“Itu muka kenapa?”tanya Arka begitu melihat wajah sahabatnya pagi ini.
Ara mengusap wajahnya sendiri dengan salah satu tangan,”Davina tiba-tiba minta dijemput.”jawabnya tak bertenaga. “Tadi malam?”tanya Arka heran dengan salah satu alis terangkat. “Sekitar lima jam yang lalu.”sahut Ara memutar matanya. “Dia pulang jam tiga pagi?!”suara Arka terdengar meninggi begitu menyadari penyebab sahabatnya kurang tidur,”Terus dia bisa ke rumah sakit pagi ini?”tanyanya kemudian dengan suara yang tiba-tiba berbisik. Ara langsung tertawa begitu mendengar perubahan cara bicara sahabatnya itu,”Pertanyaannya kita juga sebelumnya enggak pernah tahukan kalau ternyata dia suka banget keluar malam?”jawabnya sambil memiringkan kepala. Arka mengangguk,”Benar juga ya. Mukanya betul-betul enggak ada bedanya. Kurang tidur apa enggak sama saja.”gumamnya membenarkan.# “Kamu nanti sore ada janji sama Alya dan Devan?”tanya Zia pada Nara yang duduk di sebelahnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Nara menganggukkan kepala,”Sekitar jam lima. Mereka mau lihat gaun di tempat mbak Khansa.”jelasnya. “Kalian ada permen enggak? Mau dong.”tanya Embun tiba-tiba. “Ada di dalam tas mbak.”sahut Nara sambil menunjuk tasnya yang terletak di ujung meja kerjanya. Dengan santai Embun mendekat lalu mulai mencari permen di dalam tas milik Nara,”Sejak kapan kamu punya benda seperti ini?”tanya sambil mengangkat sebuah dompet kartu dari tas Nara. Mata Nara membesar begitu melihat benda di tangan Embun, ia lupa sama sekali untuk mengembalikannya pada Ara. “Kamu beli dompet seharga satu bulan gaji?”tanya Zia dengan alis berkerut begitu melihat merek yang tertera pada dompet di tangan Embun. “Itu bukan aku yang beli.”jelas Nara akhirnya,”Itu permintaan maaf dari mas Ara.”katanya lagi. Zia mengejap-ngejapkan matanya,”Kesalahan apa yang mengharuskan dia memberi kamu dompet seharga satu bulan gaji?”tanyanya begitu mendengar penjelasan Nara.# “Kenapa si bontot kelihatan capek banget sih ma?”tanya pak Yono pada istrinya. “Biasa pa lagi banyak kerjaan.”jawab ibu Linda sambil menyodorkan segelas teh hangat pada suaminya. “Dua anak kita kapan akan nikah?”gumam pak Yono sambil mengambil sepotong martabak telur yang tersaji di atas meja. Ibu Linda tertawa mendengar suaminya mengeluh,”Mau nikah sama siapa? Orang Arka saja sekarang enggak punya pacar. Nara juga sama habis tahun lalu putus dari Gio sampai sekarang belum punya gandengan lagi.”jelasnya. Pak Yono meresap pelan tehnya,”Kenapa Nara putus sama si jurangan emas itu?”tanyanya. “Papa kok manggilnya sama kayak Arka sih? Namanya itu Gio. Awas jangan sampai kedengaran Nara nanti dia bisa marah.”kata ibu Linda mengingatkan suaminya,”Ketangkap basah jalan sama teman sekolahnya.”jelasnya lagi menjawab pertanyaan ayah Nara. “Selingkuh?”tanya pak Yono memastikan. “Begitu deh pak.”sahut ibu Linda membenarkan pertanyaan suaminya.