Namaku adalah Alena Putri Dwika. Nama yang biasa saja dan dengan kepribadian yang biasa juga. Namun aku memliki kehidupan bahagia dimana aku punya dua sahabat semenjak SMA, teman kerja yang semuanya adalah orang baik dan juga pacar yang nyaris sempurna, dan dapat diandalkan.
Tapi kali ini biar aku ceritakan tentang seseorang. Seseorang yang menurutku sangat menarik dan unik.
Dia adalah teman kerja yang baik, junior yang sopan dan jika tersenyum, akan membuat para wanita dewasa sepertiku harus beristighfar beberapa kali. Tapi tentu saja tidak sampai lebih dari itu, karena bagaimana pun aku sudah punya kekasih yang akan menjadi tunangan ku dalam beberapa bulan lagi. Jika Tuhan menghendaki.
Namanya Kalendra, Kalendra Nugroho. Namanya yang unik itu, sering kali aku dan teman-temanku plesetkan menjadi Kalender, dan wajah kalemnya itu akan langsung cemberut namun akan tersenyum malu lagi jika kami menggodanya. Lucu sekali.
Pertemuanku dengannya terjadi saat kantorku merekrut pegawai baru. Fresh graduate yang baru mendapat gelar sarjana, muda-mudi yang masih kinyis-kinyis.
Mari kita bergerak sedikit ke belakang, ke masa perkenalanku dengan si anak baru yang di masa sekarang menjadi teman dekatku.
*
"Selamat pagi, Team! Pagi ini ada kabar baik untuk kalian. Team kita yang dari sebulan lalu kekurangan tenaga kerja karena Kitty tiba-tiba menikah, akhirnya mendapatkan pengganti Kitty yang akan meringankan pekerjaan kita dan membuat kita tidak akan lembur di akhir bulan lagi. Yeayy!"
Aku terkikik geli saat melihat Mas Adit yang merupakan ketua team kami yang bergerak di bagian Personalia. Dalam beberapa meeting rutin yang kami lakukan setiap minggu, sering kali Mas Adit bercelutuk tentang kekurangan tenaga dalam team kami, beliau selalu bilang 'kita ini bagian personalia yang menyediakan tenaga kerja untuk setiap divisi, kok bisa-bisanya kita sendiri yang kekurangan tenaga kerja'. Maka dari itu ketika pada akhirnya ada kandidat yang tepat untuk mengisi kekosongan Kitty yang mengalami 'kecelakaan' dengan kekasihnya dan harus menikah, Mas Adit adalah yang paling senang.
"Nah anak baru, coba kenalkan diri kamu kepada semua orang disini. Team kita terdiri dari tujuh orang, termasuk saya dan kamu sendiri yang baru bergabung hari ini. Sebelum mereka memperkenalkan diri satu persatu, silahkan kamu dulu yang memperkenalkan nama kamu."
Mas Adit menepuk bahu seorang pria yang aku taksir masih berumur awal dua puluhan. Jika aku deskripsikan layaknya perkenalan dalam novel, pria ini memiliki tubuh yang cukup tinggi tapi terlihat kurus walaupun tidak sampai kurus kering seperti orang sakit. Rambutnya dipotong rapi, tapi tidak terlalu cepak seperti tentara. Kulitnya kuning langsat, wajahnya terlihat biasa saja tapi memiliki aura yang...ramah?
Uh aku sebenarnya tidak terlalu baik dalam mendeskripsikan seseorang, tapi jika bisa aku simpulkan, anak ini lumayan juga.
"Selamat pagi.."
Dan aku paling suka suaranya. Terkesan dalam tapi serak. Gimana ya cara jelasinnya? Suaranya bikin aku pengen dengerin dia ngomong lama-lama, kayak penyiar radio.
"Perkenalkan nama saya Kalendra Nugroho--"
"Kalender?"
Aku terkejut. Ternyata suara yang menyahuti dengan tidak sopan itu adalah suaraku sendiri.
