Beranda / Romansa / Namanya, Kalendra / 4. Karyawan baru

Share

4. Karyawan baru

Penulis: J.Stephano
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Neng!"

Aku akui aku sudah seperti anak kecil yang langsung berlari begitu melihat Fattah sudah ada di depan rumahku. Pagi ini Fattah menjemput ku di rumah sebagai ganti dari kemarin dia yang tidak bisa mengantarkan aku pulang.

Baik sekali kan pacarku ini?

Dengan senyum seceria mentari pagi, aku melangkah riang memasuki mobilnya. Dia menyambut ku dengan senyum juga walaupun tentu saja tidak selebar senyum yang aku punya.

"Enggak apa-apa kalau aku enggak ketemu sama Papa Mama kamu dulu?" tanyanya sedikit khawatir.

Aku menoleh ke belakang tubuh saat menerima pertanyaan seperti itu. Kepalaku lalu menggeleng.

"Enggak masalah kok. Papa Mama lagi sarapan dan sebentar lagi juga Papa berangkat, jadi kayaknya sekarang Mama lagi sibuk nyiapin bekal buat Papa."

Satu yang spesial dari kedua orang tuaku adalah, sejak mereka pertama menikah hingga sekarang anak bungsunya sudah berumur dua puluh lima tahun, Mama selalu membawakan Papa bekal. Bukan karena mereka pelit, namun karena Papa tidak suka memakan makanan lain selain masakan Mama. Mereka memang se manis itu.

"Oh begitu? Ya sudah kalau memang begitu," balas pacarku itu sambil menyalakan mesin mobil.

Aku memandangi nya dari bangku penumpang. Padahal kemarin siang juga aku bertemu dengan dia, tapi entah kenapa rasanya aku masih saja merindukannya. Ini sebenarnya gawat, karena aku sendiri merasa diriku ini terlalu menyukai Fattah. Tapi aku tidak khawatir, karena aku tahu bahwa Fattah juga sama cintanya denganku.

"Kamu sudah sarapan?" tanyaku.

Fattah menoleh sambil mengangguk.

"Sudah. Kebetulan tadi ada warung baru di depan apartemen, jadi aku sempetin makan dulu di sana. Ternyata buburnya enak, kapan-kapan kamu harus coba."

Aku terkikik. Wajah Fattah yang menceritakan warung bubur baru di depan apartemennya itu lucu sekali.

Oh iya, Fattah memang tinggal sendirian di apartemen karena kedua orang tuanya berada jauh di Singapura. Ayahnya memiliki bisnis di sana sehingga Fattah sudah tinggal sendirian semenjak dia kuliah.

"Kalau begitu, besok aku k apartemen kamu aja pagi-pagi, gimana? Habis itu kita bisa berangkat ke kantor bareng," usul ku.

Fattah langsung mengerutkan keningnya.

"Bukannya itu malah muter-muter? Kalau ke apartemen aku kan arahnya beda sama kantor kamu?"

Aku menyengir, "Ya kan yang penting bisa makan bareng sama kamu dan nyobain bubur yang kamu bilang enak itu."

Pacarku itu tampak tertawa kecil, gemas sekali  rasanya aku ingin memeluknya. Sayang, aku masih bisa melihat dengan jelas bahwa pacarku tengah menyetir dan memeluknya secara tiba-tiba sangat tidak disarankan.

"Ya enggak usah begitu. Besok aku jemput kamu lagi aja sambil bawain buburnya. Kan buburnya bisa dibungkus," katanya yang lebih masuk akal daripada saranku yang ribet tadi.

Aku pun tidak membantah dan mengangguk saja.

"Pokoknya kamu enggak akan nyesel. Buburnya memang baru buka seminggu tapi enak dan laris banget. Imel aja kemarin sampai bela-belain datang ke sana buat makan buburnya lagi."

Aku yang semula sedang melihat ke arah luar jendela, langsung menoleh ke arah Fattah.

Mataku mengerjap pelan melihatnya yang masih asik menyetir. Ada sedikit rasa aneh di hatiku setelah tahu bahwa ada yang sudah lebih dulu mencoba bubur ayam di depan apartemen itu daripada aku.

"Kok Imel bisa udah tahu soal bubur itu?" tanyaku. Aku berusaha menjaga nada bicara ku agar tidak terdengar seperti sedang cemburu.