# “Mama sama masmu kemarin itu sempat makan malam bareng Nara.”kata ibu Ratih begitu melihat Nathan, putra bungsunya yang baru tiba di rumah sore itu. “Nara adiknya mas Arka?”tanya Nathan yang hampir tersedak waktu mendengar perkataan ibunya. “Kamu juga tahu kalau Arka punya adik perempuan yang namanya sama kayak kakakmu?”tanya ibu Ratih pada putra bungsunya. Nathan terlihat ragu untuk menjawab,”Tapi aku enggak pernah ketemu ma.”jawabnya,”Mama yakin kalau mereka pacaran?”tanya Nathan memastikan kata-kata ibunya lagi. “Masmu enggak mengelak sih waktu mama tanya.”jelas ibu Ratih ringan,”Kamu tahu enggak kalau adiknya Arka itu manis sekali. Mama suka banget. Mana anaknya baik, sopan, mandiri juga.”jelasnya panjang lebar pada putra bungsunya yang kini sibuk sendiri dengan pikirannya. Nathan menjadi semakin bingung dengan maksud ibunya. Karena ia sama sekali tidak menyangka kalau kakak sulungnya akan punya hubungan dengan adik sahabatnya. Bagaimana mungkin ia melewatkannya? Rasanya terakhir kali ia mendengar kalau kakaknya itu sedang suka dengan temannya yang sesama dokter. # “Alya dan Devan batal ke tempat Khansa hari ini?”tanya Embun begitu mengangkat telepon dari Nara. “Iya mbak katanya mendadak ada urusan kerjaan yang enggak bisa ditinggal.”jelas Nara sambil berhenti mengambil sepotong roti isi kacang di salah satu toko roti yang terdapat di dalam mal. “Terus sekarang kamu mau pulang?”tanya Embun kemudian,”Sebaiknya kamu tidur cepat malam ini. Kalau kamu sampai jaga malam lagi nanti tak carikan lowongan jadi hansip ya.”omelnya sambil tertawa. Nara ikut tertawa mendengar kata-kata rekan kerjanya itu,”Selesai beli roti aku pulang kok.”jawabnya lalu mengakhiri pembicaraan. Nara melihat nampan di salah satu tangannya,”Sepertinya masih kurang.”gumamnya pelan lalu mulai melihat-lihat kira-kira roti apa yang akan mencuri perhatiannya?# “Maaf.”kata Nara terkejut waktu jepitannya berbenturan dengan jepitan lain saat hendak mengambil sepotong roti di dalam rak. Suasana tiba-tiba berubah seperti adegan yang sering terjadi di iklan pasta gigi Hanya saja tidak ada senyuman yang menghiasi wajah Nara karena mendadak perasaannya jadi tidak enak. “Nara?”panggil suara dari sisi yang berseberangan dengan tempat Nara berdiri dan lagi-lagi entah kenapa suara itu terdengar akrab di telinganya. Karena rak roti cukup tinggi dan menutupi sosok yang menyapanya Nara segera menunduk dan mengintip di antara sela-sela roti. “Mas Ara?”ujar Nara merasa tidak terima begitu melihat pria yang berdiri di hadapannya. Kenapa lagi-lagi mereka bertemu tanpa janji? Omelnya dalam hati. Ara tersenyum sambil mengangkat nampan yang penuh roti di kedua tangannya.# “Ini mas.”kata Nara sambil menyodorkan dompet kartu yang waktu itu diberikan kepadanya. Ara mendorong kembali dompet itu ke arah Nara,”Itukan untuk kamu. Kenapa dikasih balik ke aku?”tanyanya bingung. “Beban mas bawa dompet seharga satu bulan gaji.”kata Nara memberi alasan. Alis Ara berkerut tidak percaya mendengar alasan adik sahabatnya itu,”Masak? Gajimu hanya seharga ini?”tanyanya sambil menunjuk dompet kartu di tangan Nara. Nara memutar mata sambil menghela napas,”Kami bertiga sepakat untuk memutar keuntungan tiga tahun pertama untuk biaya operasional. Jadi sementara itu kami dapat gaji yang sama.”jelasnya dan kenapa ia harus menjelaskan hal ini pada sahabat kakaknya? Pikir Nara,”Sudah pokoknya aku enggak bisa terima.”katanya lagi menegaskan. “Kamu jual saja kalau begitu.”ujar Ara santai. “Kenapa harus aku jual? Kan mas bisa pakai.”sahut Nara bingung. “Dokter mana pernah menyimpan kartu nama? Aku kan bukan pengusaha”jawab Ara sekenanya. “Masak enggak ada orang yang bisa dikasih?”tanya Nara lagi. Kenapa jadi dirinya yang harus pusing karena masalah dompet? Omel Nara tanpa suara. “Habis yang aku kasih menolak kecuali kamu bisa merayu orang yang aku kasih.”jawab Ara sambil tersenyum iseng. Nara menghela napas panjang mendengar jawaban pria cuek di hadapannya.