Aku meringis, menutup sebelah mataku dan membukanya perlahan sebelum sesaat kemudian semua orang menertawakan celetukan ku.
"Ma..aaf.." ujarku pada anak baru itu.
Dan saat itu satu lagi yang aku suka dari Kalendra Nugroho, senyumnya yang tampak polos dan malu-malu itu, aku suka.
"Jangan diambil hati ya, Kal. Yang disana itu memang paling ceriwis dan suka komentar, tapi tenang aja. Dia udah jinak dan vegetarian."
Aku cemberut saat Mas Adit membicarakan ku pada Kalendra. Sedangkan si anak baru itu malah kembali tersenyum sambil mengangguk pelan. Khas anak baru sekali yang masih malu-malu.
"Ya sudah, karena sudah masuk jam kerja jadi perkenalannya bisa dilanjut sendiri nanti ya. Dan kalian semua tolong bantu pekerjaan Kale."
Aku bahkan baru tahu kalau lelaki itu dipanggil dengan Kale, unik sekali.
*
Dan semua kenangan itu buyar berantakan saat sosok yang barusan aku ceritakan, muncul di depanku dengan wajah yang dimiringkan, seakan sedang memastikan sesuatu ada di wajahku.
"Apa?" tanyaku sedikit ketus.
Kale menyengir, dia memundurkan wajahnya dari wajahku dan berdiri dengan tegak.
Di tangannya ada map biru tebal yang sudah sangat aku hapal dengan baik apa isinya.
"Buat divisi marketing?" tanyaku saat dia menyodorkan beberapa map itu padaku.
Dia mengangguk, "Ada yang udah ditandain, Mbak. Katanya sepupunya Mas Ali yang di Keuangan."
Aku berdecak. Sudah biasa seperti ini saat ada perekrutan tenaga kerja baru, pasti di antara para pekerja lama ada yang akan 'menitipkan' anggota keluarganya pada bagian Personalia, atau lebih tepatnya pada bagian HRD -yaitu aku- yang sering berhadapan dengan para pelamar.
"Kualifikasinya gimana? Kalau bobrok aku engga mau ah," tolakku.
Tanganku membuka-buka map map itu dan mencari yang sudah ditandai, seperti yang dikatakan Kale tadi.
"Kalau saya baca di CVnya, lumayan sih Mbak. Dia banyak ikut organisasi juga," katanya memberi informasi.
Aku menyipitkan mataku, "Cewek engga sih dia?" tanyaku.
Kale dengan polosnya mengangguk, membuatku memiringkan bibir.
"Ini mah engga bisa ditolak. Bakal ribet deh urusan," kataku menyerah.
Biasanya jika orang titipan itu perempuan, kalau pun aku atau orang Personalia yang lain menolak, akan terjadi drama yang melelahkan. Dan kami sangat mengindari itu.
Dan Kale yang sudah lebih dari satu tahun bekerja disini, tertawa, mengerti apa yang aku maksud.
"Abis makan siang kan ini interview nya?" tanyaku memastikan.
Walaupun aku sudah sempat melihat jadwalnya tadi pagi, tapi aku hanya ingin memastikan kalau-kalau aku lupa.
"Iya, Mbak," jawabnya.
Aku mengangguk, ku lihat jam di tanganku dan bergerak mengambil dompet dan ponsel yang ada di tasku.
"Makan siang di luar?"
Aku terkejut, aku pikir Kale sudah kembali ke mejanya tapi ternyata anak itu masih berdiri di tempat yang sama.
"Iya," jawabku memasang senyum lebar. "Bareng Mas Fatah."
Aku bisa melihat bagaimana junior ku ini memutar bola matanya malas. Dan tingkahnya yang tidak sopan itu hanya dia tunjukan di depanku saja, tidak di depan teman kerja yang lain. Sialann sekali bukan?
"Minta dinikahin dong, Mbak. Masa cuma diajak jalannya doang, sesekali minta diajak ke KUA," celetuknya asal.
