Dengan langkah gontai Arsen masuk ke dalam rumahnya, ia sengaja berjalan mengendap-endap karena enggan mengganggu istirahat kedua orangtuanya. Ia memutuskan langsung masuk ke kamarnya di lantai dua.
Namun baru saja kakinya menginjak tangga nomor empat, suara deheman ayahnya membuatnya terkejut dan hampir terpeleset.
"Eheemm ... " suara ayahnya yang baru keluar dari kamar, disusul ibunya.
"Bagus, ya kamu! Dateng-dateng dari Singapura bukannya cium tangan mamanya dulu. Malah langsung nyelonong aja masuk kamar," rajuk Safira dengan mulut mengerucut. Pura-pura ngambek.
Arsen menuruni tangga, menuju Malik dan Safira lalu mencium tangan mereka berdua dengan takzim, orangtua yang sangat ia sayangi dan hormati. Keramat baginya.
"Duduk dulu Arsen, Papa mau bicara," ucap Malik dengan intonasi tegas.
"Biarkan dia istirahat dulu, Pa. Kasihan anak kita kelelahan," bujuk S
BAB 37"Papi, Mami, pokoknya aku mau secepatnya pernikahan ini dilaksanakan!" kata Heralin pada kedua orangtuanya, sambil menangis dan memeluk boneka beruang besar kesayangannya.Hendrawan mengepalkan tangannya, emosinya menggelagak melihat anak bungsunya menangis dan hampir seminggu mengurung diri di kamar."Pi, sebaiknya Papi menekan pak Malik, agar secepatnya membujuk Arsen menikahi Hera. Ingatkan pada mereka, jika mereka berhutang banyak pada Papi." Linda yang juga geram dengan kelakuan Arsen, ikut terbawa emosi."Kita jangan gegabah, Mi. Kamu harus ingat perusahaan kita menjadi besar seperti sekarang ini karena Arsen, kalau dia hengkang dari perusahaan kita, terus membuat perusahaan sendiri. Bisa mati, kita!" ucap Hendrawan membuat Linda terdiam. Apa yang dikatakan suaminya benar, mereka tak bisa menekan keluarga itu dengan dalih balas budi lagi, justru sekarang jasa Arsen lah yang paling besar
Hari demi hari berlalu, Laila msih terjebak dalam kesedihan. Berhari-hari ia mengurung diri dalam rumah. Ia hanya shalat dan membaca Al-Qur’an. Lalu berlama-lama menangis dan berdo’a di kuburan kedua orangtuanya juga Nisa. Sepulangnya dari kuburan berjalan tanpa arah mencari informasi keberadaan Rosma.Laila masih bingung dan seperti orang linglung. Jiwanya terguncang hebat, ia sedang tak baik-baik saja. Pikirannya bingung dan kalut. Ia harus melangkah kemana dan harus berbuat apa? Laila tak menemukan jawabannya. Kakinya lelah berjalan dan berputar-putar mencari Rosma. Matanya lelah karena terus menangis.Dirman sudah berkali-kali memperingatkannya untuk segera pergi dan mengosongkan rumahnya. Namun, Laila menghiba agar diberi kesempatan lebih lama lagi,tinggal di rumah seribu kenangan bersama keluarganya itu. Laila bersikeras bertahan, hingga pembeli rumahnya sendiri yang akan mengusir dirinya nanti.Laila p
Rasanya baru saja Laila terlelap, ketika dirinya mendengar suara pintu digedor dari luar."Buka pintunya woi, keluar!" teriak seseorang bersuara menggelegar.Laila yang masih kaget karena terbangun secara mendadak, gelagapan. Ia masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi.Dengan kepala berat, karena terlalu banyak menangis, Laila menyambar jilbabnya dan segera membukakan pintu, setelah ia yakin sudah dalam keadaan rapi dan auratnya tertutup.Pintu triplek yang sudah rapuh itu tampak rusak di bagian bawahnya karena mendapat tendangan bertubi-tubi dari orang tak punya etika tersebut."Ada apa ya, Pak?" tanyanya setelah melihat dua orang pria besar bertato dan seorang lagi yang Laila kenal sebagai makelar rumah dan tanah, Joko."Kamu sengaja ya, bikin pemilik rumah ini marah? Bukannya Dirman sudah bilang, agar kamu segera keluar dari sini?" kata Jok