# Ibu Ratih memperhatikan putra sulungnya yang baru masuk lalu meletakkan kantong besar berisi roti di atas meja makan. “Kamu habis pergi dengan pacarmu?”tanya ibu Ratih sambil menunjuk bawaan yang di bawa pulang oleh Ara. Ara memutar mata mencerna maksud pertanyaan ibunya,”Iya ma tadi aku beli ini sama Nara.”jelasnya. Sudah pasti yang dimaksud ibunya bukan Davina dan ia juga tidak berbohong karena memang tadi dirinya bertemu dengan Nara. “Kapan kita makan malam sama-sama lagi? Mama suka sekali sama pacarmu itu.”ujar ibu Ratih sambil memegang kalung hadiah ulang tahun dari putra dan gadis yang disangka calon menantunya itu. “Nanti deh ma. Kami atur waktu dulu.”jawab Ara sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal.# Nathan mendengar suara pintu kamar ditutup, itu pertanda kakak sulungnya sudah sampai di rumah dengan cepat ia keluar dari kamarnya. “Mas!”panggil Nathan menerjang masuk dengan cepat. Ara yang terkejut langsung memutar badannya menghadap Nathan,” Itu pintu gunanya untuk diketuk.”omelnya sambil menunjuk ke arah pintu,”Jangan main masuk saja terus bikin kaget orang!”kata Ara lagi melanjutkan omelannya. “Mas kok bisa pacaran sama adiknya mas Arka?”tanya Nathan tanpa memperdulikan ocehan kakaknya. “Kok kamu itu bisa sampai ke telingamu?”tanya Ara heran. Nathan menunjuk ke bawah lantai,”Mama yang bilang.”sahutnya singkat,”Bukan terakhir mas cerita sama aku kalau mas lagi suka sama dokter dari rumah sakit mana itu.”kata Nathan lagi melanjutkan rasa penasarannya. Ara menghela napas panjang,”Mama salah paham, lebih tepatnya tante Winda teman arisan mama yang salah paham dan soal Davina mama belum tahu.”jelasnya. “Tunggu jadi mas sebenarnya pacaran sama siapa?”tanya Nathan dengan dahi berkerut bingung. “Pacarku Davina tapi mama tahunya Nara yang pacarku.”jelas Ara cepat. “Jadi mama malah sudah pernah ketemu adiknya mas Arka tapi belum tahu sama sekali soal pacar benarannya mas?”tanya Nathan lagi memastikan setelah mencerna antara cerita yang ia dengar dari ibunya dan kakak sulungnya itu. Ara menganggukkan kepala,”Lebih kurang begitu.”jawabnya membenarkan tebakkan adiknya. “Terus mas enggak mau klarifikasi? Nanti kalau jadi salah paham bagaimana?”tanya Nathan dengan kerutan yang semakin banyak muncul di dahinya. “Ini juga sudah jadi salah paham. Kamu tahu sendiri mama kalau sedang senang apa juga enggak didengar.”jawab Ara dengan merana,”Mana mama suka banget lagi sama Nara.”gumamnya lagi. Nathan mengacak rambutnya dengan gemas,”Wah kalau begini perkara saat ibumu sudah jatuh cinta, suaramu takkan terdengar.”katanya dengan wajah serius. Ara langsung tertawa begitu mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut adiknya itu,”Kamu kok tiba-tiba bikin sajak? Aku yang pusing kok kamu malah jadi pujangga?”katanya.