Share

6. Payung

Penulis: J.Stephano
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.

Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya.

"Basah kuyup deh," keluh ku keras.

Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.

Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar jauh demi bisa mengantarkan kami. Jadilah kami terkadang lebih memilih menggunakan taksi online atau taksi konvensional dengan harga yang lumayan daripada harus menumpang kepada dua orang itu.

"Lo enggak dijemput?" tanya Lalisa.

Aku cemberut dengan menggeleng.

"Enggak tahu. Mas Fattah belum balas pesan gue, biasanya kalau dia enggak balas berarti dia lagi sibuk dan itu artinya dia enggak bisa jemput gue," jawab ku nelangsa.

Lalisa mencibir. "Percuma dong punya pacar ganteng, baik, setia, kalau ujung-ujungnya tetep enggak bisa diandelin di waktu yang dibutuhkan kayak sekarang."

Mungkin jika itu orang lain, akan merasa tersinggung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Lalisa. Untungnya aku sudah mengenal wanita cantik itu dengan baik sehingga aku santai saja dengan ucapannya.

"Ya namanya juga budak korporat kayak kita, dia enggak bisa dong seenaknya pergi di saat masih ada pekerjaan yang harus dia lakuin," belaku. Aku tetap tidak terima dong pacarku dianggap tidak bisa diandalkan.

Mas Fattah itu adalah sebaik-baiknya pacar dan sangat bisa diandalkan. Dia akan langsung menjemput ku kalau aku bersikeras memintanya, hanya saja kadang aku yang tidak ingin membuatnya kerepotan. Toh masih banyak hal yang bisa aku lakukan sendiri tanpa bergantung padanya.

"Mbak, kita bisa naik taksi aja kalau Mbak mau. Keluarnya kita bisa pinjam payung punya kantor."

Aku terkejut saat tiba-tiba saja suara Kale terdengar. Padahal sejak tadi pria itu tidak ambil bagian bahkan saat peristiwa rendang dan daun singkong sekalipun.

"Kamu mau naik taksi? Beneran?" tanyaku tidak percaya.

Pasalnya seperti yang sudah pernah aku bilang di awal, Kale adalah pecinta kendaraan umum. Dia menolak naik taksi jenis apapun dengan alasan tidak aman.

"Ya karena hujan, apa boleh buat," balas anak itu.

"Kale kayaknya udah langsung siaga ya kalau Alen enggak dijemput sama Fattah," celetuk Lalisa.

Aku menoleh kemudian meringis pelan. Susah sekali menjadi yang satu-satunya y yang peka bahwa di ruangan ini pernah ada wanita yang menyukai Kale sedangkan Kale sendiri tidak perduli. Aku yang tidak bersalah ini jadi selalu merasa khawatir dan juga merasa bersalah setiap saat. Capek sekali.

"Karena yang rumahnya searah sama Mbak Alen kan cuma saya," kata anak itu santai.

Lalisa langsung menutup mulut sambil melirik ke arah ku.

Mau tidak mau aku jadi tertawa dengan sindiran atau sarkasme dari Lalisa yang tidak berhasil ditangkap dengan baik oleh Kale.

Padahal Lalisa sudah sering aku peringatkan agar tidak usah mengatakan apapun pada Kale, percuma saja. Pria itu tidak akan mengerti.

"Sudah jam pulang kantor begini, payung kantor pasti sudah habis," timpal Riva.

Ah, benar juga. Payung kantor biasanya selalu ditaruh di lobi. Kalau sudah seperti ini pasti payung kantor sudah habis.

"Iya, Kal. Tetap aja kayaknya kita harus lari dari lobi ke mobilnya," ucapku pada Kale.

Kale diam, tampak sedang berpikir sampai kemudian suara lembut terdengar menyahut.

"Aku punya payung sih tapi cuma satu. Kalau Mas Kale mau bareng aku, enggak apa-apa kok."

Bukannya menawari aku yang sesama wanita, Lili justru terang-terangan menawari Kale satu payung berdua.

Aku terdiam, melirik ke arah Lalisa yang terkekeh pelan.

Benar-benar, aku sampai kehilangan kata-kata setelah mendengar tawarannya.