Aku berdecak, ku angkat tanganku dan mengusap rambutnya pelan. Hal yang paling tidak dia sukai, diperlakukan seperti anak kecil.
"Mbak!" protesnya.
Aku tertawa, "Coba kamu jangan mojokin aku terus. Kamu sendiri mana pacarnya? Engga ada kan?"
Dia menggeleng, wajahnya terlihat jengah.
"Kan saya udah bilang sama Mbak Alen, saya engga pacaran," bantah nya tegas.
Nah! Satu lagi tentang Kale adalah, dia orang yang paling luuuuruuuss. Katanya dia tidak akan mau berpacaran dan akan langsung menikah.
Saat aku tanya apa alasannya tidak mau berpacaran, dia justru menyebutkan banyak hal yang katanya hal buruk yang akan terjadi jika berpacaran. Dan aku menyerah mendengarnya bicara sampai akhir saat itu.
"Yaudah ah, aku mau pergi sekarang. Nanti kalau sampai abis jam makan siang aku malah telat datang, kamu yang handle dulu ya. Bye, Kale!"
Aku masih sempat mendengar dia berteriak memprotes ucapanku, tapi aku hanya mengangkat tanganku dan melambai di udara bak Miss Universe.
Aku terikik, terlalu dikenal oleh seseorang itu berbahaya. Karena aku jelas sangat tahu sifat Kale, meskipun anak itu protes dsn menolak untuk membantuku, pada akhirnya dia tetap akan mau membantu juga. Makanya aku jadi sering sekali memanfaatkan sifatnya yang seperti itu, tapi tentu saja aku tidak memanfaatkannya begitu saja. Setiap ada kesempatan aku selalu mentraktirnya makan atau sekedar mengantarnya pulang. Karena selain memiliki pemikiran lurus untuk tidak berpacaran, Kale juga pecinta kendaraan umum karena katanya mengurangi polusi negara.
Aku selalu merasa sedang berbicara dengan nenekku yang berumur tujuh puluh delapan tahun setiap berbicara tentang hal serius dengannya.
Meninggalkan tentang Kale, kini aku sedang berlari menyusuri trotoar yang ramai di jam istirahat seperti sekarang. Janji temuku dengan Fatah, pria yang sudah aku pacari selama hampir satu tahun itu adalah di sebuah kafe kekinian yang hanya menyediakan dessert dan juga minuman kopi yang sedang nge hits di kalangan anak muda.
Sejujurnya, perutku lapar. Tapi Fatah bilang dia baru selesai bertemu dengan client yang akan memakai jasanya di kafe itu, makanya sekalian saja. Jadi rencananya nanti aku akan memesan kue sebanyak dua atau tiga porsi supaya aku kuat menghadapi kenyataan setelah jam makan siang habis. Yaitu mewawancarai para pelamar sampai sore menjelang.
Oh iya, pekerjaan pacarku adalah arsitek. Walaupun bukan arsitek kondang, namun gaji yang dia dapatkan dari tempat kerjanya lebih banyak daripada gajiku.
Dulu aku pertama bertemu dengannya berkat Lalisa, salah satu teman kerjaku yang menyukai Kale dan ditolak oleh pria lempeng itu. Waktu itu Lalisa yang patah hati karena ditolak Kale, meminta aku untuk menemaninya menghabiskan waktu di kafe milik temannya. Kafe yang ada di rooftop sebuah hotel bintang lima yang harga satu botol air mineralnya saja bikin aku tercengang.
Fatah saat itu juga baru bertemu dengan kliennya, dengan kebetulan menjatuhkan sketsa nya di samping meja yang aku dan Lalisa tempati. Untungnya saat itu kertas yang ternyata cetak biru itu belum terinjak seseorang dan aku berhasil mengamankannya sampai kemudian Fatah kembali dengan wajah panik dan aku muncul sebagai penyelamat nya.
Selesai. Begitulah akhirnya kami dekat dan menjalin hubungan hingga saat ini.
Dan pria itu kini sudah dalam kondisi duduk, melambaikan tangan ke arah ku dengan senyum yang tampan. Ah, pacarku benar-benar tampan.