# “Kamu beli roti di Bogor? Kenapa baru sampai sekarang?”tanya pak Yono begitu melihat putri bungsu yang memberi kabar sudah akan pulang tapi baru muncul di rumah hampir tiga jam kemudian. Nara menarik napas panjang begitu mengingat perdebatan mengenai dompet kartu yang lagi-lagi masih berakhir di dalam tasnya. “Ke mana lagi tadi?”tanya bu Linda sambil membuka bungkusan roti yang dibawa Nara. “Mendadak ada urusan ma.”jelas Nara singkat sambil meletakkan tasnya. “Sudah sana mandi. Ini sudah mau jam sembilan malam.”perintah pak Yono pada putrinya,”Kamu sudah makan?”tanyanya lagi. Lagi-lagi Nara menghela napas, ia lupa kalau dirinya belum makan malam. Rencana untuk pulang cepat dan makan malam di rumah jadi berantakan,”Belum pa tadi enggak sempat.”jawabnya dengan suara sedih, “Cepat mandi lalu makan malam.”kata ibu Linda. Nara mengangguk perlahan lalu segera berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. “Anakmu kalau terus begitu lama-lama bisa sakit.”ujar pak Yono pada istrinya.# Hampir jam sebelas setelah akhirnya Nara selesai mandi, makan malam dan menerima ceramah dari kedua orangtuanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar karena kantuk dan lelah. Nara bergegas menuju kamar mandi dan mengambil sikat gigi. “Sebaiknya dijual di mana itu dompet.”kata Nara pada dirinya sendiri dengan mulut penuh busa sambil mengetuk jari-jarinya di atas wastafel“Pasien infeksi hati?”tanya Arka saat melihat sahabatnya sedang membaca berkas salah satu pasien.Ara mengangguk tanpa mengalihkan padangannya,”Sudah sampai bolak balik demam tapi tidak langsung diperiksa sudah sampai kuning kulitnya. Hari ini sudah langsung periksa laboratorium lengkap dan MRI.”jelasnya.“Padahal kalau sakit tinggal ke dokter. Kenapa harus tunggu sampai parah?”gerutu Arka sambil memasukkan kedua tangan di kedua kantong pada sisi jas kerjanya.“Sibuk dok. Enggak tahu kalau zaman sekarang waktu itu berharga?”sahut Ara singkat.“Kenapa orang enggak pernah sadar kalau sampai sakit waktu bakal terbuang dengan sia-sia?”gumam Arka lagi.Ara tertawa mendengar sahabatnya yang mengerutu pagi-pagi,”Karena kalau sampai enggak ada orang yang sakit, kita bakal sibuk main ponsel pak dokter.”sahutnya sambil menepuk bahu Arka lalu berjalan perg
“Nara kamu masak mi instan pakai air satu panci?”tanya ibu Linda sambil menunjuk ke arah wastafel tempat putrinya sedang mengisi air,”Itu sampai luber.”katanya lagi.Nara terkejut dengan cepat iya mematikan keran air lalu menuang setengah isinya,”Maaf ma.”gumamnya.“Kenapa kamu minta maaf sama mama? Orang yang bayar tagihan airkan kamu juga.”sahut ibu Linda santai lalu berjalan menuju kamarnya.“Mama bisa saja.”kata Nara sambil tertawa lalu mengambil sebungkus mi instan.#Arka agak malam baru tiba di rumah ia masuk tanpa suara dan melihat adik bungsunya sedang duduk di meja makan, melamun dengan sepiring mi goreng yang belum disentuh. Perlahan Arka mengambil sesuap lalu suapan kedua kemudian suapan berikutnya namun karena makan terlalu cepat ia tersedak.“Mas Arka!”panggil Nara terkejut dan baru menyadari kehadiran kakaknya. Mata Nara membesar saat melihat piring di hadapannya hampir kosong,”Kenapa dihabisin?!”omelnya.
