Aku beserta dua temanku mencari makanan dengan berjalan kaki. Hari sudah hampir sore saat ini. Hingga kami menjatuhkan pilihan untuk membeli soto ayam yang dijual di pinggiran jalan.Menunggu pesanan dibuat. Aku bersama kedua temanku lantas menunggu di bangku panjang pedagang soto ini.Aku mengitari tempatku saat ini. Tempat yang benar-benar terasa asing bagiku. Tempat yang baru pertama kali aku jejaki."Eh, Feli. Beli soto ayam juga?" Agus seketika menyapa, saat Feli mendatangi pedagang tempat ini."Iya, A Agus," jawabnya terdengar begitu ramah pada Agus.Aku memalingkan wajah, melihat ke arah jalanan di mana kendaraan berlalu lalang. Tidak ingin melihat Feli di tempat ini. Apalagi sekilas tadi kulihat, dia memakai kaus ketat dengan celana jeans selutut. Entah kebetulan apa lagi, gaya berpakaiannya sama dengan Khanza sewaktu masih hidup.Aku tak mengalihkan pandangan sedikit pun dari jalan. Meski yang kulihat adalah tetap sama, yakni kendaraan roda dua dan empat. Hingga akhirnya pesa
Hari semakin menjelang malam, hujan turun begitu deras tanpa disertai petir. Hujan mengguyur sejak memasuki waktu magrib tadi. Hingga kini jam sepuluh malam, belum kunjung reda. Mengakibatkan signal ponsel tidak stabil, dan aku kesulitan menghubungi Hilma. Sampai akhirnya, aku hanya mengirimkan pesan padanya. Mengingatkan agar dia tidur tidak terlalu malam dan tidak lupa meminum susu khusus ibu hamilnya sebelum tidur.Aku bersama ketiga temanku, tengah berkumpul sambil menonton siaran televisi. Ruangannya hanya terhalang rak televisi itu sendiri dari ruang depan yang tanpa sofa.Hujan turun seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Sangatlah deras. Membuat hawa sekitar kami menjadi dingin. Kami semua terbungkus sarung, menonton televisi dengan kaki selonjor serta sarung yang melekat. Duduk berjejer sudah seperti menunggu antrian.Volume kencang dari televisi, seakan berlomba dengan derasnya curah hujan yang turun di luar sana.Di tengah asyiknya kami menonton siaran televisi ditema
SEASON 2************🌻POV Yuda.~Satu Minggu berlalu menetap di kota Surabaya.Hujan tak hentinya mengguyur sejak pertama aku dan tim tinggal di kota ini.Bekerja satu Minggu di kantor baru, aku dan tim benar-benar diharuskan bekerja solid. Membangun perusahaan yang baru menetas di bawah kepemimpinan anak sang direktur.Hampir setiap malam, Feli tak berhenti mengantar makanan atau sekedar camilan ke hunian yang aku tempati. Entah apa maksudnya. Ketiga temanku menikmati setiap apa yang Feli berikan, tetapi tidak denganku.Cukup hanya wajah dan cara berpakaiannya saja yang mirip, dan selalu mengingatkan aku akan Khanza. Aku tidak mau, kebaikannya malah semakin menggali ingatanku akan almarhumah istriku.Jarak dari hunian ke kantor baru, dapat ditempuh hanya lima menit dengan berjalan kaki. Sehingga meski hujan di pagi hari, aku tetap dapat pergi bekerja di bawah derai hujan yang membasahi. Pun dengan sore bahkan malam yang juga kehujanan.Karenanya, satu pekan di sini, aku bekerja ta
Entah sudah berapa lama aku meringkuk di balik selimut dalam keadaan tertidur. Saat membuka mata, hidungku masih rasa tersumbat, kepala juga masih terasa sakit, hanya panas tubuhku saja yang sedikit turun.Aku menyibak selimut sampai ke pinggang Badanku benar-benar tidak enak rasanya. Kupaksa untuk bangkit, beringsut mengambil ponsel yang disimpan di dalam lemari. Kembali duduk dan bersandar pada dinding di belakangnya. Kembali aku bersin-bersin.Kulihat layar ponsel, sudah jam sebelas siang Mengecek log panggilan, ada satu panggilan tidak terjawab dari istriku, lekas aku menghubunginya balik. Berharap tidak terputus karena baterai ponsel yang tinggal sedikit.Tiga kali berdering, akhirnya panggilanku diterima."Halo, Sayang?" sapaku cepat."Halo, Ay? Kamu kenapa? Sakit?" balas Hilma di seberang sana.Dia bahkan bisa menebak keadaanku dengan tepat hanya dengan mendengar suaraku."E ... cuma gak enak badan kok, Sayang. Makanya aku gak masuk hari ini. Di sini gak berhenti hujan, Sayang.