"Sama saya?" tanya Kale.

Lili tampak mengangguk dengan senyum cantik.

"Enggak usah deh. Kalau cuma saya yang pakai payung, sama saja bohong. Nanti pas di mobil Mbak Alen basah, saya juga jadi ikut basah. Jadi nanti saya lari aja bareng Mbak Alen."

Aku melipat bibirku sambil berpura-pura menunduk. Tujuanku tentu saja menyembunyikan tawa yang bersiap menyembur setelah mendengar jawaban polos dari Kale.

Tapi berbeda denganku, Lalisa justru tertawa dengan lepas. Seperti sengaja untuk membuat Lili merasa malu.

"Ya ampun, Kale. Lucu banget sih kamu? Pantas aja aku jadi susah move on," katanya yang membuatku tertawa terbahak-bahak.

*

"Kenapa? Kok senyum-senyum?"

Aku menoleh, semakin memasang senyum lebar saat bertatapan dengan Fattah.

Di hujan sore hari, dimana tadinya aku akan pulang bersama dengan Kale menggunakan taksi, ternyata kekasihku yang sangat aku cintai ini sudah stand by di depan kantor dengan payung berwarna ungu yahh cantik. Fattah menjemput ku setelah membaca pesan yang aku kirimkan walaupun dia tidak membalas. Sweet sekali.

Dan nasib Kale karena gagal pulang denganku adalah ikut dengan mobilnya Mas Adit yang katanya ada urusan di daerah yang dekat dengan rumah Kale. Mujur sekali nasib Kale karena dia tidak harus pulang bersama dengan Lili yang ternyata juga membawa mobil ke kantor.

"Enggak kenapa-kenapa, Mas. Tadi ada kejadian lucu pas di kantor," kataku masih dengan senyum yang mengembang.

Fattah menoleh penasaran sambil tetap membagi fokusnya pada kemudi.

"Kejadian lucu apa?"

Aku membenahi duduk ku agak sedikit menghadap Fattah.

"Jadi di team aku tuh ada karyawan baru cewek. Dan ternyata dia itu suka sama Kale. Terus..."

Aku menceritakan masalah kejadian payung di ruangan tadi pada Fattah, lengkap dengan tawa puas Lalisa setelah Kale dengan lempeng membalas tawaran Lili menggunakan aku sebagai alasan.  Sama seperti aku, Fattah juga tertawa ketika mendengarnya. Walaupun jelas saja tawanya tidak se bar-bar tawa milik Lalisa.

"Kayaknya, Kale memang populer ya, Neng?"

Aku mengangkat bahu. Karena sejujurnya Kale tidak begitu tampan, tubuhnya juga biasa saja. Hanya tingginya yang memang agak tidak biasa. Bahkan Fattah saja kalah tinggi dari Kale beberapa senti. Tapi menurutku, yang membuat Kale menarik adalah sifat polosnya dan juga tingkah lakunya yang jujur. Juga Kale itu orang yang baik, walaupun dia tidak peka namun dia perduli pada orang-orang di sekitarnya.

"Aku enggak tahu sih kalau populer, tapi yang jelas di ruangan aku ada dua orang yang suka sama dia."

Fattah tersenyum tipis. "Kamu gimana? Suka juga sama dia?"

Sebelah alisku terangkat, aku menduga-duga apakah pertanyaan itu mengandung rada cemburu Fattah pada Kale walaupun sedikit?

"Kok nanyanya begitu? Mas cemburu sama Kale?" tanyaku memancing.

Bukannya menjawab, Fattah malah tertawa dan tawanya itu entah mengapa membuat aku sebal.

"Buat apa aku cemburu sama Kale? Kamu kan lebih dulu kenal sama dia daripada aku. Kalau kamu memang suka sama dia, ya udah dari dulu kan kamu jadian sama dia? Tapi nyatanya, kamu malah naksir sama aku dan jadian sama aku."

Aku mendengus lalu tertawa karena ucapannya. Padahal sesaat lalu aku benar-benar sebal, tapi karena ucapannya memang masuk akal, aku jadi tidak bisa marah padanya.