“Kamu kenapa pagi-pagi ada di sini?”tanya Arka heran begitu melihat sahabatnya muncul di depan pintu rumahnya.Mata Ara berputar berusaha untuk membuat alasan bodoh yang bisa terdengar masuk akal.“Aku kebetulan lewat.”jawab Ara sambil membasahi bibirnya. Tadi malam ia tidak berhasil menjelaskan kepada Nara tentang acara keluarga yang harus mereka hadiri minggu depan dan gadis itu tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya.Arka mengangkat sebelah alisnya karena bingung,”Kamu dari mana sampai bisa lewat daerah sini?”tanyanya.Ara memasang wajah bodoh,”Kita cari sarapan saja yuk! Aku enggak sempat makan pagi nih.”pintanya tanpa menjawab pertanyaan yang Arka ajukan.#“Siapa yang datang?”tanya ibu Linda dari dalam rumah.Mendengar suara panggilan dari dalam rumah Ara menarik napas lega.“Itu dipanggil tante Linda.”kata Ara sembari menunjuk ke arah dalam rumah,”Aku tante!”jawabnya sambil berjalan masuk melewati
“Kamu sakit?”tanya Nara yang baru tiba di kantor saat melihat wajah pegawainya yang pucat.Nadira mengejap pelan lalu mengatur napasnya,”Mbak fotonya Lili dan Roni kena rembesan dari plafon yang bocor.”jelasnya panik.Nara berusaha memahami situasi,”Seberapa parah? Mbak Embun sudah datang?”tanyanya pelan.“Belum ada yang datang mbak.”jawab Nadira.“Kapan fotonya mau diambil?”tanya Nara memastikan.Nadira Kembali memasang wajah panik,”Harusnya sore ini.”jelasnya.“Coba aku lihat dulu.”ajak Nara sambil berjalan masuk ke dalam kantor.Noda cokelat yang menghiasi foto klien mereka terlihat begitu jelas dan karena permukaan kain yang digunakan sebagai media untuk mencetak foto, noda itu bisa menyerap dengan sempurna. Nara memutar matanya,”Kamu coba hubungi pihak studio untuk minta mereka cetak lagi lalu tanya kapan bisa selesai. Biar Lili dan Roni nanti aku yang hubungi.”katanya pada Nadira.#Embun dan Zia
Nara memandang sahabat kakaknya dengan kesal.“Kamu enggak mau pulang? Ayo aku antar.”ujar Ara santai tanpa peduli dengan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya.“Tolong dijelaskan bagaimana mobil ini bisa enggak menarik perhatian tetangga dan seisi rumahku?”tanya Nara dingin menunjuk ke arah mobil mahal milik Ara.Ara memamerkan deretan giginya,”Kita ke rumahku dulu kalau begitu.”ujarnya cepat.“Enggak usahlah mas. Aku naik taxi saja.”sahut Nara menunjuk deretan taxi di depan lobi hotel.“Jangan dong inikan sudah jam sepuluh malam. Masa kamu mau pulang naik taxi sendirian.”sahut Ara melarang.“Kalau kita harus ke rumah mas dulu juga akan makin malam aku pulangnya.”gerutu Nara datar.“Tenang kita hanya akan ganti mobil.”ujar Ara ringan sambil mendorong Nara masuk ke dalam mobil.#“Kata mas kita akan langsung ke rumahku?”protes Nara sebal dengan suara berbisik agar ibu Ratih tidak mendengar kata-katany
Arka yang sedang bersiap-siap untuk makan malam kini menatap adik bungsunya yang tiba di rumah tidak lama setelah dirinya dengan wajah bingung,”Kamu bilang mau pulang tepat waktu karena capek?”tanyanya dengan alis terangkat sebelah mengingat Nara menolak untuk menunggu dirinya yang masih harus menanggani pasien di ruang ICU.Nara hanya tersenyum bodoh saat melihat Arka dengan tangan yang sedang sibuk menyendok nasi di meja makan bertanya kepadanya. Bagaimana dirinya bisa mengatakan kalau ia sekarang ini sangat ingin memasukkan sahabat kakaknya itu ke dalam kotak lalu melemparkannya ke samudra Hindia karena setiap kali selalu saja membawa masalah untuknya.“Kamu kok belakangan jadi sering makan malam-malam?”tanya Arka heran begitu melihat Nara mengambil piring dan ikut bergabung dengannya.Tiba-tiba ibu Linda yang keluar dari kamar untuk mengambil air minum malah ikut bergabung di meja makan begitu mendengar pembicaraan kedua anaknya,“Iya kamu d
