Home / Romansa / Namanya, Kalendra / 3. Obrolan dalam bus

Share

3. Obrolan dalam bus

Author: J.Stephano
last update Last Updated: 2023-01-10 17:23:00

Sumpah ya! Aku capek? Capek sekali. Dan parahnya, rasa capek yang aku rasakan ini bukan jenis capek yang terasa di tubuh, tapi di pikiran. Penyebabnya adalah  karena semua pelamar yang datang benar-benar tidak berkompeten, terutama menurut pandanganku. Walaupun menurut yang lainnya, mereka cukup bisa menjawab semua pertanyaan wawancara yang diajukan oleh kami. Tapi aku masih merasa tidak puas dengan semuanya. Mungkin yang paling 'mending' adalah anak titipan yang sebelumnya aku dan Kale bicarakan. Aku sungguh bersyukur karena dia memiliki kompetensi yang cukup untuk diterima di perusahaan ini.

"Mbak, mau minum teh?"

Dengan tingkat kelelahan yang sangat tinggi, aku langsung mengangguk saat Kale dengan baik hatinya menawari aku segelas teh.

Anak itu langsung berbalik badan. Aku pikir, dia akan langsung menuju ke arah dapur kantor yang ada di ujung ruangan. Namun si baik hati itu malah berhenti di meja Lalisa hingga membuat Lalisa terkejut.

"Mbak Lisa mau?"

Aku mengulum senyum geli saat melihat Lalisa yang salah tingkah padahal hanya ditawari segelas teh hangat.

"Ma-mau," balasnya gagap.

Gemas sekali melihat Kale yang masih saja tidak peka. Dengan tidak berperasaan si lurus itu langsung melanjutkan jalan ke arah dapur kantor. Sedangkan aku langsung tertawa terbahak-bahak hingga membuat Lalisa kesal.

"Tawa aja lo!"

Aku malah semakin tertawa.

"Lagian, kok bisa sih lo tahan suka sama cowok yang bahkan enggak peka kalau lo salah tingkah setiap ditanya sama dia? Gue yang lihat aja gemas."

Lalisa mendengus, dia memainkan kursi putar nya dengan iseng.

"Ya gimana? Kalau bisa sih, gue udah enggak mau suka sama dia semenjak dia nolak gue. Tapi anehnya gue masih saja suka sama dia. Dia enggak punya kekurangan yang bikin gue enggak suka lagi sama dia. Anaknya gemesin banget sampe pengen gue bawa pulang."

Aku semakin tidak bisa mengontrol tawaku. Lalisa memang gila, sudah ditolak tapi masih bisa berkata seperti itu.

Buru-buru aku menutup mulutku saat Kale datang membawa dua gelas kecil berisi teh panas yang masih mengepul.

"Loh, kamu sendiri enggak buat?" tanyaku kaget. Padahal dia yang menawari ku, tapi dia sendiri yang tidak buat.

"Saya udah minum susu tadi."

"Pffttt!"

Aku menahan tawaku saat mendengar jawaban dari Kale. Sumpah ya! Selain kolot dia juga mirip bayi, benar kata Lalisa bahwa Kale memang menggemaskan.

"Apa sih, Mbak? Memangnya orang dewasa enggak boleh minum susu?"

Aku semakin ingin menggodanya saat dia memasang wajah kesal.

"Siapa dewasa? Memangnya kamu udah dewasa? Enggak kelihatan."

Mendengar komentar dariku, Kale berdecak keras sambil melenggang ke arah kursinya.

Aku lagi-lagi tertawa. Sedangkan Lalisa hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku dan Kale yang memang selalu seperti itu.

Merasa lelah tertawa, aku akhirnya menyerah. Aku memilih melanjutkan tugasku untuk menuliskan kesan atau kesimpulan dari setiap peserta lamaran. Laporan ini yang nantinya akan diberikan pada Manajer untuk ditindaklanjuti dan dipilih orang-orang yang memiliki komentar paling positif.

Lagipula aku harus memburu waktu jika ingin pulang menggunakan bus. Bus menuju arah rumahku dan Kale tidak selalu ada setiap waktu. Maka dari itu aku dan Kale harus pulang tepat waktu agar tidak ketinggalan bus.