"Ya habisnya aku cuma nganggep Kale sebagai teman kantor aja. Lagian dia itu kolot, katanya dia enggak mau pacaran dan mau langsung nikah. Makanya teman kantor aku yang suka sama dia, ditolak sama dia langsung pas nyatain perasaan."

Mata Fattah tampak membulat. "Serius?" tanyanya tidak percaya.

Aku mengangguk cepat.

"Beneran!"

"Terus gimana hubungan mereka di kantor sekarang? Pasti hubungannya jadi canggung kan?"

Kembali aku mengangguk, kali ini disertai dengan tawa kecil.

"Ya gitu! Malahan sekarang itu temen aku jadi suka sebelnya sama aku, kalau aku sama Kale kelihatan dekat. Padahal dia sendiri tahu kalau aku sama Kale enggak ada hubungan apa-apa."

"Ya itu wajar, Neng. Soalnya dia punya perasaan lebih sama Kale makanya tanpa sadar dia cemburu kalau lihat Kale dekat sama perempuan lain. Makanya, walaupun kamu enggak ada hubungan apa-apa sama Kale, alangkah baiknya kalau kamu juga agak jaga jarak demi jaga perasaan dia. Kamu tahu enggak?"

Fattah menoleh padaku sesekali di tengah kegiatan mengemudi nya.

"Cemburu sama orang yang enggak bisa kita miliki dan bukan milik kita tuh, rasanya menyiksa banget. Jadi lebih baik kalau kita menghargai perasaan dia, bukan malah berpikir 'Ngapain cemburu? Kan bukan siapa-siapa.' karena aku yakin, dia sendiri juga enggak mau punya perasaan sepihak. Iya kan?"

Sebenarnya ada pertanyaan di kepalaku yang hampir keluar dari mulut. Itu adalah, 'Kok tahu banget sih? Mas pernah ngalamin ya?'

Tapi yang keluar justru,

"Iya, emang benar sih. Nanti aku coba bilang sama Kale juga, biar dia enggak terlalu nunjukin kalau kami dekat. Apalagi sekarang bukan cuma satu, tapi dua cewek yang suka dia."

Seperti itu. Aku lalu mengalihkan pandangan.

Kadang kala, pertanyaan yang tidak perlu memang harus ditahan daripada menciptakan perasaan tidak menyenangkan di hatiku sendiri.

Masalahnya aku sudah pernah beberapa kali membahas tentang mantan pacar Fattah. Awalnya memang biasa saja, kami mengobrol tentang mantan masing-masing. Tapi begitu mulai Fattah menceritakan mantannya dan aku bertanya ini itu, yang terjadi adalah kami bertengkar karena aku yang kesal mendengar berapa baiknya  dia pada setiap wanita yang menjadi pacarnya.

Walaupun itu hanya masa lalu dan terjadi saat Fattah belum mengenalku, tetap saja rasanya kesal. Maka dari itu, demi menghindari pertengkaran yang tidak perlu, aku lebih memilih untuk menutup mulut dan melupakan pertanyaan yang sempat terlintas di pikiran ku tadi.

**

Bab terkait

  • Namanya, Kalendra   7. Sakit

    "Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara."Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, leb

  • Namanya, Kalendra   8. Lili

    Di waktu istirahat di saat ruangan sepi dari semua karyawan, aku yang terlambat pergi karena baru saja menghabiskan waktu di toilet malah menemukan sesuatu.Saat melewati ruangan kerjaku, aku mendapati Lili yang masih ada di sana. Gadis cantik itu tampak mondar-mandir di dekat meja kerja Kale. Sedangkan Kale sudah lebih dulu turun ke kantin karena katanya hendak membeli minuman hangat. Pria itu menolak untuk menitip karena katanya jika dia diam saja, kepalanya terasa pusing.Aku tadinya ingin langsung menyusul ke kantin saja karena rasanya tidak enak jika diam-diam mengintip. Tapi karena aku berpikir mungkin ada hal buruk yang terjadi, maka aku memilih sembunyi di balik tembok. Aku memperhatikan Lili, dari wajahnya gadis itu tampak kebingungan dan juga gelisah. Satu tangannya ada di belakang tubuh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Melihat itu aku jadi semakin penasaran tapi aku juga gelisah karena jam makan siang sudah sangat mepet sedangkan perutku terasa lapar.Aku galau antar

  • Namanya, Kalendra   9. Makan malam

    "Pulang naik apa?" tanyaku pada Kale yang masih sibuk menyusut ingus di hidungnya.Anak itu menoleh, membuat aku meringis melihat betapa merah wajahnya terutama bagian hidungnya itu."Naik bus, Mbak," jawabnya parau.Aku mengangguk. Mengangkat sebelah tangan ku untuk melihat jam berapa sekarang. Masih jam 18.05 dan janji temu ku dengan Fattah akan terjadi di jam 19.30, jadi aku memutuskan untuk tidak pulang dulu dan langsung menuju ke restoran yang sudah diberitahukan oleh Fattah, karena Fattah yang hendak menjemput ku justru aku larang karena jarak antara kantornya dengan kantorku lumayan jauh."Mbak naik bus juga?" ternyata Kale penasaran dengan bagaimana aku akan pulang.Tapi sayangnya aku tidak akan pulang."Enggak sih, kayaknya naik taksi online deh. Soalnya aku enggak pulang tapi ada janji buat ketemu sama Mas Fattah. Mau makan malam," terang ku dengan wajah senang.Tapi tanggapan dari Kale hanya mengangguk dengan wajah lempeng yang menyebalkan. Anak itu memang tidak pernah ter

  • Namanya, Kalendra   10. Satu cup ice cream

    Aku masih tidak mengerti mengapa Kale mau-mau saja datang ke tempat yang jauh ini hanya karena satu pesan yang aku kirimkan. Padahal dia bisa saja mengabaikannya. Atau mungkin dia berpikir bahwa aku sedang menangis karena gagal makan malam bersama dengan Fattah sehingga dia merasa kasihan?"Itu motor punya siapa?" tanyaku.Aku lebih tertarik dengan penampakan motor itu daripada kehadiran Kale. Karena jika memang bisa mengendarai dan memiliki kendaraan, mengapa dia harus bersusah-payah menunggu bus setiap harinya?Kale menoleh ke arah motor yang dia bawa, yang dia parkiran di depan restoran."Motor saya," jawabnya.Dia mengambil duduk di sampingku dengan kaki yang berselonjor."Kalau kamu punya motor, kenapa juga kamu enggak berangkat kerja naik motor? Kenapa harus naik bus?" tanyaku penasaran.Kale sempat terdiam selama beberapa saat hingga membuatku ragu, apakah dia mendengarkan pertanyaan ku atau tidak. Pasalnya kami berada di pinggir jalan dimana banyak sekali kendaraan yang lewat

  • Namanya, Kalendra   11. Retak

    Aku tidak berbohong saat mengatakan bahwa jalan-jalan malam yang aku lakukan bersama dengan Kale benar-benar mampu membuat aku lupa. Bukan hanya lupa pada masalah ku tapi aku juga lupa pada waktu. Karena begitu aku dan Kale benar-benar pulang, waktu sudah melewati pukul sembilan malam.Dan yang membuat aku terkejut saat tiba di rumah adalah karena Fattah yang sesaat lalu membatalkan janji, sudah duduk di kursi teras seorang diri.Aku menatapnya sekilas, sebelum kemudian kembali menghadap Kale."Makasih ya karena kamu udah nganterin aku dan nemenin aku tadi," ucapku tulus.Kale yang juga menyadari keberadaan Fattah, sempat melirik ke arah teras sebelum kemudian kembali menatapku."Iya, kalau begitu saya pulang ya, Mbak?"Aku mengangguk. Merasa bersalah pada Kale yang sepertinya merasa tidak enak pada Fattah. Tapi ini bukan salahnya, Kale justru menolong aku di saat aku benar-benar merasa sesak dengan apa yang terjadi. Jadi entah itu Fattah atau siapapun, tidak ada yang berhak untuk men