Nara memandang pantulan dirinya di cermin, menghela napas karena melihat kalung itu kembali melingkar di lehernya. Matanya tiba-tiba membesar dengan cepat ia berlari membuka tas kerjanya lalu mengeluarkan sebuah amplop,”Aku lupakan memberikan ini ke mas Ara.”ocehnya pada dirinya sendiri,”Atau sebaiknya aku jual juga kalung ini?”gumam Nara lagi. Namun, lagi-lagi Nara menghela napas panjang bagaimana caranya menjual kalung berlian yang surat-suratnya bahkan tidak ada padanya, bisa-bisa nanti disangka barang curian. Ia juga belum mengembalikan gaun sewaan ke butik Khansa. Kenapa sekarang kamarnya jadi dipenuhi barang-barang mahal? Gerutu Nara lelah.#Pagi ini ibu Linda yang sedang sarapan bersama suami dan kedua anaknya tiba-tiba sibuk menyadari akan sesuatu,”Sejak kapan kamu pakai kalung? Baru ya?”tanyanya sambil menunjuk ke arah leher putri bungsunya.Nara nyaris tersedak bubur ayam yang ada di mu
“Jadi pacar mas itu mbak Davina?”tanya Nara begitu sahabat kakaknya itu selesai bercerita tentang alasannya datang ke rumah sakit lain siang tadi.Ara mengangguk,”Baru tiga minggu? Kurang lebih.”jawabnya tidak yakin,”Tunggu kok kamu bisa kenal sama Davina?”tanyanya heran.Nara mengangguk pelan,”Enggak kenal cuma pernah ketemu waktu mas Arka lagi tugas di Bandung.”jelasnya singkat lalu dengan cepat memutar badannya menghadap ke arah kursi kemudi,”Jadi kapan mas akan kasih tahu tante Ratih tentang masalah ini?”tanyanya sambil melipat kedua tangan di bawah dada.“Secepatnya.”jawab Ara cepat, ia agak sedikit terkejut karena tiba-tiba Nara mengubah topik pembicaraan. Beruntung mereka sudah sampai di restoran cepat saji yang ditunjuk Nara jadi ia menghentikan mobilnya,”Kamu enggak mau pesan makanan.”katanya segera mengalihkan perhatian Nara dengan menunjuk benda besar berbentuk kotak dan berwarna hitam yang mempersilahkan pelanggan untuk memesan makanan. K
“Mas dokter!” panggil pak Asep begitu melihat Ara.“Pak Asep? Apa kabar pak?” sahut Ara sambil tersenyum ramah, ”Sama siapa pak?” tanyanya.Pak Asep ikut tersenyum, ”Baik mas dokter.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang punggung Ara, ”Menemani Indah bawa si kembar periksa.” jelasnya.Begitu menoleh Ara melihat sepasang anak berusia empat tahun sedang berlari ke arah mereka.“Siang mas dokter, sudah lama sekali. Apa kabar?” sapa Indah.Ara tersenyum begitu melihat Indah, ”Wah mereka sudah besar ya.” ujarnya sambil berjongkok menyapa si kembar, ”Kalian Nara kan?” tanyanya sambil tertawa.#“Nara belum datang?” tanya Arka sambil menganggukkan kepala begitu melihat pak Asep dan Indah.Ara melirik jam di pergelangan tangannya, ”Harusnya sudah di sini.” jawabnya sambil mencari, ”Itu dia.” katanya sambil menunjuk ke arah lift.#“Jalanan macet banget tadi.” jelas Nara napas terengah-engah.“Y