"Oh, waktu itu kan dia naik bus terus salah turun di halte yang ada di dekat apartemen ku. Karena dia itu buta arah, makanya dia nelepon aku dan nanya dia harus naik bus yang mana supaya bisa sampai kantor. Aku enggak tega biarin dia naik bus, makanya aku jemput dia di halte dan ngajak dia makan dulu bubur di depan apartemen ku itu. Eh, dia malah ketagihan!"

Ekspresi Fattah begitu santai saat menjawab pertanyaan dariku, itu menandakan bahwa mereka memang tidak ada hubungan apapun dan Fattah sepenuhnya hanya menolong Imelda yang tersesat. Aku jadi merasa picik karena sempat berpikir yang tidak-tidak di saat Fattah begitu setia dan jujur padaku.

"Oh ya? Ternyata selain pendiam dan pemalu, Imel juga enggak ngerti jalanan ya?" kataku sambil tertawa pelan.

Fattah ikut tertawa. "Dia itu kayak anak kecil banget, Neng. Aku kalau lagi sama dia, berada punya adik jadinya. Aku harus selalu ngawasin dia karena dia itu ceroboh."

Aku hanya mengangguk, kali ini memilih untuk tidak menjawab dan mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.

Tahu kenapa? Karena aku perlu waktu untuk meyakinkan diriku bahwa hubungan mereka memang hanya sebatas itu. Toh aku dan Kale pun sama dekatnya, mungkin ada waktunya dimana Fattah juga merasakan perasaan janggal seperti apa yang aku rasakan sekarang.

*

Ketika aku baru sampai di ruangan, aku melongo di ambang pintu masuk saat melihat Kale yang berdiri bukan pada tempatnya.

Aku yakin tidak salah ingat saat seharusnya di jam segini Kale sudah duduk anteng di mejanya. Namun kali ini, Kale tengah berdiri di meja yang sebelumnya adalah milik Kitty. Rekan kerja kami yang berhenti karena hamil dan menikah.

Saat aku memiringkan kepala demi melihat siapa yang duduk di meja itu sekarang, aku langsung membulatkan bibirku dengan suara lirih 'oh'.

Gadis cantik yang memakai kemeja putih dengan tile di bagian bawah nya itu adalah anak 'titipan' yang lolos interview. Namanya Lili, lebih lengkap adalah Liara dan nama panjangnya aku lupa siapa. anaknya manis, murah senyum dan juga santun. Bahkan aku saja takjub karena baru kali ini ada anak 'titipan' yang tidak songong dan semena-mena.

Daripada berjalan ke arah mejaku sendiri, aku justru berjalan ke arah meja Lalisa. Wajah Lalisa sudah terlihat sangat masam seperti jeruk yang belum masak.

"Kenapa tuh? Tumben dia udah nangkring di meja orang?" tanyaku setengah berbisik.

Lalisa hanya melirik sekilas padaku.

"Iya, kalau lihat dia pagi-pagi udah ada di meja lo sih, gue udah enggak heran. Tapi ini pagi-pagi dia udah dengan rajinnya ngapel ke meja anak baru."

Aku meringis. Entah kenapa ucapan Lalisa itu terasa seperti sindiran bagiku. Agak tidak enak hati juga.

Mataku kemudian kembali menatap ke arah Kale dan di waktu yang sama, anak itu menyadari tatapan ku dan berbalik badan. Senyumnya terkulum lebar menyapaku.

Aku berdeham saat Lalisa melirik lagi padaku.

"Gue ke meja gue dulu ya," pamit ku segera.

Langsung aku duduk dengan diam dan menyalakan perangkat komputer ku. Aku taruh tasku di laci meja kerja saat Kale berubah haluan mendekati ku.

"Baru datang, Mbak?" tanyanya.

Aku mengangguk, sekilas melirik ke arah meja anak baru yang tanpa disangka sedang menatap juga ke arahku. Aku tersenyum tipis untuk menyapanya.

"Ngapain kamu di sana tadi?" tanyaku pelan.

Ketika Kale hendak menoleh ke belakang tubuhnya setelah mendengar pertanyaan ku, aku menahannya dengan mencubit tangannya pelan. Dia meringis.

"Tadi dia minta saya ajarin buat bikin laporan pajak. Katanya, dia lemah sama yang hitung-hitungan makanya enggak mau ngelamar ke bagian Keuangan bareng sama Mas Ali."