  • Namanya, Kalendra   12. Kambing hitam

    Aku mengerjap, nyaris tidak percaya dengan apa yang aku lihat.Padahal sejak aku tiba tadi, Kale hanya diam saja walaupun terus menerima caci maki bahkan kerah bajunya yang terus ditarik dengan semena-mena. Namun ketika aku akhirnya ikut campur dan dengan kasar didorong oleh pria antah berantah itu, baru lah Kale mau melawan. Bahkan aku sendiri tidak percaya dengan tubuh yang tidak begitu berisi, Kale bisa mendorong pria kekar itu hingga beberapa langkah ke belakang."Berani banget lo dorong gue?"Pria itu tidak terima, langsung meringsek maju ke arah Kale namun Kale tidak gentar sedikitpun. Malahan anak itu justru melirik ke arahku."Mbak, Mbak sama yang lain masuk aja," pintanya.Aku menggeleng, karena aku juga ingin tahu masalahnya apa sejak awal."Gue cuma mau tahu, atas dasar apa cowok ini tiba-tiba aja nyerang lo? Bahkan sampai datang ke kantor orang dan berlaku seenaknya. Kayak orang enggak sekolah aja."Aku jelas tahu bahwa ucapanku membawa pria itu menjadi semakin emosi. Tap

  • Namanya, Kalendra   13. Tidak ada bosan

    Aku tadinya berniat untuk pulang bersama dengan Kale, rindu juga karena sudah lama tidak naik bus bersama dengannya.Tapi baru saja aku hendak menyatakan niatku itu pada Kale, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pesan dari Fattah yang mengabarkan bahwa dirinya sudah menunggu aku di depan kantor.Mirisnya, aku malah merasa  sedih dengan hal itu. Padahal saat hubungan kami baik-baik saja, dia tidak memiliki waktu untuk bertemu denganku. Janji pun harus dia batalkan berulang kali karena terlalu sibuk. Tapi sekarang saat ada retak kecil di hubungan kami, dia dengan mudahnya datang di saat aku tidak mengharapkan nya."Mbak? Bengong aja! Mau pulang enggak?" Aku tersentak, menoleh pada Kale yang sudah bersiap keluar. Baru aku sadari bahwa aku menghalangi jalan keluar Kale sehingga dengan segera aku menyingkir."Pulang lah! Masa iya nginep disini," balas ku.Aku berbalik badan dan mengambil tas milikku. "Mau naik apa?"

  • Namanya, Kalendra   14. Tak sesuai

    "Loh, Kak? Tumben disini?"Aku sedikit terkejut saat mendapati Kakak perempuan ku sekaligus kakak ku satu-satunya sedang duduk santai di ruang tengah sambil memeluk satu toples keripik singkong.Padahal ini bukan malam minggu, tapi Kakakku malah sudah ada di sini."A Raffan lagi dinas ke luar kota, makanya aku enggak mau di rumah sendirian," balasnya tanpa menatap ke arah ku.Aku mengangguk. Semula aku ingin langsung masuk ke dalam kamar, mandi dan langsung berlenyeh-lenyeh di tempat tidur. Tapi karena ada kakak ku yang cantik dan baik, maka aku putuskan untuk duduk sebentar bersama dengannya.Namanya Aleya, dia adalah kakak sekaligus teman baikku. Aku memang memiliki dua sahabat semasa sekolah yang belakangan jarang bertemu karena mereka sibuk dengan keseharian masing-masing, namun walaupun aku memiliki dua sahabat baik, aku tetap lebih sering menceritakan masalah ku pada kakak ku ini."Mama Papa mana?" tanyaku. Tanganku masuk k

Bab terbaru

  • Namanya, Kalendra   Extra part

    "Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu

  • Namanya, Kalendra   Epilog

    Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen

  • Namanya, Kalendra   80. Lamaran (Tamat)

    "Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba

  • Namanya, Kalendra   79. First kiss

    Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah

  • Namanya, Kalendra   78. Kencan

    Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,

  • Namanya, Kalendra   77. Berpisah

    Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l

  • Namanya, Kalendra   76. Penyelesaian masalah

    "Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la

  • Namanya, Kalendra   75. Provokasi

    "Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug

  • Namanya, Kalendra   74. Kontroversi

    Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan

DMCA.com Protection Status