Melirik ke arah manusia menggemaskan itu, Aku menyipitkan mata saat melihat Kale yang sudah duduk santai di kursi nya. Padahal jam masih setengah lima dan itu artinya jam pulang masih sekitar setengah jam lagi.

"Kerjaan kamu udah selesai?" tanyaku penuh selidik.

Si anak kecil itu hanya melirik sekilas padaku kemudian memutar kursi beroda nya. Wah! Sombong sekali anak itu. Mode merajuk nya benar-benar menyebalkan.

"Udah lah! Memangnya Mbak? Sibuk ngetawain dan ngisengin orang mulu! Awas aja kalau sampai jam pulang Mbak malah belum selesai, saya bakalan pulang sendirian dan enggak mau nunggu Mbak," ucap anak itu dengan nada kesal.

Aku sejujurnya ingin tertawa melihat tingkahnya itu, namun karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, maka aku berusaha keras menahan agar tidak tertawa.

"Oke deh! Bakalan selesai kok sebentar lagi. Tenang aja!"

Tidak ingin diejek atau diremehkan olehnya, maka aku segera melaksanakan tugasku dengan cepat dan tepat. Berani-beraninya anak kecil itu meremehkan aku. Awas saja!

*

Sialnya, kami harus berlarian mengejar bus karena ternyata pekerjaan ku tidak bisa selesai tepat waktu. Akhirnya setelah berhasil mengejar bus, aku dihadiahi omelan Kale yang tidak berujung.

"Makanya, Mbak. Orang tua memperingatkan kita buat enggak sombong tuh ya karena ini. Supaya enggak malu kalau ternyata kenyataan enggak sesuai sama omongan."

Aku hanya bisa duduk sambil menyabarkan hatiku dalam perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit ini. Aku memaklumi kalau Kale kesal, karena bagaimana pun dia sudah selesai sejak tadi sore dan harus tetap berlarian karena aku yang sombong ini. Maka walaupun telingaku kesal mendengar apa yang diucapkan oleh Kale, namun aku hanya bisa diam sambil berpura-pura tidak mendengar.

Ketika melirik sedikit, aku baru sadar kalau Kale ternyata tidak duduk di sampingku. Pria itu justru malah berdiri sambil berpegangan pada besi di atas kepalanya.

"Kenapa enggak duduk? Takut najis ya kalau duduk deket aku?" tanyanya agak sinis.

Mata Kale melebar, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Omongan Mbak jelek banget," komentar anak itu. Aku melengos.

"Saya enggak duduk karena kalau duduk, saya suka ngantuk dan yang ada nantinya malah kebablasan."

"Ya makanya, aku kan nawarin buat pulang naik taksi online aja. Kenapa bandel banget sih enggak mau naik taksi online?" Aku menyalahkan dia yang begitu kukuh untuk tidak pulang menggunakan taksi online. Padahal jika saja dia mau, kami tidak harus berlarian mengejar bus seperti tadi.

"Enggak aman, Mbak," kilah anak itu.

Dari cara bicaranya, dia terdengar lelah. Mungkin benar jika dia akan langsung tertidur saat duduk di bangku bus yang keras namun jelas lebih nyaman daripada berdiri ini.

"Enggak semuanya enggak aman, Kale. Lagian kamu kan lelaki, masa enggak bisa bela diri sih? Cemen ah."

Mungkin jika orang lain akan merasa tersinggung dengan apa yang baru saja aku katakan, tapi untunglah bahwa orang itu adalah Kale. Sehingga anak itu hanya terdengar menghela napas saja saat mendengar ucapanku.

"Sekalipun saya bisa bela diri, bukannya lebih baik kalau menghindari bahaya? Saya sering banget baca berita kasus taksi online yang enggak aman, kalau kita yang mengalami hal seperti itu, rasanya pasti merepotkan."

Lalu anak itu melirik padaku, tampak mengamati ku dengan matanya yang agak sayu itu.

"Apa?" gertak ku.

Kepalanya menggeleng pelan. "Mbak juga, kalau bisa jangan terlalu sering naik kendaraan yang cuma ada Mbak sama supir nya aja di dalamnya. Mending naik bus kayak gini atau kereta. Lebih aman kereta karena ada gerbong khusus wanita," kata dia kemudian.