Aku mencibir. Rasanya aku tidak percaya dengan alasan semacam itu.

"Memangnya tadi baru kamu aja yang datang?"

Kale menggeleng dengan polosnya.

"Ada Mbak Ria kok sama Bang Teguh. Kenapa memangnya?"

Aku menatap jengah pada Kale. Bisa-bisanya anak ini masih bisa bertanya seperti itu.

Sudah jelas kan bahwa anak baru itu hanya modus padanya dengan minta diajari seperti itu, padahal sudah jelas jarak meja Ria dan dan Teguh lebih dekat dengan meja anak baru itu.

"Enggak Kenapa-kenapa," jawabku malas.

Aku segera membuka dokumen yang aku butuhkan, juga dengan email kerja yang terhubung langsung. Aku memeriksa adalah e-mail penting yang harus aku tanggapi sekarang.

Tapi baru juga aku mengotak-atik komputer kerjaku ini, sebuah bayangan menutupi sebagian darinya. Aku pikir itu hanya bayangan Kale, tapi ternyata itu adalah Lili yang sudah berdiri di samping Kale.

"Halo, Mbak Alen kan ya?" tanyanya dengan nada ramah.

Aku melirik pada Kale yang masih berdiri di sisi mejaku, anak itu tidak bereaksi sama sekali.

"Iya. Lo Lili kan? Selamat bergabung ya! Semoga betah bareng kita disini," sambut ku ramah juga.

Lili tersenyum, baru aku sadari bahwa ada lesung pipi yang cantik saat dia tersenyum.

"Kayaknya saya bakal betah, Mbak. Soalnya disini baik-baik orangnya, Mas Kale juga tadi baik banget mau ngajarin saya."

Aku tersenyum kikuk, melirik lagi pada Kale yang hanya tersenyum tipis.

Benar-benar si Kale. Aku jadi khawatir bahwa akan ada satu lagi korbannya Kale yang sama seperti Lalisa. Aku ke nih khawatir lagi karena sepertinya Lili orang yang perasa, bahaya kalau dia sampai patah hati dan kemudian mengundurkan diri dari kantor. Bisa-bisa aku dan teman team yang lain harus lembur lagi.

"Bagus deh kalau begitu. Selain Kale, yang lain juga bisa bantu kok kalau lo kesulitan. Jadi lo enggak usah malu atau sungkan ya, buat minta tolong," kataku.

Aku berharap Lili dapat mengerti maksudku. Bukan aku tidak suka dia dekat dengan Kale, aku sih senang-senang saja. Siapa tahu Lili bisa meruntuhkan prinsip Kale yang tidak mau pacaran itu. Tapi ini juga demi kebaikan Lili kalau-kalau dia benar-benar jatuh hati dan kemudian ditolak oleh Kale seperti Lalisa.

"Iya, Mbak. Saya..masih malu makanya tadi saya minta tolong Mas Kale saja. Lain kali, kalau ada yang bikin saya kesulitan, saya boleh ya tanya sama Mbak."

Aku langsung mengangguk tanpa ragu. Setidaknya lebih baik bertanya padaku demi kebaikan semua orang.

Setelahnya, Lili pamit kembali ke mejanya sedangkan saat Kale hendak kembali ke mejanya sendiri, aku menarik kemejanya.

"Enggak usah tebar pesona," sungutku terbawa kesal.

Kale menatapku dengan bingung, tapi aku justru melengos dan menolak untuk menjawab kebingungan nya. Biar saja anak itu tahu rasa!

**

Bab terkait

  • Namanya, Kalendra   5. Rendang

    "Pokoknya gue mau makan yang pedes banget biar bisa ngalahin panasnya hati gue."Aku mengulum senyum mendengar ucapan yang disuarakan oleh Lalisa dengan keras. Sejenak aku melirik pada Kale yang berdiri bersisian dengan Lili. Baru hari pertama dan mereka sudah tampak sangat dekat sekali seperti dua sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Pantas saja jika Lalisa mengeluh panas."Rendang gimana?" tanyaku. Tiba-tiba saja aku terpikirkan untuk bersantap dengan menu khas Padang itu. Membayangkan daging empuk dengan bumbu pedas yang khas, air liur ku sudah nyaris menetes."Rendang enggak terlalu pedas. Gue pengen yang pedass banget," ujar Lalisa sambil matanya melirik ke arah Lili."Yang pedas ya omongan Tetangga."Aku langsung terkikik saat mendengar sahutan dari Mas Adit yang baru saja keluar dari ruangannya."Gue ikut makan bareng kalian ya?" Aku mengangguk, begitu juga dengan Lalisa. Sedangkan Kale hanya diam sambil matanya yang menunduk memainkan ponselnya."Kalau mau yang pedas, gimana k