"Maaf ya, harusnya aku yang jemput kamu kesana."
Yang paling kusuka darinya adalah, bagaimana cara dia berkata dengan nada yang lembut padaku.
Jika tadi aku bilang Kale memiliki kesan kalem dan ramah, maka Fatah Ramadhan adalah sosok yang lembut dan manis. Tipe pria yang sangat mudah membuat wanita jatuh cinta.
Sialnya, saat itu aku tidak tahu jika di masa depan kesan yang aku lihat dari pacarku sendiri, justru akan membawaku pada sakit hati yang parah.
**
"Aku udah pesenin Laksa buat kamu. Suka kan?"Aku berbinar senang. Pasalnya aku memang menyukai banyak hal yang berbahan dasar mie namun ironisnya aku memiliki sakit lambung yang kadang lumayan parah saat kambuh sehingga keluargaku menjauhkan aku dengan segala hidangan berbahan mie. Dan Fatah ketularan tabiat mereka, dia hanya mengizinkan aku makan mie dua kali dalam satu bulan."Minumnya boleh aku pilih sendiri?" tanyaku dengan semangat.Senyum yang berhasil menambah ketampanannya menjadi berkali-kali lipat itu masih bertahan ketika dia mengangguk. Dia mengangkat tangannya, memanggil seorang waiter mendekat."Saya mau tambah minumannya," ujarnya. Lalu matanya itu mengerlig penuh ke arah ku. "Apa minumnya?"Aku sontak langsung menghadap ke arah waiter yang sudah siap dengan kertas di tangannya."Lemon squash," kataku.Sempat kulihat Fatah melotot mendengar pilihan ku, yang kemudian hanya aku balas dengan menyengir lebar hingga dia hanya bisa menggelengkan kepalanya."Nanti gimana kala
Sumpah ya! Aku capek? Capek sekali. Dan parahnya, rasa capek yang aku rasakan ini bukan jenis capek yang terasa di tubuh, tapi di pikiran. Penyebabnya adalah karena semua pelamar yang datang benar-benar tidak berkompeten, terutama menurut pandanganku. Walaupun menurut yang lainnya, mereka cukup bisa menjawab semua pertanyaan wawancara yang diajukan oleh kami. Tapi aku masih merasa tidak puas dengan semuanya. Mungkin yang paling 'mending' adalah anak titipan yang sebelumnya aku dan Kale bicarakan. Aku sungguh bersyukur karena dia memiliki kompetensi yang cukup untuk diterima di perusahaan ini."Mbak, mau minum teh?" Dengan tingkat kelelahan yang sangat tinggi, aku langsung mengangguk saat Kale dengan baik hatinya menawari aku segelas teh.Anak itu langsung berbalik badan. Aku pikir, dia akan langsung menuju ke arah dapur kantor yang ada di ujung ruangan. Namun si baik hati itu malah berhenti di meja Lalisa hingga membuat Lalisa terkejut."Mbak Lisa mau?"Aku mengulum senyum geli saat
"Neng!"Aku akui aku sudah seperti anak kecil yang langsung berlari begitu melihat Fattah sudah ada di depan rumahku. Pagi ini Fattah menjemput ku di rumah sebagai ganti dari kemarin dia yang tidak bisa mengantarkan aku pulang.Baik sekali kan pacarku ini?Dengan senyum seceria mentari pagi, aku melangkah riang memasuki mobilnya. Dia menyambut ku dengan senyum juga walaupun tentu saja tidak selebar senyum yang aku punya."Enggak apa-apa kalau aku enggak ketemu sama Papa Mama kamu dulu?" tanyanya sedikit khawatir.Aku menoleh ke belakang tubuh saat menerima pertanyaan seperti itu. Kepalaku lalu menggeleng."Enggak masalah kok. Papa Mama lagi sarapan dan sebentar lagi juga Papa berangkat, jadi kayaknya sekarang Mama lagi sibuk nyiapin bekal buat Papa."Satu yang spesial dari kedua orang tuaku adalah, sejak mereka pertama menikah hingga sekarang anak bungsunya sudah berumur dua puluh lima tahun, Mama selalu membawakan Papa bekal. Bukan karena mereka pelit, namun karena Papa tidak suka me
