"Dalam rangka apa?" Aku bertanya tanpa melihatnya."Karena semalam, Bapak sudah membantu saya. Memesankan ojek online. Lalu menunggui saya sampai ojeknya datang. Kalau tidak ada Bapak, mungkin saya sendirian dan terus mendorong motor," jelasnya kemudian."Ohh. Itu. Sudah?""Sudah, Pak. Hanya itu. Saya permisi. Semoga Bapak suka dengan pemberian saya siang ini."Aku tak menyahut. Hingga pintu ruangan ini terdengar telah ditutup. Barulah aku mengalihkan perhatian dari depan laptop.Sebuah Tote bag hitam teronggok di atas meja ini. Aku lantas meraihnya dan membongkar.Isinya sebuah kotak makan. Kubuka tutupnya dan ternyata berisi menu makanan lengkap.Krubuk!Perutku sudah menyalakan alarmnya.Entah apa maksudnya Feli mengirimku makan siang seperti ini. Jika untuk sekedar ucapan terima kasih, kurasa terlalu berlebihan. Karena aku membantunya tanpa mengharap apa pun.Kututup kembali kotak makan dari Feli. Memasukkannya lagi ke dalam Tote bag seperti semula. Keluar dari ruanganku dengan ce
SEASON 2***********🌻POV YudaJam bubaran kantor. Aku duduk merenung di atas jok motor. Di depan sana, di bagian parkir khusus mobil, terlihat Feli sudah berada di dalam sebuah mobil.Aku melihatnya yang duduk di bangku kemudi, di mana kaca mobilnya diturunkan penuh. Feli membolak-balik kotak makan yang tadi dia berikan padaku. Senyuman mengembang di bibirnya. Menghiasi wajahnya yang masih full dengan riasan itu.Aku sampai terheran-heran dengan reaksi Feli di dalam sana. Apa dia senang makanannya habis? Pasti dia mengira, aku yang sudah memakannya. Padahal, makanan tadi itu mendarat mulus di perut Fahreza, bukan di perutku.Kaca mobilnya lalu ditutup. Mobilnya kemudian melaju meninggalkan parkiran. Sedangkan aku masih duduk di jok motorku. Kembali galau karena memikirkan tugas mutasi yang ditetapkan kantor.Lalu tak lama, Fahreza datang mendekati motornya di sisiku. Dia menepuk pundak ini, seperti kebiasaannya yang selalu resek."Kenapa lo?" tanyanya seraya menaiki jok motor milikn
Tut.Panggilan telah dimatikan oleh Hilma. Sementara, aku mengusap wajah dengan kasar."Bakso bakar? Ada-ada aja maunya ibu hamil. Harus cari di mana coba?" Kuhela napas berat seraya mengutak-atik layar ponsel. Menanyakan pada Fahreza, mungkin dia tahu di mana aku bisa membeli makanan itu.Sayangnya, nomor Fahreza tidak aktif. Lantas, kucoba untuk mencarinya di pencarian maps. Mengetikkan pada simbol kaca pembesar. Lalu memilih alamat paling dekat dari sini.Kutarik napas panjang kembali. Paling dekat ada di sebuah kedai dengan jarak sekitar 7 km dari tempatku kini. Mau tak mau, akhirnya kunyalakan mesin motorku lagi. Lalu bergegas sesuai petunjuk arah dari layar ponsel yang kuingat.Hari semakin senja, saat aku akhirnya tiba di sebuah kedai. Tinggal beberapa menit lagi, adzan magrib akan berkumandang.Kedai baso yang menjadi tujuan, tidak begitu ramai pembeli. Cepat aku pun memesan, dan menunggu pesananku dibuatkan."Lho, Pak Yuda? Bapak di sini?" Aku memutar kepala, saat terdengar
Selesai makan malam. Bergegas aku ke kamar. Melewati ruangan bermain, kresek putih yang tadi berisi bakso bakar nampak telah kosong.Aku tersenyum karenanya. Merasa tidak sia-sia aku membelinya meski jauh. Bahkan, kotak pembungkus bakso tadi, telah benar-benar bersih. Nampaknya, Hilma memang sangat ingin memakannya. Aku bahkan sampai tidak dibagi.Kubuang kemudian kresek itu ke tempat sampah di dapur. Lalu kembali menuju kamarku.Di dalam kamar, Hilma baru saja beranjak dari kasur tempat tidur si kembar. Aku berjalan di belakangnya, sampai Hilma duduk di sisian tempat tidur."Ay, jangan bobok di sini. Aku mau bobok sendiri," ucapnya merengek. Memeluk guling di atas pahanya dan menatapku di hadapannya saat ini."Lagi?" Aku terheran. Kupikir, ngidamnya yang aneh itu tidak akan terulang malam ini.Hilma mengangguk cepat. "Iya. Kalau ada kamu, aku malah jadi susah tidur, Ay," jawabnya kemudian.Bahuku merosot, diikuti hembusan napas beratku. Aku lantas meraih satu bantal dan mendekapnya.