Aku mendengus pelan. Memilih mengangguk saja daripada harus mendengar ocehannya yang lebih panjang lagi dari ini.

Sesaat kemudian, supir bus mengerem cukup mendadak hingga Kale hampir saja terjatuh ke depan kalau saja aku tidak bergerak reflek dengan menarik tali ranselnya.

"Ngeyel sih! Aku bilang kan duduk aja samping aku," omelku kesal.

Kale yang tampaknya masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, tanpa sadar menurut saat aku menarik sedikit lebih keras dirinya untuk duduk di kursi sampingku yang kosong.

"Kaget ya?" tanyaku.

Setelah diam sekian lama, Kale akhirnya menoleh padaku kemudian mengangguk.

"Saya ngebayangin tadi, kalau saya jatuh ke depan pasti lukanya enggak main-main. Seenggaknya saya bisa nabrak besi penyangga kursi sana tiang yang ada di dekat supir. Itu nyeremin banget, Mbak."

Harusnya aku prihatin dan juga ikut takut saat mendengar ucapan Kale, tapi yang terjadi aku justru tertawa karena melihat wajah piasnya yang lucu.

"Ya sudah. Yang penting kan sekarang kamu enggak apa-apa," kataku enteng.

Kale mengangguk, ekspresinya tampak lebih rileks daripada sebelumnya. Dia bahkan sudah menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, sepertinya bersiap untuk tidur.

Aku berpikir sebentar, antara rumahku dan Kale, aku yang akan lebih dulu turun. Kalau Kale tertidur dan aku turun, maka ada kemungkinan dia akan terlambat turun dan terbawa hingga ke tempat yang lebih jauh daripada rumahnya. Jadi dengan ini aku memutuskan untuk mengajaknya mengobrol apapun agar dia tidak mengantuk.

Dan demi melancarkan rencana ku itu, aku menyenggol tangannya, membuatnya yang sudah siap memejamkan mata kembali terjaga.

"Aku penasaran, Kal," kataku membuka obrolan.

Alisnya tampak naik. Tangannya memindahkan tas ransel nya ke depan karena dirasa mengganjal.

"Kenapa sih kamu berpikir buat enggak pacaran? Apa kamu enggak ngerasa kalau itu kolot banget?"

Mendengar pertanyaan dariku, Kale hanya mengangkat bahunya acuh.

"Ya enggak kenapa-kenapa, cuma dari jaman saya masih sekolah SMA dulu saya sering lihat teman-teman saya yang pacaran itu jadi enggak fokus sama kehidupannya yang lain. Salah satunya ada sahabat aku yang dari kelas satu udah juara umum, tapi pas kelas dua dia mulai pacaran, dia malah jadi enggak fokus sama pendidikannya. Ranking nya menurun, dia juga sering sibuk enggak jelas. Ujung-ujungnya pas putus, dia kelabakan buat balik kayak dulu. Dan kasusnya bukan hanya satu itu aja, rata-rata orang yang pacaran memang begitu. Mereka terlalu menggebu-gebu, sampai lupa kalau hidup mereka bukan cuma perkara nyari pasangan."

Aku meneguk ludah tanpa sadar saat melihat wajah serius Kale. Anak ini tidak main-main dengan prinsipnya yang tidak mau pacaran. Aku jadi merasa kasihan pada wanita-wanita yang menyukainya seperti Lalisa.

"Tapi aku enggak tuh," sangkal ku. "Aku masih tetap oke di pekerjaan walaupun aku pacaran sama Mas Fattah. Sama keluarga juga aku masih akrab-akrab aja," tambah ku lagi.

Kale tampak mengulum senyum kecil saat mendengar ucapan ku.

"Ya tapi enggak semua orang bisa kayak Mbak kan? Saya ini belum tahu apa jadinya saja kalau pacaran, takutnya saya sama kayak teman saya itu makanya saya enggak mau ambil resiko. Buat saya sekarang, masih banyak hal yang lebih penting jadi saya enggak mau terganggu dengan hal-hal seperti itu. Soal pasangan, pasti ada masanya."

Karena tidak bisa lagi membantah, akhirnya aku memilih untuk iya saja.