  • Namanya, Kalendra   6. Payung

    Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya."Basah kuyup deh," keluh ku keras.Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar

  • Namanya, Kalendra   7. Sakit

    "Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara."Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, leb

  • Namanya, Kalendra   8. Lili

    Di waktu istirahat di saat ruangan sepi dari semua karyawan, aku yang terlambat pergi karena baru saja menghabiskan waktu di toilet malah menemukan sesuatu.Saat melewati ruangan kerjaku, aku mendapati Lili yang masih ada di sana. Gadis cantik itu tampak mondar-mandir di dekat meja kerja Kale. Sedangkan Kale sudah lebih dulu turun ke kantin karena katanya hendak membeli minuman hangat. Pria itu menolak untuk menitip karena katanya jika dia diam saja, kepalanya terasa pusing.Aku tadinya ingin langsung menyusul ke kantin saja karena rasanya tidak enak jika diam-diam mengintip. Tapi karena aku berpikir mungkin ada hal buruk yang terjadi, maka aku memilih sembunyi di balik tembok. Aku memperhatikan Lili, dari wajahnya gadis itu tampak kebingungan dan juga gelisah. Satu tangannya ada di belakang tubuh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Melihat itu aku jadi semakin penasaran tapi aku juga gelisah karena jam makan siang sudah sangat mepet sedangkan perutku terasa lapar.Aku galau antar

  • Namanya, Kalendra   9. Makan malam

    "Pulang naik apa?" tanyaku pada Kale yang masih sibuk menyusut ingus di hidungnya.Anak itu menoleh, membuat aku meringis melihat betapa merah wajahnya terutama bagian hidungnya itu."Naik bus, Mbak," jawabnya parau.Aku mengangguk. Mengangkat sebelah tangan ku untuk melihat jam berapa sekarang. Masih jam 18.05 dan janji temu ku dengan Fattah akan terjadi di jam 19.30, jadi aku memutuskan untuk tidak pulang dulu dan langsung menuju ke restoran yang sudah diberitahukan oleh Fattah, karena Fattah yang hendak menjemput ku justru aku larang karena jarak antara kantornya dengan kantorku lumayan jauh."Mbak naik bus juga?" ternyata Kale penasaran dengan bagaimana aku akan pulang.Tapi sayangnya aku tidak akan pulang."Enggak sih, kayaknya naik taksi online deh. Soalnya aku enggak pulang tapi ada janji buat ketemu sama Mas Fattah. Mau makan malam," terang ku dengan wajah senang.Tapi tanggapan dari Kale hanya mengangguk dengan wajah lempeng yang menyebalkan. Anak itu memang tidak pernah ter

  • Namanya, Kalendra   10. Satu cup ice cream

    Aku masih tidak mengerti mengapa Kale mau-mau saja datang ke tempat yang jauh ini hanya karena satu pesan yang aku kirimkan. Padahal dia bisa saja mengabaikannya. Atau mungkin dia berpikir bahwa aku sedang menangis karena gagal makan malam bersama dengan Fattah sehingga dia merasa kasihan?"Itu motor punya siapa?" tanyaku.Aku lebih tertarik dengan penampakan motor itu daripada kehadiran Kale. Karena jika memang bisa mengendarai dan memiliki kendaraan, mengapa dia harus bersusah-payah menunggu bus setiap harinya?Kale menoleh ke arah motor yang dia bawa, yang dia parkiran di depan restoran."Motor saya," jawabnya.Dia mengambil duduk di sampingku dengan kaki yang berselonjor."Kalau kamu punya motor, kenapa juga kamu enggak berangkat kerja naik motor? Kenapa harus naik bus?" tanyaku penasaran.Kale sempat terdiam selama beberapa saat hingga membuatku ragu, apakah dia mendengarkan pertanyaan ku atau tidak. Pasalnya kami berada di pinggir jalan dimana banyak sekali kendaraan yang lewat