"Aku kangen, Sayang," ucapku lirih. "Si junior kapan boleh dikunjungin?" sambungku masih dengan nada lirih.Hilma menggeleng. "Ya enggak tahu. Si junior aja gak mau kita bobok barengan, Ay!"Bibirku cemberut. Lekas aku pun bangkit. Menatap Hilma yang nampak sudah mengantuk. "Tega banget si junior gak mau deket-deket sama Ayahnya. Padahal aku yang banting tulang bikinnya hampir setiap malam. Udah jadi, malah gak mau ditengokin," keluhku membuat Hilma terkekeh."Ya udah, aku tidur di luar ya, Sayang. Kamu bobok juga ya!" pesanku kemudian. Melihat netranya yang telah sayu, membuatku tak tega untuk terus merayunya.Kuusap lembut puncak kepala Hilma sebelum akhirnya aku keluar dari kamar.Melangkah menuju sofa dan memasang bantalnya, lalu merebahkan diriku segera. Menyalakan televisi untuk sekedar menemani malam yang mulai sunyi ini.Menonton siarannya membuat netraku perlahan memejam lalu mengerjap. Hingga akhirnya kubiarkan netraku benar-benar memejam dengan televisi yang masih menyala.
SEASON 2*POV YudaMenggosok rambut yang basah di depan cermin rias. Lalu mengeringkan badanku yang basah. Akhirnya, aku bisa mengunjungi si junior pagi ini, di bawah kucuran air shower tadi. Ah, benar-benar penyambutan pagi yang syahdu.Setelah rambut serta tubuhku lumayan kering, lekas aku berpakaian. Sementara Hilma, baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menggelung di atas kepalanya."Sayang, aku tunggu di mushola, ya?" ucapku sesaat setelah Hilma menjauh dari pintu kamar mandi.Hilma mengangguk cepat. Gegas aku keluar dari dalam kamar, melangkah ke arah mushola, mengambil wudhu lalu masuk ke area mushola. Lantas duduk menunggu Hilma menyusulku.Aku merenung kembali.Pagi ini benar-benar terasa indah. Sejatinya, pernikahan memang ladang untuk beribadah bersama pasangan. Meraih sebanyak-banyaknya pahala untuk bisa bersama-sama sampai di Jannah-Nya.Bersama Hilma, aku menemukannya. Bersama Hilma, aku coba melakukannya.Aku semakin galau karenanya, mengingat tugas muta
"Ayang, Bu," sahutku menjelaskan."Ayang? Ayang beb?"Aku mengangguk cepat. Ibu hanya mengulum senyum mendapati tanggapan dariku."Ya belum tentu, Sayang. Soalnya itu kantor baru banget beroperasi. Entah butuh waktu berapa lama untuk bisa berkembang. Tapi pengalamanku, paling cepet tiga tahunan," jelasku kemudian."Kalau kamu bawa Hilma dan si kembar, pasti Ibu akan kangen sama kalian semua. Apalagi si kembar. Terus, gimana nanti Hilma pas lahiran? Ibu jadi kepikiran, Yud," ujar Ibu."Tapi kalau Hilma gak ikut, aku yang kangen sama mereka, Bu. Makanya, aku ingin rundingan sama kalian bagaimana baiknya," ucapku lagi."Kamu bersedia ikut, Nak Hilma?" Ibu bertanya pada Hilma.Yang ditanya, tak langsung menjawab, melainkan menatapku lekat."Aku di sini saja, Ay. Di sini ada Ibu kamu sama Ibuku. Aku juga lagi hamil, beberapa bulan lagi lahiran. Kita pasti membutuhkan bantuan kedua orang tua kita nanti. Enggak mungkin aku lahiran di sana, selagi kamu bekerja, siapa yang akan menemani aku me
SEASON 2************🌻POV YudaBandung~Surabaya.Akhirnya aku tiba di kota yang mendapat julukan sebagai kota Pahlawan. Meninggalkan kota Paris Van Java, kota kelahiran dan tempat tinggalku selama ini.Keluar dari bandara, seluruh tim sudah dijemput mobil travel. Satu jam dari bandara, kami semua tiba di hunian yang telah disiapkan di belakang bangunan kantor.Staff yang memboyong keluarganya, menepati satu rumah. Sedangkan yang tidak membawa keluarganya sepertiku dan tiga orang lainnya, ditempatkan dalam satu rumah yang sama.Sampai di sebuah rumah dengan tipe 36. Aku langsung menuju kamar. Terdapat dua kamar di rumah bercat putih ini. Lalu diputuskan aku akan satu kamar dengan Wijaya, staff HRD. Sementara kamar kedua, diisi Agus dan Indra yang sama-sama bekerja sebagai kepala gudang.Wijaya serta Agus, tidak membawa keluarganya, dikarenakan ada anak-anaknya yang masih bersekolah. Sementara Indra, sama sepertiku yang mana istirnya tengah hamil anak pertama.Di dalam kamar, terdapat