**

Related chapters

  • Namanya, Kalendra   4. Karyawan baru

    "Neng!"Aku akui aku sudah seperti anak kecil yang langsung berlari begitu melihat Fattah sudah ada di depan rumahku. Pagi ini Fattah menjemput ku di rumah sebagai ganti dari kemarin dia yang tidak bisa mengantarkan aku pulang.Baik sekali kan pacarku ini?Dengan senyum seceria mentari pagi, aku melangkah riang memasuki mobilnya. Dia menyambut ku dengan senyum juga walaupun tentu saja tidak selebar senyum yang aku punya."Enggak apa-apa kalau aku enggak ketemu sama Papa Mama kamu dulu?" tanyanya sedikit khawatir.Aku menoleh ke belakang tubuh saat menerima pertanyaan seperti itu. Kepalaku lalu menggeleng."Enggak masalah kok. Papa Mama lagi sarapan dan sebentar lagi juga Papa berangkat, jadi kayaknya sekarang Mama lagi sibuk nyiapin bekal buat Papa."Satu yang spesial dari kedua orang tuaku adalah, sejak mereka pertama menikah hingga sekarang anak bungsunya sudah berumur dua puluh lima tahun, Mama selalu membawakan Papa bekal. Bukan karena mereka pelit, namun karena Papa tidak suka me

    Last Updated : 2023-01-10
  • Namanya, Kalendra   5. Rendang

    "Pokoknya gue mau makan yang pedes banget biar bisa ngalahin panasnya hati gue."Aku mengulum senyum mendengar ucapan yang disuarakan oleh Lalisa dengan keras. Sejenak aku melirik pada Kale yang berdiri bersisian dengan Lili. Baru hari pertama dan mereka sudah tampak sangat dekat sekali seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Pantas saja jika Lalisa mengeluh panas."Rendang gimana?" tanyaku. Tiba-tiba saja aku terpikirkan untuk bersantap dengan menu khas Padang itu. Membayangkan daging empuk dengan bumbu pedas yang khas, air liur ku sudah nyaris menetes."Rendang enggak terlalu pedas. Gue pengen yang pedass banget," ujar Lalisa sambil matanya melirik ke arah Lili."Yang pedas ya omongan Tetangga."Aku langsung terkikik saat mendengar sahutan dari Mas Adit yang baru saja keluar dari ruangannya."Gue ikut makan bareng kalian ya?" Aku mengangguk, begitu juga dengan Lalisa. Sedangkan Kale hanya diam sambil matanya yang menunduk memainkan ponselnya."Kalau mau yang pedas, gimana k

    Last Updated : 2023-01-10
  • Namanya, Kalendra   6. Payung

    Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya."Basah kuyup deh," keluh ku keras.Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar

    Last Updated : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   7. Sakit

    "Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara."Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, leb

    Last Updated : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   8. Lili

    Di waktu istirahat di saat ruangan sepi dari semua karyawan, aku yang terlambat pergi karena baru saja menghabiskan waktu di toilet malah menemukan sesuatu.Saat melewati ruangan kerjaku, aku mendapati Lili yang masih ada di sana. Gadis cantik itu tampak mondar-mandir di dekat meja kerja Kale. Sedangkan Kale sudah lebih dulu turun ke kantin karena katanya hendak membeli minuman hangat. Pria itu menolak untuk menitip karena katanya jika dia diam saja, kepalanya terasa pusing.Aku tadinya ingin langsung menyusul ke kantin saja karena rasanya tidak enak jika diam-diam mengintip. Tapi karena aku berpikir mungkin ada hal buruk yang terjadi, maka aku memilih sembunyi di balik tembok. Aku memperhatikan Lili, dari wajahnya gadis itu tampak kebingungan dan juga gelisah. Satu tangannya ada di belakang tubuh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Melihat itu aku jadi semakin penasaran tapi aku juga gelisah karena jam makan siang sudah sangat mepet sedangkan perutku terasa lapar.Aku galau antar

    Last Updated : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   9. Makan malam