"Pokoknya gue mau makan yang pedes banget biar bisa ngalahin panasnya hati gue."Aku mengulum senyum mendengar ucapan yang disuarakan oleh Lalisa dengan keras. Sejenak aku melirik pada Kale yang berdiri bersisian dengan Lili. Baru hari pertama dan mereka sudah tampak sangat dekat sekali seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Pantas saja jika Lalisa mengeluh panas."Rendang gimana?" tanyaku. Tiba-tiba saja aku terpikirkan untuk bersantap dengan menu khas Padang itu. Membayangkan daging empuk dengan bumbu pedas yang khas, air liur ku sudah nyaris menetes."Rendang enggak terlalu pedas. Gue pengen yang pedass banget," ujar Lalisa sambil matanya melirik ke arah Lili."Yang pedas ya omongan Tetangga."Aku langsung terkikik saat mendengar sahutan dari Mas Adit yang baru saja keluar dari ruangannya."Gue ikut makan bareng kalian ya?" Aku mengangguk, begitu juga dengan Lalisa. Sedangkan Kale hanya diam sambil matanya yang menunduk memainkan ponselnya."Kalau mau yang pedas, gimana k
Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya."Basah kuyup deh," keluh ku keras.Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar
"Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara."Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, leb
Di waktu istirahat di saat ruangan sepi dari semua karyawan, aku yang terlambat pergi karena baru saja menghabiskan waktu di toilet malah menemukan sesuatu.Saat melewati ruangan kerjaku, aku mendapati Lili yang masih ada di sana. Gadis cantik itu tampak mondar-mandir di dekat meja kerja Kale. Sedangkan Kale sudah lebih dulu turun ke kantin karena katanya hendak membeli minuman hangat. Pria itu menolak untuk menitip karena katanya jika dia diam saja, kepalanya terasa pusing.Aku tadinya ingin langsung menyusul ke kantin saja karena rasanya tidak enak jika diam-diam mengintip. Tapi karena aku berpikir mungkin ada hal buruk yang terjadi, maka aku memilih sembunyi di balik tembok. Aku memperhatikan Lili, dari wajahnya gadis itu tampak kebingungan dan juga gelisah. Satu tangannya ada di belakang tubuh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Melihat itu aku jadi semakin penasaran tapi aku juga gelisah karena jam makan siang sudah sangat mepet sedangkan perutku terasa lapar.Aku galau antar
"Pulang naik apa?" tanyaku pada Kale yang masih sibuk menyusut ingus di hidungnya.Anak itu menoleh, membuat aku meringis melihat betapa merah wajahnya terutama bagian hidungnya itu."Naik bus, Mbak," jawabnya parau.Aku mengangguk. Mengangkat sebelah tangan ku untuk melihat jam berapa sekarang. Masih jam 18.05 dan janji temu ku dengan Fattah akan terjadi di jam 19.30, jadi aku memutuskan untuk tidak pulang dulu dan langsung menuju ke restoran yang sudah diberitahukan oleh Fattah, karena Fattah yang hendak menjemput ku justru aku larang karena jarak antara kantornya dengan kantorku lumayan jauh."Mbak naik bus juga?" ternyata Kale penasaran dengan bagaimana aku akan pulang.Tapi sayangnya aku tidak akan pulang."Enggak sih, kayaknya naik taksi online deh. Soalnya aku enggak pulang tapi ada janji buat ketemu sama Mas Fattah. Mau makan malam," terang ku dengan wajah senang.Tapi tanggapan dari Kale hanya mengangguk dengan wajah lempeng yang menyebalkan. Anak itu memang tidak pernah ter
"Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu
Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen
"Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba
Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah
Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,
Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l
"Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la
"Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug
Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan