Share

5. Rendang

Penulis: J.Stephano
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-10 17:24:00

"Pokoknya gue mau makan yang pedes banget biar bisa ngalahin panasnya hati gue."

Aku mengulum senyum mendengar ucapan yang disuarakan oleh Lalisa dengan keras. Sejenak aku melirik pada Kale yang berdiri bersisian dengan Lili. Baru hari pertama dan mereka sudah tampak sangat dekat sekali seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Pantas saja jika Lalisa mengeluh panas.

"Rendang gimana?" tanyaku.

Tiba-tiba saja aku terpikirkan untuk bersantap dengan menu khas Padang itu. Membayangkan daging empuk dengan bumbu pedas yang khas, air liur ku sudah nyaris menetes.

"Rendang enggak terlalu pedas. Gue pengen yang pedass banget," ujar Lalisa sambil matanya melirik ke arah Lili.

"Yang pedas ya omongan Tetangga."

Aku langsung terkikik saat mendengar sahutan dari Mas Adit yang baru saja keluar dari ruangannya.

"Gue ikut makan bareng kalian ya?"

Aku mengangguk, begitu juga dengan Lalisa. Sedangkan Kale hanya diam sambil matanya yang menunduk memainkan ponselnya.

"Kalau mau yang pedas, gimana kalau makan geprek aja?"

Sebuah suara lembut itu terdengar menyenangkan di telinga. Tapi ini lah sumber panas yang dirasakan oleh Lalisa sedari tadi.

Bahkan dengan juteknya Lalisa langsung menimpali.

"Enggak, gue masih mending makan rendang aja!"

Lili tampak kikuk setelah mendengar penolakan tegas dari Lalisa. Tapi hebatnya gadis itu langsung menoleh ke arah Kale, bertanya pada anak itu.

"Mas Kale, mau makan rendang atau geprek?"

Sebenarnya aku sudah lapar dan ingin segera pergi sekarang juga, yap nampaknya drama kini masih belum selesai. Sehingga dengan berat hati aku harus memasang telinga demi mendengar jawaban dari Kale.

Si anak polos itu langsung mengangkat pandangan, menatap satu persatu kepada semua orang.

"Memangnya kita mau makan dua menu itu?" tanyanya polos.

Aku berdecak sambil menggelengkan kepala.

"Kamu disuruh milih, mau makan geprek atau rendang," kataku sabar.

"Oh, Mbak mau makan apa?"

Kening ku mengerut samar, aku melirik pada Lalisa yang melotot, meminta ku menjawab Rendang lewat tatapan matanya. Sedangkan saat aku melirik ke arah Lili, gadis itu masih santai saja. Sepertinya Lili belum tahu hukum yang berlaku di team ini dimana Kale si penurut itu akan mengikuti apa saja pilihanku. Bukan aku sombong dan takabur, tapi memang ini kenyataannya.

"Aku mau makan rendang. Kebayang wangi bumbunya," balas ku dengan memasang cengiran lebar.

Seperti dugaan ku, Kale langsung mengangguk dengan santai.

"Ya sudah, saya juga makan rendang aja. Pengen peyek udang juga."

Lalisa langsung tersenyum menang setelah mendengar jawaban Kale, sedangkan Lili tampak kecewa karena berharap Kale akan memilih pilihan yang sama dengannya.

"Jadi gimana nih? Mau Rendang apa Geprek? Gue udah lapar banget," tanya Mas Adit tidak sabar.

Dan karena pilihan terbanyak adalah rendang, maka kami putuskan untuk makan siang di rumah makan Padang yang ada tiga bangunan dari kantor kami.

Dengan berjalan kaki, kami ramai-ramai menuju rumah makan yang sudah aku tebak akan ramai. Untungnya Lalisa memiliki nomor karyawan di sana sehingga tadi setelah keputusan diambil, dia langsung mengirimkan pesan untuk mengamankan satu meja untuk lima orang.

"Mbak, saya mau rendang sama sayurnya juga ya. sambalnya dibanyakin," pesanku pada pelayan yang berdiri di depan etalase.

Tidak menunggu yang lain memesan, aku langsung berlaku setelah melengkapi pesanan ku dengan segelas es teh manis jumbo. Aku duduk dengan tenang, melipat kedua tangan di atas meja seperti anak TK yang bersiap untuk belajar. Satu demi satu dari rekan team yang ikut mulai bergabung bersama denganku dan Kale dengan santainya langsung mengambil duduk tepat si sebelahku walaupun matanya masih fokus pada ponsel.

"Kan masih banyak bangku yang lain," bisikku saat melihat Lili yang sejak tadi melirik ke arah Kale.

Kale menoleh padaku dengan sebelah alis terangkat naik.

"Memangnya yang ini buat siapa?" tanyanya sambil menunjuk kursi yang dia duduki.

"Ya  bukan siapa-siapa sih, cuma kan--"

"Ya sudah kalau memang bukan buat siapa-siapa," balasnya santai.

Aku menyerah. Pilihan terakhir ku adalah dengan tidak menatap ke arah Lili atau Lalisa.

Untungnya pesanan kami datang tidak lama setelahnya sehingga aku langsung menyibukkan diri dengan memakan makanan ku ini.

"Yah, kok pakai daun singkong sih," gumam ku pelan.

Tanpa aku duga, Kale dengan sigap mengulurkan sendok miliknya untuk memindahkan daun singkong di piring ku ke piringnya.

Ini bukan aksi yang aneh bagiku, karena Kale memang selalu melakukan hal ini setiap kali makan bersamaku. Entah memindahkan apa yang dia suka padaku atau memindahkan apa yang aku tidak suka kepadanya.

Tapi tentu saja ini pemandangan yang tidak biasa untuk mereka semua yang duduk bersama kami, mereka semua melongo menyaksikan betapa sigap nya Kale memindahkan daun singkong yang tidak aku suka ke piringnya.

Aku meringis, tidak bisa berkata apapun dan hanya menunduk untuk memakan makanan ku. Sepertinya setelah ini, aku akan jadi musuh publik teruntuk Lalisa dan Lili.

Terimakasih aku ucapkan untuk Kale yang baik hati.

*

"Lo beneran enggak ada apa-apa sama Kale? Lo beneran?"

Aku memejamkan mata saat mendengar pertanyaan itu secara beruntung dari Lalisa. Padahal sejak pulang dari makan siang, aku sudah menjelaskan padanya. Tapi si bucin ini tidak mau percaya dan terus menanyakan hal yang sama.

"Iya, Lis. Gue harus ngomong berapa kali? Itu cuma kebiasaan kecilnya gue sama Kale aja kalau makan bareng, dia enggak suka kulit ayam, jadi kalau makan ayam kulitnya di hibahin ke gue. Begitu juga dengan gue, kalau ada yang gue enggak suka ya gue kasih ke dia," terang ku.

Lalisa mendengus. "Kayaknya gue juga bahagia kalau bisa temenan sama Kale kayak gitu. Teman rasa pacar."

Aku meringis mendengar ucapan Lalisa.

"Jangan ngomong begitu dong, Lis. Kan enggak enak kalau ada yang dengar, disangkanya gue beneran ada apa-apa sama Kale."

Lalisa tertawa kecil. "Ya gimana? Gue jamin deh orang lain juga bakalan salah paham kalau lihat kalian yang kayak gitu. Untung aja Mas Fattah lo itu enggak cemburuan, kalau cemburuan lo sama dia udah bubar dari lama."

Aku terdiam begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lalisa. Aku jadi terpikir tentang kejadian terakhir kali saat Fattah dan Imelda lebih dulu mencoba bubur ayam yang ada di apartemen Fattah daripada aku, aku merasa cemburu untuk sesaat. Aku jadi berpikir, mungkinkan Fattah akan cemburu juga saat melihat kejadian tadi saat Kale mengambil daun singkong yang tidak aku suka.

Entah kenapa aku jadi malah menyesalkan Fattah yang tidak melihat kejadian itu, karena sejujurnya aku berharap dia bisa cemburu padaku sedikit saja.

"Lo tahu? Kayaknya Lili beneran naksir sama Kale," bisik Lalisa tiba-tiba.

Mendengar itu, aku melirik ke arah Lili yang sedang fokus di meja kerjanya.

"Emangnya kenapa?"

Lalisa berdecak. "Pakai tanya kenapa. Tadi dia ngeliatin lo sama Kale banget pas kejadian daun singkong itu. Gue juga kesel sih lihatnya, tapi kayaknya dia lebih dari kesel. Udah kelihatan mau nimpuk lo aja, gue rasa."

Aku terkikik. Menganggap ucapan Lalisa sebagai candaan.

Tapi ketika aku melirik lagi ke arah Lili, aku terkejut saat gadis yang dari awal aku duga ramah itu langsung membuang muka saat bertatapan denganku. Aku jadi merinding menyadari bahwa ucapan Lalisa ternyata bukan hanya sekedar omong kosong.

Berganti ke arah lain, aku melirik ke arah Kale yang anteng-anteng saja. Padahal dia yang menyebabkan kekacauan ini, tapi dia malah tidak mengerti dengan situasi yang ada. Ugh! Rasanya aku ingin melemparnya dengan tempat bolpoin yang ada di mejaku.

"Lis, lo kalau lagi cemburu lihat gue sama Kale, bawaannya lo mau ngelakuin apa?" tanyaku iseng.

Lalisa yang masih berdiri di samping meja kerja ku, menaikan sebelah alis.

"Kalau bisa sih, gue mau ngasih foto lo ke dukun biar lo di guna-guna."

Aku melotot, mengusap dadaku dengan pelan.

"Astagfirullah. Lo berdosa banget, Lis."

Lalisa terkekeh. "Ya lagian lo nanya ada-ada aja. Gue enggak sepicik itu. Sekalipun gue cinta mati sama Kale, tapi nyatanya gue emang enggak punya hubungan apa-apa sama Kale jadi mau cemburu kayak gimana juga ya gue enggak punya hak buat marah sama lo."

Tanpa sadar aku menghela napas lega. Entah kenapa aku ngeri juga kalau sampai menerima akibat dari kecemburuan tidak beralasan di saat aku sendiri tidak memiliki hubungan apapun dengan Kale.

"Yang penting lo udah tahu kalau gue udah punya Mas Fattah dan Mas Fattah gue itu lebih baik seratus kali lipat daripada Kale, jadi gue enggak akan tergoda sama wajah polosnya Kalendra itu," kataku yakin.

Lalisa hanya mengedikan bahunya. Tangannya memasukan ponsel yang sejak tadi dia pegang ke dalam saku celananya.

"Jangan ngomong begitu, takutnya lo kena tulah terus jadi jatuh cinta sama Kale. Bukannya apa-apa, tapi takutnya lo yang sedekat ini sama dia pun bakalan ditolak karena dia kukuh buat enggak pacaran."

Aku bergidik. Bukan karena masalah aku jatuh cinta atau tidak pada Kale, tapi karena ucapan Lalisa yang terakhir kali dimana kemungkinan sekalipun aku yang menyatakan cinta padanya, dia akan tetap menolak.

Untuk yang satu itu, aku yakin memang itu yang akan terjadi karena Kale adalah manusia yang memegang teguh dan erat prinsip yang diyakininya.

"Semoga seumur hidup gue enggak akan pernah punya perasaan lebih ke Kale. Ngeri juga kalau gue sampai ditolak kayak lo, apalagi kalau dibandingin lo sama gue, jelas lebih cantikan lo."

Lalisa tertawa. "Lo tahu enggak apa yang bikin Kale pada akhirnya nyaman deket sama lo?"

Kening ku berkerut samar.

"Kenapa memang?"

Senyum seringai muncul di wajah Lalisa.

"Karena di antara perempuan lajang yang ada disini, lo adalah satu-satunya yang enggak akan suka sama dia. Makanya dia santai aja pas deket sama lo. Tapi kalau nantinya lo juga suka sama dia, bisa-bisa dia minta pindah Divisi karena enggak tahan sama penghuni lajang ruangan ini."

Kalimat mengerikan itu anehnya dikatakan dengan tawa menguar oleh Lalisa. Aku tidak bisa relate karena bagaimana pun aku merasa itu fakta yang menyeramkan.

Tuhan, biarkan aku selalu jatuh cinta pada Mas Fattah agar tidak ada kesempatan bagiku untuk jatuh cinta pada Kale. Aamiin

**

Bab terkait

  • Namanya, Kalendra   6. Payung

    Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya."Basah kuyup deh," keluh ku keras.Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   7. Sakit

    "Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara."Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, leb

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   8. Lili

    Di waktu istirahat di saat ruangan sepi dari semua karyawan, aku yang terlambat pergi karena baru saja menghabiskan waktu di toilet malah menemukan sesuatu.Saat melewati ruangan kerjaku, aku mendapati Lili yang masih ada di sana. Gadis cantik itu tampak mondar-mandir di dekat meja kerja Kale. Sedangkan Kale sudah lebih dulu turun ke kantin karena katanya hendak membeli minuman hangat. Pria itu menolak untuk menitip karena katanya jika dia diam saja, kepalanya terasa pusing.Aku tadinya ingin langsung menyusul ke kantin saja karena rasanya tidak enak jika diam-diam mengintip. Tapi karena aku berpikir mungkin ada hal buruk yang terjadi, maka aku memilih sembunyi di balik tembok. Aku memperhatikan Lili, dari wajahnya gadis itu tampak kebingungan dan juga gelisah. Satu tangannya ada di belakang tubuh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Melihat itu aku jadi semakin penasaran tapi aku juga gelisah karena jam makan siang sudah sangat mepet sedangkan perutku terasa lapar.Aku galau antar

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   9. Makan malam

    "Pulang naik apa?" tanyaku pada Kale yang masih sibuk menyusut ingus di hidungnya.Anak itu menoleh, membuat aku meringis melihat betapa merah wajahnya terutama bagian hidungnya itu."Naik bus, Mbak," jawabnya parau.Aku mengangguk. Mengangkat sebelah tangan ku untuk melihat jam berapa sekarang. Masih jam 18.05 dan janji temu ku dengan Fattah akan terjadi di jam 19.30, jadi aku memutuskan untuk tidak pulang dulu dan langsung menuju ke restoran yang sudah diberitahukan oleh Fattah, karena Fattah yang hendak menjemput ku justru aku larang karena jarak antara kantornya dengan kantorku lumayan jauh."Mbak naik bus juga?" ternyata Kale penasaran dengan bagaimana aku akan pulang.Tapi sayangnya aku tidak akan pulang."Enggak sih, kayaknya naik taksi online deh. Soalnya aku enggak pulang tapi ada janji buat ketemu sama Mas Fattah. Mau makan malam," terang ku dengan wajah senang.Tapi tanggapan dari Kale hanya mengangguk dengan wajah lempeng yang menyebalkan. Anak itu memang tidak pernah ter

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   10. Satu cup ice cream

    Aku masih tidak mengerti mengapa Kale mau-mau saja datang ke tempat yang jauh ini hanya karena satu pesan yang aku kirimkan. Padahal dia bisa saja mengabaikannya. Atau mungkin dia berpikir bahwa aku sedang menangis karena gagal makan malam bersama dengan Fattah sehingga dia merasa kasihan?"Itu motor punya siapa?" tanyaku.Aku lebih tertarik dengan penampakan motor itu daripada kehadiran Kale. Karena jika memang bisa mengendarai dan memiliki kendaraan, mengapa dia harus bersusah-payah menunggu bus setiap harinya?Kale menoleh ke arah motor yang dia bawa, yang dia parkiran di depan restoran."Motor saya," jawabnya.Dia mengambil duduk di sampingku dengan kaki yang berselonjor."Kalau kamu punya motor, kenapa juga kamu enggak berangkat kerja naik motor? Kenapa harus naik bus?" tanyaku penasaran.Kale sempat terdiam selama beberapa saat hingga membuatku ragu, apakah dia mendengarkan pertanyaan ku atau tidak. Pasalnya kami berada di pinggir jalan dimana banyak sekali kendaraan yang lewat

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Namanya, Kalendra   11. Retak

    Aku tidak berbohong saat mengatakan bahwa jalan-jalan malam yang aku lakukan bersama dengan Kale benar-benar mampu membuat aku lupa. Bukan hanya lupa pada masalah ku tapi aku juga lupa pada waktu. Karena begitu aku dan Kale benar-benar pulang, waktu sudah melewati pukul sembilan malam.Dan yang membuat aku terkejut saat tiba di rumah adalah karena Fattah yang sesaat lalu membatalkan janji, sudah duduk di kursi teras seorang diri.Aku menatapnya sekilas, sebelum kemudian kembali menghadap Kale."Makasih ya karena kamu udah nganterin aku dan nemenin aku tadi," ucapku tulus.Kale yang juga menyadari keberadaan Fattah, sempat melirik ke arah teras sebelum kemudian kembali menatapku."Iya, kalau begitu saya pulang ya, Mbak?"Aku mengangguk. Merasa bersalah pada Kale yang sepertinya merasa tidak enak pada Fattah. Tapi ini bukan salahnya, Kale justru menolong aku di saat aku benar-benar merasa sesak dengan apa yang terjadi. Jadi entah itu Fattah atau siapapun, tidak ada yang berhak untuk men

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Namanya, Kalendra   12. Kambing hitam

    Aku mengerjap, nyaris tidak percaya dengan apa yang aku lihat.Padahal sejak aku tiba tadi, Kale hanya diam saja walaupun terus menerima caci maki bahkan kerah bajunya yang terus ditarik dengan semena-mena. Namun ketika aku akhirnya ikut campur dan dengan kasar didorong oleh pria antah berantah itu, baru lah Kale mau melawan. Bahkan aku sendiri tidak percaya dengan tubuh yang tidak begitu berisi, Kale bisa mendorong pria kekar itu hingga beberapa langkah ke belakang."Berani banget lo dorong gue?"Pria itu tidak terima, langsung meringsek maju ke arah Kale namun Kale tidak gentar sedikitpun. Malahan anak itu justru melirik ke arahku."Mbak, Mbak sama yang lain masuk aja," pintanya.Aku menggeleng, karena aku juga ingin tahu masalahnya apa sejak awal."Gue cuma mau tahu, atas dasar apa cowok ini tiba-tiba aja nyerang lo? Bahkan sampai datang ke kantor orang dan berlaku seenaknya. Kayak orang enggak sekolah aja."Aku jelas tahu bahwa ucapanku membawa pria itu menjadi semakin emosi. Tap

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Namanya, Kalendra   13. Tidak ada bosan

    Aku tadinya berniat untuk pulang bersama dengan Kale, rindu juga karena sudah lama tidak naik bus bersama dengannya.Tapi baru saja aku hendak menyatakan niatku itu pada Kale, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pesan dari Fattah yang mengabarkan bahwa dirinya sudah menunggu aku di depan kantor.Mirisnya, aku malah merasa  sedih dengan hal itu. Padahal saat hubungan kami baik-baik saja, dia tidak memiliki waktu untuk bertemu denganku. Janji pun harus dia batalkan berulang kali karena terlalu sibuk. Tapi sekarang saat ada retak kecil di hubungan kami, dia dengan mudahnya datang di saat aku tidak mengharapkan nya."Mbak? Bengong aja! Mau pulang enggak?" Aku tersentak, menoleh pada Kale yang sudah bersiap keluar. Baru aku sadari bahwa aku menghalangi jalan keluar Kale sehingga dengan segera aku menyingkir."Pulang lah! Masa iya nginep disini," balas ku.Aku berbalik badan dan mengambil tas milikku. "Mau naik apa?"

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-25

Bab terbaru

  • Namanya, Kalendra   Extra part

    "Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu

  • Namanya, Kalendra   Epilog

    Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen

  • Namanya, Kalendra   80. Lamaran (Tamat)

    "Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba

  • Namanya, Kalendra   79. First kiss

    Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah

  • Namanya, Kalendra   78. Kencan

    Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,

  • Namanya, Kalendra   77. Berpisah

    Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l

  • Namanya, Kalendra   76. Penyelesaian masalah

    "Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la

  • Namanya, Kalendra   75. Provokasi

    "Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug

  • Namanya, Kalendra   74. Kontroversi

    Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan

DMCA.com Protection Status