“Ya ampun ini jeng satu.” ujar Zia begitu tiba di kantor,”Ponsel kok ditinggal di kantor.”katanya sambil mengangkat ponsel milik Nara yang ada di atas meja.“Mbak Nara sudah pulang?” tanya Galang, ”Apa kalau enggak kita titip ke mas Arka saja? Mungkin mas Arka belum pulang.” sarannya sambil menunjuk ke arah bangunan sebelah.“Tapi teleponnya mas Arka enggak diangkat nih.” kata Zia saat mencoba menelepon Arka dengan menggunakan ponsel milik sahabatnya itu.#“Arka belum selesai ya.” gumam Ara begitu keluar dari ruang operasi, ”Mau pulang? Apa makan dulu ya? Kenapa aku jadi bingung begini.” ujarnya pada dirinya sendiri, ”Itu anak lagi ngapain ya? Kok bisa sih sudah seminggu dia benar-benar enggak nyariin aku.” keluh Ara tanpa sadar sambil menatap ponselnya.#“Halo?” jawab Ara tanpa sadar malah tersenyum lebar begitu melihat siapa yang meneleponnya.“Halo mas!” balas Zia cepat.Begitu mendengar suara Zia yang menjawab,
“Kok kamu enggak tanya apa-apa?” tanya Ara begitu duduk berhadapan dengan Davina.“Memang ada apa lagi yang bisa aku tanya?” balas Davina sedikit ketus, ”Bisa-bisanya dirimu enggak cerita sama sekali.” omelnya lagi.“Maaf aku juga bingung harus bagaimana ceritanya.” jelas Ara memberi alasan.“Kamu sih benar-benar bikin aku malu di depan keluargamu. Mana baru pertama kali ketemu lagi.” keluh Davina sambil menahan senyum.Melihat kekasihnya itu tidak jadi marah Ara pun menghela napas lega.#“Kamu benaran mau pergi?” tanya Embun begitu melihat Nara menutup teleponnya.Nara menghela napas panjang, ”Memang aku punya pilihan untuk enggak pergi?” jawabnya.“Kayaknya tante Ratih tahu apa enggak, enggak banyak pengaruhnya.” komentar Zia menanggapi.#“Mama yang benar saja? Kalau mas tahu bagaimana?” oceh Nathan begitu tahu kalau ibu Ratih habis menelepon Nara.“Mama kan kangen sama Nara.” kata ibu Ratih m
“Mbak! Itu tante Ratih datang.” ujar Nadira sambil berlari ke arah dalam kedai.“Ini kedai punya anaknya, sudah jelas tante Ratih pasti datang.” jawab Nara berusaha terdengar setenang mungkin padahal jantungnya tidak berhenti berdegup, apa lagi saat mendengar kalau kedua orangtuanya begitu bersemangat untuk menerima undangan dari Nathan.“Mbak! Tante Linda sama om Yono balik ke sini lagi sama mas Arka kapan?” kata Galang yang muncul dengan wajah panik beberapa saat kemudian, ”Itu tante Ratih sudah di depan.” katanya lagi tiba-tiba dengan suara berbisik.“Kamu telat.” balas Nadira cepat.#“Kok kalian masih di sini?” tanya Ara begitu melihat Zia sambil menunjuk penghuni kantor Nara yang lainnya.“Kami di sini sih enggak masalah mas.” jawab Zia dengan wajah cemas, ”Yang repot itu nanti tante Linda sama om Yono balik lagi sama mas Arka.” jelasnya cepat.Mendengar itu dalam hitungan detik Ara segera menghilang dari hadapan Z
“Kamu serius?” tanya Nathan memastikan begitu mendapat kabar dari Zinnia, rekan usahanya yang juga merupakan adik teman baiknya sejak masa SMA.“Iya mas. Bagaimana nih? Acaranya kan tinggal tiga hari lagi.” Jawab Zin cemas.Nathan mengetuk bagian belakang ponselnya sambil berpikir, ”Nanti biar aku yang coba cari gantinya.” kata Nathan akhirnya.#Ara dan Nara cukup lama saling berpandangan, keduanya tidak bisa langsung menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Arka. Untung saja Dewi dengan cepat membaca kepanikkan dua Nara itu, ”Sayang, sudah malam nih. Besok kan kamu juga ada jadwal operasi pagi.” katanya sambil mengapit lengan Arka, “Ayo kita pulang.” ajak Dewi dengan setengah memaksa sambil memberi isyarat pada Nara dengan menggerakkan kepalanya.“Iya mas sudah malam. Kami juga pulang dulu ya.” ujar Nara cepat segera menarik lengan Ara yang masih berdiri mematung dengan wajah kaku.#“Mas! Mas
