil menopak dagu dengan kedua tangannya.Nara yang juga belum lama tiba di kantor ikut
Karena Arka dan Rio harus pergi menjemput dokter Tio beserta istrinya jadilah Nara dan seisi kantornya malah ikut menemani Ara di UGD, bukan menemani lebih tepatnya mereka semua penasaran kenapa para dokter itu ramai-ramai menangis.“Mas sudah jangan diam begitu kenapa? Bikin takut orang tahu.” tegur Nara pada Ara yang hanya duduk diam di sebelahnya tanpa mengatakan apa pun.Ara yang tadi sempat terisak saat menghadapi kepergian Danu hanya menghela napas panjang.“Mas enggak mau makan?” tanya Galang yang baru datang sambil menyodorkan hamburger yang baru saja dibelinya bersama Nadira dari restoran cepat saji di depan mal.Namun bukannya menanggapi Ara malah hanya mengangkat kepala menatap ke arah Galang yang berdiri di hadapannya.“Ada apa mas?” tanya Galang yang kebingungan dengan maksud tatapan yang ditujukan kepadanya.Terlihat ada rasa penyelasan di mata Ara, ”Seharusnya jangan aku angkat waktu itu.” gumamnya pelan