  • Namanya, Kalendra   11. Retak

    Aku tidak berbohong saat mengatakan bahwa jalan-jalan malam yang aku lakukan bersama dengan Kale benar-benar mampu membuat aku lupa. Bukan hanya lupa pada masalah ku tapi aku juga lupa pada waktu. Karena begitu aku dan Kale benar-benar pulang, waktu sudah melewati pukul sembilan malam.Dan yang membuat aku terkejut saat tiba di rumah adalah karena Fattah yang sesaat lalu membatalkan janji, sudah duduk di kursi teras seorang diri.Aku menatapnya sekilas, sebelum kemudian kembali menghadap Kale."Makasih ya karena kamu udah nganterin aku dan nemenin aku tadi," ucapku tulus.Kale yang juga menyadari keberadaan Fattah, sempat melirik ke arah teras sebelum kemudian kembali menatapku."Iya, kalau begitu saya pulang ya, Mbak?"Aku mengangguk. Merasa bersalah pada Kale yang sepertinya merasa tidak enak pada Fattah. Tapi ini bukan salahnya, Kale justru menolong aku di saat aku benar-benar merasa sesak dengan apa yang terjadi. Jadi entah itu Fattah atau siapapun, tidak ada yang berhak untuk men

  • Namanya, Kalendra   12. Kambing hitam

    Aku mengerjap, nyaris tidak percaya dengan apa yang aku lihat.Padahal sejak aku tiba tadi, Kale hanya diam saja walaupun terus menerima caci maki bahkan kerah bajunya yang terus ditarik dengan semena-mena. Namun ketika aku akhirnya ikut campur dan dengan kasar didorong oleh pria antah berantah itu, baru lah Kale mau melawan. Bahkan aku sendiri tidak percaya dengan tubuh yang tidak begitu berisi, Kale bisa mendorong pria kekar itu hingga beberapa langkah ke belakang."Berani banget lo dorong gue?"Pria itu tidak terima, langsung meringsek maju ke arah Kale namun Kale tidak gentar sedikitpun. Malahan anak itu justru melirik ke arahku."Mbak, Mbak sama yang lain masuk aja," pintanya.Aku menggeleng, karena aku juga ingin tahu masalahnya apa sejak awal."Gue cuma mau tahu, atas dasar apa cowok ini tiba-tiba aja nyerang lo? Bahkan sampai datang ke kantor orang dan berlaku seenaknya. Kayak orang enggak sekolah aja."Aku jelas tahu bahwa ucapanku membawa pria itu menjadi semakin emosi. Tap

Bab terbaru

  • Namanya, Kalendra   Extra part

    "Sayang! Handuk aku, kamu jemur di luar?"Aku mendesah pelan. Padahal aku sudah menyiapkan handuk mandi Kale di atas tempat tidur, bersebelahan dengan pakaian tidurnya. Tapi dia masih saja tidak membawa handuk nya ke kamar mandi. Dan sekarang, dia bertanya begitu seolah-olah dia tidak menemukan handuknya dimana pun.Langkah ku berjalan masuk ke kamar tidur, berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menyampirkan handuk milik suamiku itu."Handuknya dari tadi udah aku taruh di kasur. Padahal kalau lupa bawa, kamu bisa minta tolong aku buat bawain. Bukan malah pura-pura begitu. Siap-siap buat hukuman kamu ya!"Aku yakin di dalam kamar mandi, Kale sedang bergidik ngeri mendengar ancaman ku. Tapi aku tidak perduli. Suruh siapa, dia selalu saja mengulangi perbuatannya itu?Semenjak kami menikah dua bulan lalu, aku jadi semakin tahu kebiasaan buruk Kale. Dia sama seperti para suami yang sering aku dengar dari orang-orang terdekat atau juga muncu

  • Namanya, Kalendra   Epilog

    Author POVSejak pagi, hujan sudan turun dengan derasnya. Padahal hari ini adalah hari yang penting bagi Alena, karena dia berniat untuk keluar bersama dengan Kale, mencoba makanan ringan yang nantinya akan dia hidangkan di acara pernikahannya dengan Kale.Ketiga kalinya Alena mendesah berat. Menatap keluar jendela kamarnya, dimana air masih turun dengan disertai gemuruh yang sesekali datang."Gimana nih? Enggak jadi dong."Dia menyandarkan kepala di bingkai jendela. Meratapi pagi harinya yang sudah berhasil membunuh semangatnya. Tiba-tiba dering ponselnya terdengar, Alena tahu siapa yang menghubunginya. Segera dia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan dari calon suaminya itu."Ya, Kal?" Suara Alena pasti terdengar begitu lesu hingga kemudian Kale menyuarakan rasa cemas nya dengan menanyakan apakah Alena sakit."Enggak. Aku enggak sakit. Kita enggak jadi pergi kan karena hujan?"Alena merasa bahwa dirinya bodoh karen

  • Namanya, Kalendra   80. Lamaran (Tamat)

    "Duh, yang akhirnya bisa pulang dan ketemu sama Mas Pacar. Seneng amat."Aku hanya melirik sekilas pada Mas Adit. Ada senyum kecil di bibir ku ketika bertatapan dengan atasan ku itu."Jelas dong, Mas. Kan dua hari enggak ketemu. Jadi wajar dong kalau saya kangen sama pacar saya."Mas Adit hanya tersenyum kecil tanpa membalas. Sedangkan aku kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil.Peristiwa terakhir kali sebelum aku pergi dinas, masih jelas teringat dan terkenang di kepala ku sepanjang aku menjalani kegiatan dinas dua hari ini. Bahkan setiap Kale menghubungi aku, aku secara otomatis akan langsung teringat dengan kejadian itu. Ciuman pertama aku dan Kale. Ciumannya yang amatir, yang terkesan ragu dan takut, justru membekas kuat di kepalaku.Aku menyukainya. Aku menyukai ke hati-hatian Kale yang sepertinya sangat takut aku akan kecewa dan tidak puas. Padahal dia tidak tahu bahwa menjadi ciuman pertama baginya adalah sebuah keba

  • Namanya, Kalendra   79. First kiss

    Setelah aku mendengar wacana tentang lamaran itu, setiap harinya aku lalui dengan berdebar. Aku bahkan sudah melihat-lihat kebaya yang sekiranya cocok digunakan di acara yang seperti itu, padahal belakangan kami sudah tidak pernah membahas perihal lamaran itu lagi.Dua bulan berlalu semenjak malam itu. Dan Kale tampaknya mulai sibuk karena berkat kerjanya yang kompeten, dia dipercaya untuk menangani salah satu karya dari seorang penulis yang namanya sudah cukup dikenal di dunia Literasi. Walaupun begitu, dia masih saja menyempatkan diri untuk bisa menjemput aku di kantor setiap hari."Beruntung banget lo, Len. Semenjak keluar dari kantor ini, Kale kelihatan makin keren aja. Setelannya juga gue lihat oke punya. Apa Jangan-jangan, ini karena dia udah punya pacar ya? Makanya dia berusaha tampil sekeren mungkin?"Aku tertawa menanggapi komentar Lalisa. Kemarin dia sempat bertemu dengan Kale saat Kale menjemput ku dan dia melihat bagaimana Kale berubah setelah

  • Namanya, Kalendra   78. Kencan

    Lampu gantung berbentuk bulat yang memberikan kesan temaram yang romantis, kursi kayu dan meja kayu yang sesuai dengan interior kafe yang agak jadul. Alunan musik dari penyanyi terkenal yang dikenal dengan lagu-lagu puitis nya.Sungguh, ini adalah komponen sempurna untuk kencan pertama. Kebetulan aku dan Kale menempati meja yang ada di pojok ruangan, yang agak terasing dari meja lainnya. Ternyata, selain es krim, kafe yang Kale sebut sebagai warung es krim ini juga menyediakan cemilan kekinian. Salah satunya adalah waffle es krim dan juga martabak es krim. Dua-dua nya sudah pasti berisi es krim segar di dalamnya.Tapi daripada memesan makanan dengan isian es krim, aku memilih brownies green tea tanpa es krim, karena aku sudah memesan es krim secara terpisah dan juga air mineral."Suka?"Adalah pertanyaan yang diutarakan oleh Kale setelah sekian lama kami hanya sibuk menyantap pesanan kami."Ini enak. Tapi sebenarnya, aku belum makan nasi,