Arsen termenung di atas sajadah berwarna hijau, dalam kamarnya. Jam dinding menunjukan pukul tiga dini hari. Ia mengikuti saran guru ngajinya, jika mengalami masalah dan kesusahan, pergunakan waktu sepertiga malam untuk meminta petunjuk pada Allah. Setelah hatinya sedikit tenang, Arsen memikirkan langkah selanjutnya. Jujur, rasa kecewa di hatinya masih membebani, ia tak pernah meminta apa pun pada Tuhan, tapi kali ini tidak, ia terus memohon dan meminta, ia menginginkan sesuatu setelah sekian lama dalam jumawa dan kesombongan, merasa tak butuh apa pun. Ia ingin diberi rezeki istiqamah dalam keta'atan. Ingin mati husnul khatimah, Ingin diakui menjadi umat Muhammad kelak di akhirat. Ingin seluruh keluarganya bertaubat dan menjalankan agama ini dengan benar dan bertanggung jawab. Ingin menjadi anak salih yang berbakti pada kedua orangtuanya dan terakhir ... ingin Laila menjadi pendamping hidupnya, gadis salihah yang sederhana, yang dengan s
Dirman dan keluarganya tampak bahagia, mereka menikmati liburan di Puncak Bogor. Menyewa villa yang cukup mewah, dengan fasilitas kolam renang di dalamnya.Tapi wajah Dirman sedikit muram, beberapa malam ini ia dihantui mimpi yang membuatnya terbangun dan tak dapat tidur lagi. Mimpi almarhumah adiknya, Narti.Dalam mimpinya, Dirman seolah-olah melihat Narti yang sedang menangis, lalu datang Rusmin mengelus punggung adiknya itu, setelah itu keduanya berbalik, menatap Dirman dengan tajam.Anehnya tubuh adiknya itu terus menjauh bagai ditarik dari belakang, lalu mengecil dan terus mengecil, sampai akhirnya hilang ditelan kabut tebal berwarna putih.Suasananya berubah menjadi gelap, Dirman sendirian dalam ruangan itu. Rasa takut menjalar memenuhi urat nadinya, adrenalinnya memacu dengan keras, ingin segera berlari tapi kakinya terpasung. Nafasnya tersengal dan keringat dingin bercucuran.&nb
"Kuharap ... mama mengerti dan menerima keputusan ini dengan hati yang lapang," ucap Arsen setelah mengungkapkan perasaannya, mundur dari perjodohan dengan Heralin. Safira menangis, ia tak bisa berbuat apa-apa, Arsen bukan anak kecil lagi yang bisa dengan mudah ia dikte. "Tapi mama gak merestui hubunganmu dengan gadis yatim-piatu itu," kata Safira masih terisak. "Gadis yatim piatu? Siapa, Ma?" tanya Arsen bingung, siapa gadis yang dimaksud Safira, karena Laila menurutnya masih punya ibu, ia anak yatim, bukan yatim-piatu. "Ya, siapa lagi! Kalau bukan tukang cireng itu," ucap Safira ketus. Ia tak bisa membayangkan teman-teman sosialitanya membulinya habis-habisan, karena bermenantukan tukang cireng, akan ditaruh dimana mukanya? Safira bergidik ngeri. "Laila? Jadi Mama tahu kalau dia jualan cireng? Trus kata siapa dia anak yatim-piatu?" tanya Arsen, tak heran mamanya tahu
"A-ada apa ya, Pak?" tanya Laila takut-takut."Tak ada apa-apa, hanya ada aku," jawabnya garing, Arsen menyeringai merasa lawakannya tak lucu."Ya, sudah. Saya permisi," Laila berjalan melewati Arsen, tapi terhenti ketika tangannya ditarik Arsen dengan tiba-tiba."Awas!" teriak Arsen."Apa-apaan, sih?" Laila marah, ia menarik tangannya kasar, tapi Arsen tak melepasnya, malah semakin menariknya lebih dekat, sejurus kemudian jantungnya berdegup kencang, karena sebuah mobil angkot melaju kencang dan hampir menyerempetnya."Ma'af, aku tak sengaja menyentuhmu, aku tak ingin kamu celaka, jadi terpaksa ..." ucap Arsen menggantungkan kalimatnya.Wajah Laila masih pucat, ia terkejut sekaligus malu pada Arsen."Ma-ma'af, Pak," ujarnya tertunduk malu."Aku ma'afkan, dengan syarat ... besok temui aku selepas shalat dzuhur di tama
PERNYATAAN CINTARosma sedang memasak di dapur, ia memasak untuk belasan karyawan di peternakan dan sawah milik keluarga Juragan Sudibyo.Mereka sengaja memperkerjakan Rosma sebagai tukang masak dan tukang bersih-bersih di rumah orang tua Ardi tersebut.Rosma menangis, meratapi nasibnya yang hanya menjadi budak pemuas nafsu suaminya saja, juga menjadi pembantu di rumah mertuanya itu.Suatu hari Laila mencari Rosma ke rumah Juragan Sudibyo. Tapi Rosma disekap, ia disembunyikan dalam gudang. Farida kakak iparnya mengatakan, jika Rosma dan Ardi pindah dari sana, padahal itu semua bohong semata.Rosma ingin sekali kabur dari sana, tapi penjagaan rumah itu begitu ketat, pernah ia mencoba melarikan diri, jangankan bisa keluar dari pagar, baru keluar dari pintu dapur, ia hampir digigit anjing peliharaan Ardi.Rosma juga tak memiliki akses