“Mas Arka! Kok baru pulang?” tanya Nara saat keluar dari mobil dan berpapasan dengan kakaknya itu.“Habis seminar.” jawab Arka singkat, ”Kalian kenapa bisa sama-sama?” tanyanya heran.Ara yang tidak turun dari mobil hanya menurutkan kaca mobilnya, ”Mana ada seminar sampai jam sebelas malam?” tanyanya curiga.Arka tidak langsung menjawab mata-matanya bergerak-gerak cemas.“Mas kenapa malah kayak orang bingung begitu?” tanya Nara ikut menimpali.“Macet! Macet!” jawab Arka akhirnya, ”Jadi kenapa kalian bisa sama-sama?” ulangnya sengaja mengalihkan.”Terpaksa ketemu mas.” jawab Nara singkat.“Mustinya diriku yang bilang begitu.” balas Ara tidak terima, ”Tahu begitu tadi harusnya aku biarin kamu pulang sendiri.” gerutunya sebal.“Memang siapa yang suka diantarin pulang sama mas!” omel Nara dengan suara meninggi.Arka yang awalnya sempat panik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ara kini menarik
“Mbak! Hasil video minggu kemarin enggak bisa dibuka!” seru Galang panik langsung menerobos masuk ke dalam ruang kerja ketiga mbak bosnya itu.Sontak ketiganya langsung menoleh menatap satu-satunya pria di kantor mereka itu.“Bagaimana bisa? Punya Alya dan Devan kan kemarin semua sudah di cek. Baik-baik saja kok.” ujar Embun yakin.Galang menunjuk ke arah luar ruangan, “Yang bermasalah itu punya Lusi dan Bima mbak.” terangnya dengan wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Mendengar itu mata Nara langsung membesar, ”Kok bisa? Kamu yakin kemarin enggak ada salah?” tanyanya memastikan.“Yakin mbak!” jawab Galang yakin.“Kamun coba cek lagi, kalau masih enggak bisa segera pergi ambil lagi video mentahannya ke tempat mas Baro.” ujar Zia cepat.“Nanti aku yang akan kasih tahu kantor mas Baro.” tambah Nara lagi.#“Ma aku sudah bilang kan dari kemarin. Itu bukan urusan kita.” jelas Ara untuk kesekian kalinya.
“Wah! Ini hadiah ulang tahun buat mama?” tanya ibu Linda dengan mata berbinar begitu melihat batu kecil yang menghiasi kalung pemberian ke dua anaknya.Arka tanpa sadar tersenyum senang begitu melihat reaksi ibu Linda, ”Nara yang pilih ma. Terus Nara yang satu lagi kasih ide untuk kasih mama perhiasan.” jelasnya, “Wah! Aku baru tahu kalau mama suka sama benda yang satu ini.” komentar Arka yang tidak menyangka kalau ibunya akan sesenang ini.Ibu Linda yang masih memasang senyum lebar sibuk mengenakan kalung barunya, “Cuma wanita aneh yang menolak benda cantik begini.” katanya ringan.Nara yang mendengar kata-kata ibunya mau tidak mau mengingat dua kejadian waktu di mana dirinya ribut menolak pemberian Ara juga ibu Ratih.“Kamu kok malah bengong?” tegur ibu Linda sambil menyenggol lengan putrinya itu.#“Ini bagaimana dong?” keluh Zia sambil menopak dagu dengan kedua tangannya.Nara yang juga belum lama tiba di kantor ikut
Karena Arka dan Rio harus pergi menjemput dokter Tio beserta istrinya jadilah Nara dan seisi kantornya malah ikut menemani Ara di UGD, bukan menemani lebih tepatnya mereka semua penasaran kenapa para dokter itu ramai-ramai menangis.“Mas sudah jangan diam begitu kenapa? Bikin takut orang tahu.” tegur Nara pada Ara yang hanya duduk diam di sebelahnya tanpa mengatakan apa pun.Ara yang tadi sempat terisak saat menghadapi kepergian Danu hanya menghela napas panjang.“Mas enggak mau makan?” tanya Galang yang baru datang sambil menyodorkan hamburger yang baru saja dibelinya bersama Nadira dari restoran cepat saji di depan mal.Namun bukannya menanggapi Ara malah hanya mengangkat kepala menatap ke arah Galang yang berdiri di hadapannya.“Ada apa mas?” tanya Galang yang kebingungan dengan maksud tatapan yang ditujukan kepadanya.Terlihat ada rasa penyelasan di mata Ara, ”Seharusnya jangan aku angkat waktu itu.” gumamnya pelan