  • Namanya, Kalendra   77. Berpisah

    Hari itu, Kale benar-benar mengatakan keputusannya pada Mas Adit. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, tapi saat aku bertanya pada Kale, dia hanya bilang bahwa Mas Adit sedikit menyayangkan keputusan yang Kale ambil. Mas Adit berkata bahwa dia merasa senang memilki Kale sebagai bawahannya. Meskipun begitu, Mas Adit pada akhirnya menyetujui sudah pengunduran diri Kale.Lalu esok malamnya, kamu mengadakan makan malam dengan teman satu kantor sebagai bentuk perpisahan untuk Kale. Tentu saja sebetulnya, aku tidak berniat mengajak Lili. Tapi walau bagaimana pun, dia masih rekan kerja kami. Rasanya tidak akan etis jika aku dengan sengaja mengecualikan dia."Dingin."Aku memeluk tubuh ku dengan kedua tangan. Saat ini, aku sedang ada di depan kafe bersama Kale, sedangkan teman-teman yang lain masih ada di dalam kafe."Mau pakai jaket saya?"Aku tertawa mendengar tawaran dari Kale. Biasanya, di dalam film atau drama, pemeran utama laki-l

  • Namanya, Kalendra   76. Penyelesaian masalah

    "Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lebih bela dia daripada aku? Apa Kakak lupa, kalau orang tuaku menitipkan aku sama Kakak? Tapi apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menampar aku di depan banyak orang, demi perempuan itu."Kedua alisku nyaris menyatu saat Lili dengan kurang ajarnya menunjuk lurus ke arah ku. Padahal kalau dia minta maaf pun, aku belum tentu akan memaafkannya. Apalagi jika sikapnya seperti itu."Justru karena orang tua kamu menitipkan kamu pada saya, makanya saya enggak mau kamu melakukan sesuatu yang salah dan menyakiti orang lain. Alena enggak salah apa-apa. Dia hanya jatuh cinta pada seseorang yang selama ini dia anggap sebagai temannya. Tapi karena merasa disakiti dan dikhianati, kamu malah membuat dia dalam masalah. Kamu memprovokasi banyak orang untuk berbicara buruk tentang dia. Kamu pikir, saya enggak tahu?"Sudah aku duga, bahwa Lili yang melakukannya. Sebenci itu dia padaku hanya karena aku dan Kale berpacaran. Padahal orang yang belum la

  • Namanya, Kalendra   75. Provokasi

    "Enak banget ya? Udah ketahuan pacaran di kantor, tapi dapat hak istimewa buat tetap bertahan di kantor dua-duanya tanpa harus keluar salah satunya. Kalau tahu ada hak istimewa begitu, gue juga dari awal aja cari pacar satu kantor.""Ya gimana lagi? Yang melanggar kan karyawan terbaik selama dua bulan berturut-turut, jadi wajar kalau dapat hak istimewa kayak gitu. Sedangkan rakyat jelata kayak kita sih, kalau ketahuan pacaran sama sesama karyawan pasti sudah disuruh tulis surat pengunduran diri atau disuruh putus biar enggak jadi masalah di kantor."Aku sudah tahu bahwa masalahku dengan Kale sudah menyebar luar kesana kemari. Makanya sebisa mungkin, aku tidak merasa tersinggung atau marah walaupun dibicarakan dengan terang-terangan oleh orang-orang dari divisi lain. Kebanyakan, mereka adalah berasal dari bagian Pemasaran. Tapi ada juga yang berasal dari divisi Keuangan yang sebagian besar merupakan teman dekat Valani, gadis yang pernah menyukai Kale dan ditolak jug

  • Namanya, Kalendra   74. Kontroversi

    Keluar dari ruangan Mas Adit, aku langsung mendatangi Lili di mejanya. Dia sangat percaya diri hingga menatapku dengan tatapan yang menantang."Ternyata benar ya? Padahal dulu Mbak dengan gigih mengelak kalau punya hubungan sama Kale, tapi--"Tanpa menunggu dia selesai bicara, aku langsung menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Sudah cukup dia membuat hubungan ku dan Kale menjadi konsumsi publik, tidak lagi untuk sekarang. Manusia ular sepertinya sudah pasti akan menggiring aku untuk dipermalukan di depan semua orang dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi."Lo sengaja ngikutin gue sama Kale dan juga langsung ngambil gambar kami terus diperlihatkan ke semua orang?"Dengan senyum menyebalkan yang ada di wajahnya, dia mengangguk."Iya. Berkat saya, semua orang jadi tahu betapa munafik nya Mbak selama ini. Dari awal Mbak kekeuh bilang kalau Mbak enggak punya hubungan apapun sama Kale. Mbak bahkan berlaku seakan-akan sampai kapan

DMCA.com Protection Status