    "Pulang naik apa?" tanyaku pada Kale yang masih sibuk menyusut ingus di hidungnya.Anak itu menoleh, membuat aku meringis melihat betapa merah wajahnya terutama bagian hidungnya itu."Naik bus, Mbak," jawabnya parau.Aku mengangguk. Mengangkat sebelah tangan ku untuk melihat jam berapa sekarang. Masih jam 18.05 dan janji temu ku dengan Fattah akan terjadi di jam 19.30, jadi aku memutuskan untuk tidak pulang dulu dan langsung menuju ke restoran yang sudah diberitahukan oleh Fattah, karena Fattah yang hendak menjemput ku justru aku larang karena jarak antara kantornya dengan kantorku lumayan jauh."Mbak naik bus juga?" ternyata Kale penasaran dengan bagaimana aku akan pulang.Tapi sayangnya aku tidak akan pulang."Enggak sih, kayaknya naik taksi online deh. Soalnya aku enggak pulang tapi ada janji buat ketemu sama Mas Fattah. Mau makan malam," terang ku dengan wajah senang.Tapi tanggapan dari Kale hanya mengangguk dengan wajah lempeng yang menyebalkan. Anak itu memang tidak pernah ter

    Last Updated : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   10. Satu cup ice cream

    Aku masih tidak mengerti mengapa Kale mau-mau saja datang ke tempat yang jauh ini hanya karena satu pesan yang aku kirimkan. Padahal dia bisa saja mengabaikannya. Atau mungkin dia berpikir bahwa aku sedang menangis karena gagal makan malam bersama dengan Fattah sehingga dia merasa kasihan?"Itu motor punya siapa?" tanyaku.Aku lebih tertarik dengan penampakan motor itu daripada kehadiran Kale. Karena jika memang bisa mengendarai dan memiliki kendaraan, mengapa dia harus bersusah-payah menunggu bus setiap harinya?Kale menoleh ke arah motor yang dia bawa, yang dia parkiran di depan restoran."Motor saya," jawabnya.Dia mengambil duduk di sampingku dengan kaki yang berselonjor."Kalau kamu punya motor, kenapa juga kamu enggak berangkat kerja naik motor? Kenapa harus naik bus?" tanyaku penasaran.Kale sempat terdiam selama beberapa saat hingga membuatku ragu, apakah dia mendengarkan pertanyaan ku atau tidak. Pasalnya kami berada di pinggir jalan dimana banyak sekali kendaraan yang lewat

    Last Updated : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   11. Retak

    Aku tidak berbohong saat mengatakan bahwa jalan-jalan malam yang aku lakukan bersama dengan Kale benar-benar mampu membuat aku lupa. Bukan hanya lupa pada masalah ku tapi aku juga lupa pada waktu. Karena begitu aku dan Kale benar-benar pulang, waktu sudah melewati pukul sembilan malam.Dan yang membuat aku terkejut saat tiba di rumah adalah karena Fattah yang sesaat lalu membatalkan janji, sudah duduk di kursi teras seorang diri.Aku menatapnya sekilas, sebelum kemudian kembali menghadap Kale."Makasih ya karena kamu udah nganterin aku dan nemenin aku tadi," ucapku tulus.Kale yang juga menyadari keberadaan Fattah, sempat melirik ke arah teras sebelum kemudian kembali menatapku."Iya, kalau begitu saya pulang ya, Mbak?"Aku mengangguk. Merasa bersalah pada Kale yang sepertinya merasa tidak enak pada Fattah. Tapi ini bukan salahnya, Kale justru menolong aku di saat aku benar-benar merasa sesak dengan apa yang terjadi. Jadi entah itu Fattah atau siapapun, tidak ada yang berhak untuk men

    Last Updated : 2023-01-24

Latest chapter

  • Namanya, Kalendra   Extra part

    "Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu

  • Namanya, Kalendra   Epilog

    Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen

  • Namanya, Kalendra   80. Lamaran (Tamat)

    "Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba

  • Namanya, Kalendra   79. First kiss

    Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah

  • Namanya, Kalendra   78. Kencan

    Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,

  • Namanya, Kalendra   77. Berpisah

    Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l

  • Namanya, Kalendra   76. Penyelesaian masalah

    "Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la

  • Namanya, Kalendra   75. Provokasi

    "Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug

  • Namanya, Kalendra   74. Kontroversi

    Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status