Esok harinya, tubuhku kembali meriang. Demam kembali melanda. Tidak ada perubahan signifikan mengenai kondisiku. Semalaman tidurku tidaklah nyenyak."Yud, gue anter ke dokter aja, yuk? Kita periksa?" Wijaya yang baru selesai mandi mengajakku untuk periksa."Enggaklah, Jay. Elo 'kan harus kerja. Kalau elo anter gue, yang ada lo malah gak kerja," jawabku."Ya gak papa, gue bisa izinlah. Kantor pasti ngerti. Daripada elo gini terus?"Aku menggeleng. Dari dulu, aku memang tidak suka diperiksa ke dokter. Apalagi bertemu jarum suntik."Enggak, Jay. Besok juga gue udah baikan ini." Aku berkilah."Iya kalo baikan. Kalo enggak?""Ya besoknya lagi, Jay!""Ah, elo. Susah banget dikasitahunya!" Wijaya ngedumel dan aku hanya mengulum senyum. Wijaya telah berpakaian rapi seperti hari-hari biasa dia berangkat bekerja."Beneran elo gak mau dianter periksa, Yud?" tanyanya sekali lagi."Bener, Jay. Elo kerja aja. Besok gue udah sembuh, kok. Sebelum berangkat, gue titip bubur lagi ya!" pintaku padanya.
Aku mendecih. "Karena saya tidak suka kamu merawat saya dan datang ke sini tanpa izin. Saya bisa merawat diri saya sendiri. Dan tidak perlu banyak drama, dengan mengatakan saya seolah membenci kamu.""Yakin Bapak bisa merawat diri Bapak sendiri? Tadi saja Bapak itu menggigil. Panas tubuh Bapak juga tinggi. Saya cek hampir empat puluh derajat. Saya inisiatif mengompres, dan ternyata memang bisa menurunkan panasnya. Sekarang, Bapak makan dulu ya? Saya sudah bikinkan sup ayam. Tadi A Wijaya bilang, pesanan bubur Pak Yuda gak ada, soalnya pedagang buburnya gak jualan. Jadi, saya bikinkan sup ayam sama nasi tim untuk Bapak makan siang ini." Feli menjelaskan panjang-lebar.Kuhirup napas dalam. Panas di tubuhku memang naik turun. Tapi siang ini, memang tidak begitu terasa apalagi karena keringat yang sudah keluar."Tapi saya bisa mengurus diri saya sendiri, Feli! Apa kamu tidak berpikir sebelum memasuki hunian ini? Jika di sini, hanya ada saya. Bagaimana jika orang-orang sekitar hunian ini j
🌻POV Yuda"Yud, elo ngapain si Feli, sih?!" Agus tiba-tiba datang ke kamar. Sekarang sudah malam, mereka baru saja tiba. Kemungkinan mereka sehabis lembur.Aku yang sedang melakukan panggilan dengan Hilma sontak mematikannya, lalu menaruh ponselku di samping."Ngapain apanya, sih, Gus? Dateng-dateng bukannya ngucapin salam, malah nyeruduk ke sini!" Aku tak kalah heran dengan sikap dan pertanyaan Agus.Tiba-tiba Indra datang dan menahan Agus yang semakin merangsek maju ke arah kasur yang kutempati."Elo gak tau terima kasih, Yud. Si Feli itu bela-belain izin sama Bos Angga, supaya bisa ke hunian ini, buat ngerawat Lo biar cepet sembuh. Ehh, elo malah usir dia sambil marah-marah! Gak tahu terima kasih!" celoteh Agus menggebu.Keningku mengernyit. Untungnya keadaanku sudah berangsur membaik. Setelah Feli pergi dan aku terpaksa membereskan kekacauan yang dibuatnya. Aku kembali tidur di balik selimut, membuat tubuhku berkeringat lagi dan menjadikannya lebih ringan."Udah, Gus. Gue rasa bu
🌻POV Yuda~Empat hari terbaring sakit. Hari ini aku sudah agak lebih baik. Tetap makan dan minum, serta banyak tidur. Tubuhku akhirnya pulih. Kini, aku sudah mulai masuk kerja lagi.Hubunganku dengan Agus agak renggang. Meski di antara kami sudah damai, tetapi dia seakan menjaga jarak denganku. Padahal, kami diharuskan solid selama bekerja di sini.Aku tidak paham. Kenapa Agus terkesan berada di pihak Feli, bukan berarti aku ingin dia lebih berpihak padaku. Tidak!Agus bukan lagi seperti temanku sebelum Feli ada di lingkungan kantor kami. Entah apa yang sudah terjadi padanya. Mungkin memang dia menganggap Feli seperti adik perempuannya dan menjauhiku yang sudah lama dia kenal.Hari pertama kembali bekerja, aku sudah harus menghadapi lembur.Jam setengah enam petang, sebelum memulai lembur, diberikan waktu istirahat hingga selesai shalat magrib nanti.Aku keluar dari ruangan untuk mencari makan. Sebelum pergi, aku mencari temanku yang lain. Pasti mereka juga akan mencari makan petang
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y